"Om tampan-ku!" Kenzo dan Kenzi berlari merentangkan kedua tangannya saat mereka melihat Alex yang berjalan ke arah mereka. Kedua anak itu langsung memeluknya dengan erat. Entah apa yang membuat mereka datang ke tempat ini, Alex juga belum tahu. "Om, orang jelek itu mau ngusir kita!" pekik Kenzo menunjuk ke arah Gerald. "Iya Om, marahin dia Om! Marahin pokoknya!" pekik Kenzi dengan suara kerasnya. Tatapan mata Alex tertuju pada Gerald dan beberapa karyawan di sana yang menatapnya dengan terkejut. Alex berdiri tegap menggandeng si kembar. Tatapannya tidak lepas dari Gerlad yang beraninya memarahi dan mengusir si kembar. "Jangan mengusir anak-anak ini, aku mengenalnya! Lain kali kalau ada hal semacam ini, kau bisa memanggilku!" seru Alex. Gerald menunduk. "Ba... Baik Pak Presdir." "Aaa, baru tahu rasa kan! Kasihan deh loh...." Si kembar bersorak bahagia, kedua anak itu setia memeluk Alex dengan ekspresi mengejek-ejek pada Gerald. Senyuman Alex mengembang seketika, ia langsung
Alex mengantarkan Alana dan si kembar sampai di depan rumah mereka. Kedua anak itu langsung berlari masuk ke dalam pekarangan rumah mereka begitu sampai. Sedangkan Alex dan Alana masih di luar, gadis itu sangat canggung pada Alex. Anaknya sudah membuat keributan di kantor dan kini malah merepotkan dengan minta antar pulang. "Pak Alex, terima kasih banyak sudah mengantarkan saya pulang. Eumm... Terima kasih juga selama ini sudah mengenal dan baik pada anak-anak saya," ujar Alana tersenyum manis. Alex hanya tersenyum dan memberikan Alana senyuman yang tulus. "Bukan masalah besar Alana, aku sangat menyukai anak kecil. Apalagi anakmu sangat pintar dan berani," jawab Alex mengulurkan tangannya menepuk pundak Alana. Semakin canggung Alana di hadapan Alex, ia menggaruk tengkuk lehernya berulang kali dan enggan menatap Alex. "Apa kau tidak mempunyai tawaran mengajakku mampir?" tanya Alex dengan nada bercanda. Alana langsung mengangkat wajahnya dan mengangguk cepat. "Oh, boleh... Mari
"Mommy pagi ini dijemput Om tampan ya?" Alana yang tengah bercermin merapikan pakaiannya, ia menoleh dan tersenyum seraya menganggukkan kepalanya pada sang putra. "Iya Sayang, semalam Mommy sudah membuat janji dengan Om Alex kalau Mommy akan berangkat dengannya," jelas Alana pada mereka. "Good job! Semoga Mommy jadi pacarnya Om tampan," seru Kenzo. Alana langsung mengembuskan napasnya berat. "Mana ada, Om Alex itu Boss-nya Mommy. Jadi tidak boleh kalau Boss dan anak buahnya pacaran!" seru Alana. "Kata siapa sih Mom, kan belum nyoba!" "Pokoknya harus pacaran! Supaya Mommy tidak perlu kerja, tidak usah capek-capek, hanya diam saja di rumah dengan kita berdua, dapat uang dari Om tampan, dan...."Ucapan Kenzo terhenti begitu Alana menggeleng-gelengkan kepalanya dan meninggalkan mereka berdua di dalam kamar. Kenzi berdecak kecil. "Kenapa Mommy susah sekali sih disuruh pacaran!" "Iya, padahal kita kan mencarikan tipekal yang KTMJ! Kaya, Tampan, Mapan, dan Jantan! Jelas-jelas itu sem
"Kenapa Pak Alex membelaku sampai seperti tadi? Aku merasa menjadi orang penting dalam hidupnya." Alana berdiri menatap pantulan dirinya di cermin. Gadis itu membasuh tangannya dan diam di sana sejenak. Memikirkan Alex tidak akan pernah ada habisnya, Alana juga semakin heran dengan dirinya sendiri. Cukup beberapa menit Alana berdiam diri di dalam sana, ia membuka kembali pintu di hadapannya dan berjalan menuju ke ruangan meeting. "Nyonya Alana!" Suara memanggilnya membuat Alana menoleh cepat, ia memutar tubuhnya ke belakang dan mendapati sosok Harlan yang berjalan mendekatinya, demi apapun Alana sangat membenci laki-laki ini. "Pak Harlan, ada apa?" tanya Alana begitu Harlan mendekatinya. "Aku hanya ingin bertanya sesuatu padamu, Nona Alana," ujar Harlan melangkah mendekat. Alana mundur perlahan. "Ka... Katakan saja, saya ada urusan dan harus segera pergi." "Heem, berapa Alex membayarmu sampai kau bisa membuatnya bertekuk lutut membelamu, hem? Dia bahkan berani membentakku di h
"Kasihan deh, si kembar itu tidak punya Papa!" "Huuu... Tidak punya Papa! Jangan temenan sama kita! Sana pergi!" Kenzo menarik lengan Kenzi, adik kembarannya itu menangis karena dijatuhkan dari ayunan hingga terluka dan terbentur. Bukan itu saja, mereka juga diejek tidak punya Papa, itulah hal yang paling menyakitkan untuk si kembar. Keduanya diminta pergi oleh semua teman-temannya karena mereka berdua berbeda. Semua teman-temannya punya kedua orang tua yang lengkap, sedangkan Kenzo dan Kenzi hanya memiliki sosok Mama saja. "Ayo pergi, jangan menangis. Ayo pulang saja, kita adukan mereka sama Mommy," ajak Kenzo membawakan tas milik Kanzi dan merangkulnya. "Sakit Kenzo, kakiku berdarah," ujar Kenzi menunjukkan lututnya yang terluka hingga berdarah-darah. "Ya ampun, ayo aku gendong!" Kenzo langsung duduk di hadapan Kenzi. Dengan cepat adiknya memeluk punggung Kenzo dan sambil terisak-isak keduanya keluar dari taman bermain. Kenzo menggendong adiknya melewati trotar jalanan, denga
"Kondisi Kenzi cukup serius karena bukan hanya luka robekan di kakinya. Saat kami memeriksa lebih lanjut, kemungkinan dia terjatuh cukup keras dari ayunan sampai ada benturan di kepala bagianbelakang. Itu cukup serius untuk anak seusianya." Dokter Anne menjelaskan hasil pemeriksaannya pada Kenzi setelah beberapa jam lamanya mereka menangani Kenzi yang kini masih dibawa ke ruangan khusus. Alana hanya bisa menangis, tanpa berbuat apapun lagi saat ini. Syukurlah Alex menemaninya, memeluknya, dan mencoba menjadi sosok penenang untuknya. "Ke depannya apa akan bermasalah untuk anak saya dok?" tanya Alex dengan serius. "Ya Tuan, saya takutnya menjadi masalah besar kedepannya untuk Kenzi kalau tidak dipantau dengan sungguh-sungguh." Alana menangis memeluk Alex, ia sudah kacau sejak tadi. "Tolong... Tolong sembuhkan anak saya," pinta Alana pilu. Dokter Anne mengangguk. "Pasti Nyonya, mohon terus berdoa untuk kebaikan Kenzi dan kami akan selalu berusaha yang terbaik. Saya permisi," pamit
"Oma siapa? Kok ada di rumah Daddy, sih?" Kenzo duduk bersila di atas ranjang mendongakkan kepalanya memberikan tatapan polos pada Renata yang menyisir rambutnya. Renata seketika menghentikan kegiatannya, ia harap telinganya tidak salah dengar saat Kenzo menyebut kata Daddy barusan. "Daddy?" tanya Renata menyipitkan kedua matanya. Dengan polos Kenzo mengangguk. "Heem, Om tampan tidak masalah kok kalau Kenzo panggil dia sebagai Daddy. Kenzo 'kan tidak punya Daddy," jawab anak itu. Renata kembali menyisir rambut Kenzo, wanita itu hanya tersenyum tipis. Ia baru saja memandikan Kenzo, menggantikan bajunya dengan baju baru. "Oma ini Mamanya Om tampan," jawab Renata meletakkan sisir di atas meja dan duduk di hadapan Kenzo. "Emm... Begitu ya, boleh kan kalau Kenzo panggil Oma?" "Boleh Sayang." Kenzo langsung berdiri dan memeluk leher Renata dengan erat. Kedua tangan Renata membalas pelukan Kenzo yang hangat. Pintu kamar terbuka dan masuk Hans ke dalam sana. Kenzo hanya diam memperh
"Daddy...." Suara Kenzi membuat Alex mengangkat kepalanya. Ia terpana menatap Kenzi yang terbangun dan anak itu tersenyum lemah padanya. "Sayang, kau sudah bangun nak," seru Alex langsung memeluk Kenzi dengan erat. "Kangen Daddy," bisik Kenzi memejamkan kedua matanya dan menyembunyikan wajahnya dalam ceruk leher Alex. "Daddy jangan tinggalkan Kenzi ya, Dad...." "Tidak Sayang, Daddy tidak akan ke mana-mana." Alex menangkup kedua pipi Kenzi dengan hangat. Kenzi memeluk lengan Alex dengan erat. Tatapan anak itu tertuju pada Alana yang tertidur di sofa.Alex mengusap punggung mungil Kenzi dan menunjuk ke arah Alana. Senyuman Kenzi terbit dengan lembut, wajahnya yang pucat tidak melunturkan senyuman manis bocah itu. "Ssshhttt...." Kenzi meletakkan jari telunjuknya di depan bibirnya. "Jangan bangunkan Mommy, kasihan Monmy-ku." "Tidak Sayang." Alex mengusap pipi mungil Kenzi. "Kenzi lapar? Atau haus?""Iya Daddy, Kenzi mau minum," pinta anak itu. Baru saja Alex beranjak bangkit perla
"Kedepannya, Daddy dan Mommy ingin kita sering-sering berkumpul seperti ini." Alana tersenyum manis, wanita itu menatap Yasmin yang menuangkan teh ke dalam cangkir masing-masing anggota keluarga. "Ayumi juga ingin Mom, apalagi suasana yang seperti ini. Menyenangkan sekali," ujar wanita muda itu duduk bersandar. "Ya, ini sangat jarang dan bahkan nyaris tidak pernah kita semua lakukan." Alana kembali menyahuti. Mereka bertiga berada di dalam rumah kaca yang sudah berdiri dengan indah lengkap dengan hiasan dan bunga-bunga indah yang berada di dalamnya. Suara gemericik air, dan udara segar di dalam tempat itu membuat semua orang betah. Termasuk Odette, bocah cantik itu yang meminta dibuatkan rumah kaca yang besar, seperti yang ada pada acara kartun yang dia tonton setiap hari. "Di mana Daddy dan kembar?" gumam Alana menatap ke arah pintu rumah kaca yang terbuka. "Ada kok Mom, Odette yang memanggil mereka," jawab Yasmin duduk di samping Ayumi. Tak lama setelah mereka mengobrol, mun
"Rasanya, seumur-umur dari kecil kita besar bersama menjadi anak Daddy. Tapi hanya Odette yang mendapatkan hadiah yang istimewa, Cucu perempuannya..." Kenzi mengangguk, dia terkekeh pelan dan duduk bersandar di teras meletakkan laptopnya. Mereka berdua duduk bersantai bersama. Meskipun sudah cukup lama momen untuk mereka berdua jarang terjadi lantaran sama-sama saling sibuk. "Apa kau akan kembali lagi ke rumah mertuamu dan tidak ingin menempati rumahmu yang dulu, Zi?" tanya Kenzo pada sang kembaran. "Orang tuanya Ayumi juga sama kesepiannya seperti orang tua kita, aku juga kasihan dan ingin menuruti permintaan istriku tinggal dengan orang tuannya," jelas Kenzi pada Kenzo. Helaan napas panjang keluar dari bibir Kenzo. "Rasanya seperti baru kemarin kita bertemu Daddy, kita tinggal berdua dengan Mommy saja, dianak haramkan oleh sebutan orang-orang. Sekarang kita sudah punya anak saja ya..." "Itulah, waktu berjalan dengan cepat." Di tengah mereka berdua yang bercanda, muncul Alan
Odette terdiam duduk di teras samping sendirian. Anak itu menatap pemandangan rumah kaca yang belum selesai dibangun. Ya. Odette lah yang meminta pada sang Kakek, dengan senang hati Alex mengabulkannya. Baginya, apa yang tidak untuk Cucu-cucu kesayangannya. "Odette, kenapa duduk sendirian? Kenapa tidak main sama adik?" tanya Alex, dia berdiri di belakang Cucunya dan anak itu diam menatap ke depan sana. "Odette menunggu rumah kacanya jadi, Opa," jawab anak itu dengan polos. Senyuman di bibir Alex terukir. Dari semua cucunya, hanya Odette yang sangat Alex sayangi. Bukannya pilih kasih, mungkin karena terbiasa dengan anak laki-laki, hingga dia merasa istimewa dengan adanya Odette di antara mereka semua. Laki-laki itu ikut duduk di samping Odette, sementara semua orang sibuk di dalam rumah, kecuali Kenzo yang sudah pergi ke kantor pagi tadi. "Kalau Odette ingin sesuatu, minta saja ke Opa, ya?" ujar Alex mengusap pucuk kepala anak perempuan yang cantik itu. "Kenapa Opa?" tanya Odet
Kedatangan Kenzi di rumah Alex membuat suasana menjadi banyak berubah. Ramai, meriah, dan bahagia karena semua keluarga Verolov berkumpul di sana. Wajah-wajah bahagia mereka tidak bisa disembunyikan, semua cucunya berkumpul dan bermain bersama. "Ya ampun, Odette cepat sekali besar hem? Sepertinya baru kemarin dititipkan di sini," seru Ayumi menekuk lututnya di hadapan Odette yang duduk sedang makan siang. "Kan Odette sudah besar, Tante. Usianya sudah lima!" seru anak itu. "Lima apa, Sayang? Lima hari? Lima minggu? Atau-""Lima tahun, Tante. Kata Ayah Odette sudah besar, sudah jadi anak gadis Ayah dan Ibu yang paling cantik!" serunya dengan wajah kesenangan. Semua orang di sana terkekeh. "Ikut Om Kenzi pulang ke rumah Adik Elvyn," ajak Kenzi mendekati anak perempuan satu-satunya dalam keluarga Verolov. Odette menggelengkan kepalanya. "Tidak mau. Nanti Ibu dan Ayah akan kesepian kalau Odette ikut Om dan Tante," jawab anak itu, ada-ada saja jawabannya. "Ajak saja kalau kau bisa,"
"Odette, kenapa main sendiri di luar? Ayo masuk ke dalam Sayang, anginnya dingin..." Kenzo berdiri di ambang pintu menatap sang putri yang bermain sendirian sore ini di teras depan rumah. Anak perempuannya itu menggeleng, dengan bibir mengerucut dia menolak ajakan sang Ayah dan tetap melanjutkan permainannya. Kenzo mendekati putrinya tersebut, ia mengusap pucuk kepala Odette dengan lembut."Kenapa lagi? Kenapa manyun begini, hem?" Kenzo merapikan rambut pirang Odette. "Ayo main di dalam, ini sudah malam, Sayang.""Tidak mau. Tidak mau ketemu adik," serunya menggelengkan kepala dan menolak tegas. Sudah Kenzo duga, sejak kejadian Odette dijambak oleh Rafael, anak itu pun tidak mau main bersama dengan adiknya. Dia lebih memilih bermain sendirian dan enggan ditemani siapapun. Yasmin juga sudah lelah menasihatinya, tapi putrinya keras kepala dan sekali tidak, maka dia benar-benar akan menolaknya. "Kakak, kan Kakak sudah besar Sayang. Jangan seperti ini yuk, kasihan Ibu," bujuk Kenzo
Yasmin membeli keperluan memasak dan camilan di sebuah pusat perbelanjaan. Ditemani oleh Kenzo, mereka berdua pergi bersama, tanpa Odette apalagi Rafael. Keduanya berjalan bersama, namun tak jarang banyak pada gadis ataupun wanita-wanita yang membuat Yasmin kesal, lantaran cara menatap mereka pada Kenzo membuat Yasmin ingin meneriakinya. "Heran, apa mereka tidak pernah melihat orang yang tampan?" omel Yasmin dengan nada kesal. "Ada apa?" tanya Kenzo, dia sendiri malah tidak sadar saat menjadi bahan tatapan orang lain yang berlalu-lalang di sekitar sana."Lihat mereka semua, Sayang. Apa tidak bisa mereka biasa saja menatapmu!" kesal Yasmin dengan nada geram. Kenzo pun tertawa melihatnya, dia menyipitkan kedua matanya pada Yasmin. Satu sikunya menyenggol pelan dengan sengaja, dia memang suami yang sangat amat jahil. "Aku rasa memang seperti ini resikonya menjadi laki-laki tampan." "Cih, percaya diri sekali!" balas Yasmin seraya mengambil sebuah camilan di sebuah rak. "Tentu saja
Dua tahun kemudian..."Ibu, Ibu... Rafael nakal! Dia terus gigit Odette, Ibu!" Teriakan keras itu berasal dari teras depan. Seperti biasa kalau keributan seperti ini sudah biasa terjadi setiap pagi. Odette tumbuh menjadi anak yang pintar, begitu pula dengan Rafael. Mereka tumbuh bersama dan selalu menghabiskan waktu bersama sebagai saudara yang saling menyayangi. "Rafael, jangan ganggu Kakak dong, Sayang!" Suara Yasmin membuat anak laki-laki itu cemberut, Rafael berdiri di dekat pintu membawa mainannya. "Ibu, nakal..." Anak itu berceloteh. "Eh, kok malam Ibu yang nakal?" Yasmin terkekeh mendengarnya, memang Rafael mulai belajar berbicara meskipun tak banyak, namun Yasmin bisa memahaminya. Odette kembali mendekati sang Ibu, anak perempuan itu tersenyum manis. Dia menekan gemas pipi adik laki-lakinya sembari terkikik geli. "Adik bilang Ibu yang nakal. Rafael tidak mau dibilangin ya," ujar Odette memeluk sang adik. "Odette, ambilkan botol minum punya adik di meja makan, Sayang,"
Rencana tidak mau pulang yang dilakukan oleh Odette berbuah hal yang membahagiakan untuk Alana dan Alex, pasalnya hal itu berhasil membuat Kenzo dan Yasmin pun ikut tinggal di sana.Odette kini ikut bersama Yasmin dan Kenzo pulang ke rumah untuk mengambil beberapa barang. "Ibu, bajunya Odette dibawa semuanya?" tanya anak itu membuka lemari pakaiannya. "Jangan Sayang, kita kan nanti juga akan pulang ke sini juga," jawab Yasmin pada sang putri. Anak itu mengangguk, dia mengambil beberapa bajunya dengan perlahan-lahan di dalam lemari. Meskipun terlihat sepele, namun Yasmin merasa berhasil mendidik anak itu dengan baik.Banyak hal yang Odette lakukan sendiri. Setidaknya di usianya yang masih sangat kecil, dia berusaha keras untuk menjadi anak yang mandiri dan tidak menyusahkan orang tuanya. "Wahhh, anak Ayah sedang apa?" Suara Kenzo membuat Odette menoleh dan anak itu tersenyum menunjukkan deretan giginya. "Odette bantu Ibu, Ayah!" serunya dengan wajah berseri-seri. "Semangat sekali
Berita duka kematian sang Papa membuat Yasmin amat terpukul. Sejahat apapun Papanya memperlakukan Yasmin ketika masih hidup, namun dia tetaplah Papa kandungnya. Setelah pemakaman selesai siang tadi, Yasmin kembali pulang ke rumahnya. Wanita itu duduk diam di dalam kamar menatap jendela kamar yang terbuka lebar dengan angin berhembus kencang. 'Mama sekarang dan Papa sudah bertemu di surga. Padahal akhirnya, anak yang paling kau benci yang mengurus semuanya, Pa.' Yasmin membatin, dia mengusap wajahnya pelan dan merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Kepalanya pening karena terus menerus menangis. Dia juga meninggal Odette di rumah Mama mertuanya. "Sayang," panggil Kenzo, laki-laki itu membuka pintu kamar. Yasmin menoleh menatapnya. "Ada apa? Aku lelah sekali, kepalaku pusing." Laki-laki itu mendekat, dia berdiri membungkuk di hadapan Yasmin dan mengusap keningnya. "Istirahatlah," ucap Kenzo singkat. Telapak tangan Yasmin mencekal lengan sang suami. Kenzo pun akhirnya ikut bergabu