"Kondisi Kenzi cukup serius karena bukan hanya luka robekan di kakinya. Saat kami memeriksa lebih lanjut, kemungkinan dia terjatuh cukup keras dari ayunan sampai ada benturan di kepala bagianbelakang. Itu cukup serius untuk anak seusianya." Dokter Anne menjelaskan hasil pemeriksaannya pada Kenzi setelah beberapa jam lamanya mereka menangani Kenzi yang kini masih dibawa ke ruangan khusus. Alana hanya bisa menangis, tanpa berbuat apapun lagi saat ini. Syukurlah Alex menemaninya, memeluknya, dan mencoba menjadi sosok penenang untuknya. "Ke depannya apa akan bermasalah untuk anak saya dok?" tanya Alex dengan serius. "Ya Tuan, saya takutnya menjadi masalah besar kedepannya untuk Kenzi kalau tidak dipantau dengan sungguh-sungguh." Alana menangis memeluk Alex, ia sudah kacau sejak tadi. "Tolong... Tolong sembuhkan anak saya," pinta Alana pilu. Dokter Anne mengangguk. "Pasti Nyonya, mohon terus berdoa untuk kebaikan Kenzi dan kami akan selalu berusaha yang terbaik. Saya permisi," pamit
"Oma siapa? Kok ada di rumah Daddy, sih?" Kenzo duduk bersila di atas ranjang mendongakkan kepalanya memberikan tatapan polos pada Renata yang menyisir rambutnya. Renata seketika menghentikan kegiatannya, ia harap telinganya tidak salah dengar saat Kenzo menyebut kata Daddy barusan. "Daddy?" tanya Renata menyipitkan kedua matanya. Dengan polos Kenzo mengangguk. "Heem, Om tampan tidak masalah kok kalau Kenzo panggil dia sebagai Daddy. Kenzo 'kan tidak punya Daddy," jawab anak itu. Renata kembali menyisir rambut Kenzo, wanita itu hanya tersenyum tipis. Ia baru saja memandikan Kenzo, menggantikan bajunya dengan baju baru. "Oma ini Mamanya Om tampan," jawab Renata meletakkan sisir di atas meja dan duduk di hadapan Kenzo. "Emm... Begitu ya, boleh kan kalau Kenzo panggil Oma?" "Boleh Sayang." Kenzo langsung berdiri dan memeluk leher Renata dengan erat. Kedua tangan Renata membalas pelukan Kenzo yang hangat. Pintu kamar terbuka dan masuk Hans ke dalam sana. Kenzo hanya diam memperh
"Daddy...." Suara Kenzi membuat Alex mengangkat kepalanya. Ia terpana menatap Kenzi yang terbangun dan anak itu tersenyum lemah padanya. "Sayang, kau sudah bangun nak," seru Alex langsung memeluk Kenzi dengan erat. "Kangen Daddy," bisik Kenzi memejamkan kedua matanya dan menyembunyikan wajahnya dalam ceruk leher Alex. "Daddy jangan tinggalkan Kenzi ya, Dad...." "Tidak Sayang, Daddy tidak akan ke mana-mana." Alex menangkup kedua pipi Kenzi dengan hangat. Kenzi memeluk lengan Alex dengan erat. Tatapan anak itu tertuju pada Alana yang tertidur di sofa.Alex mengusap punggung mungil Kenzi dan menunjuk ke arah Alana. Senyuman Kenzi terbit dengan lembut, wajahnya yang pucat tidak melunturkan senyuman manis bocah itu. "Ssshhttt...." Kenzi meletakkan jari telunjuknya di depan bibirnya. "Jangan bangunkan Mommy, kasihan Monmy-ku." "Tidak Sayang." Alex mengusap pipi mungil Kenzi. "Kenzi lapar? Atau haus?""Iya Daddy, Kenzi mau minum," pinta anak itu. Baru saja Alex beranjak bangkit perla
"Oma, ayo antarkan Kenzo bertemu Mommy dan Adik! Ayolah Oma...." Kenzo merengek menarik-narik tangan Renata sejak tadi. Bocah itu sudah banyak protes meminta untuk diantarkan bertemu dengan Mama dan Adik kembarannya. "Sabar Sayang, iya ini Oma antarkan," jawab Renata mengemudikan mobilnya."Kenzo juga kangen Daddy," ujar Kenzo tiba-tiba seraya menatap ke arah luar jendela. Renata tersenyum manis mendengar kata-kata menggemaskan namun pernuh makna yang diucapkan oleh Kenzo. Bersama Kenzo selama dua hari meskipun tidak bertemu dengan Alex, namun Renata merasa kalau dirinya nyaman dengan anak itu. Renata ingin lebih dan sering bersama dengan Kenzo. "Kenzo kalau tinggal dengan Oma, Kenzo bisa meminta apapun yang Kenzo mau," seru Renata tiba-tiba. Kenzo menoleh. "Tapi Kenzo tidak bisa kalau sendirian. Kenzi suka sakit kalau Kenzo tidak ada di samping Kenzo, Oma." "Ya... Nanti kita ajak juga Kenzi, gampang kan? Apapun yang kalian minta, pasti akan Oma belikan!" seru Renata merayu-ray
"Kenzi, bagaimana Mommy dan Daddy? Mereka dekat atau dekat sekali? Atau malah sangat-sangat dekat?!" Kenzo duduk bersila di samping kembarannya yang terbaring di atas brankar. Ia sangat ingin tahu perkembangan hubungan Mamanya dengan Om tampan mereka. Kenzi tersenyum puas. "Sangat, sangat, sangat dekat sekali pokoknya! Jelasnya aku memenuhi apa yang kau katakan, aku meminta yang aneh-aneh pada mereka!" Kenzo berbinar mendengarnya. "Bagus! Good job, Kenzi. Ada gunanya juga kau sakit, heh!" "Heumm... Kau ini! Kau sendiri, selama aku sakit kau tinggal dengan Oma ya, Kak? Oma itu siapa?" tanya Kenzi memiringkan kepalanya. Kenzo menggelengkan kepalanya pelan dan memasang wajah berpikir. "Aku juga tidak tahu, katanya Mamanya Daddy. Tapi Kenzi, Oma ngajak kita tinggal dengan Oma. Kau tahu, rumah Oma itu besar sekali! Dan Oma juga mau ngajak kita naik Thomas setiap hari! Jadi kita tinggal dengan Oma, begitu." Obrolan akhir si kembar di dengar oleh Alana yang tengah duduk di sofa menata
"Wah... Terima kasih Oma, mainannya banyak! Nanti kalau Kenzi sudah sembuh kita ajak main sama-sama ya, Oma!" Kenzo berbinar-binar menata banyak sekali mainan puzzle di atas meja besar ruang keluarga di kediaman Alex. Sejak pagi tadi bocah itu ikut dengan Renata hingga kini hari sudah malam. Renata tidak peduli dan ia selalu mengalihkan pembicaraan Kenzo setiap kali anak itu meminta pulang. "Kalau Kenzo mau ikut dengan Oma, kita bisa beli mainan setiap hari," seru Renata duduk di sofa dan tersenyum lebar pada Kenzo. "Tapi, nanti ajak Kenzi juga, ya?" Kenzo cemberut. "Tapi, kalau Mommy sendirian, nanti Mommy akan sedih. Kenzo kan tidak mau kalau buat Momny sedih," jawab anak itu. "Kata siapa Mommy-mu akan sedih, Sayang? Tidak akan, percaya dengan Oma!" "Heum, Oma serius?" tanya Kenzi melebarkan kedua matanya yang cemerlang. "Kalau begitu Kenzo mau! Nanti jalan-jalan sama Kenzi naik Thomas!" pekik anak itu bahagia. Renata tersenyum lebar mendengarnya, sebisa mungkin ia harus men
Semalam ternyata Alex tidak pulang, laki-laki itu khawatir meninggalkan Alana dan anak-anak, apalagi kondisi Kenzi yang belum benar-benar pulih.Pagi ini Alana saat bangun dari tidurnya segera gegas ke lantai satu. Di sana, ia menemukan Alex yang tertidur meringkuk di sofa berselimut putih tebal milik Alana. "Astaga Alex, aku pikir dia tidur di sofa," cicit Alana mendekati Alex. Ia menarik selimut yang dan menutupi tubuh atas laki-laki itu karena hari masih subuh dan suhu yang cukup dingin. Pergerakan Alana terhenti, ia menatap dalam-dalam wajah Alex yang begitu damai. 'Laki-laki ini mengorbankan banyak hal demi aku dan anak-anak. Kenapa dia sangat tulus membantuku? Bagaimana kalau suatu saat nanti dia meminta aku untuk menggantinya? Apa yang akan aku berikan?' batin Alana gundah. Gadis itu duduk di samping Alex, tangannya terulur gemetar ingin menyentuh pipi Alex yang sangat ingin Alana sentuh. Namun urung, Alana meremas jemarinya dan kembali menarik tangannya untuk tidak melak
"Selamat siang Pak Alex, laporan test DNA yang Pak Alex ajukan sudah selesai."Alex berdiri menatap laki-laki dengan jas putih yang kini tegap berdiri di hadapannya. "Bagaimana hasilnya?" tanya Alex tidak sabaran. "Mari ikut saya masuk ke dalam, Pak," ajak laki-laki berjas putih tersebut. Alex berjalan masuk mengikutinya dan segera duduk siap mendengarkan apapun jawaban dari hasil test DNA yang sudah berhari-hari ia nantikan. Dokter Vero kembali membuka lembaran kertas di tangannya dan ia menunjukkan lebih dulu pada Alex diikuti senyuman manis di sudut bibirnya. "Golongan darah Pak Alex dengan kedua anak itu sama. Kalian memiliki hubungan darah yang cocok," jelas Dokter Varo. Wajah Alex memerah penuh perasaan haru. Kedua matanya memerah berkaca-kaca mengetahui dugaannya selama ini benar, Alana adalah gadis yang empat tahun lalu pergi dari hidupnya, Alex menidurinya malam itu. "Aku turut bahagia atas semua ini, Pak Alex," ucap Dokter Varo menepuk pundak Alex. "Terima kasih Dokt
"Kedepannya, Daddy dan Mommy ingin kita sering-sering berkumpul seperti ini." Alana tersenyum manis, wanita itu menatap Yasmin yang menuangkan teh ke dalam cangkir masing-masing anggota keluarga. "Ayumi juga ingin Mom, apalagi suasana yang seperti ini. Menyenangkan sekali," ujar wanita muda itu duduk bersandar. "Ya, ini sangat jarang dan bahkan nyaris tidak pernah kita semua lakukan." Alana kembali menyahuti. Mereka bertiga berada di dalam rumah kaca yang sudah berdiri dengan indah lengkap dengan hiasan dan bunga-bunga indah yang berada di dalamnya. Suara gemericik air, dan udara segar di dalam tempat itu membuat semua orang betah. Termasuk Odette, bocah cantik itu yang meminta dibuatkan rumah kaca yang besar, seperti yang ada pada acara kartun yang dia tonton setiap hari. "Di mana Daddy dan kembar?" gumam Alana menatap ke arah pintu rumah kaca yang terbuka. "Ada kok Mom, Odette yang memanggil mereka," jawab Yasmin duduk di samping Ayumi. Tak lama setelah mereka mengobrol, mun
"Rasanya, seumur-umur dari kecil kita besar bersama menjadi anak Daddy. Tapi hanya Odette yang mendapatkan hadiah yang istimewa, Cucu perempuannya..." Kenzi mengangguk, dia terkekeh pelan dan duduk bersandar di teras meletakkan laptopnya. Mereka berdua duduk bersantai bersama. Meskipun sudah cukup lama momen untuk mereka berdua jarang terjadi lantaran sama-sama saling sibuk. "Apa kau akan kembali lagi ke rumah mertuamu dan tidak ingin menempati rumahmu yang dulu, Zi?" tanya Kenzo pada sang kembaran. "Orang tuanya Ayumi juga sama kesepiannya seperti orang tua kita, aku juga kasihan dan ingin menuruti permintaan istriku tinggal dengan orang tuannya," jelas Kenzi pada Kenzo. Helaan napas panjang keluar dari bibir Kenzo. "Rasanya seperti baru kemarin kita bertemu Daddy, kita tinggal berdua dengan Mommy saja, dianak haramkan oleh sebutan orang-orang. Sekarang kita sudah punya anak saja ya..." "Itulah, waktu berjalan dengan cepat." Di tengah mereka berdua yang bercanda, muncul Alan
Odette terdiam duduk di teras samping sendirian. Anak itu menatap pemandangan rumah kaca yang belum selesai dibangun. Ya. Odette lah yang meminta pada sang Kakek, dengan senang hati Alex mengabulkannya. Baginya, apa yang tidak untuk Cucu-cucu kesayangannya. "Odette, kenapa duduk sendirian? Kenapa tidak main sama adik?" tanya Alex, dia berdiri di belakang Cucunya dan anak itu diam menatap ke depan sana. "Odette menunggu rumah kacanya jadi, Opa," jawab anak itu dengan polos. Senyuman di bibir Alex terukir. Dari semua cucunya, hanya Odette yang sangat Alex sayangi. Bukannya pilih kasih, mungkin karena terbiasa dengan anak laki-laki, hingga dia merasa istimewa dengan adanya Odette di antara mereka semua. Laki-laki itu ikut duduk di samping Odette, sementara semua orang sibuk di dalam rumah, kecuali Kenzo yang sudah pergi ke kantor pagi tadi. "Kalau Odette ingin sesuatu, minta saja ke Opa, ya?" ujar Alex mengusap pucuk kepala anak perempuan yang cantik itu. "Kenapa Opa?" tanya Odet
Kedatangan Kenzi di rumah Alex membuat suasana menjadi banyak berubah. Ramai, meriah, dan bahagia karena semua keluarga Verolov berkumpul di sana. Wajah-wajah bahagia mereka tidak bisa disembunyikan, semua cucunya berkumpul dan bermain bersama. "Ya ampun, Odette cepat sekali besar hem? Sepertinya baru kemarin dititipkan di sini," seru Ayumi menekuk lututnya di hadapan Odette yang duduk sedang makan siang. "Kan Odette sudah besar, Tante. Usianya sudah lima!" seru anak itu. "Lima apa, Sayang? Lima hari? Lima minggu? Atau-""Lima tahun, Tante. Kata Ayah Odette sudah besar, sudah jadi anak gadis Ayah dan Ibu yang paling cantik!" serunya dengan wajah kesenangan. Semua orang di sana terkekeh. "Ikut Om Kenzi pulang ke rumah Adik Elvyn," ajak Kenzi mendekati anak perempuan satu-satunya dalam keluarga Verolov. Odette menggelengkan kepalanya. "Tidak mau. Nanti Ibu dan Ayah akan kesepian kalau Odette ikut Om dan Tante," jawab anak itu, ada-ada saja jawabannya. "Ajak saja kalau kau bisa,"
"Odette, kenapa main sendiri di luar? Ayo masuk ke dalam Sayang, anginnya dingin..." Kenzo berdiri di ambang pintu menatap sang putri yang bermain sendirian sore ini di teras depan rumah. Anak perempuannya itu menggeleng, dengan bibir mengerucut dia menolak ajakan sang Ayah dan tetap melanjutkan permainannya. Kenzo mendekati putrinya tersebut, ia mengusap pucuk kepala Odette dengan lembut."Kenapa lagi? Kenapa manyun begini, hem?" Kenzo merapikan rambut pirang Odette. "Ayo main di dalam, ini sudah malam, Sayang.""Tidak mau. Tidak mau ketemu adik," serunya menggelengkan kepala dan menolak tegas. Sudah Kenzo duga, sejak kejadian Odette dijambak oleh Rafael, anak itu pun tidak mau main bersama dengan adiknya. Dia lebih memilih bermain sendirian dan enggan ditemani siapapun. Yasmin juga sudah lelah menasihatinya, tapi putrinya keras kepala dan sekali tidak, maka dia benar-benar akan menolaknya. "Kakak, kan Kakak sudah besar Sayang. Jangan seperti ini yuk, kasihan Ibu," bujuk Kenzo
Yasmin membeli keperluan memasak dan camilan di sebuah pusat perbelanjaan. Ditemani oleh Kenzo, mereka berdua pergi bersama, tanpa Odette apalagi Rafael. Keduanya berjalan bersama, namun tak jarang banyak pada gadis ataupun wanita-wanita yang membuat Yasmin kesal, lantaran cara menatap mereka pada Kenzo membuat Yasmin ingin meneriakinya. "Heran, apa mereka tidak pernah melihat orang yang tampan?" omel Yasmin dengan nada kesal. "Ada apa?" tanya Kenzo, dia sendiri malah tidak sadar saat menjadi bahan tatapan orang lain yang berlalu-lalang di sekitar sana."Lihat mereka semua, Sayang. Apa tidak bisa mereka biasa saja menatapmu!" kesal Yasmin dengan nada geram. Kenzo pun tertawa melihatnya, dia menyipitkan kedua matanya pada Yasmin. Satu sikunya menyenggol pelan dengan sengaja, dia memang suami yang sangat amat jahil. "Aku rasa memang seperti ini resikonya menjadi laki-laki tampan." "Cih, percaya diri sekali!" balas Yasmin seraya mengambil sebuah camilan di sebuah rak. "Tentu saja
Dua tahun kemudian..."Ibu, Ibu... Rafael nakal! Dia terus gigit Odette, Ibu!" Teriakan keras itu berasal dari teras depan. Seperti biasa kalau keributan seperti ini sudah biasa terjadi setiap pagi. Odette tumbuh menjadi anak yang pintar, begitu pula dengan Rafael. Mereka tumbuh bersama dan selalu menghabiskan waktu bersama sebagai saudara yang saling menyayangi. "Rafael, jangan ganggu Kakak dong, Sayang!" Suara Yasmin membuat anak laki-laki itu cemberut, Rafael berdiri di dekat pintu membawa mainannya. "Ibu, nakal..." Anak itu berceloteh. "Eh, kok malam Ibu yang nakal?" Yasmin terkekeh mendengarnya, memang Rafael mulai belajar berbicara meskipun tak banyak, namun Yasmin bisa memahaminya. Odette kembali mendekati sang Ibu, anak perempuan itu tersenyum manis. Dia menekan gemas pipi adik laki-lakinya sembari terkikik geli. "Adik bilang Ibu yang nakal. Rafael tidak mau dibilangin ya," ujar Odette memeluk sang adik. "Odette, ambilkan botol minum punya adik di meja makan, Sayang,"
Rencana tidak mau pulang yang dilakukan oleh Odette berbuah hal yang membahagiakan untuk Alana dan Alex, pasalnya hal itu berhasil membuat Kenzo dan Yasmin pun ikut tinggal di sana.Odette kini ikut bersama Yasmin dan Kenzo pulang ke rumah untuk mengambil beberapa barang. "Ibu, bajunya Odette dibawa semuanya?" tanya anak itu membuka lemari pakaiannya. "Jangan Sayang, kita kan nanti juga akan pulang ke sini juga," jawab Yasmin pada sang putri. Anak itu mengangguk, dia mengambil beberapa bajunya dengan perlahan-lahan di dalam lemari. Meskipun terlihat sepele, namun Yasmin merasa berhasil mendidik anak itu dengan baik.Banyak hal yang Odette lakukan sendiri. Setidaknya di usianya yang masih sangat kecil, dia berusaha keras untuk menjadi anak yang mandiri dan tidak menyusahkan orang tuanya. "Wahhh, anak Ayah sedang apa?" Suara Kenzo membuat Odette menoleh dan anak itu tersenyum menunjukkan deretan giginya. "Odette bantu Ibu, Ayah!" serunya dengan wajah berseri-seri. "Semangat sekali
Berita duka kematian sang Papa membuat Yasmin amat terpukul. Sejahat apapun Papanya memperlakukan Yasmin ketika masih hidup, namun dia tetaplah Papa kandungnya. Setelah pemakaman selesai siang tadi, Yasmin kembali pulang ke rumahnya. Wanita itu duduk diam di dalam kamar menatap jendela kamar yang terbuka lebar dengan angin berhembus kencang. 'Mama sekarang dan Papa sudah bertemu di surga. Padahal akhirnya, anak yang paling kau benci yang mengurus semuanya, Pa.' Yasmin membatin, dia mengusap wajahnya pelan dan merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Kepalanya pening karena terus menerus menangis. Dia juga meninggal Odette di rumah Mama mertuanya. "Sayang," panggil Kenzo, laki-laki itu membuka pintu kamar. Yasmin menoleh menatapnya. "Ada apa? Aku lelah sekali, kepalaku pusing." Laki-laki itu mendekat, dia berdiri membungkuk di hadapan Yasmin dan mengusap keningnya. "Istirahatlah," ucap Kenzo singkat. Telapak tangan Yasmin mencekal lengan sang suami. Kenzo pun akhirnya ikut bergabu