Share

6. Masuk perangkap

"Ma, bukankah kita akan menonton bioskop?"

Pertanyaan Levin membuat Andrea tersentak. Andrea menjanjikan mereka untuk menonton di bioskop bahkan sudah mengantre untuk memberi popcorn, tetapi pertemuannya hari ini dengan Elov mengacaukan segalanya. Andrea tidak bisa berlama-lama di tempat ini, ia khawatir Elov akan mengejar mereka.

"Ah, maaf sayang. Mama sedang tidak enak badan. Bagaimana jika menontonnya nanti saja?"

Dengan sangat menyesal Andrea terpaksa berbohong dan mengingkari janjinya pada dua bocah yang bak pinang dibelah dua dengan aktor tampan itu.

"Mama sakit? Kalau begitu ayo kita segera pulang. Mama terlalu sibuk bekerja hingga lupa beristirahat," ujar Luvina.

Andrea membuang napas pendek. Ia tahu kedua anaknya sangat perhatian. Dalam hati ia berdoa agar selalu diberi kesehatan agar bisa terus menjaga kedua anaknya dan memberikan kehidupan yang layak untuk mereka.

Sesampainya di rumah, Andrea meminta kedua anaknya untuk beristirahat saja di kamar mereka. Meski Levin dan Luvina mengajukan diri untuk merawatnya, Andrea menolak.

Satu hal yang ia butuhkan saat ini adalah waktu untuk menyendiri. Ia harus bisa menenangkan diri karena jika sampai salah mengambil tindakan maka semua akan berakibat fatal.

"Aku lupa satu hal, meski aku telah menipu banyak orang dengan kecelakaan pesawat itu, tetapi wajah kedua anakku tidak akan pernah bisa menipu. Aku hanya harus berdoa semoga aktor mesum itu tidak memperhatikan mereka."

Sementara itu di kamar si kembar, keduanya sedang duduk bersandar di tempat tidur masing-masing. Di dalam satu kamar terdapat dua ranjang terpisah.

"Kak, apakah kamu memperhatikan wajah Paman tadi? Mengapa terlihat sangat mirip denganmu?" tanya Luvina.

Levin memutar bola matanya malas. Ia sebenarnya tahu tetapi ia memilih untuk tidak mempermasalahkannya.

"Bagaimana jika sebenarnya dia adalah Papa? Aku merasa Papa kita belum berada di surga. Ingin menanyakan pada Mama tetapi aku takut dia akan marah atau tersinggung," lanjut Livina.

"Dia bukan Papa. Sekalipun dia adalah Papa, seharusnya dia mengenali kita, bukan? Kalau pun iya, aku tidak akan mengakuinya karena dia membiarkan Mama membesarkan kita berdua seorang diri. Aku tidak suka lelaki pengecut sepertinya," ujar Levin.

Luvina memangku dagu dengan satu tangannya. Gadis kecil itu sedang memikirkan ucapan saudara kembarnya barusan. Ada rasa setuju dan juga penolakan dalam hatinya. Bagaimana pun ia sangat merindukan sosok Ayah.

"Baiklah, tetapi aku berharap memiliki Papa. Jika memang mereka memiliki masalah, kita bisa membantu mereka untuk berdamai," usul Luvina.

"Haih ... bersikaplah seperti anak kecil, Lulu. Masalah orang dewasa tidak perlu dicampuri. Sebaiknya kamu tidur saja, biar aku yang memikirkan semuanya. Kamu terlalu kecil dan otakmu tidak perlu dibebani hal sebesar ini," ujar Levin.

Oh apakah dia sadar mereka bahkan memiliki usia yang sama meskipun bedanya hanya sepuluh menit saja?

"Dasar lelaki menyebalkan. Bukankah kamu juga masih kecil? Tetapi sudahlah, aku tidak ingin menguras tenaga untuk berpikir. Kamu saja yang atur rencananya," ucap Luvina kemudian ia menarik selimut menutupi tubuhnya hingga leher.

***

Hari ini Andrea terlihat sangat malas. Bukan karena ia pemalas tetapi semua ini karena jadwal pekerjaan yang sangat ingin ia hindari. Siang nanti Elov dan timnya akan ada pengambilan adegan dan mereka para pemburu berita tentu berbondong-bondong untuk datang demi mendapatkan informasi.

Potongan kejadian saat itu kembali berputar di benak Andrea. Ia masih trauma tetapi jika ia menyesali malam itu maka sama saja ia menyesali kehadiran dua anaknya ini.

"Mama, apakah sudah sehat?" tanya Luvina saat ia mendapati Andrea sedang menyiapkan sarapan.

Wajah lesu Andrea langsung berubah cerah. Bergantian ia memandangi wajah kedua anaknya. Napasnya tersengar sesak.

'Benar-benar duplikat aktor mesum itu. Seharusnya mereka meniru wajahku saja. Ini sungguh mengerikan,' gerutu Andrea dalam hati.

"Mama sudah sehat. Hari ini di sekolah akan ditemani Bibi Lanny ya. Mama ada banyak pekerjaan dan mungkin akan pulang terlambat. Nanti Mama akan menghubungi kalian," ucap Andrea, ia menutup tempat bekal untuk kedua anaknya ke sekolah.

Tangan Andrea sibuk mengisi piring anaknya dengan roti yang telah diberi selai kesukaan masing-masing. Dibalik kejadian kelam enam tahun silam, ia mendapatkan berkah dengan dianugerahi dua anak yang cantik, tampan dan keduanya sangat cerdas.

"Oh ya Ma, Paman kemarin yang menolong Lulu mengapa mata kami begitu mirip dengannya ya? Menurut artikel yang aku baca, pemilik bola mata dengan warna yang sama dengan kami adalah jenis yang langka. Mungkinkah kami masih satu golongan?"

Andrea tersedak hingga terbatuk-batuk mendengar pertanyaan Levin tersebut. Dengan cepat Luvina memberikannya segelas air. Ia meneguknya hingga habis, bukan karena haus atau menolong makanan agar segera masuk ke dalam perutnya, tetapi ia gugup memikirkan jawaban apa yang harus ia berikan pada putranya geniusnya itu.

Tanpa Andrea sadari, Levin dan Luvina saling menatap penuh arti. Sepertinya Andrea baru saja masuk dalam jebakan kedua bocah aktif dan memiliki banyak ide di otak mereka itu.

"Warna bola mata kalian itu sama persis seperti Grandpa. Kalau Mama mengambil keturunan Granda dengan bola mata cokelat. Sayang sekali Mama tidak memiliki foto mereka. Paman kemarin hanya kebetulan memiliki warna bola mata yang sama. Benar langka, tetapi bukan berarti tidak bisa berjumpa dengan pemilik warna mata yang sama, bukan?"

"Tetapi Ma, Paman itu juga sangat mirip seperti Kak Levin? Apakah wajah Kak Levin pasaran?"

"Ah ...?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status