Andrea kembali teringat saat ia kembali mual saat berada di bandara. Tubuhnya lemas karena ia sendiri belum makan selain satu lembar roti di rumah Sarah. Tak sadar sudah lama berada di kamar mandi, ia ternyata telah ketinggalan pesawatnya.
Untuk penerbangan selanjutnya ia harus menunggu sekitar tiga jam. Berada di bandara pun tidak begitu aman menurutnya. Pulang ke rumah Sarah pun bukan pilihan.
Dengan tubuh lemas ia terpaksa berjalan ke arah food court yang ada di bandara. Ia perlu mengisi tenaganya.
Saat sedang menikmati makanannya, seorang pria dengan setelan jas berwarna navy datang menghampirinya. Andrea langsung tegang, ia berpikir mungkin saja pria ini adalah orang suruhan Elov. Ingin lari tetapi pria itu justru menanyakan ibunya.
“Anda mengenal Ibu saya?”
Pria itu mengangguk. Matanya melirik ke arah koper Andrea. “Kamu akan pergi?”
Andrea mengangguk lemah. Pria itu sepertinya paham apa yang terjadi dengannya. “Pergilah ke negara di mana ibumu berasal. Dia memiliki satu rumah sederhana yang sudah lama aku jaga. Jika membutuhkan sesuatu, jangan sungkan untuk menghubungiku.”
Sebuah senyuman terbit di bibir Andrea. Mungkin ini sudah jalannya. Di saat seperti ini ia bertemu dengan malaikat penolongnya. Semua berkat ibunya.
‘Sekarang kita punya tujuan, Nak. Aku tahu, kehadiranmu di rahimku tidak akan pernah sia-sia. Kamu bukan aib, aku mencintaimu,’ ucap Andrea dalam hati.
****
“Lulu, jangan berlarian, Nak!”
Gadis kecil berusia lima tahun dengan manik mata sebiru langit cerah itu terus saja berlarian, ia dan anak lelaki kecil dengan mata biru keabu-abuan terus saja saling meledek.
“Levin, kamu jagain adik kamu. Jangan ikut berlarian sepertinya. Kita sedang berada di tempat ramai, tolong tenang sebentar,” tegur wanita dengan rambut panjang sebahu, sengaja dibuat ikal di bagian ujungnya hingga menambah kesan manisnya.
Andrea menghela napas. Satu senyuman ia lengkungkan melihat polah kedua anak kembarnya yang persis seperti pria itu. Lima tahun yang lalu, berjuang seorang diri tanpa satu pun keluarga yang mendampinginya ia berhasil melahirkan dan membesarkan kedua anaknya tanpa kekurangan satu pun.
Ponselnya terus saja berdering sedangkan ia sedang mengantre untuk mendapatkan popcorn. Mau tidak mau ia harus menjawab panggilan tersebut dengan harapan anak lelakinya akan menjaga sang adik.
Luvina terus berlari, ia berpikir Levin masih meladeninya tetapi ternyata Levin tidak berada di dekatnya karena tadi saudara kembarnya itu tak sengaja melihat beberapa orang berpakaian rapi dan serba hitam. Ia berdecak kagum sampai lupa pada adiknya.
Menyadari sang kakak tidak berada di dekatnya membuat Luvina ketakutan. Ia mulai panik dan tak sengaja menabrak seseorang yang sedang sibuk bicara di telepon.
“Maaf, Tuan. Lulu tidak sengaja,” ucapnya hampir menangis.
Pria itu membuka kacamatanya lalu berjongkok melihat sosok kecil yang sedang meringis di kakinya.
“Are you okay?”
Luvina mengangguk lalu menggeleng. “Aku kehilangan Mama dan kakakku. Aku takut, Paman.”
Elov mengusap kepala Luvina dan tiba-tiba saja ia merasakan desiran aneh di hatinya. Ia tidak mengerti tetapi menyentuh anak kecil ini membuat tubuhnya bereaksi aneh.
“Baiklah, ayo kita cari mereka. Kamu tadi datang dari arah mana?”
Luvina menunjuk tempat di mana tadi ia bersama kakaknya. Elov membawanya ke dalam gendongan sambil terus mencari jawaban atas apa yang tengah ia rasakan.
Andrea baru saja mengakhiri panggilan teleponnya, ia menghampiri Levin yang terlihat gugup. “Di mana adikmu?”
Kepala Levin tertunduk dalam, persis seperti Andrea saat dalam keadaan takut. “Maaf Mama, aku tidak menjaga adik dengan benar. Dia hilang!”
Mata Andrea terbuka lebar. Dadanya terasa sesak, bagaimana bisa anaknya hilang. Dia masih sangat kecil dan harus mencarinya ke mana. Ia juga tidak bisa menyalahkan putranya karena Levin masih terlalu kecil untuk diberi tugas tersebut.
“Sekarang kamu tenang, kita cari Lulu bersama-sama,” ucap Andrea, ia memberikan senyuman untuk putranya yang ia tahu pasti sedang merasa bersalah.
Tangan mungil itu menggenggam tangan hangat Andrea. Keduanya berjalan sesuai arah yang ditunjuk Levin. Seharusnya Luvina belum terlalu jauh dengan kaki kecilnya itu.
Dari arah berlawanan Luvina yang merasa nyaman berada di dalam gendongan Elov juga terus memindai seluruh tempat, berharap bisa melihat sosok ibunya atau kakaknya.
“Ma, itu Lulu …!” pekik Levin. Bocah lelaki itu melepaskan genggamannya dari Andrea kemudian ia berlari ke arah Luvina.
Tubuh Andrea kaku. Bagaikan disambar petir di siang bolong, saat ini ia melihat putrinya berada dalam gendongan Elov Graff, ayahnya.
Matanya tak sengaja beradu tatap dengan Elov, konsentrasi Andrea buyar, ingatan malam itu kembali berputar bak film di benaknya. Sekarang, mana mungkin ia bisa menghindar. Ia hanya bisa berharap semoga Elov tidak mengenalinya dan juga kedua anaknya.
Luvina turun dari gendongan Elov, ia berlari memeluk Levin. “Maaf Kak, aku nakal,” bisiknya.
Levin melepaskan pelukan. “Lain kali jangan seperti ini, Mama dan aku sangat cemas,” ucapnya begitu bijak.
Elov terpaku. Dua anak kecil di hadapannya ini membuat ia terdiam, apalagi bocah lelaki yang sangat sangat mirip dengan dirinya. Elov tidak bisa berbohong, bocah lelaki itu jelas meniru wajahnya diperkuat dengan warna bola mata mereka yang sama persis. Warna langka yang tidak sembarang orang dapat memilikinya.
Menyadari Elov mulai mengenali kedua anaknya, Andrea bergegas mendekat. Ia harus melindungi kedua anaknya, ia tidak mau Elov sampai mengenali mereka dan berujung dihabisi.
Rasa trauma itu masih begitu melekat.
Mengapa juga kedua anaknya itu mengambil semua yang ada pada Elov sedangkan ia yang mengandung dan melahirkan mereka hanya mendapat hikmahnya saja? Belum lagi Levin, anak itu duplikat Elov Graff, siapapun akan langsung mengatakan jika mereka adalah pasangan Ayah dan Anak.
“Mama …,” panggil Luvina. Ia bergegas masuk ke dalam dekapan Andrea.
“Lulu, kamu baik-baik saja, Nak?” tanya Andrea, ia memilih mendekap erat tubuh Luvina untuk menyembunyikan ketakutannya.
“Um.” Luvina mengangguk, ia kemudian melepaskan pelukannya. “Paman itu telah menolongku, Ma,” tunjuknya pada Elov.
Manik mata Andrea bertemu dengan manik mata indah milik Elov. Andai ia tidak tahu sepak terjang lelaki itu, Andrea pasti akan kembali memuji ketampanannya.
“Te-terima kasih, Tuan. Maaf sudah merepotkan Anda,” ucap Andrea, ia ingin segera pergi dari hadapan Elov.
Elov pun terkesiap. “Ah, oh ya. Tidak apa-apa. Dia anak yang manis, Nyonya,” jawab Elov tergagap, ia mengalihkan pandangannya pada bocah lelaki yang terus saja mencuri perhatiannya.
“Lulu, ucapkan terima kasih pada Paman itu sebelum kita pergi.”
Walau ia ketakutan luar biasa, tetapi Andrea tetap menanamkan kebiasaan baik pada kedua anaknya dengan tidak melupakan ucapan terima kasih pada siapapun yang sudah membantu mereka.
Luvina berjalan mendekat ke arah Elov, dengan satu tangannya ia memberi kode pada lelaki itu untuk berjongkok menyesuaikan tinggi badan mereka. Elov yang tidak biasa diperintah ini justru dibuat takluk oleh gadis kecil yang tak tahu jika di belakangnya sang ibu sedang ketar-ketir.
Satu kecupan di pipi Elov Luvina hadiahkan sebagai ucapan terima kasih. Elov memegangi pipinya yang terasa hangat dan lagi-lagi desiran aneh itu mengganggu hatinya.
“Terima kasih, Paman. Lulu pamit dulu ya,” ucapnya kemudian ia berbalik dan menggenggam tangan Andrea bersama Levin.
Demi menjaga sopan santun, Andrea tetap mengangguk sebelum meninggalkan Elov yang masih berjongkok sambil menatap tiga punggung yang perlahan menjauhinya.
‘Siapa mereka? Mengapa kedua bocah itu begitu mirip denganku. Apakah mereka adalah ….’
"Ma, bukankah kita akan menonton bioskop?"Pertanyaan Levin membuat Andrea tersentak. Andrea menjanjikan mereka untuk menonton di bioskop bahkan sudah mengantre untuk memberi popcorn, tetapi pertemuannya hari ini dengan Elov mengacaukan segalanya. Andrea tidak bisa berlama-lama di tempat ini, ia khawatir Elov akan mengejar mereka."Ah, maaf sayang. Mama sedang tidak enak badan. Bagaimana jika menontonnya nanti saja?"Dengan sangat menyesal Andrea terpaksa berbohong dan mengingkari janjinya pada dua bocah yang bak pinang dibelah dua dengan aktor tampan itu. "Mama sakit? Kalau begitu ayo kita segera pulang. Mama terlalu sibuk bekerja hingga lupa beristirahat," ujar Luvina.Andrea membuang napas pendek. Ia tahu kedua anaknya sangat perhatian. Dalam hati ia berdoa agar selalu diberi kesehatan agar bisa terus menjaga kedua anaknya dan memberikan kehidupan yang layak untuk mereka.Sesampainya di rumah, Andrea meminta kedua anaknya untuk beristirahat saja di kamar mereka. Meski Levin dan Lu
Langkah Andrea tergesa-gesa. Ia hampir terlambat, satu menit sebelum waktu bekerja ia baru menempelkan sidik jarinya hingga akhirnya gajinya terselamatkan karena siapapun karyawan yang terlambat maka gaji akan dipotong.Baru saja ia merasa lega, salah satu staf yang bekerja satu divisi dengannya langsung memintanya menemui manager divisi. Ada hal penting yang harus mereka bicarakan, Andrea menebak ini masalah wawancara Elov Graff.Pintu diketuk Andrea dengan perlahan, sebenarnya sangat malas dan berharap hari ini ia pingsan mendadak hingga ada yang menggantikan tugasnya. Namun sayang, ia tidak pernah pingsan sekalipun sehingga akan sangat sulit mewujudkan harapannya."Duduk Rea," ucap William.Andrea duduk di hadapan lelaki bermata minimalis dengan kulitnya yang putih itu. Wajahnya cukup tampan hanya saja sikapnya membekukan siapa saja yang berada di dekatnya saking dinginnya lelaki ini."Kamu sudah tahu apa tugasmu hari ini, bukan?"Andrea mengangguk lemas, biasanya ia sangat antusia
Finn mengerahkan anak buahnya bahkan ia menghubungi beberapa untuk meminta mereka segera datang ke negara ini. Permintaan Elov tidak bisa ia tolak karena ia pun memikirkan aktor itu. Bagaimana pun selama ini ia yang bekerja keras menjaga nama baik Elov dan jika ada yang hendak merusaknya maka ia akan berdiri di barisan terdepan untuk menghalaunya."Kalian periksa CCTV di mulai dari tempat Tuan Elov bertemu dengan anak kecil," titah Finn pada dua anak buahnya.Setelah dua orang itu pergi, Finn menatap pintu kamar Elov. Pertanyaannya tentang tindakan apa yang hendak Elov ambil ketika mereka berhasil menemukan anak-anak itu tak juga bisa dijawab olehnya. Ia kembali masuk, sebentar lagi akan ada pengambilan adegan dan ia tidak ingin Elov dalam keadaan tidak siap apalagi terguncang."Saya telah meminta beberapa anak buah kita untuk mengecek CCTV di mall. Saya juga sudah memanggil bala bantuan. Sekarang saya harap Anda memperbaiki mood Anda karena sebentar lagi kita akan menuju ke lokasi sy
"Andrea kamu tidak apa-apa?"Pertanyaan Ben seolah menarik Andrea yang tadinya sudah masuk pada sebuah dimensi hampa udara mini kembali masuk dalam dunia nyata, di mana ada Elov yang masih menatapnya.Satu anggukan pelan Andrea berikan sebagai pertanda. Ben mengembuskan napas lega, ia pun menarik tangan Andrea untuk segera mendekat."Ben, bisakah kamu saja yang mewawancarai aktor itu? Aku akan menjadi juru kamera. Berhadapan dengannya membuatku gugup," pinta Andrea, dalam hati ia berdoa semoga ide gilanya diterima oleh Ben.Lelaki itu tertawa. "Aku tidak bisa mengabulkan permintaanmu, Rea. Anggap saja ini keberuntungan karena kamu bisa bertemu langsung dengan aktor popular itu," ujar Ben yang kini semakin dekat dengan kerumunan wartawan.Beruntung?Hidup Andrea bahkan berubah 360 derajat sejak bertemu dengan Elov. Selain mendapatkan dua anak spesial itu, pertemuannya dengan Elov tidak bisa dikatakan sebagai sebuah keberuntungan.Andrea menggigit bibirnya, Elov kembali memakai kacamata
"Kamu dipecat!" Ucapan tersebut terus terngiang di telinga Andrea. Tidak diizinkan menjelaskan perkaranya, hanya demi seorang Elov Graff yang terlalu mendramatisir keadaan ia bahkan langsung ditendang dari perusahaan. Apakah dedikasinya selama hampir enam tahun itu tidak bisa dipertimbangkan? Sungguh miris, Andrea tersenyum sinis mengingat nasibnya yang kini pengangguran sedangkan dua anaknya memiliki banyak kebutuhan. Untuk bertahan dua sampai tiga bulan ke depan dia mungkin bisa, tabungannya cukup. Bagaimana dengan selanjutnya? Nama Andrea jelas sudah di-black list, meski ia menggunakan ID Hera, wanita itu justru datang membela diri dan memberikan tuduhan pada Andrea. Siapa yang ingin dipecat? Dalam hal ini, semua yang terlihat baik belum tentu baik dan yang jahat belum tentu jahat. "Rea!" Langkah gontai itu berhenti saat namanya dipanggil. Ia menoleh dan tersenyum pedih pada Ben yang entah datang dari mana. "Ada apa Ben?" Napas lelaki itu belum teratur, ia menunduk untuk s
Ketukan pintu semakin lama semakin kuat hingga membuat pemilik rumah terbangun. Wanita itu menguncir asal rambut panjangnya, sesekali menguap, tak lupa dengan sedikit keluhan karena tamu yang datang. Mata itu melirik ke arah jam dinding di ruang tengah. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam, entah orang gila dari mana yang datang mengganggunya. "Siapa?" tanya Andrea. Di hadapannya kini berdiri tiga orang pria berjas hitam dengan wajah datar tanpa ekspresi. "Nona Andrea Sebastian?" tanya salah satu dari mereka. Meski bingung Andrea tetap menganggukkan kepalanya. "Anda ditunggu Tuan kami untuk datang meminta maaf, jika Anda menolak maka detik ini juga nama Anda akan masuk daftar hitam. Yakinlah esok tidak akan ada satu pun yang mau menerima Anda bekerja." Apakah ini sebuah ancaman? Andrea tersenyum kecut. Wajahnya kembali muram teringat kejadian hari ini namun berubah secepat kilat menjadi penuh amarah saat teringat biang masalahnya. "Katakan pada tuanmu, aku ti
Andrea menghitung pengeluaran bulanan dan mencocokkan dengan keuangannya saat ini. Ada beberapa hal yang harus ia kurangi selagi ia belum mendapatkan pekerjaan tetap. Ingin rasanya ia sekali lagi menerima bantuan pria paruh baya itu tetapi ia merasa tidak enak karena selama ini Paman Alvons selalu melindunginya di balik layar.Sesekali wanita itu menghela napas pendek, sesekali juga melirik ke arah pintu kamar anaknya yang sedang tidur siang. Hari menjelang sore dan kedua bocah itu masih asyik di alam mimpi mereka."Sepertinya si kembar tidak akan masuk sekolah internasional. Sangat disayangkan tetapi aku tidak bisa berbuat banyak. Mengikuti Paman Alvons pun aku harus kembali pindah negara. Ini cukup rumit!"Andrea meminta pelipisnya. Bayangkan, seorang Elov Graff selalu mampu memporak-porandakan kehidupannya. Mengapa lelaki itu kembali datang? Apakah karena merasakan benihnya telah tumbuh dengan baik di negara ini?Sungguh menggelikan!Suara ketukan pintu mengalihkan perhatian Andrea
"Mama, mengapa mengemasi banyak barang?“Pertanyaan Luvina membuat gerakan tangan Andrea yang sedang mengepak pakaian anak-anaknya terhenti. Ia menghela napas, ia juga yang harus menjelaskan semuanya meski tidak semuanya."Mama dipindahkan ke luar negara. Kita akan pergi dua hari lagi," jawab Andrea sekenanya."Bagiamana dengan sekolah?" tanya Levin.Satu napas pendek Andrea buang seakan teras begitu berat. Mengapa bukan Elov yang menjelaskan segalanya. Ia bahkan tidak tahu akan menjadi budak seperti apa oleh lelaki itu. Ia hanya asal menerima dan Elov berkata akan menjemputnya dua hari lagi."Mama akan mengurus semuanya besok. Kalian bisa melanjutkan sekolah di sekolah baru nanti. Tenang saja, sekarang kalian tidur lebih cepat biar Mama yang menyelesaikannya," ucap Andrea. Setelah selesai membereskan barang-barang anaknya, Andrea kembali ke kamarnya. Dua anaknya sudah pulas, ia pun harus mengistirahatkan diri.Ingin tidur tetapi kantuk enggan mendekat. Pikirannya tidak mau berhenti m