"Sini handphoneku!" Aku merampas ponsel yang tadi kuberikan padanya. Ada yang kulupakan, rekaman untuk gugat cerai ada di handphone itu, tapi aku malah mengembalikan semua pemberiannya, emosional yang membuatku lupa akan hal itu, "Ra, Ra," panggil mama masih tersambung."Nanti telepon lagi," sahutku, lalu mematikan sambungan telepon."Mama kamu sudah dengar penjelasan palsuku, Ra," ucap Mas Haviz penuh dengan kesombongan. Senyumnya dimiringkan seraya ia yang menang."Tunggu saja pembalasan aku, Mas," ancamku di hadapan Mas Haviz dan Mama Yuni. Mertuaku tampak ketakutan, ia berdiri di pojokan.Kemudian, aku pergi dari rumah Mas Haviz. Kudengar ia meneriakiku dari kejauhan. Namun, aku tak pedulikan itu.Lalu, ponselku berdering kembali. Dari mama lagi. "Ra, ada apa sebenarnya? Kenapa Haviz bicara seperti itu?" tanya mama."Nanti Ara jelasin, sekarang Ara mau pulang kampung," jawabku sambil berjalan ke arah depan jalan mencari ojek."Ya sudah, kamu hati-hati di jalan, ya. Dari tadi Mam
Mama melangkahkan kakinya dengan cepat. Matanya kulihat memerah seakan ingin marah. Aku coba ikuti langkah kakinya.Setibanya di ruang tamu, terlihat mertuaku dan Mas Haviz berdiri seraya menyambut kedatangan kami. Senyum tak lupa dipancarkan oleh mereka sembari menundukkan kepalanya. Mereka terlihat sopan dan jinak, padahal otak mereka isinya kelicikan."Kamu selingkuh kan, Haviz?" tanya mama sambil berkacak pinggang. Mamaku sudah pasang dada di hadapanku.Beberapa saat kemudian, papaku yang tidak mengetahui apa-apa datang menghampiri. "Kalau ada tamu tuh sediakan minum. Ara, ambil minum untuk mertua dan suamimu," suruh papa membuatku menghela napas berat."Pah, ngapain ngasih minum ke orang-orang songong ini?" Mama terdengar menentang dan marah."Mah, kamu apa-apaan sih? Jangan begitu di hadapan tamu," timpal papa belum paham juga.Kemudian, aku segera mengambil minum lalu menyediakan di meja agar cepat mengusir mereka.Mereka berdua belum mulai menyanggah dan menyangkal obrolan kal
Bu Halimah tampak kebingungan, ia menyoroti kami satu persatu. Aku tidak bermaksud mempermalukan keponakannya di hadapan orang tuaku. Namun, karena mertuaku juga ikut merahasiakan apa yang dilakukan anaknya, maka orang tuaku juga harus mengetahui ini."Cerita saja yang semalam Bu Halimah ceritakan," pintaku agar Bu Halimah tidak lagi kebingungan."Maksud saya bengong tuh kenapa ponakan saya disebut-sebut di tengah-tengah keluarga kamu, Ra?" tanyanya kebingungan. Walau bagaimanapun dia saudaranya, tentu masih berprasangka baik pada ponakannya itu."Ya, nanti saya jelaskan jika Bu Halimah bercerita," ujarku lagi.Kemudian, Mas Haviz memegang tanganku, tapi kutepis. Kini wajahnya bercucuran keringat seraya ketakutan dan tegang.Suasana hening, Mas Haviz yang didampingi ibunya pun saling beradu pandang juga. "Ada rahasia apa lagi yang Mama tidak ketahui, Viz?" tanya Mama Yuni yang tampaknya tidak mengetahui asal usul Maya Agustina.Mas Haviz mengedipkan mata seraya berkata pada ibunya unt
"Jadi, Maya Agustina adalah mantanku," ucap Mas Haviz membuatku seketika bangkit. Rasa pusing di kepala saat itu juga hilang, yang tersisa hanya luka di hati yang ia torehkan.Aku menyandar di sandaran ranjang. Menelan ludah karena teringat ucapan ia dulu yang bilang sudah tidak ada ikatan apa-apa dengan mantan-mantannya."Mantan yang masih berstatus pacar kah waktu itu?" tanyaku penasaran. Namun, ia menggelengkan kepalanya."Kami sudah putus, tapi Maya sulit melupakan aku, ia terus menerus mengejarku. Hingga pada waktu dua bulan sebelum kita menikah, saat itu sedang mempersiapkan undangan dan segala macam, Maya minta ketemuan," jawabnya sedikit jelas sekarang. Dari sini aku menangkap, bahwa wanita jika mencintai satu pria, ia takkan mudah melepaskannya begitu saja. Wanita lebih sulit membuka hatinya."Kemudian, kalian bertemu dan memadu kasih, begitu?" cecarku dengan nada menyindirnya. Saat ini bukan rasa sakit saja atas pengkhianatan Mas Haviz. Akan tetapi, aku merasa dibodohi deng
"Oh ya perkenalkan dulu, ini Nurdin dan istrinya Dwi. Mereka ke sini mau menjelaskan sesuatu hal, kenapa memaksa Haviz untuk menikah dengan Maya," terang Bu Halimah menjelaskan.Aku dan mama beradu pandang. "Iya saya tahu, bukankah karena Maya hamil anaknya Haviz?" tanya mama pada orang tuanya Maya."Kemarin Haviz baru cerita kalau kalian ribut, kamu sudah mengetahui semuanya. Makanya saya ke sini mau ngejelasin bahwa pernikahan siri itu memang benar ada, tapi sebenarnya ada satu hal yang membuat kami memaksa selain dari hamilnya Maya pada waktu itu," tuturnya membuatku bingung.Tiba-tiba ponselnya berdering. Ia menunda cerita dan pamit menerima panggilan masuk lebih dulu.Ia agak menjauh sekitar jarak 3 meter, setelah kembali, justru ngajak suami dan Bu Halimah pergi."Pah, ayo kita pulang! Limah ayo pulang, gawat ini," ucapnya seraya panik. Ia meneguk air putih yang kami sediakan lebih dulu, setelah itu pamit terburu-buru. Entahlah, apa yang membuat mereka harus segera meninggalkan
"Mama suruh berdoa pada Allah, minta keajaiban, biar bisa merawat kamu hingga besar," ucapku sambil nyolek dagu Anggi. Kemudian, Maya menarik lengan anaknya. Lalu memberikan sarat untuk diam. Jarinya terlihat menutup mulut Anggi seraya tak menyukai anaknya bicara denganku."Emm, Ara, Bu Kenny, kami permisi dulu, nanti kapan-kapan saya boleh main ya," ucap Bu Dwi tapi tangannya ditepuk oleh Maya."Mah, jangan aneh-aneh deh," celetuk Maya.Mereka pergi, begitu juga dengan Mas Haviz, ia tidak banyak bicara di hadapanku dan mama, sepertinya memang masih ada satu hal yang belum diutarakan oleh ibunya Maya. Sampai detik ini pun kami masih bertanya-tanya, sebenarnya apa yang ingin dibicarakan Bu Dwi? Apa Mas Haviz tahu apa yang ingin disampaikan ibundanya Maya?"Sudah yuk!" ajak mamaku mencari hotel untuk kami berteduh. Setibanya di hotel, aku merebahkan tubuh ini, sedangkan mama beberes baju dan meletakkannya di lemari. Kami berdua sempat kepikiran dengan Mas Haviz dan Maya, sebenarnya ad
"Maya itu punya penyakit kanker, mohon maaf sebelumnya jika karena kondisi Maya ini, saya jadi memaksa Haviz untuk menikahi Maya, terlepas dari hamilnya Maya pada saat itu. Sebenarnya dalam perjanjian pernikahan, Haviz akan menceraikan Maya setelah Anggi lahir, tapi kenyataannya, saya memaksakan lanjut, karena tidak ingin saat-saat terakhir Maya nanti, ia sendirian dalam melawan penyakitnya." Aku terkejut dengan penuturan mamanya Maya. Sebab, ia bilang kemarin Maya terkena penyakit yang sama denganku, urat saraf kejepit.Meskipun melalui sambungan telepon, aku paham betul, Bu Dwi sedang menangis di seberang sana."Maaf, Bu. Apa penyakit urat saraf kejepit itu rekayasa? Supaya Ibu berpikir itu karma atau bagaimana?" tanya mamaku antusias. Ya, mama salah satu orang yang penasaran dengan pernyataan Bu Dwi yang sempat tertunda."Jadi Maya yang meminta merahasiakan penyakitnya dari kamu, Ra. Ia tidak ingin dikasihani olehmu. Tapi sejujurnya, rasa kemanusiaan Maya sangat tinggi, ia tetap me
"Maksudnya gimana ya, Anggi? Tante nggak ngerti," gumamku sambil mendongak ke arah Mas Haviz yang berdiri tegak di hadapanku.Kemudian, Anggi berlalu pergi dariku, aku pun kembali berdiri mengamati gerak-gerik Anggi."Nak, mau ke mana?" panggil Mas Haviz pada anaknya. Ia hanya menoleh tak menjawab pertanyaan ayahnya, tapi kami tetap memperhatikan gerak-gerik Anggi.Kemudian, mama mendekatiku, ia ikut bingung kenapa Anggi pergi. Tidak lama kemudian, ia datang membawa setangkai bunga mawar putih, lalu menghampiriku."Tante, ini bunga untuk Tante," ucapnya membuat mataku berkaca-kaca. Lalu aku kembali berlutut agar sejajar dengan Anggi."Sayang, kenapa kasih Tante bunga mawar putih?" tanyaku pada anak Mas Haviz."Tadi sebelum berangkat, kata Mama kalau Tante nolak, suruh bawakan bunga mawar putih untuk Tante," terangnya.Aku kembali menatap wajah Anggi, lalu pindah ke arah Mas Haviz. Alisku mengerut menatap ayahnya Anggi, khawatir ini adalah suruhannya. Namun, kedua pundaknya diangkat se
Tiba-tiba team medis yang menangani Mas Haviz keluar. Dokter menghampiri kami semua."Dok, bagaimana suami saya?" Mata Anggi mendadak menyorotku ketika aku menyebut ayahnya adalah suamiku."Alhamdulilah, operasi berjalan lancar, setelah observasi enam jam, pasien akan masuk ke ruangan rawat inap," jawab dokter seketika membuatku dan keluarga bernapas lega."Terima kasih, Dok," ucapku sambil memeluk Anggi.Lalu Dhea menghampiri, ia ikut mendekatiku dan Anggi. "Anggi, wanita ini mengaku-ngaku istri ayahmu loh, kuburan ibumu masih basah," celetuk Dhea."Kan Tante Ara memang akan jadi mamaku," sahut Anggi.Kemudian, aku memutuskan tidak meladeninya. Namun, aku curiga ketika Dhea mendapatkan telepon masuk, ia menjauh dari kami. Akhirnya aku coba ikuti langkahnya.Dhea mengangkat telepon di balik pembatas dinding rumah sakit, aku coba menempelkan telinga ini untuk menguping pembicaraan."Makasih ya, Toni, sopir truk yang kamu kirim kerjanya bagus, tapi sayangnya orang yang kuincar tidak ter
"Bu, ayo Bu kita ke rumah sakit! Kasihan anaknya khawatir ada luka dalam!" ajak salah satu petugas kepolisian yang melihatku berdiri tertegun menyorot Dhea."Iya, Pak." Aku menjawabnya sambil ikut masuk ke dalam ambulance yang sudah ada Mas Haviz terbaring lemah.Wajah Mas Haviz keluar darah segar, sepertinya ada benturan di bagian rahang pipinya. Tangan dan kaki sebelah kanan masih utuh tapi tidak tahu kondisi dalamnya seperti apa, sebab posisi Mas Haviz terjepit pintu yang diserempet oleh truk."Tante, Ayah baik-baik saja, kan?" tanya Anggi. Aku terdiam, ia pasti trauma setelah kehilangan dua orang sekaligus dalam satu hari."Anggi doakan saja, ya. Semoga Ayah baik-baik saja." Aku mengelus-elus rambut bocah yang sedang memegang tangan ayahnya.Suara ambulance mengingatkanku pada peristiwa empat tahun silam. Dimana saat itu kondisiku sakit tak berdaya. Mas Haviz begitu panik ketika almarhumah mertua mengabarkan bahwa aku tidak mampu berjalan. Ia menghubungi ambulance khawatir Mas Hav
"Ara ada di sini?" Mas Haviz bertanya dengan senyum semringah. Kemudian, Anggi diajak turun oleh Mas Haviz. Ketika Anggi turun, ia tidak seperti biasanya, menyergap lalu memelukku, yang dilakukan Anggi justru menunduk sambil berjalan ke arahku dengan wajah sendu.Perlahan langkahnya lama-lama mendekatiku. Kemudian ia menyodorkan tangannya yang memegang sekuntum bunga mawar merah."Loh, biasanya mawar putih, kenapa sekarang mawar merah?" tanya diiringi dengan senyum, namun Anggi tak juga menyunggingkan senyuman dari bibirnya."Tante, ini bunga terakhir untuk Tante, mawar berduri," celetuknya. Aku meraih bunga mawar yang ia berikan, setelah itu menatap wajah anak dari Mas Haviz dan istri sirinya, lalu menyorotnya sambil tersenyum, dan aku memeluknya erat.Responnya masih datar, ia tak kunjung menyunggingkan senyuman."Tante kenapa meluk aku? Bukankah Tante sudah tidak mau bertemu lagi dengan anak haram?" Astaga, anak ini dapat kata-kata itu dari mana?Aku tercengang mendengar penuturan
"Tante, aku ingin tinggal dengan Tante Ara," lirihnya membuatku berkaca-kaca. Anak ini tidak paham siapa aku, jika ia tinggal bersamaku, sama saja aku menyiksa diri. Meskipun ia tidak salah apa-apa, tapi wajahnya mengingatkanku pada masa lalu."Anggi, Tante nggak bisa, maafin Tante, ya," ucapku padanya. Kemudian, aku masuk ke kamar dan mengunci pintu rapat-rapat.Kudengar suara tangisannya, ada rasa tidak tega bersemayam di dalam dada. Namun, aku tidak ingin menjilat ludahku sendiri. Ya, aku pernah berjanji akan meninggalkan Mas Haviz, dan tidak mungkin aku menarik perkataanku itu hanya karena kasihan kepadanya.Satu-satunya cara adalah tidak menemui anak itu untuk sementara waktu, agar iba dan belas kasih tidak muncul dalam benakku.Mama mengetuk pintu, ia izin untuk masuk dan bicara denganku. Mama duduk di sebelahku."Sudah pulang, Mah?" tanyaku saat mama duduk. Ia mengangguk, lalu aku tersenyum agak sedih."Mama tahu perasaan kamu, pasti teringat perbuatan Haviz padamu," ujar mama.
"Apa-apaan kamu, Dhea! Sudahlah jangan menambah kesedihan Mama!" sentak Bu Dwi pada anaknya."Mah, kenapa sih Mama pilih kasih? Sewaktu Maya masih hidup, ia meminta untuk jadi suaminya Haviz diizinkan, padahal mereka sudah sebar undangan," sungut Dhea menjadikan pernikahan Maya suatu alasan."Cukup Dhea, cukup!" Bu Dwi pun berlalu pergi ke kamarnya.Kemudian, aku dan mama hendak pamit, supaya tidak menambah masalah dan kesedihan Bu Dwi. Namun, Anggi mencegahku untuk pergi. Ia merengek agar aku tetap berada di sampingnya.Akhirnya aku putuskan untuk menunggu Anggi tidur siang, setelah itu barulah kami berdua kembali ke kampung. Sambil mengelus-elus rambut dan punggung Anggi, aku dan mama tiba-tiba kepikiran dengan berkas yang telah kumasukkan ke pengadilan agama."Bagaimana dengan berkas kamu? Apa mau dicabut?" tanya mama, aku hanya bisa terdiam. "Cabut saja ya," suruhnya lagi."Kita bicarakan ini nanti, Mah. Sekarang lebih baik kita bersiap-siap pulang ke kampung, kasihan Papa, mungk
"Anggi, aku juga Tante kamu, kenalkan ya, aku Tante Dhea." Dia memperkenalkan diri pada Anggi. Jadi namanya Dhea, entah apa hubungannya dengan Maya."Aku nggak kenal sama Tante, kata Mama, jangan dekat-dekat orang yang tidak dikenal," ucap Anggi. Lalu ia pindah ke dekatku. Aku tersenyum tipis, lalu menggandeng tangan kecil Anggi ke depan. Ya, proses pemakaman akan segera dilaksanakan. Nanti aku akan menanyakan siapa wanita tadi setelah pemakaman selesai.Kami berangkat dengan hati pilu, gerombolan orang yang serempak mengenakan baju hitam pekat pun mulai mengiringi jalannya jenazah untuk masuk ke ambulance.Tangisan Bu Dwi pecah, ia seakan tidak sanggup mengantarkan jenazah Maya. Namun, mamaku berusaha menguatkannya.Mobil beriringan menuju pemakaman yang katanya berjarak sekitar 7 kilo meter. "Yah, wanita tadi itu siapa ya, Yah? Yang mengaku Tante," tanya Anggi dengan polosnya. Mas Haviz yang menyupir mobil pun menoleh sedikit ke arahku seraya mempertanyakan padaku."Iya, Mas. Tadi
"May, kamu baik-baik saja, kan?" tanyaku sulit melihatnya, sebab ada kepala Maya yang bersandar di bahuku. Kemudian, Anggi yang mendengar melihat ke arah mamanya."Mama bobo, Tante, nyenyak sekali Mama bobonya," sahut Anggi.Perasaanku mulai tak karuan, aku punya firasat buruk dengan kondisi Maya. Mama yang sederetan denganku pun menoleh."Iya tidur," celetuknya. Aku mau suruh mama cek napasnya khawatir membuat Mas Haviz panik, jadi diam-diam aku memeriksa denyut nadi tangannya.Aku raba lalu kucermati denyutannya, tapi tidak ada denyutan sedikitpun. Astaga, apa Maya juga telah ...."Mas, coba berhenti sebentar, ya," suruhku tapi berusaha tenang, supaya mereka semua tidak panik.Kemudian, setelah memastikan mobil berhenti. Mamanya Maya langsung turun dan buka pintu belakang. Sepertinya ia curiga sejak tadi aku bertanya pada Maya namun tak dijawabnya."Maaf, Bu. Saya mau lihat kondisi Maya," ucapnya."Bu Dwi, sepertinya Maya sudah nggak ada, tadi setelah ada suara seperti cegukan, ia t
Kami keluar lagi, tapi hanya selang beberapa menit saja dokter memanggil kembali. Kali ini dokter menyampaikan bahwa Mama Yuni sudah mengembuskan napas terakhirnya."Pak, Bu, maaf, ternyata Allah berkehendak lain, Ibu Anda telah meninggal dunia barusan, sekali lagi kami team dokter minta maaf sebesar-besarnya, Bu Yuni tadi menolak ditransfusikan darahnya dan hanya berpesan pada saya sampaikan minta maafnya pada Ara," tutur dokter membuat Mas Haviz menghela napas panjang. Kemudian ia memukuli tembok dengan amat menyesalnya."Mah, maafin Haviz, seandainya Haviz yang mengantarkan Mama, tentu takkan terjadi seperti ini," keluhnya dengan penuh penyesalan.Aku mendekati Mas Haviz. Posisiku berdiri tepat di belakangnya. Kemudian, tangan ini memegang pundaknya yang kini rapuh, orang tua satu-satunya kini pergi meninggalkan dirinya.Kudengar suara isak tangis yang keluar dari arah Mas Haviz, setegar-tegarnya lelaki, jika ibunya yang meninggalkan dirinya, tentu akan sangat kehilangan. "Mas, ak
"Maya sakit?" tanya mama."Bukan, Mah. Mama Yuni kecelakaan, ini minta tolong sama aku untuk jemput Ara, ia mau bicara pada Ara," ucap Mas Haviz terdengar sangat panik.Aku yang mendengar kabar mertuaku kecelakaan sontak terkejut. Meskipun ia selalu bersikeras untuk menjodohkan Mas Haviz dengan orang lain. Namun, ia dulu sempat merawatku ketika sakit. Makan dan minum ia layani meskipun dengan disertai ocehan yang kadang tak enak didengar."Ya, Mas, jemput aku segera ya," sahutku menyambar ketika ada kabar. Telepon pun terputus. Mama tersenyum tipis melihat wajahku. Matanya berkaca-kaca seraya sedih menatapku. "Kenapa, Mah? Kok mandang aku seperti itu?" tanyaku dengan mata menyipit."Mama salut denganmu, Ra. Begitu hormatnya kamu pada mertua, semoga jadi pahala untukmu," tutur mama sedikit sendu."Mah, kalau pada orang tua, aku selalu ingat orang tua kandungku, meskipun aku ini anak satu-satunya, dan tidak mungkin Mama melakukan hal seperti Mama Yuni, tapi tidak tega saja kalau itu te