Share

Bab 7

Penulis: Siti_Rohmah21
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Tiba-tiba telepon selulerku berdering. Dari orang tuaku di kampung.

"Ya, Mah. Ada apa?" tanyaku sambil mengamati kondisi salon. Khawatir Mas Haviz keluar.

"Eh iya, Ra. Minta nomor rekening kamu ya, nanti kalau uang cair Mama langsung transfer ke kamu," ucapnya dengan nada terdengar bahagia. Dimana-mana orang tua sangat bahagia jika memberikan sesuatu untuk anaknya. Kebahagiaannya tidak terkira, ia sangat terdengar semringah.

"Iya, nanti Ara kirim." Aku menjawab sambil celingukan.

"Kamu di mana sih? Kok sepertinya bising?" tanya mama.

"Di jalan, Mah. Udah dulu ya," jawabku kemudian mematikan sambungan teleponnya.

Aku bergegas masuk ke dalam. Kulihat sekeliling, dan naik ke lantai atas. Kalau kata petugasnya, mereka berada di lantai atas.

"Tante!" teriak bocah kecil melengking.

Padahal aku sudah diam-diam ingin memergoki mereka. Lagi-lagi ia memanggilku. Tidak lama kemudian, mamanya datang menghampirinya.

"Anggi, kamu ke play ground dulu ya, Mama ada urusan sebentar," tutur wanita itu pelan. Ia coba menyuruh anak itu pergi menjauh.

Aku tersenyum sambil menghampirinya. "Maya Agustina, bagus nama Anda. Tapi sayang, ternyata Anda selingkuhan suami orang," celetukku seraya berbisik tepat di telinga wanita itu.

"Jangan sembarangan bicara, Mutiara," jawabnya mengetahui namaku.

"Kamu pelakor," bisikku seraya menyindirnya tepat di telinganya.

Tidak lama kemudian, Mas Haviz muncul dengan Anggi. Ia menggendong anak itu. Lalu menurunkannya di sebelah wanita yang tadi kusebut pelakor.

Kemudian, Mas Haviz menghampiriku. Ia meraih tangan ini di hadapan perempuan itu.

"Sayang, kita pulang, yuk!" ajaknya dengan entengnya.

"Jelaskan ada apa ini?" cecarku sambil melepaskan genggaman.

"Kita bicarakan ini di rumah ya," ucap Mas Haviz.

"Mah, kok tangan ayah pegang tangan Tante?" celetuk Anggi yang berada di belakang Mas Haviz. Seharusnya ia tidak melihat ini, aku pun paham dengan perasaannya.

Akhirnya aku pun mengangguk seraya menyetujui permintaan Mas Haviz untuk menceritakan di rumah. Namun, aku menolak satu mobil dengannya. Aku lebih memilih bawa mobil sendiri, ketimbang ikut berada di satu mobil dengannya.

Aku mulai keheranan ketika tiba di rumah. Anggi dan Maya tampak akrab dengan Mama Yuni.

"Eyang!" teriaknya kesenangan.

"Eh, Anggi, kamu ikut juga, Nak ke sini?" tanyanya membuatku semakin kaku. Ya, aku tidak bersuara sama sekali.

"Ara, kamu nggak jadi ke salon tadi?" tanyanya aku kira hanya basa-basi.

"Iya," jawabku singkat.

Ada hal yang tidak kuketahui, banyak yang mereka rahasiakan bertahun-tahun. Rasanya sakit tapi tak berdarah. Dulu sewaktu aku sakit, Mas Haviz tidak mau melakukan hal yang menyakitkan aku, makanya kupikir ia adalah lelaki setia yang tidak mungkin berkhianat. Namun, ternyata anak itu ....

Astaga, aku coba hempaskan ini dari otakku. Siapa tahu aku salah menilai mereka. Ya, aku coba pahami dulu, dan dengarkan apa yang ingin ia katakan.

Kami duduk berempat di meja makan, Anggi sengaja diajak ke kamar oleh Mbok Susi. Kemudian, Mama Yuni yang memulai lebih dulu pertemuan kami di siang ini.

"Satu hal yang ingin Mama katakan, maaf Ara. Ada rahasia yang akan kami ungkap sekarang," tuturnya.

"Ya, aku tahu, Maya Agustina adalah istri Mas Haviz Erlangga, iya kan?" tebakku membuat mereka saling beradu pandang.

"Lebih tepatnya istri pertama yang dinikahi siri oleh Haviz," jawab Mama Yuni. Aku berdiri sambil menggebrak meja.

"Jangan becanda!" sahutku. Tak lupa sedari tadi kurekam pembicaraan ini pada ponsel yang kusimpan di dalam tas.

"Dengarkan aku cerita dulu ya, Ra," lirih Mas Haviz.

Hening, suasana tiba-tiba hening. Kusorot wajah perempuan yang berada di samping mertuaku juga terlihat tegang. Bagaimana bisa aku yang istri kedua? Sedangkan aku yang memiliki buku nikah.

"Itu alasannya aku tidak mau menikah lagi ketika kamu sakit, Ra, karena dua saja aku belum bisa berlaku adil, apalagi tiga," jawab Mas Haviz. Aku mengepal seraya kesal. Tidak habis pikir jawabannya seperti itu, enteng sekali ia bicara denganku.

"Bagaimana bisa aku yang ternyata istri kedua? Bukankah saat itu di KTP kamu masih sendiri?" cecarku. Diam-diam aku melirik ke arah tas untuk memastikan bahwa rekaman masih berjalan.

"Ara, jujur saja Mama juga baru tahu saat menyecar Haviz untuk menikah dengan anak teman Mama, saat itu yang kau dengar ramai, itu adalah niat Mama memperkenalkan wanita lain, tapi saat itulah Haviz menjelaskan bahwa ia sudah memiliki anak perempuan." Mama bantu menjelaskan ini semua.

Aku tertawa kecil, lalu menyorot ke arah Maya Agustina. "Kamu wanita rendah, mau gitu dimadu?" ejekku. Ia hanya menunduk malu.

"Kalau begitu, aku minta cerai, Mas. Mumpung belum ada anak di antara kita," sungutku kesal.

"Nggak, Ra. Aku nggak bisa cerai dari kamu," lirihnya.

"Lalu, kamu mau dua istri?" tanyaku sekali lagi. "Aku nggak mau, Mas. Nggak sudi!" tekanku.

"Kalau aku nggak bersedia menceraikanmu, maka percuma kamu gugat cerai," ungkapnya menekankan.

"Aku ada bukti rekaman barusan, jadi siap-siap saja, Mas. Kita akan cerai!" tekanku.

Kemudian, aku berdiri sejajar dengan wanita yang ternyata istri pertama Mas Haviz.

"Kamu wanita rendah," bisikku kesal.

"Kamu yang rendah telah merebut Mas Angga dari sisiku!" sentaknya.

"Haviz Erlangga, hebat kamu Mas, ada yang bucin sama kamu," sindirku dengan senyuman miring.

Aku langkahkan kaki ini keluar rumah dan berencana untuk pergi dari sini. Namun, tiba-tiba Mas Haviz menarik tangan ini.

"Aku nggak akan cerai dari kamu!" tekannya.

"Mas, ngapain sih mempertahankan dia, bukankah kamu sudah ada Anggi dariku?" Dari ucapan Maya aku jadi yakin, bahwa ia yang memaksa Mas Haviz untuk menikahinya dan anak menjadi senjatanya.

Aku mundur sejenak, lalu bicara di tengah-tengah mereka.

"Kamu pilih aku atau Maya, Mas?" tanyaku dengan melipat kedua tangan di hadapan mereka.

"Emm ...."

"Oke, aku yang pergi. Kita pisah saja!" seruku. Tiba-tiba Mama Yuni menghampiri kami yang sudah menjauh dari meja makan.

"Ya sudah, dua-duanya nggak usah dipertahankan! Lebih baik kamu nikah dengan anak teman Mama saja!" sambar Mama Yuni terdengar menyebalkan tapi idenya sungguh luar biasa.

Bersambung

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Bunda Wina
edan tuh mama Yuni sok kegantengn gitu ank mu havis bnr Ara lebih baik cerai qm
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Anak Kecil yang Memanggil Suamiku Ayah di Mall   Bab 8

    "Oh jadi Mama masih bersikeras untuk menjodohkan Mas Haviz dengan anak teman Mama?" tanyaku disertai dengan senyuman."Iya lah, anak teman Mama itu udah jelas bibit bobot bebet nya, lah kalau kalian? Yang Mama heran tuh ya, Haviz kenapa sih mau nikahi kamu? Kalau Maya, Mama maklum kenapa dia tidak ninggalin Maya, tentunya karena Anggi adalah darah dagingnya. Sedangkan kamu, udah ibu rumah tangga, orang tua juga hanya tinggal di kampung, lalu apa yang dipertahankan?" Pertanyaan yang muncul dari mulut Mama Yuni sangat menyakitkan untukku. Namun, ini sudah sering kutelan mentah-mentah."Mah, jangan bawa-bawa keluargaku, mereka tidak tahu apa-apa, tolong jaga mulut Mama!" tekanku kesal.Kemudian, Maya juga tampak kesal karena seolah-olah Mama Yuni merendahkan para istri Mas Haviz."Mas, kamu jangan diam saja, lakukan sesuatu, tujuan kamu ke sini tuh untuk mengenalkan aku sebagai istri pertama, bukan malah dihina oleh Mama kamu begini!" sungut Maya terdengar kesal.Aku memutuskan untuk per

  • Anak Kecil yang Memanggil Suamiku Ayah di Mall   Bab 9

    "Sini handphoneku!" Aku merampas ponsel yang tadi kuberikan padanya. Ada yang kulupakan, rekaman untuk gugat cerai ada di handphone itu, tapi aku malah mengembalikan semua pemberiannya, emosional yang membuatku lupa akan hal itu, "Ra, Ra," panggil mama masih tersambung."Nanti telepon lagi," sahutku, lalu mematikan sambungan telepon."Mama kamu sudah dengar penjelasan palsuku, Ra," ucap Mas Haviz penuh dengan kesombongan. Senyumnya dimiringkan seraya ia yang menang."Tunggu saja pembalasan aku, Mas," ancamku di hadapan Mas Haviz dan Mama Yuni. Mertuaku tampak ketakutan, ia berdiri di pojokan.Kemudian, aku pergi dari rumah Mas Haviz. Kudengar ia meneriakiku dari kejauhan. Namun, aku tak pedulikan itu.Lalu, ponselku berdering kembali. Dari mama lagi. "Ra, ada apa sebenarnya? Kenapa Haviz bicara seperti itu?" tanya mama."Nanti Ara jelasin, sekarang Ara mau pulang kampung," jawabku sambil berjalan ke arah depan jalan mencari ojek."Ya sudah, kamu hati-hati di jalan, ya. Dari tadi Mam

  • Anak Kecil yang Memanggil Suamiku Ayah di Mall   Bab 10

    Mama melangkahkan kakinya dengan cepat. Matanya kulihat memerah seakan ingin marah. Aku coba ikuti langkah kakinya.Setibanya di ruang tamu, terlihat mertuaku dan Mas Haviz berdiri seraya menyambut kedatangan kami. Senyum tak lupa dipancarkan oleh mereka sembari menundukkan kepalanya. Mereka terlihat sopan dan jinak, padahal otak mereka isinya kelicikan."Kamu selingkuh kan, Haviz?" tanya mama sambil berkacak pinggang. Mamaku sudah pasang dada di hadapanku.Beberapa saat kemudian, papaku yang tidak mengetahui apa-apa datang menghampiri. "Kalau ada tamu tuh sediakan minum. Ara, ambil minum untuk mertua dan suamimu," suruh papa membuatku menghela napas berat."Pah, ngapain ngasih minum ke orang-orang songong ini?" Mama terdengar menentang dan marah."Mah, kamu apa-apaan sih? Jangan begitu di hadapan tamu," timpal papa belum paham juga.Kemudian, aku segera mengambil minum lalu menyediakan di meja agar cepat mengusir mereka.Mereka berdua belum mulai menyanggah dan menyangkal obrolan kal

  • Anak Kecil yang Memanggil Suamiku Ayah di Mall   Bab 11

    Bu Halimah tampak kebingungan, ia menyoroti kami satu persatu. Aku tidak bermaksud mempermalukan keponakannya di hadapan orang tuaku. Namun, karena mertuaku juga ikut merahasiakan apa yang dilakukan anaknya, maka orang tuaku juga harus mengetahui ini."Cerita saja yang semalam Bu Halimah ceritakan," pintaku agar Bu Halimah tidak lagi kebingungan."Maksud saya bengong tuh kenapa ponakan saya disebut-sebut di tengah-tengah keluarga kamu, Ra?" tanyanya kebingungan. Walau bagaimanapun dia saudaranya, tentu masih berprasangka baik pada ponakannya itu."Ya, nanti saya jelaskan jika Bu Halimah bercerita," ujarku lagi.Kemudian, Mas Haviz memegang tanganku, tapi kutepis. Kini wajahnya bercucuran keringat seraya ketakutan dan tegang.Suasana hening, Mas Haviz yang didampingi ibunya pun saling beradu pandang juga. "Ada rahasia apa lagi yang Mama tidak ketahui, Viz?" tanya Mama Yuni yang tampaknya tidak mengetahui asal usul Maya Agustina.Mas Haviz mengedipkan mata seraya berkata pada ibunya unt

  • Anak Kecil yang Memanggil Suamiku Ayah di Mall   Bab 12

    "Jadi, Maya Agustina adalah mantanku," ucap Mas Haviz membuatku seketika bangkit. Rasa pusing di kepala saat itu juga hilang, yang tersisa hanya luka di hati yang ia torehkan.Aku menyandar di sandaran ranjang. Menelan ludah karena teringat ucapan ia dulu yang bilang sudah tidak ada ikatan apa-apa dengan mantan-mantannya."Mantan yang masih berstatus pacar kah waktu itu?" tanyaku penasaran. Namun, ia menggelengkan kepalanya."Kami sudah putus, tapi Maya sulit melupakan aku, ia terus menerus mengejarku. Hingga pada waktu dua bulan sebelum kita menikah, saat itu sedang mempersiapkan undangan dan segala macam, Maya minta ketemuan," jawabnya sedikit jelas sekarang. Dari sini aku menangkap, bahwa wanita jika mencintai satu pria, ia takkan mudah melepaskannya begitu saja. Wanita lebih sulit membuka hatinya."Kemudian, kalian bertemu dan memadu kasih, begitu?" cecarku dengan nada menyindirnya. Saat ini bukan rasa sakit saja atas pengkhianatan Mas Haviz. Akan tetapi, aku merasa dibodohi deng

  • Anak Kecil yang Memanggil Suamiku Ayah di Mall   Bab 13

    "Oh ya perkenalkan dulu, ini Nurdin dan istrinya Dwi. Mereka ke sini mau menjelaskan sesuatu hal, kenapa memaksa Haviz untuk menikah dengan Maya," terang Bu Halimah menjelaskan.Aku dan mama beradu pandang. "Iya saya tahu, bukankah karena Maya hamil anaknya Haviz?" tanya mama pada orang tuanya Maya."Kemarin Haviz baru cerita kalau kalian ribut, kamu sudah mengetahui semuanya. Makanya saya ke sini mau ngejelasin bahwa pernikahan siri itu memang benar ada, tapi sebenarnya ada satu hal yang membuat kami memaksa selain dari hamilnya Maya pada waktu itu," tuturnya membuatku bingung.Tiba-tiba ponselnya berdering. Ia menunda cerita dan pamit menerima panggilan masuk lebih dulu.Ia agak menjauh sekitar jarak 3 meter, setelah kembali, justru ngajak suami dan Bu Halimah pergi."Pah, ayo kita pulang! Limah ayo pulang, gawat ini," ucapnya seraya panik. Ia meneguk air putih yang kami sediakan lebih dulu, setelah itu pamit terburu-buru. Entahlah, apa yang membuat mereka harus segera meninggalkan

  • Anak Kecil yang Memanggil Suamiku Ayah di Mall   Bab 14

    "Mama suruh berdoa pada Allah, minta keajaiban, biar bisa merawat kamu hingga besar," ucapku sambil nyolek dagu Anggi. Kemudian, Maya menarik lengan anaknya. Lalu memberikan sarat untuk diam. Jarinya terlihat menutup mulut Anggi seraya tak menyukai anaknya bicara denganku."Emm, Ara, Bu Kenny, kami permisi dulu, nanti kapan-kapan saya boleh main ya," ucap Bu Dwi tapi tangannya ditepuk oleh Maya."Mah, jangan aneh-aneh deh," celetuk Maya.Mereka pergi, begitu juga dengan Mas Haviz, ia tidak banyak bicara di hadapanku dan mama, sepertinya memang masih ada satu hal yang belum diutarakan oleh ibunya Maya. Sampai detik ini pun kami masih bertanya-tanya, sebenarnya apa yang ingin dibicarakan Bu Dwi? Apa Mas Haviz tahu apa yang ingin disampaikan ibundanya Maya?"Sudah yuk!" ajak mamaku mencari hotel untuk kami berteduh. Setibanya di hotel, aku merebahkan tubuh ini, sedangkan mama beberes baju dan meletakkannya di lemari. Kami berdua sempat kepikiran dengan Mas Haviz dan Maya, sebenarnya ad

  • Anak Kecil yang Memanggil Suamiku Ayah di Mall   Bab 15

    "Maya itu punya penyakit kanker, mohon maaf sebelumnya jika karena kondisi Maya ini, saya jadi memaksa Haviz untuk menikahi Maya, terlepas dari hamilnya Maya pada saat itu. Sebenarnya dalam perjanjian pernikahan, Haviz akan menceraikan Maya setelah Anggi lahir, tapi kenyataannya, saya memaksakan lanjut, karena tidak ingin saat-saat terakhir Maya nanti, ia sendirian dalam melawan penyakitnya." Aku terkejut dengan penuturan mamanya Maya. Sebab, ia bilang kemarin Maya terkena penyakit yang sama denganku, urat saraf kejepit.Meskipun melalui sambungan telepon, aku paham betul, Bu Dwi sedang menangis di seberang sana."Maaf, Bu. Apa penyakit urat saraf kejepit itu rekayasa? Supaya Ibu berpikir itu karma atau bagaimana?" tanya mamaku antusias. Ya, mama salah satu orang yang penasaran dengan pernyataan Bu Dwi yang sempat tertunda."Jadi Maya yang meminta merahasiakan penyakitnya dari kamu, Ra. Ia tidak ingin dikasihani olehmu. Tapi sejujurnya, rasa kemanusiaan Maya sangat tinggi, ia tetap me

Bab terbaru

  • Anak Kecil yang Memanggil Suamiku Ayah di Mall   Bab 25

    Tiba-tiba team medis yang menangani Mas Haviz keluar. Dokter menghampiri kami semua."Dok, bagaimana suami saya?" Mata Anggi mendadak menyorotku ketika aku menyebut ayahnya adalah suamiku."Alhamdulilah, operasi berjalan lancar, setelah observasi enam jam, pasien akan masuk ke ruangan rawat inap," jawab dokter seketika membuatku dan keluarga bernapas lega."Terima kasih, Dok," ucapku sambil memeluk Anggi.Lalu Dhea menghampiri, ia ikut mendekatiku dan Anggi. "Anggi, wanita ini mengaku-ngaku istri ayahmu loh, kuburan ibumu masih basah," celetuk Dhea."Kan Tante Ara memang akan jadi mamaku," sahut Anggi.Kemudian, aku memutuskan tidak meladeninya. Namun, aku curiga ketika Dhea mendapatkan telepon masuk, ia menjauh dari kami. Akhirnya aku coba ikuti langkahnya.Dhea mengangkat telepon di balik pembatas dinding rumah sakit, aku coba menempelkan telinga ini untuk menguping pembicaraan."Makasih ya, Toni, sopir truk yang kamu kirim kerjanya bagus, tapi sayangnya orang yang kuincar tidak ter

  • Anak Kecil yang Memanggil Suamiku Ayah di Mall   Bab 24

    "Bu, ayo Bu kita ke rumah sakit! Kasihan anaknya khawatir ada luka dalam!" ajak salah satu petugas kepolisian yang melihatku berdiri tertegun menyorot Dhea."Iya, Pak." Aku menjawabnya sambil ikut masuk ke dalam ambulance yang sudah ada Mas Haviz terbaring lemah.Wajah Mas Haviz keluar darah segar, sepertinya ada benturan di bagian rahang pipinya. Tangan dan kaki sebelah kanan masih utuh tapi tidak tahu kondisi dalamnya seperti apa, sebab posisi Mas Haviz terjepit pintu yang diserempet oleh truk."Tante, Ayah baik-baik saja, kan?" tanya Anggi. Aku terdiam, ia pasti trauma setelah kehilangan dua orang sekaligus dalam satu hari."Anggi doakan saja, ya. Semoga Ayah baik-baik saja." Aku mengelus-elus rambut bocah yang sedang memegang tangan ayahnya.Suara ambulance mengingatkanku pada peristiwa empat tahun silam. Dimana saat itu kondisiku sakit tak berdaya. Mas Haviz begitu panik ketika almarhumah mertua mengabarkan bahwa aku tidak mampu berjalan. Ia menghubungi ambulance khawatir Mas Hav

  • Anak Kecil yang Memanggil Suamiku Ayah di Mall   Bab 23

    "Ara ada di sini?" Mas Haviz bertanya dengan senyum semringah. Kemudian, Anggi diajak turun oleh Mas Haviz. Ketika Anggi turun, ia tidak seperti biasanya, menyergap lalu memelukku, yang dilakukan Anggi justru menunduk sambil berjalan ke arahku dengan wajah sendu.Perlahan langkahnya lama-lama mendekatiku. Kemudian ia menyodorkan tangannya yang memegang sekuntum bunga mawar merah."Loh, biasanya mawar putih, kenapa sekarang mawar merah?" tanya diiringi dengan senyum, namun Anggi tak juga menyunggingkan senyuman dari bibirnya."Tante, ini bunga terakhir untuk Tante, mawar berduri," celetuknya. Aku meraih bunga mawar yang ia berikan, setelah itu menatap wajah anak dari Mas Haviz dan istri sirinya, lalu menyorotnya sambil tersenyum, dan aku memeluknya erat.Responnya masih datar, ia tak kunjung menyunggingkan senyuman."Tante kenapa meluk aku? Bukankah Tante sudah tidak mau bertemu lagi dengan anak haram?" Astaga, anak ini dapat kata-kata itu dari mana?Aku tercengang mendengar penuturan

  • Anak Kecil yang Memanggil Suamiku Ayah di Mall   Bab 22

    "Tante, aku ingin tinggal dengan Tante Ara," lirihnya membuatku berkaca-kaca. Anak ini tidak paham siapa aku, jika ia tinggal bersamaku, sama saja aku menyiksa diri. Meskipun ia tidak salah apa-apa, tapi wajahnya mengingatkanku pada masa lalu."Anggi, Tante nggak bisa, maafin Tante, ya," ucapku padanya. Kemudian, aku masuk ke kamar dan mengunci pintu rapat-rapat.Kudengar suara tangisannya, ada rasa tidak tega bersemayam di dalam dada. Namun, aku tidak ingin menjilat ludahku sendiri. Ya, aku pernah berjanji akan meninggalkan Mas Haviz, dan tidak mungkin aku menarik perkataanku itu hanya karena kasihan kepadanya.Satu-satunya cara adalah tidak menemui anak itu untuk sementara waktu, agar iba dan belas kasih tidak muncul dalam benakku.Mama mengetuk pintu, ia izin untuk masuk dan bicara denganku. Mama duduk di sebelahku."Sudah pulang, Mah?" tanyaku saat mama duduk. Ia mengangguk, lalu aku tersenyum agak sedih."Mama tahu perasaan kamu, pasti teringat perbuatan Haviz padamu," ujar mama.

  • Anak Kecil yang Memanggil Suamiku Ayah di Mall   Bab 21

    "Apa-apaan kamu, Dhea! Sudahlah jangan menambah kesedihan Mama!" sentak Bu Dwi pada anaknya."Mah, kenapa sih Mama pilih kasih? Sewaktu Maya masih hidup, ia meminta untuk jadi suaminya Haviz diizinkan, padahal mereka sudah sebar undangan," sungut Dhea menjadikan pernikahan Maya suatu alasan."Cukup Dhea, cukup!" Bu Dwi pun berlalu pergi ke kamarnya.Kemudian, aku dan mama hendak pamit, supaya tidak menambah masalah dan kesedihan Bu Dwi. Namun, Anggi mencegahku untuk pergi. Ia merengek agar aku tetap berada di sampingnya.Akhirnya aku putuskan untuk menunggu Anggi tidur siang, setelah itu barulah kami berdua kembali ke kampung. Sambil mengelus-elus rambut dan punggung Anggi, aku dan mama tiba-tiba kepikiran dengan berkas yang telah kumasukkan ke pengadilan agama."Bagaimana dengan berkas kamu? Apa mau dicabut?" tanya mama, aku hanya bisa terdiam. "Cabut saja ya," suruhnya lagi."Kita bicarakan ini nanti, Mah. Sekarang lebih baik kita bersiap-siap pulang ke kampung, kasihan Papa, mungk

  • Anak Kecil yang Memanggil Suamiku Ayah di Mall   Bab 20

    "Anggi, aku juga Tante kamu, kenalkan ya, aku Tante Dhea." Dia memperkenalkan diri pada Anggi. Jadi namanya Dhea, entah apa hubungannya dengan Maya."Aku nggak kenal sama Tante, kata Mama, jangan dekat-dekat orang yang tidak dikenal," ucap Anggi. Lalu ia pindah ke dekatku. Aku tersenyum tipis, lalu menggandeng tangan kecil Anggi ke depan. Ya, proses pemakaman akan segera dilaksanakan. Nanti aku akan menanyakan siapa wanita tadi setelah pemakaman selesai.Kami berangkat dengan hati pilu, gerombolan orang yang serempak mengenakan baju hitam pekat pun mulai mengiringi jalannya jenazah untuk masuk ke ambulance.Tangisan Bu Dwi pecah, ia seakan tidak sanggup mengantarkan jenazah Maya. Namun, mamaku berusaha menguatkannya.Mobil beriringan menuju pemakaman yang katanya berjarak sekitar 7 kilo meter. "Yah, wanita tadi itu siapa ya, Yah? Yang mengaku Tante," tanya Anggi dengan polosnya. Mas Haviz yang menyupir mobil pun menoleh sedikit ke arahku seraya mempertanyakan padaku."Iya, Mas. Tadi

  • Anak Kecil yang Memanggil Suamiku Ayah di Mall   Bab 19

    "May, kamu baik-baik saja, kan?" tanyaku sulit melihatnya, sebab ada kepala Maya yang bersandar di bahuku. Kemudian, Anggi yang mendengar melihat ke arah mamanya."Mama bobo, Tante, nyenyak sekali Mama bobonya," sahut Anggi.Perasaanku mulai tak karuan, aku punya firasat buruk dengan kondisi Maya. Mama yang sederetan denganku pun menoleh."Iya tidur," celetuknya. Aku mau suruh mama cek napasnya khawatir membuat Mas Haviz panik, jadi diam-diam aku memeriksa denyut nadi tangannya.Aku raba lalu kucermati denyutannya, tapi tidak ada denyutan sedikitpun. Astaga, apa Maya juga telah ...."Mas, coba berhenti sebentar, ya," suruhku tapi berusaha tenang, supaya mereka semua tidak panik.Kemudian, setelah memastikan mobil berhenti. Mamanya Maya langsung turun dan buka pintu belakang. Sepertinya ia curiga sejak tadi aku bertanya pada Maya namun tak dijawabnya."Maaf, Bu. Saya mau lihat kondisi Maya," ucapnya."Bu Dwi, sepertinya Maya sudah nggak ada, tadi setelah ada suara seperti cegukan, ia t

  • Anak Kecil yang Memanggil Suamiku Ayah di Mall   Bab 18

    Kami keluar lagi, tapi hanya selang beberapa menit saja dokter memanggil kembali. Kali ini dokter menyampaikan bahwa Mama Yuni sudah mengembuskan napas terakhirnya."Pak, Bu, maaf, ternyata Allah berkehendak lain, Ibu Anda telah meninggal dunia barusan, sekali lagi kami team dokter minta maaf sebesar-besarnya, Bu Yuni tadi menolak ditransfusikan darahnya dan hanya berpesan pada saya sampaikan minta maafnya pada Ara," tutur dokter membuat Mas Haviz menghela napas panjang. Kemudian ia memukuli tembok dengan amat menyesalnya."Mah, maafin Haviz, seandainya Haviz yang mengantarkan Mama, tentu takkan terjadi seperti ini," keluhnya dengan penuh penyesalan.Aku mendekati Mas Haviz. Posisiku berdiri tepat di belakangnya. Kemudian, tangan ini memegang pundaknya yang kini rapuh, orang tua satu-satunya kini pergi meninggalkan dirinya.Kudengar suara isak tangis yang keluar dari arah Mas Haviz, setegar-tegarnya lelaki, jika ibunya yang meninggalkan dirinya, tentu akan sangat kehilangan. "Mas, ak

  • Anak Kecil yang Memanggil Suamiku Ayah di Mall   Bab 17

    "Maya sakit?" tanya mama."Bukan, Mah. Mama Yuni kecelakaan, ini minta tolong sama aku untuk jemput Ara, ia mau bicara pada Ara," ucap Mas Haviz terdengar sangat panik.Aku yang mendengar kabar mertuaku kecelakaan sontak terkejut. Meskipun ia selalu bersikeras untuk menjodohkan Mas Haviz dengan orang lain. Namun, ia dulu sempat merawatku ketika sakit. Makan dan minum ia layani meskipun dengan disertai ocehan yang kadang tak enak didengar."Ya, Mas, jemput aku segera ya," sahutku menyambar ketika ada kabar. Telepon pun terputus. Mama tersenyum tipis melihat wajahku. Matanya berkaca-kaca seraya sedih menatapku. "Kenapa, Mah? Kok mandang aku seperti itu?" tanyaku dengan mata menyipit."Mama salut denganmu, Ra. Begitu hormatnya kamu pada mertua, semoga jadi pahala untukmu," tutur mama sedikit sendu."Mah, kalau pada orang tua, aku selalu ingat orang tua kandungku, meskipun aku ini anak satu-satunya, dan tidak mungkin Mama melakukan hal seperti Mama Yuni, tapi tidak tega saja kalau itu te

DMCA.com Protection Status