Saat menerima uang bulanan dari ayahku, aku sedang berada di lapangan berdiskusi dengan teman sekamarku untuk makan di luar.Kondisi keluargaku cukup baik, dan uang bulanan yang kuterima selalu dalam jumlah besar.Sebagai anggota organisasi mahasiswa yang sibuk, aku sering meminta teman sekamar membawakan makanan.Jadi kali ini, mereka menerima ajakanku untuk makan bersama dengan senang hati.Tak disangka, saat kami sedang asyik berbicara, seorang wanita berpakaian mencolok tiba-tiba berdiri di depanku dengan penuh kemarahan.Dia langsung merebut ponselku.Setelah memeriksa ponsel itu, dia mulai memaki dengan lantang, "Aku tahu Fendy pasti diam-diam memelihara wanita di luar sana! Ayo, bilang, berapa banyak uang yang sudah kamu ambil darinya?"Suaranya yang keras membuat banyak orang di lapangan berhenti dan melihat ke arah kami.Mendengar ucapannya, aku mengernyitkan dahi dalam-dalam.Fendy Limawan adalah nama ayahku.Beberapa waktu lalu, Ayah sudah bilang kalau dia telah menemukan se
Ketika aku membuka mata lagi, pemandangan putih bersih menyambut pandanganku.Seluruh tubuhku terasa sakit luar biasa, bahkan ada alat bantu pernapasan yang terpasang di wajahku.Melihatku mulai sadar, perawat yang entah sudah berapa lama berjaga di sisiku langsung berseru dengan gembira ke arah pintu, "Keluarga pasien di mana? Pasien sudah sadar!"Ternyata, setelah aku pingsan, aku dibawa ke rumah sakit.Awalnya, aku mengira Ayah yang membawaku ke sini.Aku menatap ke arah pintu dengan penuh harap.Namun, wanita yang masuk justru membuat darahku seperti mau membeku.Dia adalah ibu tiriku.Setelah beberapa jawaban singkat untuk mengusir perawat, dia menatapku lekat-lekat dengan cukup lama, kemudian menunjukkan senyum yang menyeramkan.Dia berkata, "Tak kusangka kamu memang benar anaknya Fendy. Terus kenapa? Aku akan segera jadi ibu tirimu. Membantu ayahmu memberi pelajaran padamu, rasanya itu bukan masalah, 'kan?'""Kamu 'kan perempuan, apa memang perlu uang saku sebanyak itu? Nanti ju
Ibu tiriku tidak tinggal terlalu lama. Karena merasa terganggu dengan bau disinfektan di rumah sakit, maka dia pergi.Sebelum pergi, dia tak lupa membawa semua perangkat komunikasi milikku.Mungkin dia khawatir aku akan menghubungi Ayah untuk mengadukan perbuatannya.Namun, meski licik, dia terlalu bodoh untuk menyadari satu hal.Dia tidak tahu bahwa rumah sakit menyediakan layanan telepon.Aku menekan tombol panggil, dan tak lama kemudian, sebuah telepon disiapkan di samping tempat tidurku. Aku segera menelepon nomor yang telah kuhapal luar kepala.Nada sambung berbunyi cukup lama sebelum akhirnya tersambung.Dari ujung telepon, terdengar suara seorang pria paruh baya yang dingin, dengan latar suara diskusi rapat yang samar-samar.Namun, begitu mendengar suara itu, air mataku langsung mengalir, dan dengan suara terbata-bata aku berkata, "Ayah ... aku di rumah sakit."Ayah segera mengenali suaraku. Dia terdengar sangat panik dan segera bertanya apa yang terjadi.Akan tetapi, terlalu ba
Melihat kami semua tertegun di tempat, ekspresi puas terlihat di wajah Ibu Tiri.Sambil menutupi perutnya yang belum terlihat membesar, dia berkata pada Ayah, "Sebenarnya aku belum berniat memberitahumu, tapi aku sudah minta orang untuk memeriksa. Katanya ini anak laki-laki. Sekarang keluarga Limawan tidak akan kekurangan penerus lagi."Mendengar itu, aku langsung mengernyit dalam-dalam.Secara refleks, aku menatap ke arah Ayah.Ayah terdiam sejenak, tidak memberiku kesempatan untuk berpikir lebih lama, lalu dengan tegas berkata, "Gugurkan saja, aku nggak akan mengakui anak ini.'"Kali ini, giliran Ibu Tiri yang tertegun.Setelah beberapa saat, dia menaikkan suaranya dengan nada tajam, dan berteriak, "Apa maksudmu! Fendy, kamu nggak mau bertanggung jawab?"Ayah hanya menggelengkan kepala dengan tegas, lalu berkata dengan serius, "Dari awal aku menikahimu hanya agar Maura nggak kekurangan kasih sayang ibu. Tapi kamu malah menyakitinya. Jadi sekarang aku nggak mungkin membiarkan kamu tin
Meskipun lukaku cukup parah, untungnya rumah sakit memberikan perawatan terbaik.Tak butuh waktu lama, akhirnya aku bisa kembali berkuliah.Meskipun keluargaku berkecukupan, aku tidak bisa menerima kenyataan kalau aku tidak mencapai apa-apa.Aku harus kembali ke kampus dan menyelesaikan pendidikanku.Melihat aku kembali dengan selamat, teman-teman sekamarku yang selama ini hanya bisa mengirim pesan penuh perhatian melalui ponsel akhirnya bisa bernapas lega.Hari-hariku berjalan seperti sebelum insiden dengan Susan terjadi.Namun, suatu hari, di lapangan olahraga, aku kembali melihat sosok yang tidak asing itu.Susan.Dia juga melihatku, lalu tanpa ragu melangkah cepat ke arahku.Aku langsung panik dan ingin segera pergi, tetapi sudah terlambat.Susan telah berdiri tepat di hadapanku.Teman-teman sekamarku segera berjaga-jaga, membentuk barisan di antara kami.Kami semua berpikir Susan akan kembali membuat masalah.Namun, tiba-tiba saja, dia berlutut di hadapanku dengan suara keras.Sam
Saat mendengar itu, aku langsung merasa marah.Namun, aku tetap berusaha menahan emosi dan berkata kepada pihak universitas, "Masalah ini bukan salahku. Bukankah sebelumnya ini terjadi karena kelalaian kampus membiarkan orang luar masuk, sampai aku bisa diserang?"Mendengar ucapanku, pihak sekolah malah tertawa tanpa rasa bersalah. "Bukankah kamu sudah sembuh? Lagi pula, ini menyangkut reputasi universitas. Masak kami harus memaksa seorang wanita hamil meminta maaf kepadamu?"Intinya, mereka memintaku untuk minta maaf kepadanya.Mendengar perkataan pihak universitas, aku tahu bahwa berbicara dengan mereka sudah tidak ada gunanya.Aku pun keluar dari ruangan tanpa basa-basi.Sampai di luar, aku melihat ayahku sudah menunggu di sana.Begitu melihatku, dia mengusap kepalaku dengan ekspresi lelah sambil menghela napas. "Maura, aku nggak tahu kalau Susan datang mengganggumu lagi .... Aku kira setelah aku menekannya dan membuat dia kehilangan pekerjaannya, dia akan pulang ke kampung halamann
"Dengar-dengar pihak universitas juga memintamu segera menyelesaikan masalah ini. Kalau nggak, mereka akan memaksamu untuk minta maaf padaku, 'kan?""Kusaranin, lebih baik kamu segera bicara baik-baik dengan ayahmu. Dengan begitu, kita masih bisa jadi keluarga. Kalau kamu sampai harus minta maaf, jangan harap aku akan memaafkanmu dengan mudah."Mendengar khayalan liarnya ini, aku nyaris tertawa terbahak-bahak.Sungguh nggak tahu diri, dari mana dia mendapatkan keberanian sebesar itu.Bagaimana mungkin dia masih mengira dirinya punya kekuatan untuk melawan Keluarga Limawan sekarang?Aku melakukan ini semua, hanya ingin tahu apakah dia benar-benar pernah pacaran dengan ayahku.Aku tidak mau memperkeruh keadaan terlalu jauh.Tapi jika dia tidak ingin menerima jalan keluar ini, jangan salahkan aku kalau aku tidak akan berbaik hati lagi.Aku malas meladeninya lebih lama lagi.Aku berdiri, mengambil tas, dan berniat pergi.Namun, tindakanku ini justru membuat Susan panik.Dia langsung menari
Dengan bantuan dari sekretaris, konferensi pers pun dengan cepat diselenggarakan melalui siaran langsung.Begitu aku muncul di depan kamera, layar ponsel yang menampilkan siaran langsung dipenuhi komentar negatif.Tanpa terkecuali, semuanya adalah caci maki terhadapku."Dia masih berani muncul? Benar-benar nggak tahu malu.""Apa kali ini dia mau pakai kekuasaan lagi buat menekan opini publik? Kami nggak akan tunduk pada kapitalisme!""Hah, siapa sangka, gadis yang kelihatannya baik-baik begini ternyata perbuatannya keji sekali."Aku tidak memperhatikan lagi semua komentar itu, lalu dengan lugas berkata, "Halo semuanya, aku Maura, orang yang menjadi pusat perbincangan di internet belakangan ini.""Tujuan diadakannya konferensi pers hari ini adalah untuk menjelaskan bahwa pemecatan Susan oleh perusahaan kami bukan tanpa alasan. Dia pernah melakukan kekerasan terhadap aku."Begitu kata-kataku selesai, ruangan itu langsung hening sejenak.Setelahnya, keributan mulai terdengar di seluruh ru
Di antara kerumunan, aku melihat sosok yang sangat kukenali.Itu adalah ayahku.Begitu melihatku, dia langsung menghela napas lega dan berlari mendekat, memelukku dengan erat.Suaranya penuh dengan kebahagiaan setelah melewati bahaya. "Syukurlah, Maura, aku senang kamu nggak apa-apa. Kalau nggak, aku nggak tahu harus bagaimana."Merasakan pelukan hangat ini, aku merasa jauh lebih tenang.Namun, aku masih merasa bingung dan bertanya, "Ayah, bagaimana Ayah tahu aku ada di sini?"Ayah mengusap kepalaku dengan lembut dan menjawab, "Setelah kamu pergi, aku juga menemukan bahwa Susanlah yang mencuri rahasia perusahaan. Kebetulan mobil di garasi nggak ada, jadi aku menduga kamu pergi mencarinya sendirian.""Anakku ini, kenapa sih nggak lebih hati-hati dengan keselamatanmu?"Mendengar kata-kata Ayah, aku merasa agak malu, tapi tetap berkata keras, "Bukan begitu, tapi karena aku tahu Ayah masih punya sedikit perasaan terhadap Susan. Aku takut hati Ayah akan melunak."Begitu mendengar kata-katak
Untungnya, jurusan yang aku ambil adalah manajemen.Mengatur urusan perusahaan bukanlah hal yang sulit bagiku.Aku segera menemukan akar permasalahannya.Data ini dibawa pergi oleh salah satu karyawan yang baru berhenti bekerja.Dan satu-satunya karyawan yang baru saja berhenti hanyalah Susan, yang dipecat.Aku menatap Ayah dengan tatapan rumit, berpikir sejenak, lalu memutuskan untuk tidak memberitahunya tentang hal ini.Aku pergi sendirian mengendarai mobil untuk menemui Susan.Setelah insiden di konferensi pers, Susan kehilangan tempat di kota ini.Jangankan bicara tentang perusahaan besar, bahkan supermarket pun enggan menerimanya sebagai pekerja paruh waktu.Tidak ada pilihan lain, Susan terpaksa kembali ke kampung halamannya di desa.Aku menemukan alamatnya dari arsip karyawan dan menyetir sendirian menuju rumahnya.Sebelum aku sempat masuk ke dalam, aku sudah mendengar suara teriakan Susan yang memilukan.Kudengar dia berteriak dengan terbata-bata, "Ayah! Ibu! Jangan pukul aku l
Dengan bantuan dari sekretaris, konferensi pers pun dengan cepat diselenggarakan melalui siaran langsung.Begitu aku muncul di depan kamera, layar ponsel yang menampilkan siaran langsung dipenuhi komentar negatif.Tanpa terkecuali, semuanya adalah caci maki terhadapku."Dia masih berani muncul? Benar-benar nggak tahu malu.""Apa kali ini dia mau pakai kekuasaan lagi buat menekan opini publik? Kami nggak akan tunduk pada kapitalisme!""Hah, siapa sangka, gadis yang kelihatannya baik-baik begini ternyata perbuatannya keji sekali."Aku tidak memperhatikan lagi semua komentar itu, lalu dengan lugas berkata, "Halo semuanya, aku Maura, orang yang menjadi pusat perbincangan di internet belakangan ini.""Tujuan diadakannya konferensi pers hari ini adalah untuk menjelaskan bahwa pemecatan Susan oleh perusahaan kami bukan tanpa alasan. Dia pernah melakukan kekerasan terhadap aku."Begitu kata-kataku selesai, ruangan itu langsung hening sejenak.Setelahnya, keributan mulai terdengar di seluruh ru
"Dengar-dengar pihak universitas juga memintamu segera menyelesaikan masalah ini. Kalau nggak, mereka akan memaksamu untuk minta maaf padaku, 'kan?""Kusaranin, lebih baik kamu segera bicara baik-baik dengan ayahmu. Dengan begitu, kita masih bisa jadi keluarga. Kalau kamu sampai harus minta maaf, jangan harap aku akan memaafkanmu dengan mudah."Mendengar khayalan liarnya ini, aku nyaris tertawa terbahak-bahak.Sungguh nggak tahu diri, dari mana dia mendapatkan keberanian sebesar itu.Bagaimana mungkin dia masih mengira dirinya punya kekuatan untuk melawan Keluarga Limawan sekarang?Aku melakukan ini semua, hanya ingin tahu apakah dia benar-benar pernah pacaran dengan ayahku.Aku tidak mau memperkeruh keadaan terlalu jauh.Tapi jika dia tidak ingin menerima jalan keluar ini, jangan salahkan aku kalau aku tidak akan berbaik hati lagi.Aku malas meladeninya lebih lama lagi.Aku berdiri, mengambil tas, dan berniat pergi.Namun, tindakanku ini justru membuat Susan panik.Dia langsung menari
Saat mendengar itu, aku langsung merasa marah.Namun, aku tetap berusaha menahan emosi dan berkata kepada pihak universitas, "Masalah ini bukan salahku. Bukankah sebelumnya ini terjadi karena kelalaian kampus membiarkan orang luar masuk, sampai aku bisa diserang?"Mendengar ucapanku, pihak sekolah malah tertawa tanpa rasa bersalah. "Bukankah kamu sudah sembuh? Lagi pula, ini menyangkut reputasi universitas. Masak kami harus memaksa seorang wanita hamil meminta maaf kepadamu?"Intinya, mereka memintaku untuk minta maaf kepadanya.Mendengar perkataan pihak universitas, aku tahu bahwa berbicara dengan mereka sudah tidak ada gunanya.Aku pun keluar dari ruangan tanpa basa-basi.Sampai di luar, aku melihat ayahku sudah menunggu di sana.Begitu melihatku, dia mengusap kepalaku dengan ekspresi lelah sambil menghela napas. "Maura, aku nggak tahu kalau Susan datang mengganggumu lagi .... Aku kira setelah aku menekannya dan membuat dia kehilangan pekerjaannya, dia akan pulang ke kampung halamann
Meskipun lukaku cukup parah, untungnya rumah sakit memberikan perawatan terbaik.Tak butuh waktu lama, akhirnya aku bisa kembali berkuliah.Meskipun keluargaku berkecukupan, aku tidak bisa menerima kenyataan kalau aku tidak mencapai apa-apa.Aku harus kembali ke kampus dan menyelesaikan pendidikanku.Melihat aku kembali dengan selamat, teman-teman sekamarku yang selama ini hanya bisa mengirim pesan penuh perhatian melalui ponsel akhirnya bisa bernapas lega.Hari-hariku berjalan seperti sebelum insiden dengan Susan terjadi.Namun, suatu hari, di lapangan olahraga, aku kembali melihat sosok yang tidak asing itu.Susan.Dia juga melihatku, lalu tanpa ragu melangkah cepat ke arahku.Aku langsung panik dan ingin segera pergi, tetapi sudah terlambat.Susan telah berdiri tepat di hadapanku.Teman-teman sekamarku segera berjaga-jaga, membentuk barisan di antara kami.Kami semua berpikir Susan akan kembali membuat masalah.Namun, tiba-tiba saja, dia berlutut di hadapanku dengan suara keras.Sam
Melihat kami semua tertegun di tempat, ekspresi puas terlihat di wajah Ibu Tiri.Sambil menutupi perutnya yang belum terlihat membesar, dia berkata pada Ayah, "Sebenarnya aku belum berniat memberitahumu, tapi aku sudah minta orang untuk memeriksa. Katanya ini anak laki-laki. Sekarang keluarga Limawan tidak akan kekurangan penerus lagi."Mendengar itu, aku langsung mengernyit dalam-dalam.Secara refleks, aku menatap ke arah Ayah.Ayah terdiam sejenak, tidak memberiku kesempatan untuk berpikir lebih lama, lalu dengan tegas berkata, "Gugurkan saja, aku nggak akan mengakui anak ini.'"Kali ini, giliran Ibu Tiri yang tertegun.Setelah beberapa saat, dia menaikkan suaranya dengan nada tajam, dan berteriak, "Apa maksudmu! Fendy, kamu nggak mau bertanggung jawab?"Ayah hanya menggelengkan kepala dengan tegas, lalu berkata dengan serius, "Dari awal aku menikahimu hanya agar Maura nggak kekurangan kasih sayang ibu. Tapi kamu malah menyakitinya. Jadi sekarang aku nggak mungkin membiarkan kamu tin
Ibu tiriku tidak tinggal terlalu lama. Karena merasa terganggu dengan bau disinfektan di rumah sakit, maka dia pergi.Sebelum pergi, dia tak lupa membawa semua perangkat komunikasi milikku.Mungkin dia khawatir aku akan menghubungi Ayah untuk mengadukan perbuatannya.Namun, meski licik, dia terlalu bodoh untuk menyadari satu hal.Dia tidak tahu bahwa rumah sakit menyediakan layanan telepon.Aku menekan tombol panggil, dan tak lama kemudian, sebuah telepon disiapkan di samping tempat tidurku. Aku segera menelepon nomor yang telah kuhapal luar kepala.Nada sambung berbunyi cukup lama sebelum akhirnya tersambung.Dari ujung telepon, terdengar suara seorang pria paruh baya yang dingin, dengan latar suara diskusi rapat yang samar-samar.Namun, begitu mendengar suara itu, air mataku langsung mengalir, dan dengan suara terbata-bata aku berkata, "Ayah ... aku di rumah sakit."Ayah segera mengenali suaraku. Dia terdengar sangat panik dan segera bertanya apa yang terjadi.Akan tetapi, terlalu ba
Ketika aku membuka mata lagi, pemandangan putih bersih menyambut pandanganku.Seluruh tubuhku terasa sakit luar biasa, bahkan ada alat bantu pernapasan yang terpasang di wajahku.Melihatku mulai sadar, perawat yang entah sudah berapa lama berjaga di sisiku langsung berseru dengan gembira ke arah pintu, "Keluarga pasien di mana? Pasien sudah sadar!"Ternyata, setelah aku pingsan, aku dibawa ke rumah sakit.Awalnya, aku mengira Ayah yang membawaku ke sini.Aku menatap ke arah pintu dengan penuh harap.Namun, wanita yang masuk justru membuat darahku seperti mau membeku.Dia adalah ibu tiriku.Setelah beberapa jawaban singkat untuk mengusir perawat, dia menatapku lekat-lekat dengan cukup lama, kemudian menunjukkan senyum yang menyeramkan.Dia berkata, "Tak kusangka kamu memang benar anaknya Fendy. Terus kenapa? Aku akan segera jadi ibu tirimu. Membantu ayahmu memberi pelajaran padamu, rasanya itu bukan masalah, 'kan?'""Kamu 'kan perempuan, apa memang perlu uang saku sebanyak itu? Nanti ju