Begitu Narumi tiba di Cafe Art, matanya langsung menangkap sosok Larry yang berdiri di dekat pintu masuk. Namun, Siska tidak ada di sana. Rasa kecewa menyelinap di hati Narumi, meski ia berusaha menyembunyikannya. “Ikuti aku. Jangan bicara di tempat terbuka!” kata Larry dengan nada dingin sambil menatap tajam.Narumi mengerutkan dahi, merasa bingung sekaligus terganggu. Bukankah dia sendiri yang memilih tempat ini untuk bertemu? pikirnya. Jika Larry tidak ingin berbicara di tempat terbuka, mengapa memilih kafe yang ramai seperti ini? Namun, ia menahan diri untuk tidak membalas perkataan pria itu.Narumi menarik napas dalam untuk menenangkan dirinya, lalu mengikuti langkah Larry yang tampak terburu-buru. Pria itu bahkan berjalan cepat, nyaris tidak memedulikan Narumi yang harus mempercepat langkahnya agar tidak tertinggal. Kemudian, mereka melewati kerumunan pengunjung dan pelayan hingga akhirnya tiba di sebuah ruangan besar di bagian belakang kafe.Ruangan itu terlihat privat, pin
Langit yang semula cerah tiba-tiba berubah mendung. Awan gelap menggantung berat, dan hujan turun deras tanpa peringatan, seakan menandakan sesuatu yang buruk. Narumi tetap di tempatnya, tubuhnya gemetar di bawah guyuran hujan. Tangannya meremas tanah makam Siska, dan isakannya tertahan dalam tenggorokannya.“Bagaimana Siska bisa meninggal?” tanyanya lirih, suaranya hampir tenggelam oleh derasnya hujan.Kilatan petir menyambar, mengisi keheningan yang terasa begitu menyesakkan. Larry tidak menjawab. Sebaliknya, ia mengeluarkan sesuatu dari saku jaketnya dan melemparkannya ke depan batu nisan Siska. Benda itu jatuh dengan suara pelan, tapi cukup untuk menarik perhatian Narumi.“Hanya pemiliknya yang tahu bagaimana kekasihku meninggal,” ucap Larry dingin.Narumi terdiam, matanya tertuju pada benda kecil di tanah. Sebuah kancing. Matanya membulat saat menyadari sesuatu. Ia mengenali kancing itu, kancing dari mantel yang sering ia pakai. Tangannya yang gemetar perlahan mengambil benda
“Apa yang kamu katakan, Na?” suara Karin tiba-tiba memecah keheningan, mengambil alih pembicaraan. Wanita itu berdiri dari tempatnya dan mendekati Narumi dengan ekspresi yang penuh kemarahan. “Jangan asal tuduh!”Narumi menatap Karin dengan mata cokelatnya yang menyala tajam. Tatapan itu berbicara lebih banyak daripada kata-kata, menyalurkan amarah dan ketegasan yang tak bisa diganggu gugat. “Aku tidak asal menuduh,” balasnya dingin, nada suaranya penuh dengan keyakinan. “Lagi pula, aku tidak bertanya padamu.”Langkah Narumi maju, memaksa Karin untuk tetap diam di tempat. Ia berdiri begitu dekat hingga hampir tidak ada jarak di antara mereka. “Keluarlah dari ruangan ini,” ucapnya lugas, menyingkirkan Karin dengan nada perintah.Mata Karin membelalak, dan sudut bibirnya sedikit bergetar. Ia tampak terkejut namun tidak mau mengalah. “Aku tidak mau keluar!” sergahnya, mengepalkan tangannya dengan erat. “Seharusnya kamulah yang keluar! Apa kamu tidak berkaca bagaimana penampilanmu saa
Tak lama setelah Ardiaz memutuskan lamunannya, dering ponsel memecah keheningan di ruangan. Dengan cepat, ia menerima panggilan itu, menempelkan perangkat ke telinganya. Suara seseorang di ujung telepon segera terdengar.[Bos, Nona Narumi ada di pinggir pantai saat ini.]Mendengar laporan itu, senyum kecil muncul di sudut bibir Ardiaz. “Bagus, awasi terus gerak-geriknya. Laporkan jika ada yang mencurigakan.” Nada suaranya terdengar tegas dan penuh kendali. Setelah memberikan instruksi singkat, ia memutuskan panggilan secara sepihak tanpa menunggu respons lebih lanjut.Ardiaz kembali menatap langit yang cerah melalui jendela besar di kantornya. Tanpa menoleh, ia memanggil nama seseorang. “Julita.”Pintu ruangan terbuka, dan seorang wanita berpakaian merah dengan penampilan mencolok masuk dengan langkah anggun. Senyum genit menghiasi wajahnya. “Ya, Pak?” jawab Julita dengan nada lembut namun menggoda.“Reschedule semua meeting saya hari ini,” perintahnya tegas. “Meeting dengan Pak S
Suara Ardiaz mengalir begitu tenang, namun sorot matanya yang tajam, menuntut penjelasan, membuat Narumi tersentak. Sejenak ia hanya diam, mencari keberanian untuk membuka mulut. Pikiran Narumi berkecamuk, mencari cara yang tepat untuk menjawab.Sampai ia menunduk, matanya terpaku pada kancing di tangannya, lalu memutar-mutar benda kecil itu, seolah berharap menemukan jawaban di dalamnya. “Larry bilang, jika kancing ini adalah jawaban atas kematian Siska. Lalu aku menyimpulkan… kalau kancing ini ditemukan di dekat tempat kejadian.”Keheningan kembali menyelimuti mereka. Angin pantai berembus dingin, tetapi Ardiaz bergeming. Tatapannya tetap tajam, menuntut penjelasan lebih jauh.“Kancing ini sama persis dengan yang ada di mantelku. Itu sudah cukup, jadi alasan buat menuduhku sebagai pelaku.” lanjut Narumi, suaranya pelan namun jelas.“Dari mantelmu?” ulang Ardiaz, tatapannya berpindah ke kancing di tangan Narumi. “Tapi, bagaimana kancing itu bisa sampai di sana?”Narumi menggeleng p
“Na, aku hamil. Kata dokter, usia kandunganku sudah 8 minggu.” Ucapan wanita di depannya menghentikan tangan Narumi yang hendak menyesap teh. Jantungnya berdebar kencang dengan perasaan campur aduk. Jadi, inilah alasan sahabatnya itu bersikeras untuk datang ke rumahnya di pagi hari. Sepersekian detik, wajah Narumi diam tanpa ekspresi. Ia bingung, apakah harus memberikan ucapan selamat, atau menunjukkan rasa irinya? Bagaimana tidak, selama ini, Narumi lah yang selalu mendambakan kehamilan. Pernikahannya yang telah berjalan selama 3 tahun bersama sang suami tetap tak membuahkan anak. Tapi tiba-tiba, justru Karin lah yang mengandung terlebih dahulu. “Kamu hamil?” Suhita, ibu mertua Narumi tiba-tiba memecah keheningan, suaranya melengking gembira. “Karin, ini sungguh berita yang luar biasa!” Ia lantas bangkit, memeluk Karin erat. Tak menggubris Narumi yang masih terkejut dengan berita yang baru didengarnya. Selama ini, Karin memang dekat dengan keluarga suaminya, karena Narumi,
“Cerai...” Perkataan tersebut mengantung di udara dari pria itu. Narumi tahu, kalimatnya bagaikan badai yang siap menyapu setiap orang di sana. Tetapi, kalimat itu adalah simbol penegasan jika saat ini ia benar-benar sudah mati rasa. Udara di gazebo kian membeku, menyisakan ketegangan yang nyaris bisa disentuh dengan tangan telanjang. Karin, mata bulat yang kini terbelalak lebar, menatap tak percaya. “Na...” Wajahnya yang biasanya berseri kini pucat pasi, “Kamu serius dengan ucapanmu?” Suaranya nyaris tak terdengar, seakan tertelan oleh ketegangan yang menyelimuti ruangan. Narumi membalas tatapan Karin dengan sorot mata yang tak tergoyahkan. Namun, ada kekecewaan yang berkecamuk di netra cokelatnya. “Tak ada yang lebih serius dari ini, Rin,” ucapnya tegas, meski setiap kata terasa berat, “Aku mundur. Selamat atas pilihanmu.” “T-Tapi Na,” Kepanikan mulai merambat di wajah Karin. Matanya bergerak liar, mencari secercah harapan atas situasinya. “Bagaimana dengan Papa? Dia...”
Keheningan mengambang di udara seperti kabut malam yang enggan beranjak dari aspal. Narumi merasakan dentuman jantungnya sendiri. Empat bulan perjuangan untuk mempertahankan pendiriannya luruh dalam sekejap oleh satu kalimat yang baru saja meluncur dari bibirnya. Lalu, suara berat dan dalam milik Bramastyo kembali memenuhi gendang telinga Narumi. [Bagus, kapan kamu akan kembali? Apa perlu dijemput?] Narumi menelan ludah dengan susah payah, kepalanya refleks menggeleng pelan meski sang ayah tak dapat melihatnya. “Tidak perlu, Pa,” tolaknya cepat, suaranya sedikit bergetar saat berusaha mempertahankan sisa-sisa kemandirian yang masih ia miliki. “Aku... akan datang dengan kakiku sendiri.” [Baiklah, Papa tunggu kamu di rumah.] “Mm,” hanya itu yang mampu Narumi gumamkan, lidahnya terasa kelu untuk mengucapkan kata-kata lain. [Putriku, selamat datang kembali.] Kata-kata terakhir sang Ayah sebelum sambungan terputus bagaikan anak panah yang menembus pertahanan Narumi. Ia me
Suara Ardiaz mengalir begitu tenang, namun sorot matanya yang tajam, menuntut penjelasan, membuat Narumi tersentak. Sejenak ia hanya diam, mencari keberanian untuk membuka mulut. Pikiran Narumi berkecamuk, mencari cara yang tepat untuk menjawab.Sampai ia menunduk, matanya terpaku pada kancing di tangannya, lalu memutar-mutar benda kecil itu, seolah berharap menemukan jawaban di dalamnya. “Larry bilang, jika kancing ini adalah jawaban atas kematian Siska. Lalu aku menyimpulkan… kalau kancing ini ditemukan di dekat tempat kejadian.”Keheningan kembali menyelimuti mereka. Angin pantai berembus dingin, tetapi Ardiaz bergeming. Tatapannya tetap tajam, menuntut penjelasan lebih jauh.“Kancing ini sama persis dengan yang ada di mantelku. Itu sudah cukup, jadi alasan buat menuduhku sebagai pelaku.” lanjut Narumi, suaranya pelan namun jelas.“Dari mantelmu?” ulang Ardiaz, tatapannya berpindah ke kancing di tangan Narumi. “Tapi, bagaimana kancing itu bisa sampai di sana?”Narumi menggeleng p
Tak lama setelah Ardiaz memutuskan lamunannya, dering ponsel memecah keheningan di ruangan. Dengan cepat, ia menerima panggilan itu, menempelkan perangkat ke telinganya. Suara seseorang di ujung telepon segera terdengar.[Bos, Nona Narumi ada di pinggir pantai saat ini.]Mendengar laporan itu, senyum kecil muncul di sudut bibir Ardiaz. “Bagus, awasi terus gerak-geriknya. Laporkan jika ada yang mencurigakan.” Nada suaranya terdengar tegas dan penuh kendali. Setelah memberikan instruksi singkat, ia memutuskan panggilan secara sepihak tanpa menunggu respons lebih lanjut.Ardiaz kembali menatap langit yang cerah melalui jendela besar di kantornya. Tanpa menoleh, ia memanggil nama seseorang. “Julita.”Pintu ruangan terbuka, dan seorang wanita berpakaian merah dengan penampilan mencolok masuk dengan langkah anggun. Senyum genit menghiasi wajahnya. “Ya, Pak?” jawab Julita dengan nada lembut namun menggoda.“Reschedule semua meeting saya hari ini,” perintahnya tegas. “Meeting dengan Pak S
“Apa yang kamu katakan, Na?” suara Karin tiba-tiba memecah keheningan, mengambil alih pembicaraan. Wanita itu berdiri dari tempatnya dan mendekati Narumi dengan ekspresi yang penuh kemarahan. “Jangan asal tuduh!”Narumi menatap Karin dengan mata cokelatnya yang menyala tajam. Tatapan itu berbicara lebih banyak daripada kata-kata, menyalurkan amarah dan ketegasan yang tak bisa diganggu gugat. “Aku tidak asal menuduh,” balasnya dingin, nada suaranya penuh dengan keyakinan. “Lagi pula, aku tidak bertanya padamu.”Langkah Narumi maju, memaksa Karin untuk tetap diam di tempat. Ia berdiri begitu dekat hingga hampir tidak ada jarak di antara mereka. “Keluarlah dari ruangan ini,” ucapnya lugas, menyingkirkan Karin dengan nada perintah.Mata Karin membelalak, dan sudut bibirnya sedikit bergetar. Ia tampak terkejut namun tidak mau mengalah. “Aku tidak mau keluar!” sergahnya, mengepalkan tangannya dengan erat. “Seharusnya kamulah yang keluar! Apa kamu tidak berkaca bagaimana penampilanmu saa
Langit yang semula cerah tiba-tiba berubah mendung. Awan gelap menggantung berat, dan hujan turun deras tanpa peringatan, seakan menandakan sesuatu yang buruk. Narumi tetap di tempatnya, tubuhnya gemetar di bawah guyuran hujan. Tangannya meremas tanah makam Siska, dan isakannya tertahan dalam tenggorokannya.“Bagaimana Siska bisa meninggal?” tanyanya lirih, suaranya hampir tenggelam oleh derasnya hujan.Kilatan petir menyambar, mengisi keheningan yang terasa begitu menyesakkan. Larry tidak menjawab. Sebaliknya, ia mengeluarkan sesuatu dari saku jaketnya dan melemparkannya ke depan batu nisan Siska. Benda itu jatuh dengan suara pelan, tapi cukup untuk menarik perhatian Narumi.“Hanya pemiliknya yang tahu bagaimana kekasihku meninggal,” ucap Larry dingin.Narumi terdiam, matanya tertuju pada benda kecil di tanah. Sebuah kancing. Matanya membulat saat menyadari sesuatu. Ia mengenali kancing itu, kancing dari mantel yang sering ia pakai. Tangannya yang gemetar perlahan mengambil benda
Begitu Narumi tiba di Cafe Art, matanya langsung menangkap sosok Larry yang berdiri di dekat pintu masuk. Namun, Siska tidak ada di sana. Rasa kecewa menyelinap di hati Narumi, meski ia berusaha menyembunyikannya. “Ikuti aku. Jangan bicara di tempat terbuka!” kata Larry dengan nada dingin sambil menatap tajam.Narumi mengerutkan dahi, merasa bingung sekaligus terganggu. Bukankah dia sendiri yang memilih tempat ini untuk bertemu? pikirnya. Jika Larry tidak ingin berbicara di tempat terbuka, mengapa memilih kafe yang ramai seperti ini? Namun, ia menahan diri untuk tidak membalas perkataan pria itu.Narumi menarik napas dalam untuk menenangkan dirinya, lalu mengikuti langkah Larry yang tampak terburu-buru. Pria itu bahkan berjalan cepat, nyaris tidak memedulikan Narumi yang harus mempercepat langkahnya agar tidak tertinggal. Kemudian, mereka melewati kerumunan pengunjung dan pelayan hingga akhirnya tiba di sebuah ruangan besar di bagian belakang kafe.Ruangan itu terlihat privat, pin
Jemari Narumi sedikit bergetar ketika ia membaca bait pertama surat itu:‘Jika surat ini ada di tanganmu, maka aku mungkin sudah tiada.’Kalimat itu menusuk hatinya. Air matanya mengenang di sudut mata, membayangkan Siska, sahabatnya, yang begitu putus asa hingga harus meninggalkan pesan seperti ini. Semakin ia membaca, semakin rasa pedih menyelimutinya. Surat itu penuh dengan penyesalan Siska, penyesalan karena tidak mampu menyelesaikan kasus perceraiannya dengan Ghali.Namun, yang lebih mengusik adalah ingatannya akan perilaku Larry tempo hari. Sesuatu tentang pria itu terasa janggal, seolah ada rahasia besar yang coba ia tutupi. Tapi Narumi tak punya waktu untuk memikirkannya lebih jauh. Surat itu menuntut seluruh perhatiannya.Matanya terus bergerak membaca setiap baris hingga tiba di bagian penutup yang membuat dahinya berkerut tajam:‘Na, jika suatu saat kamu harus berurusan dengan kelompok dari kalangan elit, berhati-hatilah dalam bergaul dengan mereka. Hal ini juga berlaku un
“Kamu baik-baik saja, Na?” Suara Ardiaz memecah kesunyian, nadanya terdengar tenang tapi juga penuh perhatian.Narumi menoleh sesaat ke arah pria itu yang sedang fokus mengemudi, namun ia tidak menjawab. Sebaliknya, ia kembali mengalihkan pandangannya ke luar jendela, mencoba menghindari tatapan tajam yang seolah bisa membaca isi hatinya.“Kamu butuh sesuatu?” tanya Ardiaz lagi, suaranya tetap lembut namun sedikit lebih mendesak.Narumi menghela napas pelan, merasa terusik oleh perhatian berulang itu. “Tidak, terima kasih,” jawabnya singkat tanpa menoleh.Mobil kembali hening, hanya suara mesin yang terdengar di sela-sela kemacetan. Namun, Ardiaz tidak menyerah. “Maaf, bukan maksud cerewet. Aku hanya ingin mencairkan suasana,” katanya, kali ini dengan nada lebih ringan, seolah ingin mengimbangi kekakuan yang melingkupi mereka.Pernyataan itu sontak membuat Narumi menoleh ke arahnya. Matanya menatap Ardiaz dengan tatapan bingung sekaligus penasaran. Ia tidak mengerti mengapa pria ini
Ardiaz menyembunyikan tatapan tajam di balik senyuman yang terlihat tenang. Namun di dalam hati, gelombang emosi bergejolak. Ia menyusun rencana dengan sabar, menantikan sejauh mana Narumi mampu bertahan di bawah tekanan yang sengaja ia ciptakan.“Baiklah, katakan saja bila nantinya kamu ingin mengganti pengacara lain,” ujarnya dengan nada ramah yang hanya sekadar basa-basi.Narumi terdiam sejenak, sebelum akhirnya menjawab singkat, “Tentu.”Kepala Ardiaz mengangguk pelan. “Apa ada tempat lain yang ingin kamu kunjungi lagi setelah ini?” tanyanya, suaranya tetap terdengar ringan.“Tidak, aku pikir sebaiknya kita pulang.”Ardiaz mengangguk setuju, lalu mereka berdua kembali berjalan menuju mobil. Namun, tepat saat mereka hendak masuk ke mobil, sebuah mobil sport merah berhenti mendadak di depan kendaraan mereka. Mata Ardiaz langsung tertuju pada mobil itu, alisnya terangkat saat melihat seorang pria turun dengan tergesa-gesa.“Mas Ghali,” gumam Narumi, mengenali pemilik mobil tersebut
Narumi menarik napas panjang dengan ekspresi malas, siap untuk menyahut, tetapi kata-katanya terpotong oleh Ardiaz yang berbicara lebih dulu.“Laporkan saja,” ujar Ardiaz santai, namun dengan nada tajam. “Mungkin dia ingin merasakan pukulanku untuk kedua kalinya.”Narumi menoleh ke arah Ardiaz dengan satu alis terangkat, kemudian mengalihkan pandangannya kepada Karin yang terkejut. Wanita itu jelas sedang mengingat memar di wajah Ghali, dan ekspresinya mencerminkan amarah yang tertahan.“Jadi... Kamu yang membuat wajah tampan Mas Ghali babak belur? Dasar preman!” geram Karin dengan suara yang semakin keras, menarik perhatian para pengunjung di sekitar mereka.Narumi memejamkan mata sejenak, menarik napas dalam untuk menenangkan dirinya. Tanpa berkata apa-apa, ia melangkah maju ke depan Ardiaz, berhadapan langsung dengan Karin.“Cukup, Karin!” ucapnya tegas, sorot matanya tajam. “Jangan pernah menghina calon suamiku.”“Apa?” Karin tersentak mendengar kata-kata itu, matanya melebar penu