Tak lama setelah Ardiaz memutuskan lamunannya, dering ponsel memecah keheningan di ruangan. Dengan cepat, ia menerima panggilan itu, menempelkan perangkat ke telinganya. Suara seseorang di ujung telepon segera terdengar.[Bos, Nona Narumi ada di pinggir pantai saat ini.]Mendengar laporan itu, senyum kecil muncul di sudut bibir Ardiaz. “Bagus, awasi terus gerak-geriknya. Laporkan jika ada yang mencurigakan.” Nada suaranya terdengar tegas dan penuh kendali. Setelah memberikan instruksi singkat, ia memutuskan panggilan secara sepihak tanpa menunggu respons lebih lanjut.Ardiaz kembali menatap langit yang cerah melalui jendela besar di kantornya. Tanpa menoleh, ia memanggil nama seseorang. “Julita.”Pintu ruangan terbuka, dan seorang wanita berpakaian merah dengan penampilan mencolok masuk dengan langkah anggun. Senyum genit menghiasi wajahnya. “Ya, Pak?” jawab Julita dengan nada lembut namun menggoda.“Reschedule semua meeting saya hari ini,” perintahnya tegas. “Meeting dengan Pak S
Suara Ardiaz mengalir begitu tenang, namun sorot matanya yang tajam, menuntut penjelasan, membuat Narumi tersentak. Sejenak ia hanya diam, mencari keberanian untuk membuka mulut. Pikiran Narumi berkecamuk, mencari cara yang tepat untuk menjawab.Sampai ia menunduk, matanya terpaku pada kancing di tangannya, lalu memutar-mutar benda kecil itu, seolah berharap menemukan jawaban di dalamnya. “Larry bilang, jika kancing ini adalah jawaban atas kematian Siska. Lalu aku menyimpulkan… kalau kancing ini ditemukan di dekat tempat kejadian.”Keheningan kembali menyelimuti mereka. Angin pantai berembus dingin, tetapi Ardiaz bergeming. Tatapannya tetap tajam, menuntut penjelasan lebih jauh.“Kancing ini sama persis dengan yang ada di mantelku. Itu sudah cukup, jadi alasan buat menuduhku sebagai pelaku.” lanjut Narumi, suaranya pelan namun jelas.“Dari mantelmu?” ulang Ardiaz, tatapannya berpindah ke kancing di tangan Narumi. “Tapi, bagaimana kancing itu bisa sampai di sana?”Narumi menggeleng p
“Na, apa Papa boleh masuk?” Suara Bramastyo dari balik pintu membuat Narumi tersentak. Tubuhnya yang semula terkulai lemah di kasur langsung terduduk tegak. Dengan cepat, ia berdiri dan berjalan menuju pintu. “Tunggu, Pa,” sahutnya. Tangannya memutar kenop pintu, dan begitu ia membuka pintu, raut wajah Bramastyo menunjukkan keterkejutan yang jelas. “Ya ampun, Nak. Apa yang terjadi? Kenapa kamu sangat kotor?” tanyanya, matanya menyapu tubuh putrinya dari ujung kepala hingga kaki. Sedangkan Narumi tersentak, ikut melirik tubuhnya sendiri. Barulah ia sadar bahwa pakaiannya penuh dengan pasir dan noda kotoran, sisa dari pantai tadi. Senyum konyol muncul di wajahnya, tetapi belum sempat ia menjawab, pikirannya kembali ke pesan Siska. Pesan itu melintas begitu kuat di benaknya, membuatnya memutuskan untuk berhati-hati. “Ah, aku tak sengaja terjatuh,” kilah Narumi dengan nada yang dibuat ringan. Ia memutuskan untuk menyembunyikan kasus kematian Siska dari ayahnya, setidaknya
Ruangan yang tadinya dipenuhi percakapan langsung hening. Mata semua orang tertuju pada Narumi, yang kini berdiri membeku di tempatnya. Pikirannya kosong sejenak sebelum ia merasakan detak jantungnya meningkat pesat.“Menangkapku?” tanyanya, suaranya bergetar. Ia mencoba menatap polisi itu, tetapi pandangannya langsung beralih ke arah Ardiaz dan Bramastyo yang kini tampak sama terkejutnya.Di dalam hatinya, Narumi tahu ini pasti berhubungan dengan kasus Siska. Tapi... kenapa sekarang? pikirnya, kebingungan mulai melingkupi, mengaburkan logikanya.“Tunggu,” suara Ardiaz memecah ketegangan. Ia maju satu langkah, menghadang polisi yang hendak memborgol Narumi. “Apa kalian membawa surat perintah penangkapan?”Meski nada suara Ardiaz tetap terdengar tenang, Narumi dapat merasakan kegelisahan yang tersembunyi di balik sikapnya. Ada sesuatu yang berbeda, seperti serpihan kebingungan yang tak mampu sepenuhnya ia tutupi. Sepertinya, kali ini, Ardiaz benar-benar terkejut.Namun, Narumi tak men
Ghali tidak segera bangkit dari tempatnya. Ia membiarkan pikirannya berkeliaran, memikirkan langkah berikutnya. Apakah aku perlu turun tangan? Atau biarkan saja dia berkubang di dalam masalahnya untuk sementara waktu? Pikirannya kembali, terus bertanya-tanya, sedangkan senyum kecil masih tersungging di wajahnya.Sementara di restoran, Ardiaz melepas dasinya dengan kasar, gerakannya menunjukkan ketidaksabaran yang jarang terlihat. Napasnya memburu, pikirannya berputar dengan cepat. Ia merogoh ponselnya, mencari nomor Larry, dan begitu sambungan terhubung, ia langsung berbicara dengan nada tajam.“Larry, hal gila apa lagi ini? Apa kamu menganggapku remeh?” suaranya penuh kemarahan.[Apa maksudnya, Bos? Aku tak mengerti.]Ardiaz mendengus kesal, suaranya semakin dingin, dan mengabaikan suara kebingungan Larry. “Jangan pura-pura bodoh. Kamu yang memberi laporan pada polisi, kan? Makanya Narumi ditangkap?”[Apa? Nana ditangkap? Bagaimana bisa?]Jawaban itu membuat Ardiaz terdiam sejenak
“Berdebat dengan siapa?” Narumi terdiam sesaat, pertanyaan polisi itu membuyarkan pikirannya yang sedang berkecamuk. Ia mengangkat wajah, berusaha mengendalikan diri meskipun dadanya terasa sesak. Jangan tunjukkan keraguan, desaknya dalam hati. Dengan cepat, ia menjernihkan pikirannya dan memasang ekspresi setenang mungkin. “Saat itu aku bersama suamiku,” jawab Narumi, suaranya terdengar lebih mantap daripada yang ia kira. Ia merasakan tatapan tajam dari polisi yang duduk di depannya, seolah mencoba menembus kebohongan yang mungkin ia sembunyikan. “Hubungan kami memang tidak baik,” lanjutnya, jujur dalam pengakuannya. “Tapi aku bisa buktikan jika perkataanku ini benar.” Sejenak, ruangan interogasi terasa hening, hanya suara samar jam dinding yang terdengar di latar belakang. Pengacara yang duduk di sebelahnya menatap polisi itu dengan penuh keyakinan. “Jika demikian, klien saya memiliki alibi yang jelas,” timpal pengacaranya, nadanya tenang namun penuh tekanan.
Ardiaz berdiri di dekat Bramastyo, mengamati setiap pergerakan di sekitar ruang interogasi dengan tatapan tajam.“Sudah menerima panggilannya?” tanya Bramastyo, memecah keheningan yang melingkupi mereka.Ardiaz mengangguk pelan, senyum lembut yang ia pasang hanya topeng tipis untuk menutupi gelombang emosi yang berkecamuk di dalam dirinya sekaligus mencoba menenangkan ketegangan yang tak sepenuhnya hilang. “Sudah, Om,” jawabnya singkat, meski pikirannya masih melayang pada hasil penyelidikan anak buahnya.Waktu berlalu cepat, hingga akhirnya pukul dua dini hari. Pintu ruang interogasi terbuka, dan Narumi keluar dengan wajah pucat, ditemani pengacaranya. Seketika, langkah Ardiaz mendekat tanpa ragu. Ia melepaskan jasnya, membalutkannya ke tubuh Narumi yang tampak kedinginan. Sial, kenapa aku sempat meragukannya? batinnya, menyesali kecurigaan yang sempat terlintas.“Berapa banyak pertanyaan yang diajukan?” tanya Bramastyo, membuka pembicaraan.Narumi menarik napas panjang, namun pen
Mata cokelatnya membulat, dan tangannya yang berada di pangkuan menggenggam erat. Sosok di belakang Ardiaz berdiri tegak, matanya tertuju langsung ke arah mereka.Perasaan tak nyaman menyelimuti Narumi. Dada yang semula terasa sesak kini semakin berat. Pikirannya yang kacau kini dipenuhi oleh kehadiran sosok itu.Namun, Ardiaz yang berdiri di hadapannya tampak tak menyadari perubahan di wajah Narumi. Pria itu masih menunggu dengan sabar, tangannya tetap terulur untuknya.Narumi menelan ludah, berusaha menenangkan diri. Ia mencoba berpikir jernih meskipun perasaannya berkata lain.Apa yang dia lakukan di sini? Pikirnya, tetap fokus pada sosok yang berdiri tak jauh dari mereka.Narumi menyambut tangan Ardiaz dengan pelan, tetapi matanya tetap tertuju pada sosok di belakang pria itu.Ardiaz menatapnya sekilas, sadar akan tatapan Narumi yang melewati bahunya. Alisnya sedikit terangkat. “Kenapa?” tanyanya.Tanpa sadar, genggamannya pada tangan Ardiaz semakin erat. Tatapannya tetap tertuju
Ardiaz membukakan pintu mobil untuk Narumi. Gestur sederhana, namun bagi Narumi, ini seperti dunia baru yang terbuka. Saat masuk ke dalam mobil, aroma parfum Ardiaz yang maskulin menyambut indera penciumannya, membuatnya merasa aman.Suasana dalam mobil terasa hening beberapa saat. Hanya suara AC dan deru lalu lintas Jakarta yang terdengar samar. Sesekali klakson kendaraan dan teriakan pedagang kaki lima di persimpangan jalan menembus keheningan mereka. Ardiaz menyetir dengan tatapan lurus ke depan, tapi dari sudut matanya, ia sesekali melirik Narumi. Wanita itu duduk tenang di sampingnya, jemarinya bermain dengan ujung blazer hitam yang dikenakannya—kebiasaan kecil saat ia gugup yang Ardiaz hapal di luar kepala.“Na,” panggil Ardiaz pelan, nyaris seperti bisikan. Suaranya bercampur dengan gemuruh mesin kendaraan lain. “Aku ingin kamu ikut ke rumahku sekarang.”Narumi menoleh, alisnya terangkat sedikit. Pantulan sinar matahari dari jendela membuat mata cokelatnya terlihat lebih teran
Bramastyo menghela napas panjang, berat dengan beban rahasia yang telah ia pikul selama bertahun-tahun. Matanya meredup seperti lilin yang hampir habis sumbu.“Boleh Papa masuk ke kamarmu?” tanyanya pelan, suaranya bergetar halus, menggantung di udara seperti kabut tipis di pagi hari.Narumi mengangguk tanpa kata. Tubuhnya yang lelah oleh tangis masih terasa kebas. Ia tahu... malam ini, akan ada kebenaran lain yang akhirnya keluar dari balik kabut panjang dalam hidupnya. Jantungnya berdegup kencang, menghitung detik-detik menuju pengakuan yang telah ia tunggu seumur hidup, seperti penantian panjang burung dalam sangkar yang melihat pintu sangkarnya mulai terbuka perlahan.Bramastyo melangkah masuk dengan langkah berat, setiap injakannya seperti membawa seluruh beban dunia. Ia tidak memilih untuk duduk, melainkan berjalan langsung menuju balkon kamar, seolah membutuhkan udara malam untuk membantu melepaskan rahasia yang telah tertanam begitu dalam di jiwanya.Pria paruh baya itu bersa
Tubuh Narumi menggigil hebat, seolah seluruh darah di tubuhnya membeku seketika. Bukan karena udara yang dingin, melainkan karena kenyataan pahit yang baru saja terungkap di hadapannya seperti belati yang menghujam tepat ke jantungnya. Dunia di sekitarnya berputar liar, membuat lantai di bawah kakinya terasa miring dan bergoyang. Ia hampir kehilangan keseimbangan, tangannya secara naluriah mencengkeram tepi meja untuk bertahan.Matanya yang biasanya berbinar penuh kehidupan kini kosong menatap pria yang berdiri dengan angkuh di tengah ruang tamu rumah keluarga Kwong — Demetrius Kallistos. Pria itu, dengan senyum tipis penuh kepuasan di wajahnya, menjadi perwujudan dari setiap ketakutan yang selama ini menghantuinya.Suara hatinya bergema penuh luka, seperti bisikan pilu yang mencekik batinnya. Apakah semua orang di sekitarku tidak memiliki ketulusan? Semuanya... selalu memiliki motif tersembunyi. Semuanya... selalu bermain drama.Narumi merasakan sesuatu hancur di dalam dirinya—ke
Tangan Narumi mengepal erat di sisi tubuhnya. Detik itu juga, seluruh tubuhnya terasa membeku. Napasnya memburu, seakan ia baru saja ditarik ke dalam pusaran kegelapan yang lebih dalam dari yang ia bayangkan.Ia menoleh, menatap Ardiaz dengan sorot mata penuh pertanyaan dan kemarahan. “Kau tahu siapa ‘Tuan’ yang dia maksud?”Ardiaz menggeleng pelan, tetapi ekspresinya semakin tegang. “Aku masih menyelidikinya. Tapi ini membuktikan satu hal, Na.”Ia menatap layar, seolah ingin menghancurkan sosok Larry yang masih tampak di sana. “Larry bukan dalang utamanya. Dia hanya eksekutor. Ada seseorang di balik layar yang mengendalikan semuanya.”Narumi menggigit bibirnya. Seluruh tubuhnya bergetar, bukan hanya karena kemarahan, tetapi juga ketakutan yang mulai menyusup ke dalam dirinya.Siapa yang cukup berkuasa untuk mengatur semua ini?Dan lebih penting lagi—kenapa dia menargetkan Siska? Kenapa dia menargetkan dirinya?Tiba-tiba, Narumi merasa perutnya mual. Ia bergegas bangkit dari kursi, t
Setibanya di Indonesia, Narumi merasa pikirannya tak bisa tenang. Setiap langkah yang ia ambil terasa semakin berat, seolah ia semakin dekat dengan kebenaran yang bisa menghancurkannya.Saat ia dan Ardiaz melangkah keluar dari pintu kedatangan internasional, suara panggilan yang familiar menghentikan langkah mereka."Na!"Narumi menoleh dan mendapati Bramantyo, ayahnya, berdiri dengan ekspresi serius di antara kerumunan orang yang menjemput.Pria itu terlihat berwibawa dalam balutan setelan kasual, tetapi sorot matanya tajam, seolah sedang mencoba membaca situasi.“Papa?” Narumi mengerutkan dahi, tidak menyangka akan melihat ayahnya akan datang menjemputnya.Bramantyo berjalan mendekat, tatapannya bergantian antara Narumi dan Ardiaz. “Kenapa kamu pulang lebih cepat dari rencana?” tanyanya, suaranya dalam dan sedikit penuh curiga.Narumi melirik sekilas ke arah Ardiaz. Ia bingung untuk menjawab ayahnya, sebab ia tak tahu apakah ia boleh jujur atau tidak atas situasi yang tengah ia hada
Narumi duduk di dalam mobil dengan pandangan kosong, pikirannya masih berkecamuk dengan segala fakta yang baru ia ketahui. Ardiaz yang duduk di sebelahnya melirik sekilas ke arahnya, berusaha membaca ekspresi wanita itu.“Aku tahu kamu masih ragu padaku,” ujar Ardiaz akhirnya, suaranya lebih lembut dari biasanya.Narumi menghela napas panjang. “Aku tidak tahu apakah aku bisa sepenuhnya mempercayaimu, tapi aku juga tidak bisa menyangkal bahwa aku membutuhkamu.”Ardiaz tersenyum kecil, seperti lega mendengar itu. “Aku tidak akan memaksamu untuk mempercayaiku sekarang. Tapi setidaknya, kita bisa membuat kesepakatan.”Narumi menoleh, matanya penuh pertanyaan. “Kesepakatan?”Ardiaz menatapnya serius. “Mulai sekarang, kita harus jujur satu sama lain. Tidak ada lagi rahasia. Tidak ada lagi kebohongan.”Narumi terdiam beberapa saat sebelum akhirnya mengangguk. “Aku setuju. Tapi kamu harus janji, jika ada sesuatu yang mencurigakan, aku harus tahu.”Ardiaz menatapnya lekat-lekat, lalu mengulur
Narumi berdiri mematung, tatapannya penuh dengan kekecewaan, dan luka yang dalam. Ia merasa tak sanggup lagi berada di tempat itu, dikelilingi oleh rahasia dan kebohongan yang tak berkesudahan.Sementara itu, Ardiaz tidak punya pilihan lain. Ia melangkah mendekat dan meraih tangan Narumi. “Kita pergi dari sini,” ujarnya tegas, tanpa memberi ruang untuk perlawanan.Narumi tak berkata apa-apa. Ia membiarkan Ardiaz menuntunnya keluar gedung. Hatinya terlalu kacau untuk memprotes, tetapi di dalam kepalanya, pertanyaan-pertanyaan terus berdengung tanpa henti.Begitu mereka sampai di depan mobil, Ardiaz membuka pintu untuk Narumi. Namun, sebelum wanita itu masuk, ia berhenti di tempatnya dan menatap Ardiaz dengan mata berkaca-kaca.“Kita tidak akan pergi sebelum kamu menjawab pertanyaanku,” ujar Narumi, suaranya bergetar, tetapi nadanya masih tegas.Ardiaz terdiam sejenak. Ia tahu momen krusial ini tidak bisa dihindari lagi. Dengan berat hati, ia pun mengangguk. “Tanyakan apa yang ingin kam
Keesokan paginya, Narumi tidak tidur semalaman. Pikirannya terus berputar, mencoba mencari benang merah di antara Ardiaz, Karin, dan Demetrius. Semakin ia mencoba memahami situasi, semakin banyak pertanyaan yang muncul.Narumi berdiri di dekat jendela kamar, menatap ke luar dengan mata yang lelah. Pemandangan Athens yang sebelumnya menenangkan kini terasa menyesakkan. Ia merasa seperti seorang asing di negeri ini, tanpa teman atau sekutu yang bisa di percaya sepenuhnya.Narumi menghela napas panjang, tangannya meremas pagar balkon dengan erat. “Aku harus tahu lebih banyak,” gumamnya.Tiba-tiba, suara deru mesin mobil terdengar dari halaman bawah mansion. Narumi memperhatikan dengan saksama dari atas balkon. Ia melihat Ardiaz keluar dari mansion dengan ekspresi serius, langkahnya cepat dan tegas menuju mobil hitam yang sudah menunggunya di depan gerbang.“Ke mana dia pergi pagi-pagi begini?” pikir Narumi dengan curiga.Naluri detektifnya yang sudah diasah bertahun-tahun karena kehid
Narumi menatap Karin dengan pandangan yang tajam, berusaha mencari celah di balik senyuman manis yang wanita itu tunjukkan.Ia tahu betul, tidak ada sesuatu yang disebut ‘kabar baik’ jika keluar dari mulut Karin.“Ayolah, jangan membuatku penasaran. Kabar baik apa itu?” tanya Narumi kembali, mencoba mempertahankan nada suara yang terdengar biasa.Karin terkekeh pelan, melirik sekilas ke arah Ardiaz sebelum kembali menatap Narumi. “Aku baru saja mendapat undangan dari teman lama. Ada acara eksklusif malam ini di salah satu klub paling terkenal di Athens,” suaranya terdengar riang.Narumi menyipitkan mata, mencoba mencerna ucapan Karin. “Lalu?” tanyanya, tetap waspada.Karin tersenyum penuh percaya diri. “Kita harus datang, Na. Ini kesempatan langka. Lagipula, bukankah kamu ingin menikmati waktu di sini?”Ardiaz yang sejak tadi berdiri diam dengan tangan tersilang di dada, menatap Karin dengan ekspresi tak terbaca. “Undangan dari siapa?” tanyanya dingin.Karin mengangkat bahu acuh. “Se