Aku Amarta, seorang gadis yang tidak pernah menua. Tentunya itu bukan nama asliku. Aku selalu pergi ke tempat berbeda dengan memakai nama yang berbeda pula. Namun, entah mengapa 'Amarta' sangat lekat di hatiku. Aku jatuh cinta pada nama itu.
Aku ingat betul siapa yang memberiku nama itu. Seorang lelaki yang rela meninggalkan istri juga anaknya untuk datang padaku. Lelaki berkebangsaan Belanda yang ditangannya sudah penuh dengan darah orang pribumi. Kami banyak menghabiskan malam bersama, namun lucunya sampai saat terakhir pun aku tak tahu siapa namanya.
Dia mungkin mengira aku wanita cantik bodoh yang hanya ingin hidup aman, namun sebenarnya dialah yang sedang mempersiapkan upacara pemakaman.
Pada malam terakhir kami bersama, seperti biasa dia datang ketempat dimana kami biasa bertemu. Aku sudah tahu apa yang ia mau. Beberapa adegan panas di atas ranjang, juga sedikit kata-kata asmara sudah membuatnya mabuk dan tak sadar akan dunia.
Tanpa ia sadari, akupun mengambil energi yang ia miliki setiap kali kami bercumbu. Tak heran, semakin hari wajah rupawannya kian menua. Sudah tak ada cukup energi yang tersisa. Maka malam itu aku memutuskan untuk menyudahi semuanya.
Disela-sela deru nafasnya yang berat penuh kenikmatan, ia memberiku nama. 'Amarta' , sebuah nama yang berasal dari bahasa sansekerta memiliki arti 'keabadian yang tak terlupakan'.
Dia benar, nama itu cocok sekali untukku. Aku yang hidup abadi, dan tidak mudah untuk dilupakan.
"Terimakasih." Ucapku seraya memberinya sebuah ciuman yang dalam.
Dia hanya tersenyum dengan peluh mengalir diatas kulit pucatnya. Hingga saat hujaman terakhirnya, aku menyerap seluruh energi pada tubuh itu hingga kering, dan tak tersisa. Aku menghabisinya di sana, tanpa busana dan masih dalam keadaan tersenyum walau wajahnya sudah terlihat samar karena seluruh kulitnya menjadi keriput.
Aku menatap jasad itu, siapa sangka seorang lelaki yang semasa hidupnya gagah dan tampan berakhir mengenaskan. Badan jangkungnya meringkuk di atas tempat tidur. Seluruh tubuhnya mengering, Hanya tersisa tulang yang dibalut oleh lapisan tipis berwarna coklat kehitaman.
Aku sudah merasa cukup dengan energi yang selama ini ia berikan. Satu manusia yang aku serap energinya sampai mati memberiku energi kehidupan sampai dua puluh tahun yang akan datang. Harta yang ia berikan pun cukup untukku keluar dari daerah ini. Aku akan memulai kehidupan baru ditempat lain. Berkencan lagi, dan tetap hidup abadi. Sesuai dengan namaku. Amarta.
***
Desember 1995...
Tidak ada yang mengalahkan riuhnya malam di penghujung tahun, Desember selalu ramai dengan kesenangan. Begitulah yang aku tahu setelah hidup dari dekade ke dekade; melihat manusia mulai sedikit demi sedikit mengadopsi kebiasaan bangsa lain, juga menjadi saksi atas macam-macam peristiwa besar dalam sejarah bangsa. Hingga aku hapal betul, bahwa manusia itu tidak lebih dari seonggok daging penuh keserakahan.
Malam itu entah mengapa aku tak berselera. Aku bisa saja mencari lelaki hanya untuk cinta satu malam, mengambil energinya untuk lima sampai sepuluh tahun masa hidupku. Namun aku lelah. Setelah lebih dari seratus tahun hidup, bercinta tidak lagi senikmat itu.
Aku memutuskan untuk kembali ke hotel. Ya, aku hanya singgah disini, di kota pelajar. Banyak sekali mahasiswa polos yang bisa aku tiduri di sini. Namun tidak malam ini.
"Hai cantik, mau aku temani?" Seorang lelaki dengan tubuh berotot mencegatku ditengah jalan.
"Maaf, malam ini aku sibuk. Mungkin kita bisa bertemu dilain hari," ucapku seraya tersenyum.
"Dimana aku bisa menemuimu?" lelaki itu menyentuh lembut bahuku.
"Aku menginap disalah satu hotel di sana." Aku menunjuk deretan penginapan diseberang jalan.
Aku melambaikan tangan, "sampai jumpa besok." Lambaian tangan diiringi sebuah kedipan mata menghipnotis lelaki itu.
"Dia seperti orang bodoh." gumamku.
Ditengah perjalanan, langit malam yang cerah mulai mendung. Awan-awan hitam penghantar hujan sudah siap menumpahkan apa yang ia bawa.
"Hah..., Lagi-lagi berjalan ditengah hujan," gumamku.
Aku melepaskan sepatu hak yang membalut kakiku. Menapakkannya pada jalanan keras yang basah. Gemericik air yang mengenai atap rumah, juga petir yang sesekali datang, menemaniku sepanjang perjalanan.
Sampai pada saat aku melewati sebuah jalanan yang gelap diantara gedung hotel, dari sana suara rintihan yang tersapu hujan terdengar samar. Aku menghentikan langkahku. Dengan seksama aku memasang telinga. Jelas sekali, suara seorang wanita yang sedang merintih kesakitan berasal dari jalanan tanpa penerangan itu.
Aku memutuskan untuk mencarinya. Samar-samar aku berusaha menajamkan pengelihatan. Ini tidak sulit, aku pernah mengalami malam yang lebih gelap dibandingkan dengan ini, hujan yang lebih lebat dibandingkan dengan ini, dan petir yang lebih keras dibandingkan dengan ini.
"Tolong... Jangan... "
"Hahhaha, menangis saja sesukamu, karena kami akan menikmati tubuhmu sesuka kami!" Suara rintihan itu dibalas gelak tawa yang nyaring.
Perlahan aku melihat bayangan tubuh kekar dan tinggi sedang berdiri dengan sebatang rokok yang sudah padam dan basah. Dia lelaki. Dua orang lelaki lebih tepatnya.
Salah seorang lelaki dengan kasar menjambak rambut perempuan yang sudah tergeletak lemah diatas aspal itu. Dia menamparnya keras, lalu tertawa.
Aku menghela nafas berat.
Jelas sekali apa yang akan mereka lakukan, tindakan tak bermoral dari para lelaki tak berotak.
"Hai!" sapaku.
Dengan sengaja aku menjatuhkan sepasang sepatu hak tinggi yang ku bawa. Suaranya bergema karena keadaan begitu hening. Lalu dengan cepat dua lelaki itu melemparkan pandangan waspada padaku. Hanya sesaat, sebelum wajah mereka mulai dihiasi seringai mengerikan.
"Wah, lihat siapa yang datang! Satu lagi domba untuk berpesta." Lelaki itu tertawa.
Mereka saling melemparkan pandangan, kemudian lelaki dengan rambut panjang itu mendekatiku. Menyentuh wajahku dengan sensual. Beberapa kali ia memainkan rambutku.
"Ada apa sayang? Apa diluar sana kurang meriah? Mungkin kita bisa berpesta bersama." Lelaki itu menjilat pipiku sekilas.
Rasa basah yang menjijikan tertinggal di sana. Sangat menggangu ku. Dengan kasar aku menghapus jejak basah itu dengan craft yang melingkar pada leherku.
Aku memandang wanita itu dengan seksama. Ada darah segar dikeningnya, dan pakaiannya sudah hampir terlepas. Didekatnya terdapat sebuah tas yang isinya terhambur keluar.
"Apa yang kalian lakukan padanya?" tanyaku dingin.
"Apa lagi sayang? Kami memberinya kesenangan." Lelaki dengan rambut cepak menjawab pertanyaanku dengan wajah tengilnya.
"Sepertinya malam ini kita mendapat jatah yang adil," ungkap lelaki berambut panjang.
"Apa kalian tidak punya uang untuk menyewa wanita panggilan? Jika iya, aku akan memberikannya dan cepat tinggalkan wanita itu," pintaku.
Mereka menyambut perkataanku dengan gelak tawa. "Apa kami terlihat miskin?" tanya lelaki berambut cepak.
"Apa kamu akan mengerti saat kami jelaskan? Kami menyukai tantangan, penolakan, dan ketegangan. Menyewa wanita panggilan tidak akan senikmat memperk*sa," lanjutnya.
"Berarti, tubuhku tidak sesuai selera kalian. Aku tak perlu dipaksa. Dengan senang hati aku akan tidur dengan salah satu dari kalian, atau mungkin keduanya," lanjutku.
"Benarkah?" Lelaki berambut cepak datang mendekatiku.
Dengan kasar tangannya mencengkram pipiku, dan bibir kami saling beradu. Aku melayaninya dengan senang hati. Lama, dan cepat hingga ia terengah-engah. Namun, ketika lelaki itu mulai kehabisan nafas, aku tidak melepaskan tautannya. Kedua tanganku menahan kepalanya, dan dengan mudah aku menyerap energinya.
Ia mulai meronta tak karuan, namun tenaganya sekarang lebih lemah daripada seorang perempuan. Sebagian besar energinya sudah aku serap. Wajahnya mulai keriput, lalu dengan cepat ia mati. Tubuhnya terkulai lemah diatas aspal, kering dan mengerikan.
Untuk pertama kalinya, aku menyerap energi kehidupan dalam satu sentuhan.
Seraya menyeka air liur yang tertinggal pada bibir merahku, aku menatap tajam lelaki berambut panjang itu.
"Apa kamu juga mau? Sentuhanku sangat mematikan, bukan?" Aku menyeringai.Lelaki itu tampak kaget, netranya bergetar samar. Dia bahkan tidak dapat melarikan diri.
"A-apa yang kamu lakukan?" Suaranya bergetar.
"Inikan yang kalian mau? Sebuah ketegangan. Aku membawanya langsung kehadapan kalian!"
Lelaki itu hanya terdiam dengan kedua mata tampak berair.
"Aku akan memberikanmu pilihan. Mati sekarang seperti temanmu ini, atau bantu aku membawa gadis itu ketempat ku menginap. Bagaimana?" Tanyaku dengan segurat senyuman menghiasi wajah.
"Aku akan memberikanmu pilihan. Mati sekarang seperti temanmu ini, atau bantu aku membawa gadis itu ketempat ku menginap. Bagaimana?" Aku tersenyum padanya, sedangkan ia menatapku penuh dengan kengerian. Ia hanya mengangguk tak jelas. Aku dapat melihat tangan kekarnya gemetar tak karuan. Sesekali matanya melihat sekilas teman yang beberapa saat lalu mengalami kejadian diluar nalar. "Ayo, sebelum wanita itu mati. Atau mungkin kamu yang lebih dulu mati?" Aku menggodanya. Dengan sigap lelaki itu menggotong wanita yang tubuhnya sudah mulai dingin itu. Sementara aku mengambil tas dan memasukan barang-barang yang sudah berserakan di atas jalanan. Lobi hotel sudah sangat sepi, hanya tersisa satu orang resepsionis yang menjaga. Lelaki berusia sekitar awal 20an nampak terkejut dengan apa yang aku bawa. "Sshhhtt." Aku menempatkan jari telunjuk didepan bibir merah ranum milikku. Lelaki itu mengerutkan keningnya. Namun aku membalasnya dengan senyuman penuh ketenangan. "Apa aku bisa memint
Gadis itu beranjak dari tempat tidur, seolah ingin memastikan apa yang sebelumnya ia lihat. Kedua tangannya terus berada pada wajah mungilnya, berusaha menutupi mulutnya yang menganga."A-apa yang kamu lakukan padanya? Aku melihat semuanya tadi! Ta-tapi apa itu semua? Apa aku hanya bermimpi?" ia terus bertanya tanpa henti.Aku segera mengambil jubah mandi yang lain untuk membalut tubuh telanjang ku. Dengan santai aku menghampirinya."Tenang lah, mungkin kita bisa membicarakan ini sembari minum kopi?" Aku tersenyum tenang.Gadis itu tidak menjawab, tentu saja. Bila dia tidak terkejut melihat itu semua, bisa dipastikan dia serupa denganku. Gadis itu berjalan dengan ragu, ia berusaha melihat mayat yang mengering seperti mumi dihadapannya.Dengan santai aku membuat dua gelas kopi, sembari sesekali melempar pandangan pada gadis itu. Takut ia akan melakukan hal-hal yang tidak aku duga. Namun ternyata, dia hanya terdiam dengan tatapan kosong."Aku Amarta, aku yang menyelamatkan mu sebelumnya
Malam itu aku membiarkan Sarah beristirahat di kamar hotel milikku. Tentunya dia sempat menolak tidur sekamar dengan mayat mengerikan itu. Namun ia tidak punya pilihan lain. Sarah tidak mau ada yang tahu kejadian nahas yang baru saja menimpanya. Tentu saja karena ayahnya adalah salah satu orang berpengaruh yang tidak boleh ditimpa berita buruk.Keesokan paginya, setelah aku memberikannya baju ganti. Dia bertanya padaku, apa yang harus dilakukan pada jasad itu. Tentu saja aku memberitahunya. Ini adalah tugas pertama dihari pertamanya sebagai dayangku."Aku akan pulang terlebih dahulu, lalu kembali kesini bersama beberapa orang kepercayaanku. Tenang saja, aku akan mengurus mayat ini dengan rapih." Sarah berkata dengan yakin."Baiklah, aku akan menyerahkan semuanya padamu." Saat itu Sarah langsung pergi. Sebenarnya bisa saja dia tidak pernah kembali. Bisa saja dia pergi dan tidak menepati janjinya. Namun gadis itu ternyata memang memiliki integritas yang kuat. Dia datang bersama dua aju
Sudah satu minggu aku menghabiskan waktuku dirumah ini. Segala kebutuhanku disediakan oleh Sarah. Hanya ajudan setianya yang menemani ku disini. Terkadang, ada pikiran jail yang melintas di dalam benakku untuk menggunakan ajudan Sarah itu sebagai mainan. Hanya untuk menghiburku dikala bosan. Suatu hari aku sudah sangat berniat melakukan itu pada ajudan Sarah. Namun, tanpa aku duga. Justru aku yang hanyut dalam kisahnya. Lelaki berkepala plontos itu mengeluarkan sebuah kalimat yang menampar jiwaku. "Kamu sangat cantik, bahkan saat ini aku ingin meniduri mu. Namun, bayangan wajah dari kedua anakku menari-nari dalam pikiranku. Seolah-olah kalian berebut mendapatkan atensiku, dan anak-anak ku lah yang memenangkan pertarungan. Maka, sebisa mungkin aku mengalihkan pandanganku darimu, Nona." Begitulah kira-kira kalimat yang ia katakan. Setelah hari itu, aku berhenti menggodanya. Sejahat apapun sesuatu didalam diriku tidak akan menang melawan manusia yang benar-benar tulus. Saat ini aku h
Johan terdiam sejenak, namun akhirnya pikirannya yang dangkal membuatnya mengambil keputusan yang mungkin saja bisa dia sesali. "Baiklah, mari aku bantu." Jawabnya tanpa ragu. Sekali lagi, nafsu manusia selalu mengalahkan hati nuraninya. Dia mengikuti langkah ku kedalam kamar mandi. Tanpa ragu menyentuh apa yang seharusnya tidak dia sentuh. "Buka bajumu!" Netraku menatap lekat padanya, penuh penekanan. Perlahan Johan melepas satu persatu kaitan kancing kemejanya. Malam itu, desahan demi desahan terdengar samar bersama gemericik air yang mengalir. Sekali lagi, iblis licik ini mendapatkan kemenangan atas jiwa manusia yang haus akan kepuasan. Aku membawanya hanyut dalam gairah dan kenikmatan duniawi. Tanpa paksaan atau pun ancaman. Johan menyentuhku, mencumbu setiap jengkal tubuhku, ia terperangkap dalam lubang yang bahkan lebih memabukkan dibandingkan dengan segelas wine. Hampir satu jam kami menghabiskan waktu bersama di dalam kamar mandi. Setelahnya aku membawa pemuda itu masu
Aku membawa mercy boxer-ku melintasi jalanan kota Jogjakarta. Rodanya berputar menuju salah satu pusat perbelanjaan. Kaki jenjangku yang terbalut sepatu hak tinggi berwarna merah berjalan indah di pelataran toko. Suara ketukannya membuat setiap orang melirikku dengan pandangan yang sukar untuk diartikan. Aku berhenti di depan sebuah toko baju, dan menyadari ada seorang pria yang sudah memasang senyum manisnya menyambutku. "Halo, selamat siang. Silahkan ada yang bisa saya bantu?" Ujarnya. Aku membalas senyumannya seraya terus berjalan masuk ke dalam toko. "Siang, emm... Aku ingin pakaian untuk anak perempuan juga anak laki-laki." Netraku menelusuri pakaian yang terpajang. "Untuk usia berapa tahun kak?" Lelaki itu bertanya kembali. "Tolong pilihkan mulai dari usia 1 tahun sampai usia 12 tahun. Setiap model, untuk laki-laki dan perempuan," jawabku. Lelaki itu mematung, merasa bingung dengan kalimatku. "Aku ingin pakaian anak laki-laki dan perempuan dari usia satu tahun sampai 12
Aku sudah terpojok, dengan pakaian yang sudah tak karuan. Dengan jelas aku melihat Johan menutup pintu kamar, menguncinya dan dengan sengaja melemparnya ke sembarang arah. "Baiklah. Aku harap kalian tidak menyesal." Aku berbisik. "Tidak, kami tidak akan menyesal. Ayolah jangan terlalu banyak melawan." Lelaki berkulit hitam itu mulai menyentuh tubuhku. "Tidak ada pilihan lain. Aku harus membunuh mereka semua. Lelaki yang selalu menjadikan wanita hanya sebagai objek pemuas nafsu, memang pantas mati." Gumamku dalam hati. "Baiklah. Jangan kasar! Aku akan bermain dengan kalian." Seruku dengan suara pelan. Aku menarik lelaki yang bernama Hari. Menidurkannya dengan paksa dan segera duduk diatasnya. "Wow, kamu sedikit agresif ya." Lelaki itu tersenyum. "Aku mohon, jangan terlalu banyak melawan." Aku berbisik tepat didekat telinganya. Lelaki itu tertawa menahan geli. Untuk terakhir kali aku menatap matanya. Dengan lembut aku menggiring wajahnya hingga bibir kami saling bertaut. Sebuah c
Malam sudah sangat larut, suara burung hantu bahkan terdengar nyaring dari luar sana. Jam dinding menunjukkan pukul dua dini hari. Hadi membawa Johan ke ruang tengah, ia mengikatnya diatas kursi dan menyumpal mulutnya. "Harusnya kamu tidak usah kerja di sini Johan." Hadi menggeleng-gelengkan kepalanya tak percaya dengan apa yang terjadi pada Johan. Sarah masih berada di dalam kamar. Wanita itu memperhatikan dengan teliti kekacauan yang terjadi di sana. "Amarta, cairan apa ini?" Sarah berteriak dari dalam kamar. "Cairan apa? Aku yakin itu pasti air kencing Johan." Jawabku dengan nada kesal. "Bukan! Ini, cairan berwarna hitam dan baunya seperti bau bangkai." Sarah terdengar hampir saja muntah. Dengan santai aku menjawab seraya merebahkan diri di atas kursi ruang tamu, "Oh, itu darahku. Salah satu dari mereka melukai ku dengan pisau." Seketika Hadi mengarahkan pandangannya padaku, begitupun dengan Sarah. Wanita itu langsung keluar kamar dan menatapku tak percaya. "Kenapa darahmu
"Mau bermain ditempat yang lebih sepi?" tanya Amarta seraya tersenyum.Bima terdiam. Seketika suara riuh itu hilang. Lelaki itu terlihat ragu namun dalam waktu bersamaan dia juga bergairah.Entah karena malam yang berlalu dengan cepat, atau karena bisikan yang menggoda telah berhasil membawa mereka melompati momen.Kini Bima dan Amarta telah berada di kamar hotel. Sebuah kamar dengan lampu yang temaram memberikan nuansa hangat. Suara klik dipintu seperti bel yang menandakan bahwa mereka telah siap saling menyibukkan diri.Bima dengan tidak sabar menautkan bibirnya pada milik Amarta. Jemarinya menari dengan indah menggelitik bagian belakang leher Amarta. Gerakannya tak terkendali, seolah telah lama ia menahan semua gairah itu.Ruangan itu begitu hening. Yang terdengar hanya deru nafas yang saling bersahutan. Beberapakali desahan terdengar namun tak lama terkubur lagi oleh keheningan.Netra Bima terpaut pada milik Amarta yang berwarna coklat tua, "Bagaimana ini?" Suara Bima terdengar s
Setelah bertemu Amarta di villa, Sarah kembali kerumah dengan rasa lega. Beberapa kali ia terdengar bersenandung seraya menyisir rambut hitam panjangnya.Wanita itu berdiri didepan cermin besar dengan bingkai kayu jati berukiran antik. Tangannya dengan trampil terus menyisir dan merapikan rambut panjang yang basah setelah mandi.Netra hitamnya menatap lekat pantulan bayangan dari cermin. Sosok cantik dan sempurna yang sekarang sedang ia lihat akan segera lenyap. Sarah menatap lekat pada setiap detail sudut wajahnya. Kulitnya yang mulus, bibirnya yang tebal dan penuh. Halis yang hitam dan terukir rapi. Serta mata indah lengkap dengan bulu mata yang lentik. Hidung mungil dan mancung menyempurnakan keseluruhan bagian wajahnya."Tidak apa-apa, aku rela mempertaruhkan semuanya demi mempunyai anak. Tentunya aku harus memiliki anak dari Bima. Anak ini harus diakui dan dijadikan pewaris tunggal." Ucap Sarah."Aku hanya perlu mempercayakan semuanya pada Amarta. Semuanya ... ." Lanjut Sarah.H
Hari itu juga Sarah pergi ke villa dimana Amarta tinggal. Sejak kejadian yang merenggut nyawa Bu Laela, ini pertama kali mereka bertemu kembali. Sarah mengedarkan pandangannya ke sekeliling villa. "Sepi, tapi masih terawat," gumam Sarah.Sarah berjalan perlahan menaiki anak tangga menuju pelataran rumah. Ia mendorong pintu depan pelan dan langsung terbuka. Tanpa ragu wanita itu masuk kedalam tanpa permisi."Kamu datang?" Suara lembut Amarta terdengar dari bagian dalam rumah. Sarah berusaha menajamkan pengelihatannya karena ruangan itu sedikit gelap."Dimana kamu?" Teriak Sarah.Sarah berjalan perlahan mengelilingi ruangan itu, hingga sebuah sentuhan lembut pada pundaknya membuatnya terperanjat."Wah gila! Kenapa gelap sekali di sini? Belum bayar listrik, hah?" sindir Sarah.Amarta tertawa pelan, "Takut? Kenapa sesama pengikut setan harus takut?" Amarta menyindir balik Sarah.Sarah tidak menanggapi jawaban Amarta, dia berjalan mencari-cari dimana kiranya tombol lampu berada. Tak lam
Target terkunciSudah empat puluh hari sejak kematian Bu Laela. Kecurigaan serta rasa gelisah perlahan luruh tidak tersisa. Pak Agus juga Sarah sudah mulai terbiasa tanpa kehadiran Bu Laela. Namun, pak Agus ternyata diam-diam menyimpan kecurigaan kepada Sarah juga menantu lelakinya."Sarah, kenapa semenjak ibu meninggal bapak belum melihat Bima tinggal disini lagi?" tanya pak Agus."Oh, Bima sibuk pak. Dia sering dinas diluar jadi memilih pulang kerumah ibu bapaknya saja. Katanya kasian kalau aku harus terganggu karena dia sering pulang tengah malam," ungkap Sarah.Pak Agus mengerutkan keningnya. "Tapi harusnya dia mendampingi kamu, Nak. Ibumu baru saja meninggal." Suara pak Agus terdengar sedikit bergetar. Ia berusaha menahan emosinya kepada menantunya itu.Sarah tersenyum. "Sudah ya Pak. Sarah juga sudah tenang kok, Sarah sudah ikhlas ibu meninggal. Bapak juga harus belajar ikhlas." Pak Agus tertunduk mendengar perkataan putrinya yang terlihat lebih tegar dibanding dirinya. Perla
Tanah merahPagi datang bersama gerimis yang turun sejak subuh. Suara dentingan air dari atap seolah menyerupai elegi yang begitu ramai. Didalam rumah Sarah justru keheningan yang pekat terasa begitu riuh.Mbok Inah dan Pak Hadi terduduk lesu di dapur kotor, tepat di bagian belakang rumah. Kilasan ingatan yang terjadi semalam terus berputar seperti kaset yang kusut didalam kepala mereka."Hari ini hasil autopsinya keluar mbok... Bagaimana kalau seandainya mereka tahu ibu dibunuh oleh iblis jahat itu?" Hadi menoleh lirih pada mbok Inah."Entah ini jawaban yang menenangkan atau justru membuatmu semakin gelisah Hadi... Selama ini, tidak ada pembunuhan yang dilakukan oleh non Amarta yang bisa terungkap oleh orang lain." Mbok Inah menatap Hadi dengan sorot mata penuh kengerian.Seketika keheningan merangkul mereka kembali untuk terbenam dalam pikirannya masing-masing. Hingga akhirnya lamunan itu hilang bersamaan dengan suara langkah kaki yang terdengar berjalan menyusuri lorong penghubung
Sarah meremas kasar rambutnya. Jemarinya penuh dengan darah yang sudah mengering. Ia sadar, dan ingat apa yang sudah ia alami."Bima! Teganya kamu..." Suara Sarah bergetar marah. Ia menutupi wajahnya yang sudah basah oleh air mata.Hadi dan mbok Inah yang masih terkejut hanya bisa terdiam menatap Sarah dengan rasa iba."Mbok Inah, Pak Hadi. Tolong bantu aku. Sekarang kalian bersihkan kamarku, jangan sampai ada jejak yang tertinggal. Lalu jasad ibu... " Sarah terdiam sejenak. "Urus semuanya, pastikan tidak ada jejak yang tertinggal," lanjutnya.Keesokan paginya kediaman Sarah mulai ramai. Beberapa polisi dan tim medis mulai berdatangan. Sarah memainkan perannya dengan baik- duduk di sudut ruangan dengan mata yang sembab. Sampai akhirnya jasad Bu Laela dibopong kedalam mobil ambulans untuk otopsi.Kabar ramai dikediaman Sarah langsung sampai pada Bima. Awalnya lelaki itu gusar, namun ia tak menyangka ternyata jasad yang ditemukan di sana bukanlah Sarah.Rasa penasaran dan ketakutan akan
Amarta berlari ke luar rumah dengan kaki telanjang berlumuran darah. Beberapa kali ia hampir terjatuh karena kakinya yang licin."Bu Laela?" Bisik Amarta begitu melihat seorang wanita tergeletak di depan rumah. Seketika kedua kaki Amarta seperti kehilangan tenaganya. Perlahan ia mendekati tubuh Bu Laela yang sudah terbujur kaku diatas tanah.Bersamaan dengan itu sebuah mobil datang memasuki halaman, dan dengan cepat Hadi dan mbok Inah berhamburan keluar menuju tempat Amarta dan Bu Laela berada."Ya ampun!" Pekik mbok Inah. Mbok Inah terduduk lemas diatas tanah.Hadi tak dapat menahan Isak tangisnya, lelaki itu pun terduduk didekat tubuh Bu Laela."Ibu! Bu Laela! Bangun Bu!" Hadi berusaha membangunkan Bu Laela. Hadi mengguncang tubuh Bu Laela. Hingga akhirnya Amarta menghentikan itu semua."Cukup Hadi! Bu Laela sudah meninggal!" Ucap Amarta."Kenapa bisa begini? Ayo, non! Hidupkan lagi Ibu Laela!" Hadi terisak.Amarta hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Ini diluar kendalinya, semua
Hadi termenung memikirkan pertanyaannya yang tidak dijawab oleh Amarta. Tubuhnya pasrah ditarik pergi oleh mbok Inah keluar rumah. Mereka segera masuk kedalam mobil setelah mematikan seluruh aliran listrik di rumah itu."Hadi! Sadar! Ayo cepat hidupkan mobilnya!" bentak mbok Inah.Hadi masih terdiam, hingga sebuah pukulan cukup kencang yang mendarat di kepalanya membuat ia sadar."Ah iya, maaf mbok. Saya banyak melamun." Hadi menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal lalu langsung pergi cukup jauh meninggalkan area rumah itu.Dalam keadaan gelap gulita tanpa ada penerangan sedikit pun, Amarta memulai ritualnya. Amarta memejamkan kedua matanya dan menarik nafas dalam-dalam. Dalam satu kali hentakan nafas, netra kecoklatan itu berubah menjadi warna emas yang menyala.Amarta segera membuat simbol pemanggilan dari darah Sarah yang tercecer di lantai. Walaupun keadaan gelap gulita, Amarta tidak merasa kesusahan sedikitpun seolah kegelapan adalah teman baiknya.Setelah simbol pemanggilan s
Kengerian langit malam dengan gemuruh guntur dan kilatan petir terkalahkan oleh pemandangan di dalam ruangan yang terang dan sunyi. Semua orang menatap Amarta dengan penuh tanya, "Akankah ia bisa menyelamatkan lagi Sarah kali ini?" Begitulah pertanyaan yang terpendam di dalam hati mbok Inah dan Hadi.Amarta tanpa ragu berjalan masuk. Tapak kakinya terukir pada genangan darah di atas lantai. "Hadi, suami Sarah yang melakukan ini semua, kan?" "Ya, benar!" Suara Hadi bergetar.Seharusnya tanpa bertanya pun Amarta pasti sudah tahu jawabannya. Namun wanita dengan surai kemerahan itu masih butuh menyakinkan dirinya.Sarah terbaring tidak karuan di atas tempat tidur. Hampir seluruh sprei sudah berlumuran darah. Di ujung ruangan terdapat pisau dapur yang berlumuran darah."Mbok Inah, ambilkan gunting. Hadi, ceritakan apa yang terjadi sebelumnya." Tanya Amarta seraya mengecek kondisi tubuh Sarah."Seperti biasa saya menunggu di teras samping rumah setelah bekerja. Lalu Pak Bram datang dan la