"Aku akan memberikanmu pilihan. Mati sekarang seperti temanmu ini, atau bantu aku membawa gadis itu ketempat ku menginap. Bagaimana?"
Aku tersenyum padanya, sedangkan ia menatapku penuh dengan kengerian. Ia hanya mengangguk tak jelas. Aku dapat melihat tangan kekarnya gemetar tak karuan. Sesekali matanya melihat sekilas teman yang beberapa saat lalu mengalami kejadian diluar nalar.
"Ayo, sebelum wanita itu mati. Atau mungkin kamu yang lebih dulu mati?" Aku menggodanya.
Dengan sigap lelaki itu menggotong wanita yang tubuhnya sudah mulai dingin itu. Sementara aku mengambil tas dan memasukan barang-barang yang sudah berserakan di atas jalanan.
Lobi hotel sudah sangat sepi, hanya tersisa satu orang resepsionis yang menjaga. Lelaki berusia sekitar awal 20an nampak terkejut dengan apa yang aku bawa.
"Sshhhtt." Aku menempatkan jari telunjuk didepan bibir merah ranum milikku.
Lelaki itu mengerutkan keningnya. Namun aku membalasnya dengan senyuman penuh ketenangan.
"Apa aku bisa meminta tolong?" tanyaku.
"A-apa yang terjadi? Maaf kalau saja atasan saya tahu dan saya tidak melapor, nanti saya bisa kena masalah." Lelaki itu nampak panik.
"Tidak, jangan salah paham. Ini temanku. Dia baru saja mengalami hal yang mengerikan. Ia hampir diperk*sa dan untungnya kami masih sempat menyelamatkannya. Tapi masalahnya adalah, ia adalah anak penjabat, jika ada yang tahu tentang insiden ini atau bahkan menyebarkannya mungkin orang tuanya tidak akan tinggal diam."
"Sebaiknya kamu membantu kami masuk ke kamar dulu," lanjutku.
Lelaki itu dengan terpaksa membantu kami ke kamar. Menaiki lift sampai lantai dimana aku menyewa kamar.
Sesampainya di dalam kamar, aku menyuruhnya untuk menunggu sebentar. Ia pun mengiyakan. Tak lama aku kembali dengan sebuah amplop coklat berisi uang dengan nominal yang cukup besar.
"Ini, anggaplah ini ucapan terimakasih dari kami." Aku menyerahkan amplop coklat itu padanya dengan sedikit memaksa.
Dengan ragu resepsionis itu melihat uang didalamnya. Matanya bergetar tak percaya.
"Ambil itu dan jangan beritahu siapapun soal kejadian hari ini. Akan sangat berbahaya kalau kamu membocorkan hal ini kepada orang lain. Orang tua temanku bukan penjabat biasa." Aku berusaha meyakinkannya.
"Baiklah, aku akan anggap tidak pernah melihat kalian. Terimakasih." Lelaki itu berusaha keras menyembunyikan rasa senangnya karena telah memperoleh uang yang cukup besar.
Tidak heran, kebanyakan manusia lemah dengan harta, tahta, juga wanita.
Setelah resepsionis itu pergi, lelaki berambut panjang itu mematung. Mulai sadar bahwa kini ia sendirian. Dengan perlahan ia berjalan kearah pintu, berusaha melarikan diri.
"Jangan coba-coba melarikan diri. Diamlah disitu, duduk dengan tenang."
Suara itu membuatnya seperti tersambar petir. Dengan gelagapan, lelaki berambut gondrong itu duduk diatas kursi seperti yang diperintahkan.
Setelah merasa cukup memberikan tekanan pada lelaki itu, aku mulai mengurus gadis yang sudah tak sadarkan diri ini. Dengan perlahan aku melepaskan seluruh pakaiannya yang sudah basah terkena hujan. Megantinya dengan baju tidur milikku. Mengobati luka pada keningnya dan setelah itu memberikan ia waktu untuk beristirahat.
Setelah selesai, aku memberikan pakaian kering kepada lelaki itu. Dengan gugup ia mengganti seluruh pakaian basahnya. Kini ia hanya mengenakan jubah mandi yang cukup tebal.
"Wajahmu lumayan tampan. Tubuhmu juga indah." Sekilas jari-jari tanganku menyentuh otot-otot tangannya.
"Akan lebih terlihat maskulin jika rambutmu diikat kebelakang," lanjutku.
Aku mengambil ikat rambut dari atas meja nakas disebelah tempat tidur, "duduklah." Perintahku.
Lelaki itu mengikuti apa yang aku perintahkan. Ia duduk dengan tenang sementara aku mulai merapihkan rambut hitamnya. Membelainya lembut, sehelai demi sehelai.
"Temanmu tadi tidak banyak memberikan energi padaku karena aku hanya menciumnya. Sayang sekali bukan?" tanyaku.
"A-apa maksud mu?" Lelaki itu bertanya dengan suara yang gemetar.
Aku tersenyum manis padanya, "siapa namamu?"
"Angkasa," jawabnya singkat.
"Baguslah, aku harus tahu namamu. Mungkin aku akan menggumamkannya saat kita bercinta nanti."
"Siapa sebenarnya kamu?" Lelaki bernama Angkasa itu menengadahkan kepalanya, manik mata berwarna coklat kehitaman itu bergetar penuh kengerian.
Aku membalas tatapan itu, sebelum akhirnya memilih memusatkan pandanganku pada rambut hitam miliknya yang sudah terikat rapih.
"Apa aku harus memberitahumu?" Aku tersenyum sedikit menyeringai.
"Tidak! Aku tahu kamu pasti bukan manusia! Apa yang kamu lakukan pada temanku?!" Suara Angkasa bergetar.
"Aku membunuhnya." Bisikku seraya membelai lembut kedua sisi wajahnya.
"A-apa salah kami?!" Lelaki itu berteriak histeris.
"Ssshhtt." Aku menempatkan jari telunjukku tepat pada bibir tebalnya.
"Kamu, bersama temanmu yang sudah mati itu menyiksa seorang gadis, dan berniat memperk*sanya, dan sekarang kamu bertanya apa salah kalian? Yang benar saja?!"
Suara tawa yang berasal dari mulutku memenuhi ruangan itu. "Lelaki bodoh yang selalu menempatkan wanita sebagai objek pemuas nafsu memang pantas mati seperti itu!" Lanjutku.
"Ta-tapi kami tidak membunuh. Tidak seperti mu!" Angkasa mulai terisak.
"Memang benar kalian tidak membunuh fisik korban. Namun, kalian membunuh jiwanya! Mentalnya! Apa mereka akan bisa hidup normal seperti sebelum kalian memperk*sanya?! Kamu, dan aku, kita memiliki kesamaan." Aku mulai berjalan mengitarinya, dan duduk tepat dihadapannya.
"Kita sama-sama iblis yang terkurung dalam wujud manusia."
Aku tersenyum puas setelah mengatakan hal itu. Karena memang benar, terkadang perilaku manusia lebih kejam dibandingkan iblis. Rasa iri, keserakahan, juga rasa haus akan pengakuan terkadang membuat manusia menghalalkan segala jalan. Seperti yang aku lakukan.
Aku merasa sudah cukup berbasa-basi. Lagipula lelaki ini tidak akan aku berikan kesempatan hidup. Akupun harus menjamin keamanan diriku sendiri. Dia adalah saksi mata atas apa yang aku lakukan. Walaupun kemungkinan besar tidak akan ada yang percaya pada apa yang akan ia ceritakan, namun aku harus tetap waspada.
Aku mulai melepas satu persatu pakaian basah yang aku kenakan saat itu. Memberi lelaki itu tontonan indah sebelum ajal menjemputnya. Itu sangat menyenangkan.
"K-kau mau apa?!"
Manik mata Angkasa terbelalak ketika melihat tubuh telanjangku.
"Bercinta denganmu. Bukankan sebelumnya itu yang kamu inginkan?" Aku tersenyum menggodanya.
Lelaki itu kini terlihat salah tingkah. Semburat merah muncul pada wajahnya. Entah karena ketakutan atau memang dia juga sudah terangsang. Yang pasti, tidak akan ada yang bisa menolakku.
Perlahan aku mulai membuka jubah mandinya. Membelai lembut dada bidang miliknya, menggelitiknya dibagian bawah perut sixpack itu.
Angkasa menggelinjang merasakan geli yang menyengat. Beberapa saat kemudian, kami sudah bersatu menikmati surganya dunia. Saling bersautan dengan desahan. Kulit kecoklatan miliknya mulai berkeringat, terlihat sangat menggoda.
Hingga akhirnya kami mulai mendekati klimaks, dan aku benar-benar menggumamkan namanya.
"Angkasa..."
Dan saat angkasa mencapai puncaknya, energinya sudah mulai terhisap habis sampai tak tersisa. Lelaki itu berubah persis seperti temannya. Kering seperti daging binatang yang dikeringkan.
"Ahh.."
Desahan kepuasan atas energi yang mulai bertambah terdengar memenuhi ruangan.
Aku tersenyum melihat jasad menyedihkan diatas kursi itu.
"Malaikat mungkin akan merasa bingung mencatatnya, karena aku membunuh manusia cabul seperti mereka." Aku tersenyum.
"Entah apa dosaku akan bertambah atau amalku juga yang akan bertambah?" Lanjutku.
Sekali lagi, sebuah senyuman terukir jelas pada wajah cantikku. "Hidup seperti ini lebih menyenangkan dibandingkan kehidupanku seratus tahun yang lalu."
"A-apa yang kamu lakukan padanya?!"
Sebuah suara memecah keheningan. Aku sedikit tersentak, "Rupanya kamu sudah sadar." Aku tersenyum ketir melihat kearah sumber suara.
Gadis yang sebelumnya aku tolong sudah siuman, sepertinya dia melihat apa yang aku lakukan pada Angkasa. Gadis itu menatap ngeri pada sosok diatas kursi. Kedua tangannya menutup rapat mulutnya yang mengaga saking kagetnya.
Netranya yang bergetar sesekali menatap padaku. Aku tahu apa yang dia pikirkan, maka aku akan berterus terang padanya karena aku tahu dia akan berguna nantinya.
"Hai, calon dayang ku." Seruku dengan senyuman yang mengembang.
Gadis itu beranjak dari tempat tidur, seolah ingin memastikan apa yang sebelumnya ia lihat. Kedua tangannya terus berada pada wajah mungilnya, berusaha menutupi mulutnya yang menganga."A-apa yang kamu lakukan padanya? Aku melihat semuanya tadi! Ta-tapi apa itu semua? Apa aku hanya bermimpi?" ia terus bertanya tanpa henti.Aku segera mengambil jubah mandi yang lain untuk membalut tubuh telanjang ku. Dengan santai aku menghampirinya."Tenang lah, mungkin kita bisa membicarakan ini sembari minum kopi?" Aku tersenyum tenang.Gadis itu tidak menjawab, tentu saja. Bila dia tidak terkejut melihat itu semua, bisa dipastikan dia serupa denganku. Gadis itu berjalan dengan ragu, ia berusaha melihat mayat yang mengering seperti mumi dihadapannya.Dengan santai aku membuat dua gelas kopi, sembari sesekali melempar pandangan pada gadis itu. Takut ia akan melakukan hal-hal yang tidak aku duga. Namun ternyata, dia hanya terdiam dengan tatapan kosong."Aku Amarta, aku yang menyelamatkan mu sebelumnya
Malam itu aku membiarkan Sarah beristirahat di kamar hotel milikku. Tentunya dia sempat menolak tidur sekamar dengan mayat mengerikan itu. Namun ia tidak punya pilihan lain. Sarah tidak mau ada yang tahu kejadian nahas yang baru saja menimpanya. Tentu saja karena ayahnya adalah salah satu orang berpengaruh yang tidak boleh ditimpa berita buruk.Keesokan paginya, setelah aku memberikannya baju ganti. Dia bertanya padaku, apa yang harus dilakukan pada jasad itu. Tentu saja aku memberitahunya. Ini adalah tugas pertama dihari pertamanya sebagai dayangku."Aku akan pulang terlebih dahulu, lalu kembali kesini bersama beberapa orang kepercayaanku. Tenang saja, aku akan mengurus mayat ini dengan rapih." Sarah berkata dengan yakin."Baiklah, aku akan menyerahkan semuanya padamu." Saat itu Sarah langsung pergi. Sebenarnya bisa saja dia tidak pernah kembali. Bisa saja dia pergi dan tidak menepati janjinya. Namun gadis itu ternyata memang memiliki integritas yang kuat. Dia datang bersama dua aju
Sudah satu minggu aku menghabiskan waktuku dirumah ini. Segala kebutuhanku disediakan oleh Sarah. Hanya ajudan setianya yang menemani ku disini. Terkadang, ada pikiran jail yang melintas di dalam benakku untuk menggunakan ajudan Sarah itu sebagai mainan. Hanya untuk menghiburku dikala bosan. Suatu hari aku sudah sangat berniat melakukan itu pada ajudan Sarah. Namun, tanpa aku duga. Justru aku yang hanyut dalam kisahnya. Lelaki berkepala plontos itu mengeluarkan sebuah kalimat yang menampar jiwaku. "Kamu sangat cantik, bahkan saat ini aku ingin meniduri mu. Namun, bayangan wajah dari kedua anakku menari-nari dalam pikiranku. Seolah-olah kalian berebut mendapatkan atensiku, dan anak-anak ku lah yang memenangkan pertarungan. Maka, sebisa mungkin aku mengalihkan pandanganku darimu, Nona." Begitulah kira-kira kalimat yang ia katakan. Setelah hari itu, aku berhenti menggodanya. Sejahat apapun sesuatu didalam diriku tidak akan menang melawan manusia yang benar-benar tulus. Saat ini aku h
Johan terdiam sejenak, namun akhirnya pikirannya yang dangkal membuatnya mengambil keputusan yang mungkin saja bisa dia sesali. "Baiklah, mari aku bantu." Jawabnya tanpa ragu. Sekali lagi, nafsu manusia selalu mengalahkan hati nuraninya. Dia mengikuti langkah ku kedalam kamar mandi. Tanpa ragu menyentuh apa yang seharusnya tidak dia sentuh. "Buka bajumu!" Netraku menatap lekat padanya, penuh penekanan. Perlahan Johan melepas satu persatu kaitan kancing kemejanya. Malam itu, desahan demi desahan terdengar samar bersama gemericik air yang mengalir. Sekali lagi, iblis licik ini mendapatkan kemenangan atas jiwa manusia yang haus akan kepuasan. Aku membawanya hanyut dalam gairah dan kenikmatan duniawi. Tanpa paksaan atau pun ancaman. Johan menyentuhku, mencumbu setiap jengkal tubuhku, ia terperangkap dalam lubang yang bahkan lebih memabukkan dibandingkan dengan segelas wine. Hampir satu jam kami menghabiskan waktu bersama di dalam kamar mandi. Setelahnya aku membawa pemuda itu masu
Aku membawa mercy boxer-ku melintasi jalanan kota Jogjakarta. Rodanya berputar menuju salah satu pusat perbelanjaan. Kaki jenjangku yang terbalut sepatu hak tinggi berwarna merah berjalan indah di pelataran toko. Suara ketukannya membuat setiap orang melirikku dengan pandangan yang sukar untuk diartikan. Aku berhenti di depan sebuah toko baju, dan menyadari ada seorang pria yang sudah memasang senyum manisnya menyambutku. "Halo, selamat siang. Silahkan ada yang bisa saya bantu?" Ujarnya. Aku membalas senyumannya seraya terus berjalan masuk ke dalam toko. "Siang, emm... Aku ingin pakaian untuk anak perempuan juga anak laki-laki." Netraku menelusuri pakaian yang terpajang. "Untuk usia berapa tahun kak?" Lelaki itu bertanya kembali. "Tolong pilihkan mulai dari usia 1 tahun sampai usia 12 tahun. Setiap model, untuk laki-laki dan perempuan," jawabku. Lelaki itu mematung, merasa bingung dengan kalimatku. "Aku ingin pakaian anak laki-laki dan perempuan dari usia satu tahun sampai 12
Aku sudah terpojok, dengan pakaian yang sudah tak karuan. Dengan jelas aku melihat Johan menutup pintu kamar, menguncinya dan dengan sengaja melemparnya ke sembarang arah. "Baiklah. Aku harap kalian tidak menyesal." Aku berbisik. "Tidak, kami tidak akan menyesal. Ayolah jangan terlalu banyak melawan." Lelaki berkulit hitam itu mulai menyentuh tubuhku. "Tidak ada pilihan lain. Aku harus membunuh mereka semua. Lelaki yang selalu menjadikan wanita hanya sebagai objek pemuas nafsu, memang pantas mati." Gumamku dalam hati. "Baiklah. Jangan kasar! Aku akan bermain dengan kalian." Seruku dengan suara pelan. Aku menarik lelaki yang bernama Hari. Menidurkannya dengan paksa dan segera duduk diatasnya. "Wow, kamu sedikit agresif ya." Lelaki itu tersenyum. "Aku mohon, jangan terlalu banyak melawan." Aku berbisik tepat didekat telinganya. Lelaki itu tertawa menahan geli. Untuk terakhir kali aku menatap matanya. Dengan lembut aku menggiring wajahnya hingga bibir kami saling bertaut. Sebuah c
Malam sudah sangat larut, suara burung hantu bahkan terdengar nyaring dari luar sana. Jam dinding menunjukkan pukul dua dini hari. Hadi membawa Johan ke ruang tengah, ia mengikatnya diatas kursi dan menyumpal mulutnya. "Harusnya kamu tidak usah kerja di sini Johan." Hadi menggeleng-gelengkan kepalanya tak percaya dengan apa yang terjadi pada Johan. Sarah masih berada di dalam kamar. Wanita itu memperhatikan dengan teliti kekacauan yang terjadi di sana. "Amarta, cairan apa ini?" Sarah berteriak dari dalam kamar. "Cairan apa? Aku yakin itu pasti air kencing Johan." Jawabku dengan nada kesal. "Bukan! Ini, cairan berwarna hitam dan baunya seperti bau bangkai." Sarah terdengar hampir saja muntah. Dengan santai aku menjawab seraya merebahkan diri di atas kursi ruang tamu, "Oh, itu darahku. Salah satu dari mereka melukai ku dengan pisau." Seketika Hadi mengarahkan pandangannya padaku, begitupun dengan Sarah. Wanita itu langsung keluar kamar dan menatapku tak percaya. "Kenapa darahmu
Sarah menatapku tak percaya. Dipikirkan bagaimana pun penjelasan ku tidak masuk akal. Ya, memang tidak semua hal di dunia ini bisa diterima oleh akal sehat.Malam itu, sekali lagi Sarah dan Hadi mengurus mayat-mayat yang terlihat mengerikan itu. Didalam hati mereka tahu bahwa semua tindakannya adalah salah, namun manusia cenderung patuh pada siapapun sesuai dengan situasi dan kondisi. Bagi sebagian manusia, Iman hanyalah sesuatu yang muncul disaat mereka merasa hidupnya terancam.Suara resleting terdengar nyaring ditengah keheningan malam. Dengan hati-hati Hadi memasukan mayat-mayat itu kedalam empat buah koper berukuran cukup besar. Mereka sudah tertata rapih, siap untuk dikuburkan."Aku harus kembali kerumah, ayah pasti mencariku nanti." Sarah melihat sekilas pada jam dinding."Hadi akan ikut bersamaku dulu. Siang nanti dia akan kembali ke sini," lanjut Sarah."Baiklah. Biar semua kekacauan disini aku yang urus." Aku melemparkan pandangan pada ruangan kamar tempat mayat-mayat itu se
"Mau bermain ditempat yang lebih sepi?" tanya Amarta seraya tersenyum.Bima terdiam. Seketika suara riuh itu hilang. Lelaki itu terlihat ragu namun dalam waktu bersamaan dia juga bergairah.Entah karena malam yang berlalu dengan cepat, atau karena bisikan yang menggoda telah berhasil membawa mereka melompati momen.Kini Bima dan Amarta telah berada di kamar hotel. Sebuah kamar dengan lampu yang temaram memberikan nuansa hangat. Suara klik dipintu seperti bel yang menandakan bahwa mereka telah siap saling menyibukkan diri.Bima dengan tidak sabar menautkan bibirnya pada milik Amarta. Jemarinya menari dengan indah menggelitik bagian belakang leher Amarta. Gerakannya tak terkendali, seolah telah lama ia menahan semua gairah itu.Ruangan itu begitu hening. Yang terdengar hanya deru nafas yang saling bersahutan. Beberapakali desahan terdengar namun tak lama terkubur lagi oleh keheningan.Netra Bima terpaut pada milik Amarta yang berwarna coklat tua, "Bagaimana ini?" Suara Bima terdengar s
Setelah bertemu Amarta di villa, Sarah kembali kerumah dengan rasa lega. Beberapa kali ia terdengar bersenandung seraya menyisir rambut hitam panjangnya.Wanita itu berdiri didepan cermin besar dengan bingkai kayu jati berukiran antik. Tangannya dengan trampil terus menyisir dan merapikan rambut panjang yang basah setelah mandi.Netra hitamnya menatap lekat pantulan bayangan dari cermin. Sosok cantik dan sempurna yang sekarang sedang ia lihat akan segera lenyap. Sarah menatap lekat pada setiap detail sudut wajahnya. Kulitnya yang mulus, bibirnya yang tebal dan penuh. Halis yang hitam dan terukir rapi. Serta mata indah lengkap dengan bulu mata yang lentik. Hidung mungil dan mancung menyempurnakan keseluruhan bagian wajahnya."Tidak apa-apa, aku rela mempertaruhkan semuanya demi mempunyai anak. Tentunya aku harus memiliki anak dari Bima. Anak ini harus diakui dan dijadikan pewaris tunggal." Ucap Sarah."Aku hanya perlu mempercayakan semuanya pada Amarta. Semuanya ... ." Lanjut Sarah.H
Hari itu juga Sarah pergi ke villa dimana Amarta tinggal. Sejak kejadian yang merenggut nyawa Bu Laela, ini pertama kali mereka bertemu kembali. Sarah mengedarkan pandangannya ke sekeliling villa. "Sepi, tapi masih terawat," gumam Sarah.Sarah berjalan perlahan menaiki anak tangga menuju pelataran rumah. Ia mendorong pintu depan pelan dan langsung terbuka. Tanpa ragu wanita itu masuk kedalam tanpa permisi."Kamu datang?" Suara lembut Amarta terdengar dari bagian dalam rumah. Sarah berusaha menajamkan pengelihatannya karena ruangan itu sedikit gelap."Dimana kamu?" Teriak Sarah.Sarah berjalan perlahan mengelilingi ruangan itu, hingga sebuah sentuhan lembut pada pundaknya membuatnya terperanjat."Wah gila! Kenapa gelap sekali di sini? Belum bayar listrik, hah?" sindir Sarah.Amarta tertawa pelan, "Takut? Kenapa sesama pengikut setan harus takut?" Amarta menyindir balik Sarah.Sarah tidak menanggapi jawaban Amarta, dia berjalan mencari-cari dimana kiranya tombol lampu berada. Tak lam
Target terkunciSudah empat puluh hari sejak kematian Bu Laela. Kecurigaan serta rasa gelisah perlahan luruh tidak tersisa. Pak Agus juga Sarah sudah mulai terbiasa tanpa kehadiran Bu Laela. Namun, pak Agus ternyata diam-diam menyimpan kecurigaan kepada Sarah juga menantu lelakinya."Sarah, kenapa semenjak ibu meninggal bapak belum melihat Bima tinggal disini lagi?" tanya pak Agus."Oh, Bima sibuk pak. Dia sering dinas diluar jadi memilih pulang kerumah ibu bapaknya saja. Katanya kasian kalau aku harus terganggu karena dia sering pulang tengah malam," ungkap Sarah.Pak Agus mengerutkan keningnya. "Tapi harusnya dia mendampingi kamu, Nak. Ibumu baru saja meninggal." Suara pak Agus terdengar sedikit bergetar. Ia berusaha menahan emosinya kepada menantunya itu.Sarah tersenyum. "Sudah ya Pak. Sarah juga sudah tenang kok, Sarah sudah ikhlas ibu meninggal. Bapak juga harus belajar ikhlas." Pak Agus tertunduk mendengar perkataan putrinya yang terlihat lebih tegar dibanding dirinya. Perla
Tanah merahPagi datang bersama gerimis yang turun sejak subuh. Suara dentingan air dari atap seolah menyerupai elegi yang begitu ramai. Didalam rumah Sarah justru keheningan yang pekat terasa begitu riuh.Mbok Inah dan Pak Hadi terduduk lesu di dapur kotor, tepat di bagian belakang rumah. Kilasan ingatan yang terjadi semalam terus berputar seperti kaset yang kusut didalam kepala mereka."Hari ini hasil autopsinya keluar mbok... Bagaimana kalau seandainya mereka tahu ibu dibunuh oleh iblis jahat itu?" Hadi menoleh lirih pada mbok Inah."Entah ini jawaban yang menenangkan atau justru membuatmu semakin gelisah Hadi... Selama ini, tidak ada pembunuhan yang dilakukan oleh non Amarta yang bisa terungkap oleh orang lain." Mbok Inah menatap Hadi dengan sorot mata penuh kengerian.Seketika keheningan merangkul mereka kembali untuk terbenam dalam pikirannya masing-masing. Hingga akhirnya lamunan itu hilang bersamaan dengan suara langkah kaki yang terdengar berjalan menyusuri lorong penghubung
Sarah meremas kasar rambutnya. Jemarinya penuh dengan darah yang sudah mengering. Ia sadar, dan ingat apa yang sudah ia alami."Bima! Teganya kamu..." Suara Sarah bergetar marah. Ia menutupi wajahnya yang sudah basah oleh air mata.Hadi dan mbok Inah yang masih terkejut hanya bisa terdiam menatap Sarah dengan rasa iba."Mbok Inah, Pak Hadi. Tolong bantu aku. Sekarang kalian bersihkan kamarku, jangan sampai ada jejak yang tertinggal. Lalu jasad ibu... " Sarah terdiam sejenak. "Urus semuanya, pastikan tidak ada jejak yang tertinggal," lanjutnya.Keesokan paginya kediaman Sarah mulai ramai. Beberapa polisi dan tim medis mulai berdatangan. Sarah memainkan perannya dengan baik- duduk di sudut ruangan dengan mata yang sembab. Sampai akhirnya jasad Bu Laela dibopong kedalam mobil ambulans untuk otopsi.Kabar ramai dikediaman Sarah langsung sampai pada Bima. Awalnya lelaki itu gusar, namun ia tak menyangka ternyata jasad yang ditemukan di sana bukanlah Sarah.Rasa penasaran dan ketakutan akan
Amarta berlari ke luar rumah dengan kaki telanjang berlumuran darah. Beberapa kali ia hampir terjatuh karena kakinya yang licin."Bu Laela?" Bisik Amarta begitu melihat seorang wanita tergeletak di depan rumah. Seketika kedua kaki Amarta seperti kehilangan tenaganya. Perlahan ia mendekati tubuh Bu Laela yang sudah terbujur kaku diatas tanah.Bersamaan dengan itu sebuah mobil datang memasuki halaman, dan dengan cepat Hadi dan mbok Inah berhamburan keluar menuju tempat Amarta dan Bu Laela berada."Ya ampun!" Pekik mbok Inah. Mbok Inah terduduk lemas diatas tanah.Hadi tak dapat menahan Isak tangisnya, lelaki itu pun terduduk didekat tubuh Bu Laela."Ibu! Bu Laela! Bangun Bu!" Hadi berusaha membangunkan Bu Laela. Hadi mengguncang tubuh Bu Laela. Hingga akhirnya Amarta menghentikan itu semua."Cukup Hadi! Bu Laela sudah meninggal!" Ucap Amarta."Kenapa bisa begini? Ayo, non! Hidupkan lagi Ibu Laela!" Hadi terisak.Amarta hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Ini diluar kendalinya, semua
Hadi termenung memikirkan pertanyaannya yang tidak dijawab oleh Amarta. Tubuhnya pasrah ditarik pergi oleh mbok Inah keluar rumah. Mereka segera masuk kedalam mobil setelah mematikan seluruh aliran listrik di rumah itu."Hadi! Sadar! Ayo cepat hidupkan mobilnya!" bentak mbok Inah.Hadi masih terdiam, hingga sebuah pukulan cukup kencang yang mendarat di kepalanya membuat ia sadar."Ah iya, maaf mbok. Saya banyak melamun." Hadi menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal lalu langsung pergi cukup jauh meninggalkan area rumah itu.Dalam keadaan gelap gulita tanpa ada penerangan sedikit pun, Amarta memulai ritualnya. Amarta memejamkan kedua matanya dan menarik nafas dalam-dalam. Dalam satu kali hentakan nafas, netra kecoklatan itu berubah menjadi warna emas yang menyala.Amarta segera membuat simbol pemanggilan dari darah Sarah yang tercecer di lantai. Walaupun keadaan gelap gulita, Amarta tidak merasa kesusahan sedikitpun seolah kegelapan adalah teman baiknya.Setelah simbol pemanggilan s
Kengerian langit malam dengan gemuruh guntur dan kilatan petir terkalahkan oleh pemandangan di dalam ruangan yang terang dan sunyi. Semua orang menatap Amarta dengan penuh tanya, "Akankah ia bisa menyelamatkan lagi Sarah kali ini?" Begitulah pertanyaan yang terpendam di dalam hati mbok Inah dan Hadi.Amarta tanpa ragu berjalan masuk. Tapak kakinya terukir pada genangan darah di atas lantai. "Hadi, suami Sarah yang melakukan ini semua, kan?" "Ya, benar!" Suara Hadi bergetar.Seharusnya tanpa bertanya pun Amarta pasti sudah tahu jawabannya. Namun wanita dengan surai kemerahan itu masih butuh menyakinkan dirinya.Sarah terbaring tidak karuan di atas tempat tidur. Hampir seluruh sprei sudah berlumuran darah. Di ujung ruangan terdapat pisau dapur yang berlumuran darah."Mbok Inah, ambilkan gunting. Hadi, ceritakan apa yang terjadi sebelumnya." Tanya Amarta seraya mengecek kondisi tubuh Sarah."Seperti biasa saya menunggu di teras samping rumah setelah bekerja. Lalu Pak Bram datang dan la