Home / Thriller / Amarta : Eternal Curse / Bab 4 Kutukan Yang Direncanakan

Share

Bab 4 Kutukan Yang Direncanakan

Author: Dara Aksara
last update Last Updated: 2022-07-30 22:21:19

Malam itu aku membiarkan Sarah beristirahat di kamar hotel milikku. Tentunya dia sempat menolak tidur sekamar dengan mayat mengerikan itu. Namun ia tidak punya pilihan lain. Sarah tidak mau ada yang tahu kejadian nahas yang baru saja menimpanya. Tentu saja karena ayahnya adalah salah satu orang berpengaruh yang tidak boleh ditimpa berita buruk.

Keesokan paginya, setelah aku memberikannya baju ganti. Dia bertanya padaku, apa yang harus dilakukan pada jasad itu. Tentu saja aku memberitahunya. Ini adalah tugas pertama dihari pertamanya sebagai dayangku.

"Aku akan pulang terlebih dahulu, lalu kembali kesini bersama beberapa orang kepercayaanku. Tenang saja, aku akan mengurus mayat ini dengan rapih." Sarah berkata dengan yakin.

"Baiklah, aku akan menyerahkan semuanya padamu." 

Saat itu Sarah langsung pergi. Sebenarnya bisa saja dia tidak pernah kembali. Bisa saja dia pergi dan tidak menepati janjinya. Namun gadis itu ternyata memang memiliki integritas yang kuat. Dia datang bersama dua ajudan ayahnya. Mereka memasukan mayat itu kedalam koper berukuran besar, dan saat itu juga kami pergi dari tempat itu.

"Mau kemana kita?" tanyaku pada Sarah yang duduk gelisah di dalam mobil yang sudah melaju selama tiga puluh menit.

"Aku akan mengubur mayat ini ditanah milik keluarga ku, tempatnya cukup jauh. Tapi disana masih sepi. Tidak akan ada yang tahu kita mengubur mayat di sana." Sarah menjawab dengan suara sedikit berbisik.

"Dua ajudan mu itu, apa sudah kamu pastikan mereka akan tutup mulut?" Aku melemparkan pandangan menyelidik pada dua ajudan di kursi depan.

Aku sengaja membesarkan volume suaraku agar kedua ajudan itu mendengar dengan jelas. Setelahnya, mereka saling melempar pandangan.

"Tenang saja. Mereka sudah bekerja lama dengan ayahku. Mereka berani mati untuk ayahku, juga untukku." Sarah menjawab dengan suara lantang.

Aku tersenyum puas, "Baguslah. Karena aku tidak butuh orang penakut yang hanya ingin bermain-main." 

Cukup lama waktu berlalu, akhirnya kami sampai di tempat yang Sarah maksudkan. Sebuah tempat dengan tanah merah dan pepohonan yang rimbun.

Kendaraan kami hanya bisa sampai pada bagian depan hutan. Satu orang ajudan membopong koper berisi mayat, dan satu orang lagi berjaga-jaga disekitar mobil.

Aku dan Sarah ikut masuk kedalam hutan, mengekor dari belakang seorang ajudan yang dengan susah payah membopong koper yang tidak kecil itu. Aku harus memastikan mereka membereskannya dengan rapih.

"Kamu, cepat gali tanahnya!" Perintah Sarah.

"Baik."

Salah satu ajudan Sarah melepaskan jas hitam yang ia kenakan, dan dengan sigap ia memegang cangkul lalu dipukulkan olehnya ke atas tanah.

Sedikit demi sedikit tanah merah digali. Hingga pada kedalaman tertentu, ajudan Sarah berhenti menggali. Dikeluarkannya mayat itu dari koper. Dengan asal ia melemparkan mayat itu kedalam lubang.

Aku melihat dengan jelas, tangan kekarnya gemetar. Meski ia berusaha menutupinya, aku dapat mengetahuinya dengan jelas.

"Terimakasih Sarah, tugas pertama mu sudah selesai." Aku menepuk bahunya tanda terimakasih.

"Tidak masalah, bila ada yang kamu butuhkan langsung saja katakan," jawabnya.

Setelah itu kami pergi, tidak kembali ke hotel karena semua jejak kami di sana sudah Sarah bersihkan.

Sarah membawaku ke salah satu rumah miliknya di kota ini. Untuk sementara waktu aku akan tinggal di sana sampai Sarah membereskan apa yang harus ia bereskan.

Rumah ditengah kota, dengan akses mudah ke tempat-tempat hiburan. Tempat yang sangat mencolok sekaligus tempat yang aman. Tidak akan ada orang yang menanyakan dari mana asalku, disini dengan mudah aku berbaur dengan para turis lokal.

"Rumah ini salah satu properti milik keluargaku. Jarang ada yang menempati kecuali ada keluarga dari luar kota yang datang," jelas Sarah.

"Terimakasih Sarah, tenang saja aku tidak akan tinggal terlalu lama di sini," ucapku.

Rumah dengan gerbang kayu besar berukiran khas tanah Jawa. Beberapa pohon dan tanaman memenuhi pekarangannya. Suasana syahdu dapat dengan cepat aku rasakan.

Keseluruhan bangunan menggunakan bahan dasar kayu. Di halaman belakang terdapat sebuah kolam renang yang cukup besar. Keluarga Sarah memang bukan orang biasa.

"Mari, aku antar ke dalam." Suara Sarah membuyarkan pikiranku.

Aku hanya mengangguk dan mengikutinya dari belakang. 

Begitu masuk, aku dapat langsung merasakan hawa dingin dari rumah yang tidak pernah dihuni.

"Keluarga ku hanya menyuruh satu orang pembantu untuk datang dan membersihkan rumah beberapa kali sehari." Ucap Sarah.

Aku kembali mengangguk tanpa bersuara. Dia menjelaskan hal yang sudah aku ketahui sejak awal.

"Aku akan meninggalkan satu orang ajudan di sini, jika kamu membutuhkan sesuatu katakan saja padanya." 

"Terimakasih Sarah." Ucapku seraya tersenyum.

"Selama aku mengurus semua pekerjaan yang sudah kamu berikan, aku harap kamu nyaman tinggal di sini." 

"Baiklah, selesaikan semuanya secepat mungkin Sarah." 

Sarah hanya mengangguk mengiyakan. Tak lama gadis itu pun segera pergi.

Tidak apa walaupun memakan waktu lama. Karena aku sudah menghisap energi kehidupan dari dua orang lelaki sampai mereka mengering sebelumnya, aku sudah memiliki cukup energi sampai belasan tahun ke depan.

Hanya saja, energi yang aku dapatkan dari manusia yang melewati satu malam denganku tidak akan sama dengan energi yang aku dapatkan dari lelaki yang hidup bersamaku bertahun-tahun.

Hidup bersama mereka, membelai tubuhnya setiap malam sampai mereka jatuh cinta padaku, itu adalah cara untuk mendapatkan energi yang lebih maksimal.

Namun untuk beberapa tahun ini, aku sangat menghindari pernikahan. Aku sedang memasuki siklus tanpa pernikahan untuk beberapa tahun kedepan.

Untuk sementara mengencani pria-pria hidung belang adalah cara yang tepat. Membalaskan dendam ku pada mereka yang selalu melihat manusia dari fisiknya, itulah tujuan hidupku selama ini.

"Aku tidak akan menyia-nyiakan wajah cantikku tanpa tujuan apapun. Aku sudah mengorbankan semuanya untuk sampai pada titik ini, maka tidak boleh ada penyesalan sedikitpun atas semua tindakan yang telah aku lakukan." 

Aku berdialog pada pantulan bayanganku di dalam cermin. Bayangan seorang gadis muda dengan rambut sewarna dengan tanah. Kulit putih bak porselen, dengan wajah oval.

"Aku tidak pernah bermimpi akan mempunyai wajah secantik ini," gumamku.

Dengan satu lirikan mata, lelaki mana saja akan jatuh dalam lubang perangkapku. Mereka akan mengikuti bisikan hawa nafsu, tanpa sadar hal itulah yang terkahir mereka lakukan di dunia ini. 

Namun, dari seluruh gambaran sempurna tentang diriku, aku dengan jelas mengingat bagaimana rupaku saat dilahirkan ke dunia ini.

Entah ada dendam apa Tuhan kepada diriku. Ketika yang lain dilahirkan begitu indah dan membawa kebahagiaan, aku justru terlahir begitu mengerikan.

"Kedua orang tuaku selalu berkata bahwa ini semua adalah ujian, namun yang lain mengatakan aku adalah sebuah kutukan. Hidup memang hanya berpihak pada orang-orang berparas rupawan." Aku kembali bergumam.

Sepertinya perkataan mereka yang menghantarkan aku pada kehidupan yang sekarang adalah kutukan yang sesungguhnya. Aku membiarkan setiap kata buruk itu bersarang pada hatiku, hingga tempat itu menjadi sarang segala keserakahan, iri juga dengki.

"Aku bertapa di dalam hutan untuk mendapatkan rupa seperti ini, agar aku dapat diterima dimasyarakat juga dapat di cintai. Namun sekarang, justru aku yang tidak boleh jatuh cinta." Aku memandang pantulan bayangan di cermin yang terlihat penuh dengan kekosongan.

Namun aku tidak menyesal, aku tidak boleh menyesal. Karena sudah banyak hal yang aku korbankan. Sekarang perlahan namun pasti, hatiku sudah mati. 

Related chapters

  • Amarta : Eternal Curse   Bab 5 Nafsu

    Sudah satu minggu aku menghabiskan waktuku dirumah ini. Segala kebutuhanku disediakan oleh Sarah. Hanya ajudan setianya yang menemani ku disini. Terkadang, ada pikiran jail yang melintas di dalam benakku untuk menggunakan ajudan Sarah itu sebagai mainan. Hanya untuk menghiburku dikala bosan. Suatu hari aku sudah sangat berniat melakukan itu pada ajudan Sarah. Namun, tanpa aku duga. Justru aku yang hanyut dalam kisahnya. Lelaki berkepala plontos itu mengeluarkan sebuah kalimat yang menampar jiwaku. "Kamu sangat cantik, bahkan saat ini aku ingin meniduri mu. Namun, bayangan wajah dari kedua anakku menari-nari dalam pikiranku. Seolah-olah kalian berebut mendapatkan atensiku, dan anak-anak ku lah yang memenangkan pertarungan. Maka, sebisa mungkin aku mengalihkan pandanganku darimu, Nona." Begitulah kira-kira kalimat yang ia katakan. Setelah hari itu, aku berhenti menggodanya. Sejahat apapun sesuatu didalam diriku tidak akan menang melawan manusia yang benar-benar tulus. Saat ini aku h

    Last Updated : 2022-07-30
  • Amarta : Eternal Curse   Bab 6 Antara Pilihan Atau pengorbanan

    Johan terdiam sejenak, namun akhirnya pikirannya yang dangkal membuatnya mengambil keputusan yang mungkin saja bisa dia sesali. "Baiklah, mari aku bantu." Jawabnya tanpa ragu. Sekali lagi, nafsu manusia selalu mengalahkan hati nuraninya. Dia mengikuti langkah ku kedalam kamar mandi. Tanpa ragu menyentuh apa yang seharusnya tidak dia sentuh. "Buka bajumu!" Netraku menatap lekat padanya, penuh penekanan. Perlahan Johan melepas satu persatu kaitan kancing kemejanya. Malam itu, desahan demi desahan terdengar samar bersama gemericik air yang mengalir. Sekali lagi, iblis licik ini mendapatkan kemenangan atas jiwa manusia yang haus akan kepuasan. Aku membawanya hanyut dalam gairah dan kenikmatan duniawi. Tanpa paksaan atau pun ancaman. Johan menyentuhku, mencumbu setiap jengkal tubuhku, ia terperangkap dalam lubang yang bahkan lebih memabukkan dibandingkan dengan segelas wine. Hampir satu jam kami menghabiskan waktu bersama di dalam kamar mandi. Setelahnya aku membawa pemuda itu masu

    Last Updated : 2022-08-26
  • Amarta : Eternal Curse   Bab 7 Manusia Iblis

    Aku membawa mercy boxer-ku melintasi jalanan kota Jogjakarta. Rodanya berputar menuju salah satu pusat perbelanjaan. Kaki jenjangku yang terbalut sepatu hak tinggi berwarna merah berjalan indah di pelataran toko. Suara ketukannya membuat setiap orang melirikku dengan pandangan yang sukar untuk diartikan. Aku berhenti di depan sebuah toko baju, dan menyadari ada seorang pria yang sudah memasang senyum manisnya menyambutku. "Halo, selamat siang. Silahkan ada yang bisa saya bantu?" Ujarnya. Aku membalas senyumannya seraya terus berjalan masuk ke dalam toko. "Siang, emm... Aku ingin pakaian untuk anak perempuan juga anak laki-laki." Netraku menelusuri pakaian yang terpajang. "Untuk usia berapa tahun kak?" Lelaki itu bertanya kembali. "Tolong pilihkan mulai dari usia 1 tahun sampai usia 12 tahun. Setiap model, untuk laki-laki dan perempuan," jawabku. Lelaki itu mematung, merasa bingung dengan kalimatku. "Aku ingin pakaian anak laki-laki dan perempuan dari usia satu tahun sampai 12

    Last Updated : 2022-08-26
  • Amarta : Eternal Curse   Bab 8 Mayat

    Aku sudah terpojok, dengan pakaian yang sudah tak karuan. Dengan jelas aku melihat Johan menutup pintu kamar, menguncinya dan dengan sengaja melemparnya ke sembarang arah. "Baiklah. Aku harap kalian tidak menyesal." Aku berbisik. "Tidak, kami tidak akan menyesal. Ayolah jangan terlalu banyak melawan." Lelaki berkulit hitam itu mulai menyentuh tubuhku. "Tidak ada pilihan lain. Aku harus membunuh mereka semua. Lelaki yang selalu menjadikan wanita hanya sebagai objek pemuas nafsu, memang pantas mati." Gumamku dalam hati. "Baiklah. Jangan kasar! Aku akan bermain dengan kalian." Seruku dengan suara pelan. Aku menarik lelaki yang bernama Hari. Menidurkannya dengan paksa dan segera duduk diatasnya. "Wow, kamu sedikit agresif ya." Lelaki itu tersenyum. "Aku mohon, jangan terlalu banyak melawan." Aku berbisik tepat didekat telinganya. Lelaki itu tertawa menahan geli. Untuk terakhir kali aku menatap matanya. Dengan lembut aku menggiring wajahnya hingga bibir kami saling bertaut. Sebuah c

    Last Updated : 2022-08-29
  • Amarta : Eternal Curse   Bab 9 Darah

    Malam sudah sangat larut, suara burung hantu bahkan terdengar nyaring dari luar sana. Jam dinding menunjukkan pukul dua dini hari. Hadi membawa Johan ke ruang tengah, ia mengikatnya diatas kursi dan menyumpal mulutnya. "Harusnya kamu tidak usah kerja di sini Johan." Hadi menggeleng-gelengkan kepalanya tak percaya dengan apa yang terjadi pada Johan. Sarah masih berada di dalam kamar. Wanita itu memperhatikan dengan teliti kekacauan yang terjadi di sana. "Amarta, cairan apa ini?" Sarah berteriak dari dalam kamar. "Cairan apa? Aku yakin itu pasti air kencing Johan." Jawabku dengan nada kesal. "Bukan! Ini, cairan berwarna hitam dan baunya seperti bau bangkai." Sarah terdengar hampir saja muntah. Dengan santai aku menjawab seraya merebahkan diri di atas kursi ruang tamu, "Oh, itu darahku. Salah satu dari mereka melukai ku dengan pisau." Seketika Hadi mengarahkan pandangannya padaku, begitupun dengan Sarah. Wanita itu langsung keluar kamar dan menatapku tak percaya. "Kenapa darahmu

    Last Updated : 2022-08-30
  • Amarta : Eternal Curse   Bab 10 Mayat Dalam Koper

    Sarah menatapku tak percaya. Dipikirkan bagaimana pun penjelasan ku tidak masuk akal. Ya, memang tidak semua hal di dunia ini bisa diterima oleh akal sehat.Malam itu, sekali lagi Sarah dan Hadi mengurus mayat-mayat yang terlihat mengerikan itu. Didalam hati mereka tahu bahwa semua tindakannya adalah salah, namun manusia cenderung patuh pada siapapun sesuai dengan situasi dan kondisi. Bagi sebagian manusia, Iman hanyalah sesuatu yang muncul disaat mereka merasa hidupnya terancam.Suara resleting terdengar nyaring ditengah keheningan malam. Dengan hati-hati Hadi memasukan mayat-mayat itu kedalam empat buah koper berukuran cukup besar. Mereka sudah tertata rapih, siap untuk dikuburkan."Aku harus kembali kerumah, ayah pasti mencariku nanti." Sarah melihat sekilas pada jam dinding."Hadi akan ikut bersamaku dulu. Siang nanti dia akan kembali ke sini," lanjut Sarah."Baiklah. Biar semua kekacauan disini aku yang urus." Aku melemparkan pandangan pada ruangan kamar tempat mayat-mayat itu se

    Last Updated : 2022-08-31
  • Amarta : Eternal Curse   Bab 11 Sarah

    Beberapa jam sebelumnya...Setelah pertemuan pertamanya dengan Amarta, kehidupan Sarah tak lagi sama. Dia jelas sangat menghargai pertolongan yang Amarta berikan, namun resiko dari menerima pertolongan itu ternyata cukup menyusahkannya.Setelah membunuh lelaki yang hendak memperkosanya, kini Amarta membunuh lagi empat orang lelaki sekaligus. Entah sampai kapan Sarah dapat menutupi semua tindakan kriminal ini.Dini hari Sarah baru saja kembali dari kediaman Amarta. Dia terburu-buru karena harus menghadiri beberapa pertemuan penting."Setelah pertemuan ku bersama ayah selesai, aku mau kamu langsung bersiap menuju kediaman Amarta." Sarah memberi perintah pada Hadi sembari berjalan terburu-buru kedalam rumahnya."Baik non." Hadi menundukan kepalanya tanda mengerti.Sarah sengaja melepaskan alas kaki miliknya, ia takut orang tuanya akan terbangun mendengar suara ketukan sepatu saat hari bahkan masih gelap.Perlahan kakinya berjalan menaiki anak tangga, menuju kamar tidurnya.Sesampainya di

    Last Updated : 2022-09-01
  • Amarta : Eternal Curse   Bab 12 Mbok Inah

    Sarah duduk di lantai, ia bersimpuh bersama mbok Inah."Aku mohon Amarta, kali ini saja... Ampuni nyawa simbok." Sarah menatap Amarta penuh harapan."Tapi dia sudah melihat mayat itu Sarah, akan lebih mudah dia mati sekarang dan kita akan menguburnya bersama mayat didalam koper itu," seru Amarta."Tapi dia sudah aku anggap sebagai ibuku sendiri... Aku sudah mengenalnya sejak kecil." Suara Sarah mulai meninggi."Lalu, apa kamu bisa mencari jalan keluar selain membunuh dia?" desak Amarta.Sarah beranjak dari posisinya, gadis itu berdiri dan mulai berjalan menghampiri Amarta.Perlahan Sarah membisikan sebuah kalimat tepat didekat telinga Amarta, "Dia mungkin melihat mayat, namun ia tidak mengetahui siapa yang yang membunuhnya." Sarah menatap Amarta penuh yakin."Jadi, kamu tidak keberatan mengakui bahwa semua itu ulahmu sebagai jaminan?" sindir Amarta."Tentu saja. Asal biarkan dia hidup," usul Sarah."Sebagai gantinya, wanita itu harus tinggal bersamaku, dan ikut kemanapun aku pergi aga

    Last Updated : 2022-09-02

Latest chapter

  • Amarta : Eternal Curse   Bab 70 Dibalik Sehelai Kain

    "Mau bermain ditempat yang lebih sepi?" tanya Amarta seraya tersenyum.Bima terdiam. Seketika suara riuh itu hilang. Lelaki itu terlihat ragu namun dalam waktu bersamaan dia juga bergairah.Entah karena malam yang berlalu dengan cepat, atau karena bisikan yang menggoda telah berhasil membawa mereka melompati momen.Kini Bima dan Amarta telah berada di kamar hotel. Sebuah kamar dengan lampu yang temaram memberikan nuansa hangat. Suara klik dipintu seperti bel yang menandakan bahwa mereka telah siap saling menyibukkan diri.Bima dengan tidak sabar menautkan bibirnya pada milik Amarta. Jemarinya menari dengan indah menggelitik bagian belakang leher Amarta. Gerakannya tak terkendali, seolah telah lama ia menahan semua gairah itu.Ruangan itu begitu hening. Yang terdengar hanya deru nafas yang saling bersahutan. Beberapakali desahan terdengar namun tak lama terkubur lagi oleh keheningan.Netra Bima terpaut pada milik Amarta yang berwarna coklat tua, "Bagaimana ini?" Suara Bima terdengar s

  • Amarta : Eternal Curse   Bab 69 Bias Cahaya Malam

    Setelah bertemu Amarta di villa, Sarah kembali kerumah dengan rasa lega. Beberapa kali ia terdengar bersenandung seraya menyisir rambut hitam panjangnya.Wanita itu berdiri didepan cermin besar dengan bingkai kayu jati berukiran antik. Tangannya dengan trampil terus menyisir dan merapikan rambut panjang yang basah setelah mandi.Netra hitamnya menatap lekat pantulan bayangan dari cermin. Sosok cantik dan sempurna yang sekarang sedang ia lihat akan segera lenyap. Sarah menatap lekat pada setiap detail sudut wajahnya. Kulitnya yang mulus, bibirnya yang tebal dan penuh. Halis yang hitam dan terukir rapi. Serta mata indah lengkap dengan bulu mata yang lentik. Hidung mungil dan mancung menyempurnakan keseluruhan bagian wajahnya."Tidak apa-apa, aku rela mempertaruhkan semuanya demi mempunyai anak. Tentunya aku harus memiliki anak dari Bima. Anak ini harus diakui dan dijadikan pewaris tunggal." Ucap Sarah."Aku hanya perlu mempercayakan semuanya pada Amarta. Semuanya ... ." Lanjut Sarah.H

  • Amarta : Eternal Curse   Bab 68 Tumbal Selanjutnya

    Hari itu juga Sarah pergi ke villa dimana Amarta tinggal. Sejak kejadian yang merenggut nyawa Bu Laela, ini pertama kali mereka bertemu kembali. Sarah mengedarkan pandangannya ke sekeliling villa. "Sepi, tapi masih terawat," gumam Sarah.Sarah berjalan perlahan menaiki anak tangga menuju pelataran rumah. Ia mendorong pintu depan pelan dan langsung terbuka. Tanpa ragu wanita itu masuk kedalam tanpa permisi."Kamu datang?" Suara lembut Amarta terdengar dari bagian dalam rumah. Sarah berusaha menajamkan pengelihatannya karena ruangan itu sedikit gelap."Dimana kamu?" Teriak Sarah.Sarah berjalan perlahan mengelilingi ruangan itu, hingga sebuah sentuhan lembut pada pundaknya membuatnya terperanjat."Wah gila! Kenapa gelap sekali di sini? Belum bayar listrik, hah?" sindir Sarah.Amarta tertawa pelan, "Takut? Kenapa sesama pengikut setan harus takut?" Amarta menyindir balik Sarah.Sarah tidak menanggapi jawaban Amarta, dia berjalan mencari-cari dimana kiranya tombol lampu berada. Tak lam

  • Amarta : Eternal Curse   Bab 67

    Target terkunciSudah empat puluh hari sejak kematian Bu Laela. Kecurigaan serta rasa gelisah perlahan luruh tidak tersisa. Pak Agus juga Sarah sudah mulai terbiasa tanpa kehadiran Bu Laela. Namun, pak Agus ternyata diam-diam menyimpan kecurigaan kepada Sarah juga menantu lelakinya."Sarah, kenapa semenjak ibu meninggal bapak belum melihat Bima tinggal disini lagi?" tanya pak Agus."Oh, Bima sibuk pak. Dia sering dinas diluar jadi memilih pulang kerumah ibu bapaknya saja. Katanya kasian kalau aku harus terganggu karena dia sering pulang tengah malam," ungkap Sarah.Pak Agus mengerutkan keningnya. "Tapi harusnya dia mendampingi kamu, Nak. Ibumu baru saja meninggal." Suara pak Agus terdengar sedikit bergetar. Ia berusaha menahan emosinya kepada menantunya itu.Sarah tersenyum. "Sudah ya Pak. Sarah juga sudah tenang kok, Sarah sudah ikhlas ibu meninggal. Bapak juga harus belajar ikhlas." Pak Agus tertunduk mendengar perkataan putrinya yang terlihat lebih tegar dibanding dirinya. Perla

  • Amarta : Eternal Curse   Bab 66

    Tanah merahPagi datang bersama gerimis yang turun sejak subuh. Suara dentingan air dari atap seolah menyerupai elegi yang begitu ramai. Didalam rumah Sarah justru keheningan yang pekat terasa begitu riuh.Mbok Inah dan Pak Hadi terduduk lesu di dapur kotor, tepat di bagian belakang rumah. Kilasan ingatan yang terjadi semalam terus berputar seperti kaset yang kusut didalam kepala mereka."Hari ini hasil autopsinya keluar mbok... Bagaimana kalau seandainya mereka tahu ibu dibunuh oleh iblis jahat itu?" Hadi menoleh lirih pada mbok Inah."Entah ini jawaban yang menenangkan atau justru membuatmu semakin gelisah Hadi... Selama ini, tidak ada pembunuhan yang dilakukan oleh non Amarta yang bisa terungkap oleh orang lain." Mbok Inah menatap Hadi dengan sorot mata penuh kengerian.Seketika keheningan merangkul mereka kembali untuk terbenam dalam pikirannya masing-masing. Hingga akhirnya lamunan itu hilang bersamaan dengan suara langkah kaki yang terdengar berjalan menyusuri lorong penghubung

  • Amarta : Eternal Curse   Bab 65 Peran Iblis yang dimainkan oleh manusia

    Sarah meremas kasar rambutnya. Jemarinya penuh dengan darah yang sudah mengering. Ia sadar, dan ingat apa yang sudah ia alami."Bima! Teganya kamu..." Suara Sarah bergetar marah. Ia menutupi wajahnya yang sudah basah oleh air mata.Hadi dan mbok Inah yang masih terkejut hanya bisa terdiam menatap Sarah dengan rasa iba."Mbok Inah, Pak Hadi. Tolong bantu aku. Sekarang kalian bersihkan kamarku, jangan sampai ada jejak yang tertinggal. Lalu jasad ibu... " Sarah terdiam sejenak. "Urus semuanya, pastikan tidak ada jejak yang tertinggal," lanjutnya.Keesokan paginya kediaman Sarah mulai ramai. Beberapa polisi dan tim medis mulai berdatangan. Sarah memainkan perannya dengan baik- duduk di sudut ruangan dengan mata yang sembab. Sampai akhirnya jasad Bu Laela dibopong kedalam mobil ambulans untuk otopsi.Kabar ramai dikediaman Sarah langsung sampai pada Bima. Awalnya lelaki itu gusar, namun ia tak menyangka ternyata jasad yang ditemukan di sana bukanlah Sarah.Rasa penasaran dan ketakutan akan

  • Amarta : Eternal Curse   64 Hati dan Jasad yang mati

    Amarta berlari ke luar rumah dengan kaki telanjang berlumuran darah. Beberapa kali ia hampir terjatuh karena kakinya yang licin."Bu Laela?" Bisik Amarta begitu melihat seorang wanita tergeletak di depan rumah. Seketika kedua kaki Amarta seperti kehilangan tenaganya. Perlahan ia mendekati tubuh Bu Laela yang sudah terbujur kaku diatas tanah.Bersamaan dengan itu sebuah mobil datang memasuki halaman, dan dengan cepat Hadi dan mbok Inah berhamburan keluar menuju tempat Amarta dan Bu Laela berada."Ya ampun!" Pekik mbok Inah. Mbok Inah terduduk lemas diatas tanah.Hadi tak dapat menahan Isak tangisnya, lelaki itu pun terduduk didekat tubuh Bu Laela."Ibu! Bu Laela! Bangun Bu!" Hadi berusaha membangunkan Bu Laela. Hadi mengguncang tubuh Bu Laela. Hingga akhirnya Amarta menghentikan itu semua."Cukup Hadi! Bu Laela sudah meninggal!" Ucap Amarta."Kenapa bisa begini? Ayo, non! Hidupkan lagi Ibu Laela!" Hadi terisak.Amarta hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Ini diluar kendalinya, semua

  • Amarta : Eternal Curse   Bab 63 Tumbal

    Hadi termenung memikirkan pertanyaannya yang tidak dijawab oleh Amarta. Tubuhnya pasrah ditarik pergi oleh mbok Inah keluar rumah. Mereka segera masuk kedalam mobil setelah mematikan seluruh aliran listrik di rumah itu."Hadi! Sadar! Ayo cepat hidupkan mobilnya!" bentak mbok Inah.Hadi masih terdiam, hingga sebuah pukulan cukup kencang yang mendarat di kepalanya membuat ia sadar."Ah iya, maaf mbok. Saya banyak melamun." Hadi menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal lalu langsung pergi cukup jauh meninggalkan area rumah itu.Dalam keadaan gelap gulita tanpa ada penerangan sedikit pun, Amarta memulai ritualnya. Amarta memejamkan kedua matanya dan menarik nafas dalam-dalam. Dalam satu kali hentakan nafas, netra kecoklatan itu berubah menjadi warna emas yang menyala.Amarta segera membuat simbol pemanggilan dari darah Sarah yang tercecer di lantai. Walaupun keadaan gelap gulita, Amarta tidak merasa kesusahan sedikitpun seolah kegelapan adalah teman baiknya.Setelah simbol pemanggilan s

  • Amarta : Eternal Curse   Bab 62 Darah disudut ruangan

    Kengerian langit malam dengan gemuruh guntur dan kilatan petir terkalahkan oleh pemandangan di dalam ruangan yang terang dan sunyi. Semua orang menatap Amarta dengan penuh tanya, "Akankah ia bisa menyelamatkan lagi Sarah kali ini?" Begitulah pertanyaan yang terpendam di dalam hati mbok Inah dan Hadi.Amarta tanpa ragu berjalan masuk. Tapak kakinya terukir pada genangan darah di atas lantai. "Hadi, suami Sarah yang melakukan ini semua, kan?" "Ya, benar!" Suara Hadi bergetar.Seharusnya tanpa bertanya pun Amarta pasti sudah tahu jawabannya. Namun wanita dengan surai kemerahan itu masih butuh menyakinkan dirinya.Sarah terbaring tidak karuan di atas tempat tidur. Hampir seluruh sprei sudah berlumuran darah. Di ujung ruangan terdapat pisau dapur yang berlumuran darah."Mbok Inah, ambilkan gunting. Hadi, ceritakan apa yang terjadi sebelumnya." Tanya Amarta seraya mengecek kondisi tubuh Sarah."Seperti biasa saya menunggu di teras samping rumah setelah bekerja. Lalu Pak Bram datang dan la

DMCA.com Protection Status