—[Allium Sativum POV]—
Gue pulang ke rumah tepat sebelum makan malam, jadi gue masih bisa mandi setidaknya untuk meregangkan otot yang lelah karena seharian berada di rumah sakit.
Sesibuk-sibuknya gue, kalau memang nggak ada operasi malam, gue bakal selalu meluangkan waktu gue untuk makan malam bareng keluarga, begitu juga Ayah. Beda cerita dengan Nia dan Bunda yang memang selalu di rumah.
"Ucup tumben hari ini nggak ke sini. Lagi marahan?" tanya Bunda sambil melirik Nia yang sedang menyuapkan nasi ke dalam mulut.
Gue juga secara refleks ikut menoleh ke Nia, biasanya Si Pecinta Lele itu emang ada di tengah acara makan malam keluarga gue. Walaupun tuh anak belum sepenuhnya jadi adik ipar gue, tapi dia udah jadi bagian keluarga. So, kalau dia nggak ada serasa ada yang kurang.
"Eh ... nggak marahan kok, Bun. Ucup lagi ke acara nikahan," ucap Nia.
"Oh, teman Ucup ada yang nikah?"
Nia menggelengkan kepalanya.
"Enggak, Bun. Bukan teman Ucup. Tapi ikan lelenya Ucup yang nikah."Gue hampir ketawa keras pas Ayah nyemburin minumannya. Tapi gue takut dosa kalau ketawa, jadi gue coba tahan.
"Ayah baik-baik aja, 'kan?" tanya Bunda panik sambil mengusap punggung Ayah.
"Ayah gak papa, Bun. Yang ada apa-apa itu calon mantu kita, dia udah jadi anggota polisi masa masih main ikan lele. Di mana wibawanya?"
"Masih mending mainin ikan lele daripada mainin perasaan anak kita. Udah sih, Yah. Menurut Bunda nggak ada masalah kalau emang hobby Ucup gitu, yang penting 'kan nggak merugikan orang lain," jelas Bunda.
Gue mah masih khusu' makan, nggak terlalu penting juga sama hobby Ucup yang nyleneh itu semenjak SMA dulu. Bagi gue yang penting Ucup sayang sama Nia, itu aja sih.
"Kalau Abang sendiri, kapan kenalin Miska ke Bunda?"
Gue menelan nasi secara kasar.
"Miska siapa?" tanya gue pura-pura bego."Calon istri Abang," jawab Nia sambil terkekeh pelan. "Nia kira Abang masih ngarepin Ka Nadia, ternyata udah move-on keren! Mana tiga bulan lagi nikah."
"Loh, Abang mau nikah tiga bulan lagi? Kok Bunda sama Ayah nggak diundang?" Ayah seperti biasa mulai meledek gue.
Lagian mana mungkin gue nggak ngundang orangtua sendiri di acara nikahan gue. Yang jadi masalahnya itu, gue nggak kenal siapa itu Miska. Sumpah, kisah cinta gue lebih drama daripada novel-novel yang dijodohin orangtuanya lalu jadi cinta di akhir cerita.
Gue yakin keluarga gue tau dari acara gosip yang ditayangin di TV. Tapi sekarang yang ada dipikiran gue malah Nadia. Gimana kalau Nadia tau tentang ini? Pasti Nadia salah paham dan ngira gue PHP-in dia selama ini.
"Abang, kok diem aja? Malu ya?"
Mulut Nia lama-lama pengin gue jahit. Nggak tau apa kalau gue lagi mikir keras tentang hubungan gue sama Nadia yang makin diujung tanduk.
Daripada gue jawab pertanyaan Nia, gue lebih milih habisin makan malam dan pergi ke rumah Nadia. Lagipula keluarga gue semakin gue jawab, mereka bakal makin menghujani gue dengan banyak pertanyaan dan gue gak suka.
***
Setelah acara makan malam, gue langsung menuju rumah Nadia. Gue bener-bener nggak mau Nadia percaya sama berita yang ada di TV.
Begitu pintu terbuka yang pertama kali terlintas di otak gue adalah ....
Cantik.
Gue selalu terhipnotis dengan penampilan Nadia. Tanpa polesan apa pun pada wajahnya tetap terlihat mengagumkan.
"Alli ... ayo masuk, kamu duduk dulu, biar aku ambilin minum."
Gue lalu duduk di sofa berwarna biru tua sambil natap Nadia yang pergi ke dapur dan ngambilin gue minum.
Nggak ada yang berubah dari perilaku Nadia, dia masih memperlakukan gue dengan baik. Terus apa itu berarti Nadia belum lihat berita tentang gue dan Miska?
Nadia berjalan dengan anggun sembari membawa secangkir teh manis untuk gue. Nadia memang tau kalau gue memang suka minum teh ketika malam, memang calon istri idaman.
"Minum dulu, All."
Gue cuma ngangguk mulai menyeruput teh manis yang kalah manis dari Nadia. Karena malam ini Nadia manisnya kebangetan. Sumpah gue nggak bohong.
"Jadi gimana awal mula kamu ketemu Miska?"
Uhuk uhuk uhuk.
Sumpah gue kaget dengan pertanyaan Nadia yang nggak ada basa-basinya sama sekali dan langsung ke inti. Aturan pakai aba-aba dulu biar gue nggak kaget sampai tenggorokan gue sakit banget kesedak. Mungkin ini karma buat gue karena tadi mau ketawain Ayah. Ampuni dosa anakmu ini, Ayah.
"Aduh sorry, harusnya aku nggak ajak kamu ngobrol pas kamu minum." Nadia buru-buru mengusap mulut gue dengan tisu. Jomblo dilarang baper. Eh ... gue lupa kalau gue juga jomblo.
"Nad, sumpah aku nggak ada hubungan apa-apa sama Miska," ucapku sungguh-sungguh.
"Kalau ada hubungan apa-apa juga nggak papa kok." Nadia senyum sambil natap wajah gue. Gue yakin seratus persen kalau cewek bilang nggak papa udah pasti dia sebenernya cemburu. Gue udah hapal kode cewek.
"Cemburu, ya?" tanya gue meledek.
"Cemburu?" Nadia ketawa keras lalu mukul kepala gue pakai bantal, nggak sakit tapi lumayan bikin kepala gue oleng, "ngapain juga aku cemburu sama kamu, All."
Nadia ngambil ponselnya lalu ngangkat tinggi ke depan wajah gue.
"Aku baru jadian sama Haikal."Hah?
"Gimana-gimana?" tanya gue yang kayanya mulai bego beneran.
Nadia senyum.
"Aku baru jadian sama Haikal," ulangnya."Yang cinta sama kamu itu aku tapi kenapa kamu jadiannya sama Haikal?" sumpah gue nggak paham sama otak cewek. Di saat ada yang mati-matian cinta sama dia tapi kenapa dia nggak peduli dan malah milih cowok lain.
"All, dari awal aku kenal kamu, aku yakin kalau kamu itu bakal jadi sahabat yang baik buat aku. Makanya aku pengin kamu jadi sahabat aku sampai kapanpun. Aku nggak mau kita terlalu jauh, dan yang paling penting aku nggak mau kehilangan kamu."
Bener-bener gue nggak ngerti otak Nadia. Kalau dia nggak mau kehilangan gue, ya mending dia langsung nikah sama gue dan kita bakal bareng terus lalu bahagia selamanya. Kalau cuma sahabat, dia bisa nikah sama cowok lain. Gimana hati gue coy, gimana? Mungkin ini yang dinamakan sakit tapi tak berdarah.
"Gimana kamu sama Miska?"
"Kamu bener-bener nggak ada perasaan sedikit pun ke aku, Nad? Kamu nggak cemburu kalau aku nikah sama cewek lain?" tanya gue sekali lagi mengabaikan pertanyaan Nadia.
"Aku malah seneng kalau akhirnya kamu nemuin pasangan, All." Wajah Nadia berbinar sempurna. Nggak pernah gue lihat Nadia sebahagia ini.
Sumpah, gue jadi pengin nyanyi lagu 'Entah apa yang merasukimu' buat Nadia.
—Bersambung—
—[Allium Sativum POV]—"Cie ... Calon Pengantin, kusut amat tuh wajah kayak taplak meja belum disetrika."Gue langsung melotot mendengar ucapan Leo. Baru sampai ke kantin udah kena ejekan aja gue."Tega lu, Sob. Nggak kasih tau kita kalau pacaran sama pemain sinetron Janji Hati, gue suka banget itu sinetron padahal." Kini Abiyan yang memberi komentar.Gue menghembuskan napas. Berita tentang pernikahan gue sudah beredar ke mana-mana, padahal gue aja nggak kenal sama sosok manusia yang ngaku-ngaku jadi calon istri gue itu."Bagaimana perasaan Anda setelah berita ini viral?" tanya Abiyan sambil menodongkan botol minuman ke arah mulut gueseolah dia adalah wartawan."Sudah berapa lama Anda melakukan backstreet?" Leo melakukan hal yang sama seperti Abiyan.Lalu mereka tertawa seolah kehidupan gue lucu. Memang laknat sekali teman-teman gue ini."Bacot, ya, kalian!" sambar gue.Abiyan dan Leo mala
—[Allium Sativum POV]— Hari ini gue shift malam, jadi gue bisa nyantai dulu di rumah sambil nonton tv. Gue melirik ke arah Nia dan Ucup yang sedang bermain dengan Shila—keponakan Ucup. Gue mematikan tv karena acara gosip yang dibahas masih tentang gue dan cewek gila bernama Miska, bisa-bisanya berita itu bisa trending di mana-mana. "Minum dulu, Bang." Bunda memberikan segelas es jeruk buat gue. Bunda gue memang yang terbaik, padahal gue udah gede tapi selalu memperlakukan gue seperti anak masih kecil. "Makasih, Bund." Bunda lalu duduk di samping gue sembari memijit-mijit bahu gue dengan pelan."Gimana kerjaan Abang?" "Besok ada jadwal operasi, Bund. Do'ain aja semoga lancar." Bunda mengamiinkan sambil menganggukkan kepala, masih memijit bahu gue dengan telaten. "Bang Alli! Bang Alli!" Ucup teriak kencang sampai membuat indera pendengaran gue bisa pecah. "Dicariin sama kakak ipar," kata Ucup set
—[Allium Sativum POV]—Pukul tiga sore gue masih berada di balkon sambil menatap beberapa pepohonan yang menjulang tinggi. Entah kenapa gue suka sekali melihat pohon atau rerumputan berwarna hijau sejak dulu. Mungkin karena sudah kebiasaan atau memang ada faktor lain. Gue sendiri tidak tau.Dua jam lagi gue harus kembali ke rumah sakit, ada jadwal operasi nanti malam dan gue harus benar-benar fokus.Menjadi dokter spesialis adalah suatu cita-cita gue dari sekolah dulu selain pekerjaan yang mulia, seorang dokter spesialis juga bisa dibilang mempunyai pendapatan yang lumayan tinggi antara dua puluh juta sampai empat puluh lima juta meskipun sebenarnya banyak resiko yang harus ditangani.Jika ingin menjadi dokter, pendidikan yang harus dijalani pun sangat lama, bisa dari empat sampai enam tahun. Itu pun harus siap menjadi dokter umun terlebih dahulu sebelum menjadi dokter spesialis.Namun sayangnya, menjadi dokter spesialis bukan hal
—[Allium Sativum POV]—Sekarang gue sudah berada di rumah sakit bersama beberapa tim medis untuk melakukan operasi toraks. Seperti yang kita tau jika operasi toraks akan membutuhkan keahlian dari banyak dokter bedah, termasuk dokter bedah kardiotoraks, dokter spesialis penyakit jantung bawaan, dokter toraks umum, dan dokter bedah kardiovaskuler (jantung dan pembuluh darah) seperti gue.Operasi toraks dapat menangani berbagai penyakit, seperti kanker paru-paru, tumor dan pertumbuhan jaringan lunak di paru-paru, kanker kerongkongan, akalasia, kesulitan menelan dan sebagainya, penyempitan dan tumor pada kerongkongan, refluks gastroesfagus, mesotelioma, infeksi dan keluarnya cairan dari paru-paru, tumor di dinding dada, hiperhidrosis, dan lain-lain. Dokter bedah toraks juga dapat melakukan transplantasi paru-paru (terutama bagi pasien yang menderita penyakit paru-paru stadium akhir), reseksi trakea, dan menghilangkan penyumbatan di jantung dan pem
—[Allium Sativum POV]—"Om, kalau kita nikah apa Om mau cepet-cepet punya anak?"Pertanyaan dari Miska benar-benar langsung membuat gue menyemburkan kopi yang tadi ada di mulut. Lantai mobil Miska pun basah, gue nggak peduli kalau nanti ada semut yang datang."Pelan-pelan, Om." Miska mengusap bibir gue dengan telapak tangannya bukan dengan tisu, apa dia nggak jijik."Basah." Tunjuk gue ke lantai mobil."Tidak apa-apa, besok aku beli lagi," jawab Miska."Karpetnya mau beli lagi?" tanya gue.Miska menggelengkan kepalanya."Bukan karpetnya yang beli lagi, tapi mobilnya." Miska meringis, memarken giginya.Jujur, gue baru nemu wanita sombong seperti Miska. Ya, walaupun sebenarnya Miska ini anak yang baik. Tapi, tetap saja gue belum bisa jatuh cinta pada wanita ini."Jadi, Om pengin langsung pengin punya anak dari aku?"Sumpah, gue kira Miska bakalan lupa sama pertanyaan ini. Gue bahkan belum tau mau ja
—[Allium Sativum POV]—Cafetaria Thomix salah satu tempat favorit gue dan Nadia untuk sekedar ngobrol atau makan siang bersama. Untuk menu makanannya memang selera gue dan Nadia. Dan gue nggak tau kenapa tiba-tiba Nadia ingin bertemu di cafe. Mungkinkah Nadia mau bilang kalau dia mencintai gue? Tentu saja itu hanya ekspektasi gue yang terlalu tinggi karena realitanya nggak mungkin Nadia mau ngomong itu.Sekitar lima belas menit gue nunggu Nadia, akhirnya wanita yang udah lama nggak gue temui itu datang sambil membawa tas berwarna biru muda, itu adalah tas yang gue belikan dua tahun lalu dan Nadia masih mau memakainya. Kepercayaan diri gue meningkat.Begitu melihat gue, Nadia langsung tersenyum manis ke arah gue. Sumpah, gue kangen banget sama wanita ini. Nggak ngerti lagi deh kalau Nadia nikah sama laki-laki lain, hati gue masih nggak ikhlas rasanya."Lama, ya? Selama enam tahun aku kenal sama kamu, selama enam tahun juga aku yang selalu telat
—[Allium Sativum POV]—"Tidak bisa, Dokter Alli." Untuk kesekian kalinya Dokter Tasya menggelengkan kepalanya tegas. "Meskipun Dokter Alli adalah dokter kepala tim, tapi untuk jadwal operasi memang tidak bisa kami ajukan atau mundurkan lagi.""Tolonglah, Dok. Tanggal empat saya ada keperluan." Gue masih memohon penuh harap kepada Dokter Tasya.Lagi-lagi Dokter Tasya menggelengkan kepala."Begini, Dok. Di tanggal dua kita juga ada jadwal operasi dan membutuhkan waktu sekitar sepuluh jam. Kita tidak mungkin melakukan dua operasi pada saat itu. Lalu kalau kita undur ke tanggal enam, apa kata keluarga pasien yang sudah menunggu jadwal operasi. Kita bisa dianggap tidak profesional." Dokter Tasya menunjuk tanggal pada kalender.Gue baru sadar jika dua minggu ini sangat banyak jadwal operasi, kenapa gue malah mengiyakan ajakan Miska kemarin. Tau begini, gue bakal menolak mentah-mentah. Ya, lihat sendiri, sekarang gue merasa pusing dengan jadwal
*Happy Reading*Aku kira kamu adalah tempatku pulang yang kusebut rumah, berupa ruang dan wujud nyata seseorang.Aku kira kamu akan menjadikanku satu-satunya ratu di hatimu dan memberikanku kenyaman yang selalu kau jaga.Aku kira kamu akan menyadarkanku dari gelisahnya segala keraguan di dalam hati, jiwa dan raga.Aku kira kamu menjadi tempatku berlindung dari riuhnya dunia dan menjadikanku percaya bahwa denganmu hidupku akan baik-baik saja.Ternyata ....Ketika aku memberimu bahagia, namun kau memberiku luka.Ketika aku memberimu cinta, namun kau memberiku duka.Aku mencoba baik-baik saja dengan kepalsuan yang terucap kata dan membiarkan pilu hadir dalam jiwa.Mengabaikan resah bersama gelisah lalu mengubur luka di dalam duka.- Miska Amarilis -***
—[Allium Sativum POV]—"Tidak bisa, Dokter Alli." Untuk kesekian kalinya Dokter Tasya menggelengkan kepalanya tegas. "Meskipun Dokter Alli adalah dokter kepala tim, tapi untuk jadwal operasi memang tidak bisa kami ajukan atau mundurkan lagi.""Tolonglah, Dok. Tanggal empat saya ada keperluan." Gue masih memohon penuh harap kepada Dokter Tasya.Lagi-lagi Dokter Tasya menggelengkan kepala."Begini, Dok. Di tanggal dua kita juga ada jadwal operasi dan membutuhkan waktu sekitar sepuluh jam. Kita tidak mungkin melakukan dua operasi pada saat itu. Lalu kalau kita undur ke tanggal enam, apa kata keluarga pasien yang sudah menunggu jadwal operasi. Kita bisa dianggap tidak profesional." Dokter Tasya menunjuk tanggal pada kalender.Gue baru sadar jika dua minggu ini sangat banyak jadwal operasi, kenapa gue malah mengiyakan ajakan Miska kemarin. Tau begini, gue bakal menolak mentah-mentah. Ya, lihat sendiri, sekarang gue merasa pusing dengan jadwal
—[Allium Sativum POV]—Cafetaria Thomix salah satu tempat favorit gue dan Nadia untuk sekedar ngobrol atau makan siang bersama. Untuk menu makanannya memang selera gue dan Nadia. Dan gue nggak tau kenapa tiba-tiba Nadia ingin bertemu di cafe. Mungkinkah Nadia mau bilang kalau dia mencintai gue? Tentu saja itu hanya ekspektasi gue yang terlalu tinggi karena realitanya nggak mungkin Nadia mau ngomong itu.Sekitar lima belas menit gue nunggu Nadia, akhirnya wanita yang udah lama nggak gue temui itu datang sambil membawa tas berwarna biru muda, itu adalah tas yang gue belikan dua tahun lalu dan Nadia masih mau memakainya. Kepercayaan diri gue meningkat.Begitu melihat gue, Nadia langsung tersenyum manis ke arah gue. Sumpah, gue kangen banget sama wanita ini. Nggak ngerti lagi deh kalau Nadia nikah sama laki-laki lain, hati gue masih nggak ikhlas rasanya."Lama, ya? Selama enam tahun aku kenal sama kamu, selama enam tahun juga aku yang selalu telat
—[Allium Sativum POV]—"Om, kalau kita nikah apa Om mau cepet-cepet punya anak?"Pertanyaan dari Miska benar-benar langsung membuat gue menyemburkan kopi yang tadi ada di mulut. Lantai mobil Miska pun basah, gue nggak peduli kalau nanti ada semut yang datang."Pelan-pelan, Om." Miska mengusap bibir gue dengan telapak tangannya bukan dengan tisu, apa dia nggak jijik."Basah." Tunjuk gue ke lantai mobil."Tidak apa-apa, besok aku beli lagi," jawab Miska."Karpetnya mau beli lagi?" tanya gue.Miska menggelengkan kepalanya."Bukan karpetnya yang beli lagi, tapi mobilnya." Miska meringis, memarken giginya.Jujur, gue baru nemu wanita sombong seperti Miska. Ya, walaupun sebenarnya Miska ini anak yang baik. Tapi, tetap saja gue belum bisa jatuh cinta pada wanita ini."Jadi, Om pengin langsung pengin punya anak dari aku?"Sumpah, gue kira Miska bakalan lupa sama pertanyaan ini. Gue bahkan belum tau mau ja
—[Allium Sativum POV]—Sekarang gue sudah berada di rumah sakit bersama beberapa tim medis untuk melakukan operasi toraks. Seperti yang kita tau jika operasi toraks akan membutuhkan keahlian dari banyak dokter bedah, termasuk dokter bedah kardiotoraks, dokter spesialis penyakit jantung bawaan, dokter toraks umum, dan dokter bedah kardiovaskuler (jantung dan pembuluh darah) seperti gue.Operasi toraks dapat menangani berbagai penyakit, seperti kanker paru-paru, tumor dan pertumbuhan jaringan lunak di paru-paru, kanker kerongkongan, akalasia, kesulitan menelan dan sebagainya, penyempitan dan tumor pada kerongkongan, refluks gastroesfagus, mesotelioma, infeksi dan keluarnya cairan dari paru-paru, tumor di dinding dada, hiperhidrosis, dan lain-lain. Dokter bedah toraks juga dapat melakukan transplantasi paru-paru (terutama bagi pasien yang menderita penyakit paru-paru stadium akhir), reseksi trakea, dan menghilangkan penyumbatan di jantung dan pem
—[Allium Sativum POV]—Pukul tiga sore gue masih berada di balkon sambil menatap beberapa pepohonan yang menjulang tinggi. Entah kenapa gue suka sekali melihat pohon atau rerumputan berwarna hijau sejak dulu. Mungkin karena sudah kebiasaan atau memang ada faktor lain. Gue sendiri tidak tau.Dua jam lagi gue harus kembali ke rumah sakit, ada jadwal operasi nanti malam dan gue harus benar-benar fokus.Menjadi dokter spesialis adalah suatu cita-cita gue dari sekolah dulu selain pekerjaan yang mulia, seorang dokter spesialis juga bisa dibilang mempunyai pendapatan yang lumayan tinggi antara dua puluh juta sampai empat puluh lima juta meskipun sebenarnya banyak resiko yang harus ditangani.Jika ingin menjadi dokter, pendidikan yang harus dijalani pun sangat lama, bisa dari empat sampai enam tahun. Itu pun harus siap menjadi dokter umun terlebih dahulu sebelum menjadi dokter spesialis.Namun sayangnya, menjadi dokter spesialis bukan hal
—[Allium Sativum POV]— Hari ini gue shift malam, jadi gue bisa nyantai dulu di rumah sambil nonton tv. Gue melirik ke arah Nia dan Ucup yang sedang bermain dengan Shila—keponakan Ucup. Gue mematikan tv karena acara gosip yang dibahas masih tentang gue dan cewek gila bernama Miska, bisa-bisanya berita itu bisa trending di mana-mana. "Minum dulu, Bang." Bunda memberikan segelas es jeruk buat gue. Bunda gue memang yang terbaik, padahal gue udah gede tapi selalu memperlakukan gue seperti anak masih kecil. "Makasih, Bund." Bunda lalu duduk di samping gue sembari memijit-mijit bahu gue dengan pelan."Gimana kerjaan Abang?" "Besok ada jadwal operasi, Bund. Do'ain aja semoga lancar." Bunda mengamiinkan sambil menganggukkan kepala, masih memijit bahu gue dengan telaten. "Bang Alli! Bang Alli!" Ucup teriak kencang sampai membuat indera pendengaran gue bisa pecah. "Dicariin sama kakak ipar," kata Ucup set
—[Allium Sativum POV]—"Cie ... Calon Pengantin, kusut amat tuh wajah kayak taplak meja belum disetrika."Gue langsung melotot mendengar ucapan Leo. Baru sampai ke kantin udah kena ejekan aja gue."Tega lu, Sob. Nggak kasih tau kita kalau pacaran sama pemain sinetron Janji Hati, gue suka banget itu sinetron padahal." Kini Abiyan yang memberi komentar.Gue menghembuskan napas. Berita tentang pernikahan gue sudah beredar ke mana-mana, padahal gue aja nggak kenal sama sosok manusia yang ngaku-ngaku jadi calon istri gue itu."Bagaimana perasaan Anda setelah berita ini viral?" tanya Abiyan sambil menodongkan botol minuman ke arah mulut gueseolah dia adalah wartawan."Sudah berapa lama Anda melakukan backstreet?" Leo melakukan hal yang sama seperti Abiyan.Lalu mereka tertawa seolah kehidupan gue lucu. Memang laknat sekali teman-teman gue ini."Bacot, ya, kalian!" sambar gue.Abiyan dan Leo mala
—[Allium Sativum POV]—Gue pulang ke rumah tepat sebelum makan malam, jadi gue masih bisa mandi setidaknya untuk meregangkan otot yang lelah karena seharian berada di rumah sakit.Sesibuk-sibuknya gue, kalau memang nggak ada operasi malam, gue bakal selalu meluangkan waktu gue untuk makan malam bareng keluarga, begitu juga Ayah. Beda cerita dengan Nia dan Bunda yang memang selalu di rumah."Ucup tumben hari ini nggak ke sini. Lagi marahan?" tanya Bunda sambil melirik Nia yang sedang menyuapkan nasi ke dalam mulut.Gue juga secara refleks ikut menoleh ke Nia, biasanya Si Pecinta Lele itu emang ada di tengah acara makan malam keluarga gue. Walaupun tuh anak belum sepenuhnya jadi adik ipar gue, tapi dia udah jadi bagian keluarga. So, kalau dia nggak ada serasa ada yang kurang."Eh ... nggak marahan kok, Bun. Ucup lagi ke acara nikahan," ucap Nia."Oh, teman Ucup ada yang nikah?"Nia menggelengkan kepalanya."Enggak, Bun.
—[Allium Sativum POV]—"Hari ini pasien nomer 231 dijadwalkan melakukan treadmill. Apa sudah siap?" tanya gue ke Suster Kila, seorang perawat yang selalu menemani gue ke mana-mana.Pemeriksaan treadmill atau yang juga dikenal dengan sebutan stress test, merupakan pemeriksaan yang dilakukan guna melihat kinerja jantung selama seseorang melakukan aktivitas fisik. Karena aktivitas fisik dapat membuat jantung memompa lebih keras dan cepat. Pemeriksaan treadmill dapat membantu mengungkapkan adanya masalah aliran darah dalam jantung.Pemeriksaan ini disebut sebagai pemeriksaan treadmill karena menggunakan alat treadmill dalam praktiknya. Dalam pemeriksaan ini, irama jantung, tekanan darah, dan pernapasan akan dipantau."Pasien sudah siap, Dok. Bahkan beliau sudah berada di tempat," ujar Suster Kila membuat gue cuma menganggukkan kepala.Gue semakin mempercepat langkah kaki diikuti Suster Kila. Pekerjaan sebagai dokter bedah memb