“Baik,” jawab dua orang, seorang laki-laki dan seorang perempuan yang duduk di depan Jaehwan dengan kepala terus tertunduk.
Jaehwan merasa heran. Kondisi kakek Hong pasti akibat pengaruh kedua orang ini. Pasti mereka telah mengatakan sesuatu pada laki-laki tua itu. “Sebenarnya apa yang telah kalian lakukan pada kakek Hong?” selidik Jaehwan yang merasa curiga bahwa kakek Hong mendapat tekanan atau ancaman dari keluarganya.
“Dokter Kim...” Perawat yang duduk di samping Jaehwan berusaha menghentikan pertanyaan pemuda itu. Ia merasa bahwa pertanyaan seperti itu tidak layak keluar dari mulut seorang dokter.
“Biarkan saja. Aku harus tahu apa yang terjadi.” Masih tetap menatap dua orang di depannya. “Jawab pertanyaanku! Apakah kalian tidak ingin kakek Hong sembuh?”
“Dokter Kim, tolong jangan seperti ini,” pinta perawat itu.
Jika petinggi rumah sakit mengetahui bahwa ada seorang dokter baru melakukan interogasi pada keluarga pasien seperti itu maka Jaehwan bisa dipecat secepatnya.
“Baiklah, kalian boleh pergi.” Jaehwan mengepalkan kedua tangannya. Jika tidak dicegah oleh perawat itu, pasti keluarga kakek Hong sudah mengakui perbuatannya.
....
Keesokan harinya, suasana di RS Diamond Group masih sama dengan suasana kemarin. Tidak banyak orang sakit yang berdatangan untuk berobat. Tetapi lalu lalang tenaga medis dan masyarakat yang mungkin sedang menunggu keluarganya dirawat di tempat itu,tidak pernah sepi.
Jaehwan baru datang dan berhasil menata mobilnya di halaman parkir rumah sakit. Ketika dia keluar dari mobil, seseorang mengagetkannya secara tiba-tiba. Lengan kanannya dipelintir ke belakang, hingga kunci mobil yang dipegangnya terjatuh. “Aaak! Apa-apaan ini?”
“Rupanya kau sudah bekerja di sini? Sejak kapan, hah?”
Deg!
Itu...suara Park Jiyeon, batin Jaehwan.
“Ji, Jiyeon?”
Jiyeon melepaskan tangan suaminya itu. Alhasil, pemuda itu merintih kesakitan.
“Hei, jangan mentang-mentang kau pandai bela diri, bisa seenaknya pada suamimu!” Jaehwan memeriksa lengannya dan memijit sebentar untuk menghilangkan rasa sakit. “Kau... Kenapa ada di sini?” tanya Jaehwan kaget melihat Jiyeon tiba-tiba sudah berada di rumah sakit itu.
“Hei, Tuan Kim... Ini adalah rumah sakit milik keluargaku. Memangnya harus ada izin untuk datang ke sini? Seharusnya aku yang bertanya seperti itu padamu.” Jiyeon kesal.
Jaehwan melingkarkan lengan kirinya di bahu Jiyeon dan mengajak wanita cantik itu berjalan ke kantin. “Kau tahu? Betapa senangnya aku bertemu dengan moodbuster-ku lagi...”
Moodbuster? Baru kali ini Jaehwan mengatakan bahwa Jiyeon adalah moodbuster baginya. Jaehwan akan susah hidup tanpa Jiyeon. Sejak lama, keduanya saling menceritakan masalah dan pengalaman masing-masing. Jika dirangkum, Jiyeon lah yang lebih berjasa untuk Jaehwan. Jiyeon sering memberikan solusi atas masalah-masalah Jaehwan, masalah yang susah dihadapi sekalipun. Itu sebabnya sekarang dia mengalami kesulitan mengatasi masalah seorang diri, tanpa Jiyeon di sampingnya. Tapi sekarang, mulai detik ini, istrinya telah kembali bersamanya. Itulah yang membuat Jaehwan merasa bahagia.
Sesampainya di kantin, Jiyeon menolak ketika disuruh memesan makanan. Dia lebih memilih memesan segelas coklat panas. Sedangkan Jaehwan memesan nasi goreng, sosis bakar kesukaannya dan segelas susu.
Jiyeon menggelengkan kepala melihat pria bertubuh jangkung itu makan begitu banyak. “Kau bisa menghabiskan semuanya?” tanya Jiyeon yang merasa tidak yakin Jaehwan sanggup menghabiskan semua makanan yang sudah siap makan di depan matanya.
“Tentu saja. Moodbuster-ku ada di sini. Jadi jangan khawatir. Aku pasti menghabiskan semuanya.” Dengan semangat, Kim Jaehwan melahap makanan yang dipesannya. Sedangkan Jiyeon hanya menonton suaminya sembari menikmati coklat panasnya.
.....
Lima belas menit kemudian.
Sepiring nasi goreng, sepiring sosis bakar dan segelas susu telah habis tanpa sisa sedikit pun. Jaehwan merasa puas sekali bisa makan sekenyang itu. Padahal dari kemarin, dirinya sama sekali tidak memiliki nafsu makan. Ya, karena adanya masalah dengan pasien yang bernama kake Hong.
“Jika sudah selesai, berdirilah. Aku harus bertemu dengan direktur.” Jiyeon menegakkan badannya, berdiri, kemudian menata blazer putih yang ia kenakan.
Jaehwan terbelalak. “Wah, bagaimana kau tahu kalau aku mau ke sana? Inilah yang namanya jodoh, kau adalah takdirku, Jiyeon.”
Mulut Jiyeon terbuka membentuk huruf O. Ia menempelkan telapak tangannya di atas kening Jaehwan. Jangan-jangan suaminya itu sedang demam atau sakit sehingga kata-katanya sedari tadi sangat berbeda dari biasanya. “Kau... Ada apa denganmu?”
“Lepaskan tanganmu, ish! Aku bukan bocah yang perlu kau perlakukan seperti itu.” Jaehwan menata bajunya. “Sejak kemarin aku berencana bahwa pagi ini , aku akan mencoba menemui direktur. Ada masalah dengan keluarga pasien.”
“Oh ya?”
Jaehwan tak menjawab. “Ayo!” Dia memegang tangan Jiyeon dan mengajaknya meluncur ke ruang kerja direktur secepat mungkin.
“Aku ada urusan lain, kenapa kau ikut-ikutan mencri direktur?” Jiyeon merasa kalau urusannya dengan direktur berbeda dari Jaehwan. Untuk itu, dia tidak ingin menemui direktur rumah sakit berbarengan dengannya. “Aku pergi lebih dulu. Setelah urusanku selesai, kau bisa menemui direktur.” Dengan cepat, Jiyeon melepaskan tangan Jaehwan yang asyik melingkar di bahunya
“Ckckck! Kau tidak ingin aku mengetahui urusanmu dengan direktur?” Raut wajah Jaehwan nampak heran. “Aku suamimu. Aku berhak tahu.” Laki-laki berusia dua tahun lebih tua dari Jiyeon itu merangkul bahu istrinya lagi. “Ayo! Sebagai suami yang baik, aku akan mengantarmu ke sana.”
Tanpa diminta Jiyeon, Jaehwan mengajaknya melanjutkan langkah menuju kantor kerja direktur Yoon.
“Lepaskan aku!” Jiyeon mencubit pinggang Jaehwan yang seketika membuat suaminya mengaduh kesakitan. Namun hal itu tak membuat Jaehaan melepaskan tangannya. “Kim Jaehwan! Awas kau!” gerutu Jiyeon.
Saat mereka berdua sampai di lorong dekat pintu masuk ruangan direktur, tiba-tiba satu rombongan orang-orang penting sedang berkumpul di tempat itu. Nampaknya mereka baru saja menemui direktur Yoon. Jiyeon menegang melihat rombongan itu. Diantara enam orang yang berdiri di depannya ada seseorang yang sangat ia kenal.
“Jiyeon? Kau sudah sampai?” tanya Mina, senang melihat adiknya sudah tiba di rumah sakit untuk mengonfirmasi tentang kesediaannya menjadi salah satu dokter jantung di sana.
“Ah, i, iya. Aku baru tiba, belum lama...” jawab Jiyeon terbata-bata. Kenapa dia harus bertemu kakaknya di sana? Jiyeon tidak ingin orang-orang di rumah sakit itu mengetahui bahwa dirinya adalah putri dari pemegang saham terbesar di RS Diamond Group.
“Jiyeon?” tanya seseorang yang sama sekali tidak dikenal oleh Jiyeon. Laki-laki itu berusia sekitar lima tahun lebih muda dari usia ayahnya. “Park Jiyeon putri kedua Presdir Park?” lanjutnya.
Jiyeon mendesah pelan. Rencananya gagal. Ia tidak mungkin bisa merahasiakan identitasnya kelak.
“Iya, benar sekali, Direktur Lee. Dia adalah adik kandungku, Park Jiyeon. Baru beberapa hari dia tiba di Korsel.” Park Mina malah memberikan penjelasan mengenai Jiyeon pada ketua Lee yang notabennya adalah ayah dari mantan kekasihnya.
Direktur Kang mengulurkan tangannya, ingin berjabat tangan dengan dokter secantik Jiyeon. “Senang bertemu denganmu, Park Jiyeon.”
“Ah, iya. Senang bertemu Anda juga, Direktur Lee,” balas Jiyeon yang mengulurkan tangannya juga.
“Datanglah ke rumahku. Namju pasti senang melihatmu.” Direktur Lee baru saja menyebut nama putra tunggalnya, Lee Namju.
Deg!
Jiyeon dan Mina kaget mendengar nama Namju. Mereka saling pandang.
“Mungkin Kak Namju sudah lupa padaku, Direktur.” Jiyeon berusaha mencari alasan supaya dia tidak wajib datang ke kediaman keluarga Lee.
“Oh iya, kau ingin bertemu dengan direktur Yoon? Masuklah! Beliau mungkin sudah menunggumu.”
Jiyeon mengangguk pelan dan merasa ragu menemui direktur Yoon. Tidak seperti yang dia rencanakan. Tapi setelah dipikir-pikir, ia tidak bisa menunda pertemuannya dengan direktur itu.
Sementara itu, Kim Jaehwan tetap berada di luar dan tidak menemani Jiyeon masuk ke dalam ruangan di depannya. Ia merasa sungkan jika mengikuti Jiyeon ke ruangan itu, demi menghormati privasi seorang Park Jiyeon. Hal ini karena tidak ada yang tahu bahwa Jiyeon adalah istrinya. Jika Jaehwan ikut masuk maka orang-orang dalam rombongan itu pasti curiga padanya.
Setelah Jiyeon masuk ruangan direktur Yoon dan menutup pintunya dari dalam, Mina menatap Jaehwan dan menyapanya.
“Lama tidak bertemu, Kim Jaehwan.”
Jaehwan sedikit kaget. “Ah, iya. Senang bertemu denganmu juga, Park Mina. Mm, maaf saya harus melihat pasien yang baru saja dioperasi kemarin.” Ia tak ingin berlama-lama di tempat yang notabennya dipadatiboleh orang-orang berjas. Sejak kecil, Jaehwan memang tidak menyukai penampilan laki-laki dengan setelan jas. Menurutnya, itu terlalu memuakkan. Padahal di dalam keluarganya, ayah dan kakak laki-lakinya adalah pengusaha yang selalu memakai setelan jas saat mereka bekerja di kantor. Beda halnya dengan Jaehwan. Ia memilih profesi dokter karena tidak ingin menggunakan setelan jas yang menurutnya memuakkan untuk dilihat.
Tak berselang lama, Jaehwan akhirnya pamit untuk melihat kondisi kakek Hong. Rencananya yang semula ingin bertemu dengan direktur, bersamaan dengan Park Jiyeon, malah gagal karena bertemu rombongan Park Mina dan rekan-rekan kerjanya di depan ruangan direktur. Sekarang dia harus menunggu Jiyeon keluar dari ruangan tersebut.
Jaehwan telah tiba di depan kamar 307. Ruangan itu terlihat sepi. Hanya ada kakek Hong yang terbaring lemah di atas tempat tidurnya. Jaehwan enggan masuk ke dalam kamar itu, ia tidak ingin jika kedatangannya malah mengganggu istirahat kakek itu. Pemuda tampan yang baru saja mendapatkan gelar Dokter Tertampan di rumah sakit Diamond Group oleh para tenaga medis wanita itu, memilih berdiri di depan pintu kamar dan melihat kakek Hong dari balik kaca yang terdapat di pintu kayu berwarna putih.
.....
Tok! Tok!
Ruang tenaga medis Spesialis Jantung tampak sepi. Tiba-tiba ada seseorang yang mengetuk pintu dari luar. Sontak suara itu membuat tiga orang yang berada di dalam ruangan terlonjak kaget.
“Siapa yang mengetuk pintu di siang bolong seperti ini? Mengagetkan saja.”
Ceklek!
Seorang perawat membuka pintu itu dengan malas. Ketika pintu terbuka, kedua bola matanya membulat, melihat seorang wanita yang begitu cantik sedang tersenyum padanya.
“Halo,” sapa Jiyeon dengan ramah.
“Wah, cantik sekali,” lirih perawat perempuan itu. Ia merasa kalah saing dari Jiyeon.
“Ini... Maaf. Benarkah ini ruang tenaga medis khusus penyakit jantung?”
Perawat itu mengangguk. “I, iya. Silahkan masuk,” ucapnya dengan mata tak berkedip, menatap Jiyeon yang melewati dirinya.
Jiyeon menginjakkan kakinya di dalam ruangan yang berukuran sedang itu. Ada dua orang yang sibuk dengan berkas laporan rekam medis pasien masing-masing. Sebagai penghuni baru dan tanpa pengantar, Jiyeon memberanikan diri untuk menyapa mereka. Toh, dilihat dari wajah-wajah tiga orang itu kira-kira umurnya sebaya dengan dirinya.
“Halo, selamat siang,” ucap Jiyeon pelan sambil menyunggingkan senyumnya.
Enam pasang mata tertuju padanya.
“Aku Park Jiyeon, dokter spesialis jantung junior di sini. Salam kenal, semuanya.” Jiyeon menundukkan kepalanya. Begitulah yang harus dilakukan oleh pendatang yang tiba di tempat baru, sebagai cara menghormati orang lain.
“Welcome, Dokter Jiyeon.”
Terdengar suara yang tidak asing bagi Jiyeon. Lagi-lagi Kim Jaehwan muncul di depannya.
“Selamat bekerja di rumah sakit ini,” tambahnya. Jaehwan berdiri bersandar pada gawang pintu seraya menyambut kedatangan dokter baru. “Wah, ruangan ini akan lebih menyenangkan. Setidaknya lebih ramai.”
Jiyeon menghembuskan nafas kasar, kesal dengan Jaehwan yang selalu muncul tidak diundang.
“Apakah kau juga ada di ruangan ini?” tanya Jiyeon dengan nada datar.
“Benar sekali. Aku dokter spesialis jantung. Kau pun sama. Lihatlah, mereka bertiga adalah perawat yang berjaga siang ini.”
“Oh, kalian sudah saling mengenal?” tanya perawat Lee yang membukakan pintu untuk Jiyeon tadi.
“Benar sekali. Kami kuliah satu perguruan tinggi. Dia adalah adik kelasku.”
Jiyeon hanya bisa menggelengkan kepalanya pelan.
“Kami kuliah di Jerman dulu.” Jaehwan tersenyum nakal pada Jiyeon. Dia merasa menang dari istrinya kali ini.
“Uwah... Apakah orang-orang yang kuliah di sana punya wajah tampan dan cantik seperti kalian?” tanya perawat Lee lagi.
Ya Tuhan, kapan ini akan berakhir? kata Jiyeon dalam hati.
“Tentu saja,” jawab Jaehwan dengan yakin.
Bersambung
Malam hari begitu cepat menghampiri. Perputaran waktu yang cepat berlalu membuat banyak orang merasakan kepenatan dan kelelahan yang berlebih. Seharian bekerja, tak terasa malam sudah tiba. Ketika beristirahat pada malam hari pun, dengan cepatnya pagi sudah tiba. Begitu seterusnya. Hari ini Park Jiyeon memang belum aktif bekerja di RS. Dia hanya membantu Jaehwan menganalisa keadaan beberapa pasien. Sebagai dokter spesialis yang keahliannya di atas keahlian dokter biasa, dia harus bersikap profesional. Membantu Jaehwan pun sudah membuatnya menambah pengalaman di bidang kedokteran. Tapi malam ini, badannya terasa pegal-pegal dan ingin sekali lekas berbaring di ranjang kesayangannya. Jiyeon berjalan gontai menuju tempat parkir mobil. Malam ini Jaehwan tak menemaninya sampai pulang ke rumah. Laki-laki tampan penghuni hatinya itu mendapat panggilan ayahnya untuk segera pulang karena ada sesuatu yang penting. Jiyeon melihat keadaan sekelilingnya, sepi. Diliriknya arloji ma
Auhor POV Seorang laki-laki berpostur tubuh tinggi, kekar, leher jenjang, dan bersurai hitam dengan kacamata hitam terpasang menutup total kedua netranya – keluar dari sebuah mobil Ferrari keluaran terbaru. Masih mengenakan kacamata hitamya, laki-laki itu membenahi jas abu terang yang melekat di badan atletisnya. Beberapa detik kemudian, sepasang kaki jenang berjalan lurus menuju pintu masuk rumah sakit terlihat sepi. Baginya, rumah sakit sama dengan kantor dan tempat umum lainnya. Di tempat itu, dia juga bisa bertransaksi. Di halaman parkir, rupanya mobil mewah milik keluarga Park baru saja tiba dengan laju pelan. Park Jiyeon dan Park Mina duduk di jok bagian depan. Mina yang berada di belakang kemudi, sesekali melirik Jiyeon yang nampak tenang tak bergeming sedikit pun. Tak butuh waktu lama, mobil yang membawa dua gadis bermarga Park itu telah sukses parkir di bagian depan, bersebelahan dengan mobil laki-laki yang ba
Halaman rumah sakit Diamond Group terlihat sedikit ramai dibanding hari-hari sebelumnya. Cuaca hangat saat ini membuat banyak pasien ingin menikmati sinar matahari yang dapat menyehatkan tubuh dengan kandungan vitamin D. Beberapa pasien berjemur di bawah sinar matahari pagi ini didampingi keluarga ataupun tenaga kesehatan. Di pagi yang hangat itu, seorang laki-laki dengan setelan jas abu terang dan dasi berwarna hitamnya sedang berjalan keluar dari rumah sakit dengan kekesalan dan kekecewaan memuncak di hatinya.Lee Namju tak bisa melupakan setiap kata yang keluar dari mulut Mina beberapa menit yang lalu. “Baiklah, kita tunjukkan siapa yang akan menang,” katanya lirih sembari mengenakan kacamata hitamnya sebelum berjalan menyusuri halaman rumah sakit. Enam langkah dari teras rumah sakit, Namju melihat sosok gadis yang akhir-akhir ini mencuri perhatiannya. Park Jiyeon terlihat tengah asyik mengobrol dengan dua orang pasien di halaman samping rumah sakit. Ia masih m
Keesokan harinya, ponsel Jiyeon tak henti-hentinya berdering hingga memekakkan telinga. Dalam keadaan setengah sadar, ia melihat nama Mina di layar ponselnya. Pagi sekali kakaknya menelepon. Ini pasti karena ia tidak pulang ke rumah kemarin malam. Ya ampun, dirinya sudah dewasa tapi masih diperlakukan seperti anak kecil. Jiyeon yang masih dalam keadaan bugil dan dibalut dengan selimut tebal milik Jaehwan akhirnya menjawab telepon dari kakaknya.“Ada apa?” tanyanya dengan suara parau karena baru saja membuka mata dari lelapnya tidur.“Kau di mana?” tanya Mina. Bukannya menjawab pertanyaan Jiyeon, dia malah balik bertanya.“Aku tidur di rumah teman. Kemarin malam ada pesta kecil-kecilan untuk merayakan pasien kami yang berhasil sembuh dan sekarang sudah bisa meninggalkan rumah sakit. Aku hendak pulang tapi malam sudah larut. Jadi, aku putuskan tidur di rumah teman. Tenanglah, Kak. Aku baik-baik saja. Hari ini aku masuk siang. Jadwalku
Pukul 9 malam, suasana RS Diamond Group nampak sepi. Terlebih di lorong lantai satu yang notabennya diisi banyak ruang petinggi RS dan dokter-dokter senior. Seorang wanita bertubuh ideal, langsing dan tinggi semampai, dengan langkah kakinya bak model catwalk terkenal, terlihat lesu dan murung. Lelah, letih, dan kesal, itulah yang dirasakan wanita bernama Park Jiyeon itu.Langkah gontainya mengundang seorang pemuda yang selalu menjadi prioritas dalam hidupnya, Kim Jaehwan, berlari ke arahnya dan menuntun lengan kurus itu agar Jiyeon bisa berjalan dengan benar.“Ada apa denganmu?” tanya Jaehwan yang merasa ada sesuatu pada Jiyeon. “Apa yang terjadi di sana?” tanyanya lagi.Jiyeon hanya menggeleng. Bukan tidak ingin menjelaskan apa yang terjadi padanya tadi, tapi dia tidak memiliki daya untuk berkata-kata lagi. Wajah cantik itu kini nampak pucat, matanya terlihat cekung, dan terkadang ia memejamkan mata karena lelah.Melihat kondisi i
Pagi berubah menjadi siang. Suasana sepi yang membosankan membuat Jiyeon harus membolak-balikkan badannya, menemukan posisi tidur yang nyaman untuk tubuhnya. Tidak bisa, dia tidak bisa tidur dengan semudah itu. Pikiran yang masih memikirkan hal-hal lain membuat Jiyeon harus terjaga seorang diri di apartemen Jaehwan.“Aku harus memikirkan cara untuk menghubungi Namju hari ini,” lirihnya. Ia tidak ingin terjebak dalam masalah yang bukan urusannya. Mungkin masalah perusahaan harus didahulukan karena rumah sakit adalah bagian dari perusahaan keluarganya. Jadi, masalah perusahaan adalah prioritasnya saat ini.Baiklah, harus segera selesai, batinnya. Tak lama kemudian, Jiyeon meraih ponsel yang ia letakkan di atas nakas, di samping tempat tidur. Dicarinya nomor ponsel Namju yang sengaja tidak disimpan dalam kontak ponsel itu.Tuuuut! Tuuuut!Jiyeon pun langsung menghubungi Namju dan membuat rencana bertemu dengan laki-laki super licik itu.&l
“Bagaimana rasanya, Kak? Sakit, bukan?” Sebenarnya Jiyeon tidak bermaksud melukai hati Mina. Dia hanya ingin Mina merasakan apa yang saat ini dia rasakan. Kesialan yang menimpa Mina karena perbuatan Namju merupakan kesedihan bagi Jiyeon. Tapi Mina malah memintanya berbaikan dengan Namju dan mendekatinya untuk kepentingan perusahaan. Itu artinya Mina ingin menggali luka lama di hati Jiyeon dengan mempertemukan dirinya dan Lee Namju. Mina hanya memandang ke arah Jiyeon tanpa mengatakan sepatah kata. Dia tahu kalau adiknya juga merasakan sakit yang ia rasakan. Jiyeon adalah satu-satunya adik yang selalu mengerti dirinya. “Kalau sudah tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, aku pamit. Katakan saja padaku kapan dan di mana kalian akan menemui orang itu.” Sesaat kemudian Jiyeon beranjak dari kursi empuk yang didudukinya. Detik terakhir sebelum ia membalikkan badan, dapat dilihatnya ekspresi wajah Mina yang tampak sedih. .... Setelah Jiyeon meninggalkan ruang
“Kafe Lony dekat Busan Tower, jam 10 pagi.”Jiyeon langsung menghentikan langkahnya, menoleh ke arah kanan, mendapati Mina sedang bicara padanya dengan gaya melipat lengan bersilang di depan dada. Ia pun menghela nafas kasar karena di saat lelah malah melihat pemandangan yang membuatnya jenuh.“Tolong, jangan sekarang. Aku sudah lelah,” pinta Jiyeon yang tidak ingin kekesalannya semakin bertambah hanya karena kata-kata Mina. Sejujurnya, ia sedang tidak ingin berbicara dengan siapapun dan membicarakan apapun karena kondisi tubuh dan psikisnya sedang lemah. “Tolonglah, Kak,” pintanya lagi dengan wajah seperti kertas kusut.Mina melangkah mendekati Jiyeon yang berdiri tepat di depan pintu. “Katakan saja itu pada Lee Namju. Aku akan menunggunya di sana.”Ternyata yang diucapkan Mina tadi adalah lokasi dan waktu yang dia tentukan untuk bertemu dengan Park Siwoo. Jiyeon hanya mengangguk paham dan segera melangkah
“Kafe Lony dekat Busan Tower, jam 10 pagi.”Jiyeon langsung menghentikan langkahnya, menoleh ke arah kanan, mendapati Mina sedang bicara padanya dengan gaya melipat lengan bersilang di depan dada. Ia pun menghela nafas kasar karena di saat lelah malah melihat pemandangan yang membuatnya jenuh.“Tolong, jangan sekarang. Aku sudah lelah,” pinta Jiyeon yang tidak ingin kekesalannya semakin bertambah hanya karena kata-kata Mina. Sejujurnya, ia sedang tidak ingin berbicara dengan siapapun dan membicarakan apapun karena kondisi tubuh dan psikisnya sedang lemah. “Tolonglah, Kak,” pintanya lagi dengan wajah seperti kertas kusut.Mina melangkah mendekati Jiyeon yang berdiri tepat di depan pintu. “Katakan saja itu pada Lee Namju. Aku akan menunggunya di sana.”Ternyata yang diucapkan Mina tadi adalah lokasi dan waktu yang dia tentukan untuk bertemu dengan Park Siwoo. Jiyeon hanya mengangguk paham dan segera melangkah
“Bagaimana rasanya, Kak? Sakit, bukan?” Sebenarnya Jiyeon tidak bermaksud melukai hati Mina. Dia hanya ingin Mina merasakan apa yang saat ini dia rasakan. Kesialan yang menimpa Mina karena perbuatan Namju merupakan kesedihan bagi Jiyeon. Tapi Mina malah memintanya berbaikan dengan Namju dan mendekatinya untuk kepentingan perusahaan. Itu artinya Mina ingin menggali luka lama di hati Jiyeon dengan mempertemukan dirinya dan Lee Namju. Mina hanya memandang ke arah Jiyeon tanpa mengatakan sepatah kata. Dia tahu kalau adiknya juga merasakan sakit yang ia rasakan. Jiyeon adalah satu-satunya adik yang selalu mengerti dirinya. “Kalau sudah tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, aku pamit. Katakan saja padaku kapan dan di mana kalian akan menemui orang itu.” Sesaat kemudian Jiyeon beranjak dari kursi empuk yang didudukinya. Detik terakhir sebelum ia membalikkan badan, dapat dilihatnya ekspresi wajah Mina yang tampak sedih. .... Setelah Jiyeon meninggalkan ruang
Pagi berubah menjadi siang. Suasana sepi yang membosankan membuat Jiyeon harus membolak-balikkan badannya, menemukan posisi tidur yang nyaman untuk tubuhnya. Tidak bisa, dia tidak bisa tidur dengan semudah itu. Pikiran yang masih memikirkan hal-hal lain membuat Jiyeon harus terjaga seorang diri di apartemen Jaehwan.“Aku harus memikirkan cara untuk menghubungi Namju hari ini,” lirihnya. Ia tidak ingin terjebak dalam masalah yang bukan urusannya. Mungkin masalah perusahaan harus didahulukan karena rumah sakit adalah bagian dari perusahaan keluarganya. Jadi, masalah perusahaan adalah prioritasnya saat ini.Baiklah, harus segera selesai, batinnya. Tak lama kemudian, Jiyeon meraih ponsel yang ia letakkan di atas nakas, di samping tempat tidur. Dicarinya nomor ponsel Namju yang sengaja tidak disimpan dalam kontak ponsel itu.Tuuuut! Tuuuut!Jiyeon pun langsung menghubungi Namju dan membuat rencana bertemu dengan laki-laki super licik itu.&l
Pukul 9 malam, suasana RS Diamond Group nampak sepi. Terlebih di lorong lantai satu yang notabennya diisi banyak ruang petinggi RS dan dokter-dokter senior. Seorang wanita bertubuh ideal, langsing dan tinggi semampai, dengan langkah kakinya bak model catwalk terkenal, terlihat lesu dan murung. Lelah, letih, dan kesal, itulah yang dirasakan wanita bernama Park Jiyeon itu.Langkah gontainya mengundang seorang pemuda yang selalu menjadi prioritas dalam hidupnya, Kim Jaehwan, berlari ke arahnya dan menuntun lengan kurus itu agar Jiyeon bisa berjalan dengan benar.“Ada apa denganmu?” tanya Jaehwan yang merasa ada sesuatu pada Jiyeon. “Apa yang terjadi di sana?” tanyanya lagi.Jiyeon hanya menggeleng. Bukan tidak ingin menjelaskan apa yang terjadi padanya tadi, tapi dia tidak memiliki daya untuk berkata-kata lagi. Wajah cantik itu kini nampak pucat, matanya terlihat cekung, dan terkadang ia memejamkan mata karena lelah.Melihat kondisi i
Keesokan harinya, ponsel Jiyeon tak henti-hentinya berdering hingga memekakkan telinga. Dalam keadaan setengah sadar, ia melihat nama Mina di layar ponselnya. Pagi sekali kakaknya menelepon. Ini pasti karena ia tidak pulang ke rumah kemarin malam. Ya ampun, dirinya sudah dewasa tapi masih diperlakukan seperti anak kecil. Jiyeon yang masih dalam keadaan bugil dan dibalut dengan selimut tebal milik Jaehwan akhirnya menjawab telepon dari kakaknya.“Ada apa?” tanyanya dengan suara parau karena baru saja membuka mata dari lelapnya tidur.“Kau di mana?” tanya Mina. Bukannya menjawab pertanyaan Jiyeon, dia malah balik bertanya.“Aku tidur di rumah teman. Kemarin malam ada pesta kecil-kecilan untuk merayakan pasien kami yang berhasil sembuh dan sekarang sudah bisa meninggalkan rumah sakit. Aku hendak pulang tapi malam sudah larut. Jadi, aku putuskan tidur di rumah teman. Tenanglah, Kak. Aku baik-baik saja. Hari ini aku masuk siang. Jadwalku
Halaman rumah sakit Diamond Group terlihat sedikit ramai dibanding hari-hari sebelumnya. Cuaca hangat saat ini membuat banyak pasien ingin menikmati sinar matahari yang dapat menyehatkan tubuh dengan kandungan vitamin D. Beberapa pasien berjemur di bawah sinar matahari pagi ini didampingi keluarga ataupun tenaga kesehatan. Di pagi yang hangat itu, seorang laki-laki dengan setelan jas abu terang dan dasi berwarna hitamnya sedang berjalan keluar dari rumah sakit dengan kekesalan dan kekecewaan memuncak di hatinya.Lee Namju tak bisa melupakan setiap kata yang keluar dari mulut Mina beberapa menit yang lalu. “Baiklah, kita tunjukkan siapa yang akan menang,” katanya lirih sembari mengenakan kacamata hitamnya sebelum berjalan menyusuri halaman rumah sakit. Enam langkah dari teras rumah sakit, Namju melihat sosok gadis yang akhir-akhir ini mencuri perhatiannya. Park Jiyeon terlihat tengah asyik mengobrol dengan dua orang pasien di halaman samping rumah sakit. Ia masih m
Auhor POV Seorang laki-laki berpostur tubuh tinggi, kekar, leher jenjang, dan bersurai hitam dengan kacamata hitam terpasang menutup total kedua netranya – keluar dari sebuah mobil Ferrari keluaran terbaru. Masih mengenakan kacamata hitamya, laki-laki itu membenahi jas abu terang yang melekat di badan atletisnya. Beberapa detik kemudian, sepasang kaki jenang berjalan lurus menuju pintu masuk rumah sakit terlihat sepi. Baginya, rumah sakit sama dengan kantor dan tempat umum lainnya. Di tempat itu, dia juga bisa bertransaksi. Di halaman parkir, rupanya mobil mewah milik keluarga Park baru saja tiba dengan laju pelan. Park Jiyeon dan Park Mina duduk di jok bagian depan. Mina yang berada di belakang kemudi, sesekali melirik Jiyeon yang nampak tenang tak bergeming sedikit pun. Tak butuh waktu lama, mobil yang membawa dua gadis bermarga Park itu telah sukses parkir di bagian depan, bersebelahan dengan mobil laki-laki yang ba
Malam hari begitu cepat menghampiri. Perputaran waktu yang cepat berlalu membuat banyak orang merasakan kepenatan dan kelelahan yang berlebih. Seharian bekerja, tak terasa malam sudah tiba. Ketika beristirahat pada malam hari pun, dengan cepatnya pagi sudah tiba. Begitu seterusnya. Hari ini Park Jiyeon memang belum aktif bekerja di RS. Dia hanya membantu Jaehwan menganalisa keadaan beberapa pasien. Sebagai dokter spesialis yang keahliannya di atas keahlian dokter biasa, dia harus bersikap profesional. Membantu Jaehwan pun sudah membuatnya menambah pengalaman di bidang kedokteran. Tapi malam ini, badannya terasa pegal-pegal dan ingin sekali lekas berbaring di ranjang kesayangannya. Jiyeon berjalan gontai menuju tempat parkir mobil. Malam ini Jaehwan tak menemaninya sampai pulang ke rumah. Laki-laki tampan penghuni hatinya itu mendapat panggilan ayahnya untuk segera pulang karena ada sesuatu yang penting. Jiyeon melihat keadaan sekelilingnya, sepi. Diliriknya arloji ma
“Baik,” jawab dua orang, seorang laki-laki dan seorang perempuan yang duduk di depan Jaehwan dengan kepala terus tertunduk. Jaehwan merasa heran. Kondisi kakek Hong pasti akibat pengaruh kedua orang ini. Pasti mereka telah mengatakan sesuatu pada laki-laki tua itu. “Sebenarnya apa yang telah kalian lakukan pada kakek Hong?” selidik Jaehwan yang merasa curiga bahwa kakek Hong mendapat tekanan atau ancaman dari keluarganya. “Dokter Kim...” Perawat yang duduk di samping Jaehwan berusaha menghentikan pertanyaan pemuda itu. Ia merasa bahwa pertanyaan seperti itu tidak layak keluar dari mulut seorang dokter. “Biarkan saja. Aku harus tahu apa yang terjadi.” Masih tetap menatap dua orang di depannya. “Jawab pertanyaanku! Apakah kalian tidak ingin kakek Hong sembuh?” “Dokter Kim, tolong jangan seperti ini,” pinta perawat itu. Jika petinggi rumah sakit mengetahui bahwa ada seorang dokter baru melakukan interogasi pada keluarga pasien seperti itu maka Ja