Keesokan hari.
Jiyeon sengaja bangun jam enam pagi untuk menyiapkan sarapan bersama bibi Han di dapur kesayangan wanita yang mengasuhnya sejak masih bayi itu. Jiyeon membantu bibi Han menyiapkan bahan-bahan yang diperlukan untuk memasak makanan. Ia biasa melakukan pekerjaan seperti itu saat masih tinggal di Jerman, tentunya bersama ibu tercinta ketika mendiang masih hidup.
Jiyeon meminta bibi Han untuk tidak sungkan padanya. Jika membutuhkan sesuatu, bibi Han panggil saja Jiyeon. Pasti gadis itu akan datang membawakan sesuatu yang diminta.
Sayur mayur telah disiapkan, daging sapi telah diiris sesuai kebutuhan bibi Han, bumbu-bumbu disiapkan juga oleh Jiyeon sehingga bibi Han semakin mudah dan cepat menyelesaikan tugas memasak di dapur.
Bibi Han sendiri sangat menyayangi Jiyeon seperti putri kandungnya. Sedari kecil, Jiyeon adalah gadis yang ringan tangan. Dia suka membantu siapapun selagi dia bisa melakukan pekerjaan itu. Sudah lama bibi Han tidak bertemu Jiyeon. Tetapi menurutnya, Jiyeon sama sekali tidak berubah. Semua sifat dan sikapnya masih sama dengan yang dulu. Baik dan sopan. Yang berbeda adalah wajah gadis itu semakin cantik dan semakin pandai merawat diri.
Dua jam telah terlewati dengan kesibukan di dapur. Jiyeon merasa lega karena berhasil membantu bibi Han di dapur. Kini tugas wanita itu tidak seberat kemarin-kemarin.
“Bibi Han, mulai hari ini, sampai besok dan besok, besok, seterusnya, aku akan membantu bibi di dapur. Aku tahu bibi sudah semakin tua dan...aku tidak tega melihat bibi Han bekerja seorang diri. Aku akan membantu bibi seperti tadi.”
Bibi Han tersenyum senang mendengar Jiyeon yang bersedia membantunya. Meskipun Jiyeon tidak membantu seperti tadi, dirinya tetap akan memasak untuk keluarga Park setiap hari. Itulah yang dilakukannya sejak 26 tahun yang lalu.
“Bibi berterimakasih sekali pada nona Jiyeon. Sungguh, bibi merasa sangat senang dan bangga pada nona.”
Jiyeon tertunduk malu. Kata-kata bibi Han membuatnya berbunga-bunga. Diselipkannya rambut berwarna coklat miliknya ke belakang telinga. Seandainya ibu masih hidup, batin Jiyeon.
Makanan sudah siap, tersaji dengan rapi di atas meja makan berbentuk persegi panjang dan dikelilingi delapan kursi. Jiyeon masih membantu bibi Han menyajikan sarapan pagi itu. Lengkap dengan menuangkan susu ke dalam masing-masing gelas yang tersedia di atas meja.
Tuan Park telah bersiap pergi ke kantornya pagi itu. Sebelum berangkat, sang putri bungsu membujuknya untuk sarapan terlebih dahulu.
“Ayolah, Ayah. Tolong... Aku yang membantu bibi Han menyiapkan semua ini. Jadi, ayo kita sarapan bersama,” bujuk Jiyeon sambil menggandeng tangan ayahnya.
Usaha Jiyeon berhasil. Ia telah membujuk ayahnya dan kini pria pendiri Diamond Group itu duduk di kursinya, menunggu Jiyeon selesai menyiapkan roti yang diolesi selai coklat.
“Kemarin malam ayah mengatakan akan membicarakan hal yang penting denganku. Pagi ini, kan? Ayah ingat?” Jiyeon menagih janji ayahnya saat sarapan. “Aku akan mendengarkan ayah dengan baik. Oh iya, tunggu. Di mana Kak Mina?”
Jiyeon meletakkan roti di atas piring ayahnya kemudian membalikkan badan hendak melangkah ke kamar Mina.
“Kakakmu sudah pergi ke kantor. Pagi-pagi sekali dia ada janji dengan pengacara perusahaan. Ada hal penting yang harus mereka bicarakan,” terang Tuan Park.
“Oh, begitu rupanya.” Jiyeon membatalkan niatnya memanggil Mina untuk sarapan bersama pagi itu itu.
“Duduklah! Setelah sarapan, kita akan membicarakan tentang karirmu.”
Karir? Mendengar kata itu, Jiyeon langsung menurut. Ia duduk di samping ayahnya dan mulai menyantap sarapan paginya.
.....
Setelah sarapan, Tuan Park meminta Jiyeon bicara empat mata dengannya di ruang tamu. Jiyeon pun menurut. Setelah membereskan piring dan peralatan lainnya dari meja makan, ia berjalan mengekor ayahnya menuju ruang tamu.
Tuan Park nampaknya ingin membicarakan hal yang penting dengan Jiyeon yang berkaitan tentang karir putri bungsunya.
“Kemarin sebelum aku pulang dari Busan, direktur rumah sakit Diamond Group mengatakan bahwa di sana sedang mengalami kekurangan tenaga medis. Salah satunya adalah dokter spesialis jantung.” Ayah Park Jiyeon berhenti sejenak. Sedangkan Jiyeon menanti sang ayah selesai mengatak hal yang ingin dikatakan padanya. “Ada beberapa dokter spesialis yang dibutuhkan oleh rumah sakit. Jika kau bersedia bekerja di sana, aku akan mengatakannya pada direktur. Kau juga bisa merekomendasikan rekan-rekanmu bekerja di sana, yang mungkin saja saat ini sedang dibutuhkan oleh rumah sakit itu.”
Singkat tapi jelas. Ya, begitulah Tuan Park. Selalu bicara sesuai kebutuhannya, pada intinya, tidak bertele-tele.
Jiyeon berpikir beberapa detik. Diamond Group? Bukankah itu rumah sakit milik ayahnya juga?
“Rumah sakit itu...bukankah bagian dari saham ayah?” tanya Jiyeon yang ingin memastikan pendapatnya.
“Iya, kau benar. Direktur Yoon yang memegang rumah sakit itu. Hanya dia yang bisa ku percaya.”
Jiyeon tersenyum. Tanpa pikir panjang, dia setuju untuk bekerja di sana. “Baiklah, Ayah. Aku akan bekerja di sana. Tolong katakan pada direktur Yoon bahwa aku masih membutuhkan pengarahan dari senior-senior di sana.”
“Hmm begitu... Baiklah, akan ku sampaikan padanya sesuai permintaanmu.”
“Terimakasih, Ayah.” Jiyeon mencium pipi kiri ayahnya kemudian beranjak pergi ke kamarnya. Ia ingin menyiapkan segala sesuatu untuk bekerja besok pagi di rumah sakit Diamond Group.
....
Busan, Korea Selatan
Sore hari pemandangan di Busan tak kalah cantik dengan pemandangan di Seoul. Kesibukan para penduduk juga nampak jelas di jalan raya dan banyak tempat pertokoan, kantor, dan lain-lain. Kota Busan merupakan kota penting kedua di negeri ginseng Korea Selatan, setelah Seoul tentunya.
Busan memiliki beberapa rumah sakit besar yang bisa bersaing secara Nasional bahkan dengan rumah sakit besar yang ada di Seoul. Salah satu rumah sakit besar di Busan adalah RS Diamond Group. Sebuah rumah sakit swasta yang mengutamakan pelayanan dan kualitas. Kesembuhan pasien merupakan prioritas di rumah sakit itu. Entah pasien dari golongan mampu (kaya) atau bahkan miskin.
Seorang pemuda berpostur tubuh tinggi, berparas tampan, memakai jas putih layaknya seorang dokter, berjalan dengan langkah santai melewati pintu kaca RS Diamond Group yang otomatis terbuka saat seseorang melewatinya.
Pemuda itu merupakan dokter spesialis jantung yang baru satu hari bekerja di rumah sakit itu.
“Dokter Kim!” Seorang perawat memanggil pemuda itu.
Kim Jaehwan, pemilik nametag jas warna putih yang dikenakan pemuda itu, membalik badannya. Seorang perawat berlari ke arahnya dengan beberapa lembar rekam medis pasien di tangannya.
Perawat itu nampak ngos-ngosan, lelah berlari mencari dokter tampan yang berdiri di depannya.
“Ada apa, Perawat Nam?”
“Tunggu, Dok,” sahutnya yang sibuk mengatur nafasnya yang ngos-ngosan setelah berlari ke sana kemari mencari dokter Kim. Perawat Nam berdiri tegak dan siap menjelaskan masalah yang terjadi. “Pasien di kamar 307 mengalami penurunan fungsi jantung,” terangnya.
Jaehwan mengerutkan keningnya. “Bagaimana bisa? Dia sudah dioperasi dengan prosedur yang benar. Bahkan kemarin kondisinya sudah membaik. Kenapa sekarang malah ada masalah seperti itu?”
“Tekanan darahnya menurun drastis, Dok.”
“Panggil dokter senior Yu ke ruang 307 segera. Dia harus tahu keadaan pasien yang dioperasi kemarin. Aku akan langsung melihat kondisi pasien.”
Perawat Nam mengangguk paham. Dia segera pergi menghubungi dokter Yu, dokter spesialis jantyng senior di RS Diamond Group.
Kim Jaehwan berlari menuju kamar 307. Seorang kakek berusia 64 tahun sedang dirawat di kamar itu. Kemarin kakek itu baru menjalani operasi penyumbatan pembuluh darah, tepatnya di bagian Arteri Pulmonalis. Pembuluh darah yang bertugas mengangkut darah dari jantung ke paru-paru. Fungsi pembuluh darah ini adalah untuk mengganti kandungan karbondioksida dengan uap air dalam darah menjadi oksigen.
“Kamar 307...“ gumam Jaehwan saat dia menemukan kamar itu.
Ceklek!
Jaehwan membuka pintu kamar 307 dan masuk ke dalam ruangan berukuran 3x3 meter itu dengan perlahan. “T, Tuan Hong?” lirih Jaehwan, memanggil sang pasien yang tertidur dengan mata tertutup rapat. Seorang perawat mendampingi pasien itu dengan ekspresi cemas. “Bagaimana kondisinya terakhir?”
“Dia sangat lemah, Dokter Kim. Kondisinya...entahlah. Secara teknis, operasi sudah membuat jantungnya membaik. Tapi tiba-tiba, tekanan darah pasien menurun drastis, mencapai 90/50.
Jaehwan menatap pasiennya dengan iba. “Kita harus tetap berusaha membantu pasien untuk sembuh.”
“Tetapi... Keluarganya ingin pengobatannya dihentikan, Dokter.”
“Apa?” Jaehwan kaget. Kakek itu sedang sekarat. Dokter pun masih menyanggupi untuk menolongnya tapi pihak keluarga malah sudah pasrah. “Bawa aku menemui mereka ketika Dokter Yu tiba di sini nanti. Biar aku saja yang bicara pada mereka.”
“Baiklah,” jawab perawat itu.
.....
Jaehwan ditemani seorang perawat sedang duduk di bangku kantin rumah sakit. Dengan sabar, mereka menunggu keluarga pasien kamar 307 yang sedang sekarat. “Kenapa harus kita yang menunggu?” tanya Jaehwan pada perawat.
Perawat itu pun tidak tahu jawabannya.
“Sebenarnya mereka ingin kakek Jong sembuh atau tidak?” Kedua tangan Jaehwan mengepal kesal pada keluarga itu.
Dua orang dagang mendekati Jaehwan dan perawat. Kemudian mereka membungkukkan punggung, tanda menghormati orang di Korsel. “Maaf jika harus menunggu. Maaf, kami baru saja menemui dokter Yu di ruang perawatan tadi.”
“Baiklah, tidak masalah. Sekarang langsung saja ke inti permasalahannya. Aku sangat tidak menyukai pendahuluan atau apapun yang bertele-tele.” Jaehwan melipat kedua tangannya di depan dada. “Kakek Hong kemarin sudah berhasil dioperasi dan kondisinya membaik. Tadi pagi pun keadaan kakek masih baik-baik saja. Tapi kenapa sore malah drop? Diagnosa sementara adalah penurunan fungsi jantung. Kami masih bisa membantu penyembuhan kakek Hong sehisa kami. Tapi kenapa pihak keluarga malah pasrah? Menyerah dengan keadaan?”
Dua orang anggota keluarga kakek Hong terdiam. Mereka menundukkan kepala. Tidak bisa berkata apapun untuk menjawab pertanyaan Jaehwan.
“Maaf jika ada kata-kataku yang kasar. Kalian harus memberikan alasan yang logis sebelum memutuskan sesuatu,” lanjut Jaehwan.
Salah seorang dari mereka menarik nafas panjang, bersiap menjawab pertanyaan dari dokter tampan itu. “Kami... Sudah tidak sanggup mengeluarkan biaya pengobatannya, Dokter Kim.”
Jaehwan mendesah kasar. “Jadi masalahnya adalah biaya? Kalian bisa mengajukan keringanan biaya atau bahkan gratis tanpa biaya. Itupun jika kalian berniat menyelamatkan kakek Hong. Lihatlah semangat beliau untuk hidup. Kalian malah membuatnya terpuruk.”
Dua orang yang duduk di hadapan Jaehwan tidak berani mengatakan apapun. Mereka tetap menundukkan kepala.
“Besok pagi kalian bisa mengajukan keringanan biaya. Aku yang akan bicara pada kantor administrasi. Siapkan saja berkas yang diperlukan!”
.....
Bersambung
“Baik,” jawab dua orang, seorang laki-laki dan seorang perempuan yang duduk di depan Jaehwan dengan kepala terus tertunduk. Jaehwan merasa heran. Kondisi kakek Hong pasti akibat pengaruh kedua orang ini. Pasti mereka telah mengatakan sesuatu pada laki-laki tua itu. “Sebenarnya apa yang telah kalian lakukan pada kakek Hong?” selidik Jaehwan yang merasa curiga bahwa kakek Hong mendapat tekanan atau ancaman dari keluarganya. “Dokter Kim...” Perawat yang duduk di samping Jaehwan berusaha menghentikan pertanyaan pemuda itu. Ia merasa bahwa pertanyaan seperti itu tidak layak keluar dari mulut seorang dokter. “Biarkan saja. Aku harus tahu apa yang terjadi.” Masih tetap menatap dua orang di depannya. “Jawab pertanyaanku! Apakah kalian tidak ingin kakek Hong sembuh?” “Dokter Kim, tolong jangan seperti ini,” pinta perawat itu. Jika petinggi rumah sakit mengetahui bahwa ada seorang dokter baru melakukan interogasi pada keluarga pasien seperti itu maka Ja
Malam hari begitu cepat menghampiri. Perputaran waktu yang cepat berlalu membuat banyak orang merasakan kepenatan dan kelelahan yang berlebih. Seharian bekerja, tak terasa malam sudah tiba. Ketika beristirahat pada malam hari pun, dengan cepatnya pagi sudah tiba. Begitu seterusnya. Hari ini Park Jiyeon memang belum aktif bekerja di RS. Dia hanya membantu Jaehwan menganalisa keadaan beberapa pasien. Sebagai dokter spesialis yang keahliannya di atas keahlian dokter biasa, dia harus bersikap profesional. Membantu Jaehwan pun sudah membuatnya menambah pengalaman di bidang kedokteran. Tapi malam ini, badannya terasa pegal-pegal dan ingin sekali lekas berbaring di ranjang kesayangannya. Jiyeon berjalan gontai menuju tempat parkir mobil. Malam ini Jaehwan tak menemaninya sampai pulang ke rumah. Laki-laki tampan penghuni hatinya itu mendapat panggilan ayahnya untuk segera pulang karena ada sesuatu yang penting. Jiyeon melihat keadaan sekelilingnya, sepi. Diliriknya arloji ma
Auhor POV Seorang laki-laki berpostur tubuh tinggi, kekar, leher jenjang, dan bersurai hitam dengan kacamata hitam terpasang menutup total kedua netranya – keluar dari sebuah mobil Ferrari keluaran terbaru. Masih mengenakan kacamata hitamya, laki-laki itu membenahi jas abu terang yang melekat di badan atletisnya. Beberapa detik kemudian, sepasang kaki jenang berjalan lurus menuju pintu masuk rumah sakit terlihat sepi. Baginya, rumah sakit sama dengan kantor dan tempat umum lainnya. Di tempat itu, dia juga bisa bertransaksi. Di halaman parkir, rupanya mobil mewah milik keluarga Park baru saja tiba dengan laju pelan. Park Jiyeon dan Park Mina duduk di jok bagian depan. Mina yang berada di belakang kemudi, sesekali melirik Jiyeon yang nampak tenang tak bergeming sedikit pun. Tak butuh waktu lama, mobil yang membawa dua gadis bermarga Park itu telah sukses parkir di bagian depan, bersebelahan dengan mobil laki-laki yang ba
Halaman rumah sakit Diamond Group terlihat sedikit ramai dibanding hari-hari sebelumnya. Cuaca hangat saat ini membuat banyak pasien ingin menikmati sinar matahari yang dapat menyehatkan tubuh dengan kandungan vitamin D. Beberapa pasien berjemur di bawah sinar matahari pagi ini didampingi keluarga ataupun tenaga kesehatan. Di pagi yang hangat itu, seorang laki-laki dengan setelan jas abu terang dan dasi berwarna hitamnya sedang berjalan keluar dari rumah sakit dengan kekesalan dan kekecewaan memuncak di hatinya.Lee Namju tak bisa melupakan setiap kata yang keluar dari mulut Mina beberapa menit yang lalu. “Baiklah, kita tunjukkan siapa yang akan menang,” katanya lirih sembari mengenakan kacamata hitamnya sebelum berjalan menyusuri halaman rumah sakit. Enam langkah dari teras rumah sakit, Namju melihat sosok gadis yang akhir-akhir ini mencuri perhatiannya. Park Jiyeon terlihat tengah asyik mengobrol dengan dua orang pasien di halaman samping rumah sakit. Ia masih m
Keesokan harinya, ponsel Jiyeon tak henti-hentinya berdering hingga memekakkan telinga. Dalam keadaan setengah sadar, ia melihat nama Mina di layar ponselnya. Pagi sekali kakaknya menelepon. Ini pasti karena ia tidak pulang ke rumah kemarin malam. Ya ampun, dirinya sudah dewasa tapi masih diperlakukan seperti anak kecil. Jiyeon yang masih dalam keadaan bugil dan dibalut dengan selimut tebal milik Jaehwan akhirnya menjawab telepon dari kakaknya.“Ada apa?” tanyanya dengan suara parau karena baru saja membuka mata dari lelapnya tidur.“Kau di mana?” tanya Mina. Bukannya menjawab pertanyaan Jiyeon, dia malah balik bertanya.“Aku tidur di rumah teman. Kemarin malam ada pesta kecil-kecilan untuk merayakan pasien kami yang berhasil sembuh dan sekarang sudah bisa meninggalkan rumah sakit. Aku hendak pulang tapi malam sudah larut. Jadi, aku putuskan tidur di rumah teman. Tenanglah, Kak. Aku baik-baik saja. Hari ini aku masuk siang. Jadwalku
Pukul 9 malam, suasana RS Diamond Group nampak sepi. Terlebih di lorong lantai satu yang notabennya diisi banyak ruang petinggi RS dan dokter-dokter senior. Seorang wanita bertubuh ideal, langsing dan tinggi semampai, dengan langkah kakinya bak model catwalk terkenal, terlihat lesu dan murung. Lelah, letih, dan kesal, itulah yang dirasakan wanita bernama Park Jiyeon itu.Langkah gontainya mengundang seorang pemuda yang selalu menjadi prioritas dalam hidupnya, Kim Jaehwan, berlari ke arahnya dan menuntun lengan kurus itu agar Jiyeon bisa berjalan dengan benar.“Ada apa denganmu?” tanya Jaehwan yang merasa ada sesuatu pada Jiyeon. “Apa yang terjadi di sana?” tanyanya lagi.Jiyeon hanya menggeleng. Bukan tidak ingin menjelaskan apa yang terjadi padanya tadi, tapi dia tidak memiliki daya untuk berkata-kata lagi. Wajah cantik itu kini nampak pucat, matanya terlihat cekung, dan terkadang ia memejamkan mata karena lelah.Melihat kondisi i
Pagi berubah menjadi siang. Suasana sepi yang membosankan membuat Jiyeon harus membolak-balikkan badannya, menemukan posisi tidur yang nyaman untuk tubuhnya. Tidak bisa, dia tidak bisa tidur dengan semudah itu. Pikiran yang masih memikirkan hal-hal lain membuat Jiyeon harus terjaga seorang diri di apartemen Jaehwan.“Aku harus memikirkan cara untuk menghubungi Namju hari ini,” lirihnya. Ia tidak ingin terjebak dalam masalah yang bukan urusannya. Mungkin masalah perusahaan harus didahulukan karena rumah sakit adalah bagian dari perusahaan keluarganya. Jadi, masalah perusahaan adalah prioritasnya saat ini.Baiklah, harus segera selesai, batinnya. Tak lama kemudian, Jiyeon meraih ponsel yang ia letakkan di atas nakas, di samping tempat tidur. Dicarinya nomor ponsel Namju yang sengaja tidak disimpan dalam kontak ponsel itu.Tuuuut! Tuuuut!Jiyeon pun langsung menghubungi Namju dan membuat rencana bertemu dengan laki-laki super licik itu.&l
“Bagaimana rasanya, Kak? Sakit, bukan?” Sebenarnya Jiyeon tidak bermaksud melukai hati Mina. Dia hanya ingin Mina merasakan apa yang saat ini dia rasakan. Kesialan yang menimpa Mina karena perbuatan Namju merupakan kesedihan bagi Jiyeon. Tapi Mina malah memintanya berbaikan dengan Namju dan mendekatinya untuk kepentingan perusahaan. Itu artinya Mina ingin menggali luka lama di hati Jiyeon dengan mempertemukan dirinya dan Lee Namju. Mina hanya memandang ke arah Jiyeon tanpa mengatakan sepatah kata. Dia tahu kalau adiknya juga merasakan sakit yang ia rasakan. Jiyeon adalah satu-satunya adik yang selalu mengerti dirinya. “Kalau sudah tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, aku pamit. Katakan saja padaku kapan dan di mana kalian akan menemui orang itu.” Sesaat kemudian Jiyeon beranjak dari kursi empuk yang didudukinya. Detik terakhir sebelum ia membalikkan badan, dapat dilihatnya ekspresi wajah Mina yang tampak sedih. .... Setelah Jiyeon meninggalkan ruang
“Kafe Lony dekat Busan Tower, jam 10 pagi.”Jiyeon langsung menghentikan langkahnya, menoleh ke arah kanan, mendapati Mina sedang bicara padanya dengan gaya melipat lengan bersilang di depan dada. Ia pun menghela nafas kasar karena di saat lelah malah melihat pemandangan yang membuatnya jenuh.“Tolong, jangan sekarang. Aku sudah lelah,” pinta Jiyeon yang tidak ingin kekesalannya semakin bertambah hanya karena kata-kata Mina. Sejujurnya, ia sedang tidak ingin berbicara dengan siapapun dan membicarakan apapun karena kondisi tubuh dan psikisnya sedang lemah. “Tolonglah, Kak,” pintanya lagi dengan wajah seperti kertas kusut.Mina melangkah mendekati Jiyeon yang berdiri tepat di depan pintu. “Katakan saja itu pada Lee Namju. Aku akan menunggunya di sana.”Ternyata yang diucapkan Mina tadi adalah lokasi dan waktu yang dia tentukan untuk bertemu dengan Park Siwoo. Jiyeon hanya mengangguk paham dan segera melangkah
“Bagaimana rasanya, Kak? Sakit, bukan?” Sebenarnya Jiyeon tidak bermaksud melukai hati Mina. Dia hanya ingin Mina merasakan apa yang saat ini dia rasakan. Kesialan yang menimpa Mina karena perbuatan Namju merupakan kesedihan bagi Jiyeon. Tapi Mina malah memintanya berbaikan dengan Namju dan mendekatinya untuk kepentingan perusahaan. Itu artinya Mina ingin menggali luka lama di hati Jiyeon dengan mempertemukan dirinya dan Lee Namju. Mina hanya memandang ke arah Jiyeon tanpa mengatakan sepatah kata. Dia tahu kalau adiknya juga merasakan sakit yang ia rasakan. Jiyeon adalah satu-satunya adik yang selalu mengerti dirinya. “Kalau sudah tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, aku pamit. Katakan saja padaku kapan dan di mana kalian akan menemui orang itu.” Sesaat kemudian Jiyeon beranjak dari kursi empuk yang didudukinya. Detik terakhir sebelum ia membalikkan badan, dapat dilihatnya ekspresi wajah Mina yang tampak sedih. .... Setelah Jiyeon meninggalkan ruang
Pagi berubah menjadi siang. Suasana sepi yang membosankan membuat Jiyeon harus membolak-balikkan badannya, menemukan posisi tidur yang nyaman untuk tubuhnya. Tidak bisa, dia tidak bisa tidur dengan semudah itu. Pikiran yang masih memikirkan hal-hal lain membuat Jiyeon harus terjaga seorang diri di apartemen Jaehwan.“Aku harus memikirkan cara untuk menghubungi Namju hari ini,” lirihnya. Ia tidak ingin terjebak dalam masalah yang bukan urusannya. Mungkin masalah perusahaan harus didahulukan karena rumah sakit adalah bagian dari perusahaan keluarganya. Jadi, masalah perusahaan adalah prioritasnya saat ini.Baiklah, harus segera selesai, batinnya. Tak lama kemudian, Jiyeon meraih ponsel yang ia letakkan di atas nakas, di samping tempat tidur. Dicarinya nomor ponsel Namju yang sengaja tidak disimpan dalam kontak ponsel itu.Tuuuut! Tuuuut!Jiyeon pun langsung menghubungi Namju dan membuat rencana bertemu dengan laki-laki super licik itu.&l
Pukul 9 malam, suasana RS Diamond Group nampak sepi. Terlebih di lorong lantai satu yang notabennya diisi banyak ruang petinggi RS dan dokter-dokter senior. Seorang wanita bertubuh ideal, langsing dan tinggi semampai, dengan langkah kakinya bak model catwalk terkenal, terlihat lesu dan murung. Lelah, letih, dan kesal, itulah yang dirasakan wanita bernama Park Jiyeon itu.Langkah gontainya mengundang seorang pemuda yang selalu menjadi prioritas dalam hidupnya, Kim Jaehwan, berlari ke arahnya dan menuntun lengan kurus itu agar Jiyeon bisa berjalan dengan benar.“Ada apa denganmu?” tanya Jaehwan yang merasa ada sesuatu pada Jiyeon. “Apa yang terjadi di sana?” tanyanya lagi.Jiyeon hanya menggeleng. Bukan tidak ingin menjelaskan apa yang terjadi padanya tadi, tapi dia tidak memiliki daya untuk berkata-kata lagi. Wajah cantik itu kini nampak pucat, matanya terlihat cekung, dan terkadang ia memejamkan mata karena lelah.Melihat kondisi i
Keesokan harinya, ponsel Jiyeon tak henti-hentinya berdering hingga memekakkan telinga. Dalam keadaan setengah sadar, ia melihat nama Mina di layar ponselnya. Pagi sekali kakaknya menelepon. Ini pasti karena ia tidak pulang ke rumah kemarin malam. Ya ampun, dirinya sudah dewasa tapi masih diperlakukan seperti anak kecil. Jiyeon yang masih dalam keadaan bugil dan dibalut dengan selimut tebal milik Jaehwan akhirnya menjawab telepon dari kakaknya.“Ada apa?” tanyanya dengan suara parau karena baru saja membuka mata dari lelapnya tidur.“Kau di mana?” tanya Mina. Bukannya menjawab pertanyaan Jiyeon, dia malah balik bertanya.“Aku tidur di rumah teman. Kemarin malam ada pesta kecil-kecilan untuk merayakan pasien kami yang berhasil sembuh dan sekarang sudah bisa meninggalkan rumah sakit. Aku hendak pulang tapi malam sudah larut. Jadi, aku putuskan tidur di rumah teman. Tenanglah, Kak. Aku baik-baik saja. Hari ini aku masuk siang. Jadwalku
Halaman rumah sakit Diamond Group terlihat sedikit ramai dibanding hari-hari sebelumnya. Cuaca hangat saat ini membuat banyak pasien ingin menikmati sinar matahari yang dapat menyehatkan tubuh dengan kandungan vitamin D. Beberapa pasien berjemur di bawah sinar matahari pagi ini didampingi keluarga ataupun tenaga kesehatan. Di pagi yang hangat itu, seorang laki-laki dengan setelan jas abu terang dan dasi berwarna hitamnya sedang berjalan keluar dari rumah sakit dengan kekesalan dan kekecewaan memuncak di hatinya.Lee Namju tak bisa melupakan setiap kata yang keluar dari mulut Mina beberapa menit yang lalu. “Baiklah, kita tunjukkan siapa yang akan menang,” katanya lirih sembari mengenakan kacamata hitamnya sebelum berjalan menyusuri halaman rumah sakit. Enam langkah dari teras rumah sakit, Namju melihat sosok gadis yang akhir-akhir ini mencuri perhatiannya. Park Jiyeon terlihat tengah asyik mengobrol dengan dua orang pasien di halaman samping rumah sakit. Ia masih m
Auhor POV Seorang laki-laki berpostur tubuh tinggi, kekar, leher jenjang, dan bersurai hitam dengan kacamata hitam terpasang menutup total kedua netranya – keluar dari sebuah mobil Ferrari keluaran terbaru. Masih mengenakan kacamata hitamya, laki-laki itu membenahi jas abu terang yang melekat di badan atletisnya. Beberapa detik kemudian, sepasang kaki jenang berjalan lurus menuju pintu masuk rumah sakit terlihat sepi. Baginya, rumah sakit sama dengan kantor dan tempat umum lainnya. Di tempat itu, dia juga bisa bertransaksi. Di halaman parkir, rupanya mobil mewah milik keluarga Park baru saja tiba dengan laju pelan. Park Jiyeon dan Park Mina duduk di jok bagian depan. Mina yang berada di belakang kemudi, sesekali melirik Jiyeon yang nampak tenang tak bergeming sedikit pun. Tak butuh waktu lama, mobil yang membawa dua gadis bermarga Park itu telah sukses parkir di bagian depan, bersebelahan dengan mobil laki-laki yang ba
Malam hari begitu cepat menghampiri. Perputaran waktu yang cepat berlalu membuat banyak orang merasakan kepenatan dan kelelahan yang berlebih. Seharian bekerja, tak terasa malam sudah tiba. Ketika beristirahat pada malam hari pun, dengan cepatnya pagi sudah tiba. Begitu seterusnya. Hari ini Park Jiyeon memang belum aktif bekerja di RS. Dia hanya membantu Jaehwan menganalisa keadaan beberapa pasien. Sebagai dokter spesialis yang keahliannya di atas keahlian dokter biasa, dia harus bersikap profesional. Membantu Jaehwan pun sudah membuatnya menambah pengalaman di bidang kedokteran. Tapi malam ini, badannya terasa pegal-pegal dan ingin sekali lekas berbaring di ranjang kesayangannya. Jiyeon berjalan gontai menuju tempat parkir mobil. Malam ini Jaehwan tak menemaninya sampai pulang ke rumah. Laki-laki tampan penghuni hatinya itu mendapat panggilan ayahnya untuk segera pulang karena ada sesuatu yang penting. Jiyeon melihat keadaan sekelilingnya, sepi. Diliriknya arloji ma
“Baik,” jawab dua orang, seorang laki-laki dan seorang perempuan yang duduk di depan Jaehwan dengan kepala terus tertunduk. Jaehwan merasa heran. Kondisi kakek Hong pasti akibat pengaruh kedua orang ini. Pasti mereka telah mengatakan sesuatu pada laki-laki tua itu. “Sebenarnya apa yang telah kalian lakukan pada kakek Hong?” selidik Jaehwan yang merasa curiga bahwa kakek Hong mendapat tekanan atau ancaman dari keluarganya. “Dokter Kim...” Perawat yang duduk di samping Jaehwan berusaha menghentikan pertanyaan pemuda itu. Ia merasa bahwa pertanyaan seperti itu tidak layak keluar dari mulut seorang dokter. “Biarkan saja. Aku harus tahu apa yang terjadi.” Masih tetap menatap dua orang di depannya. “Jawab pertanyaanku! Apakah kalian tidak ingin kakek Hong sembuh?” “Dokter Kim, tolong jangan seperti ini,” pinta perawat itu. Jika petinggi rumah sakit mengetahui bahwa ada seorang dokter baru melakukan interogasi pada keluarga pasien seperti itu maka Ja