"Pah," panggil Lelaki itu dengan bariton suaranya yang berat.
Akhirnya, aku dan Tuan Besar masuk ke dalam ruangan setelah berdiri diam di depan pintu. Tuan Besar dengan tegas menginstruksikan dua orang pelayan yang berada di sisi Tuan Dafa untuk segera pergi.Aku menoleh ke kiri dan kanan, kamarnya terlihat begitu gelap. Gorden tidak terbuka, memberikan kesan yang sedikit menyeramkan."Cari apa kamu?" tanya Tuan Dafa sembari menatap sinis ke arahku.Aku langsung menggelengkan kepala sebagai jawaban, kenapa harus keciduk sih."Dafa, bagaimana keadaanmu?" tanya Tuan besar."Mengapa kalian ada di sini?" tanyanya balik, dengan tatapan tajam menatap kami berdua."Dafa, Papah hanya ingin menjengukmu ....""Katakan!"Aku menelan saliva dengan susah payah. Melihat interaksi mereka, aku menyadari bahwa hubungan mereka tidak baik."Begini, Dafa. Papah ingin memperkenalkanmu dengan Jingga." Aku melihat Tuan Besar menghela nafas pelan, lelaki itu tampak sangat sulit mengatakannya. "Gadis ini anak yang baik, Papah ingin kamu menikah dengannya."Brak!"DAFA!"Mataku melebar saat Tuan Dafa langsung memukul meja kaca di sisinya hingga pecah. Tangannya terkepal dengan darah yang sudah mengalir dari tangannya."SAYA TIDAK MAU MENIKAH, SUDAH SAYA BILANG SAYA TIDAK AKAN MENIKAH!" Matanya memerah memperlihatkan betapa marahnya lelaki itu."Dafa ini demi kebaikanmu!""Kebaikan apa? Papah mau saya di hina dan menjadi beban seorang istri karna saya cacat?" Gigi lelaki itu bergemeletuk. Ia mencengkram pecahan kaca dengan sangat kuat.Aku yang melihat hal itu langsung mendekat ke arah Tuan Dafa, lalu mengambil pecahan kaca di genggamannya. Jika dia terus menggenggamnya, tangannya akan tertusuk atau tersayat."Tuan, saya mohon lepaskan pecahan kaca ini.""Gak usah so peduli, bajingan. Menjauh! kalo tidak, pecahan kaca ini akan menancap di kepalamu," gertak Tuan Dafa.Suara retakan kaca beserta darah mengalir membuatku merasa ngilu. Tidak peduli apa yang dia katakan, aku terus berusaha untuk mengambil pecahan kaca itu."JINGGA LEPASIN TANGAN DAFA. NANTI KAMU JUGA AKAN IKUT TERLUKA." Tiba-tiba, Tuan Besar berteriak dengan panik. Segera ia pergi memanggil beberapa orang untuk membantu menenangkan Tuan Dafa. Sementara itu, aku terus mencoba membujuk lelaki tersebut agar melepaskan genggamannya."Tuan saya mohon. Nanti tangan anda akan sangat sakit.""Jangan memberitahu saya soal rasa sakit, saya sudah mati rasa," jawab Tuan Dafa sambil menekan kata mati."Argh." Aku meringis saat pecahan kaca itu ikut menancap di tanganku."Sakit?" ucapnya pelan. "Jika kamu tidak bisa menahan rasa sakit ini, bagaimana bisa menjadi istri seorang Dafa." Lelaki itu berbicara sembari menyeringai menatapku."Urungkan niatmu untuk pura-para ingin menjadi istriku. Lebih baik beritahu sekarang berapa uang yang kau mau. 500 juta, 100 juta atau I milyar?""Aa--aku tidak butuh uang, Tuan.""Munafik!" Wajah Tuan Dafa semakin memerah, sebelah tangannya hampir kembali mengambil pecahan kaca, jika beberapa anak buah Tuan besar tidak datang untuk memegang tangannya.Seorang dokter laki-laki menyuntikan sesuatu ke bahu Tuan Dafa, membuat lelaki itu tampak tenang lalu memejamkan matanya."Akhirnya Dafa kembali tenang," gumam Tuan Besar."Maaf Tuan, apa yang kalian bicarakan dengan Tuan Muda hingga membuatnya kembali mengamuk?" tanya salah-seorang seorang lelaki yang memegangi tangan Tuan Dafa.Saat Tuan Besar akan menjawab, tiba-tiba Dokter berbicara membuat semuanya terlihat melebarkan mata."Bagaimana kita bisa mengeluarkan pecahan kaca ini? Potongan kaca itu menusuk lengan gadis ini dan Tuan Muda."Aku yang baru menyadarinya ikut melihat ke arah tanganku, benar apa yang dikatakan dokter itu. Pecahan kaca yang lumayan besar itu menusuk tanganku dan tangan Tuan Dafa, membuat tangan kami tampak menyatu."Cabut saja," ucapku membuat mereka langsung melotot."Tapi ini sangat sakit?" Tuan Besar menatapku dengan khawatir."Biar saya yang cabut."Sekarang tangan tuan Dafa sudah tidak terkepal, aku menggunakan sebelah tanganku untuk mencabut pecahan kaca tersebut.Aku menggigit bibir, merasakan tangan ini begitu perih."Dokter, obatin Dafa. Saya akan membawa Jingga untuk di bawa ke rumah sakit!""Baik, Tuan!"***"Tidak ada pecahan kaca yang tertinggal di dalam tangannya, tusukannya juga tidak terlalu dalam," ujar sang Dokter. Sekarang kami berada di rumah sakit, Tuan Besar langsung membawaku ke sini karna melihat tanganku yang terus mengeluarkan darah."Saya pamit dulu Tuan, saya akan menyiapkan beberapa resep obat untuk di gunakan di rumah." Setelah mengatakan hal itu, Dokter itu lalu keluar. Meninggalkanku dan Tuan besar yang sama-sama hanya diam, larut dalam pikiran masing-masing."Jingga, maafkan kesalahan anak saya. Saya tidak menyangka jika Dafa akan melakukan hal ini."Lelaki yang terkenal tegas itu, menunduk di hadapanku karna ulah anaknya."Tidak apa-apa, Tuan," jawabku sembari menyunggingkan senyum. Entah kenapa aku lebih menghawatirkan Tuan Dafa, saat pecahan kaca itu sampai tembus mengenai tanganku tidak kulihat raut wajahnya yang meringis atau kesakitan."Jingga, saya tidak akan memaksamu untuk menikahi Dafa. Benar yang dikatakan Tania dan Satria, mungkin anak saya sudah ....""Saya akan tetap menikah dengannya Tuan," jawabku dengan mantap.Aku melihar raut wajah Tuan Besar terkejut, mungkin orang-orang akan mengatakan aku bodoh yang masih mau bersama lelaki seperti itu."Jingga, apa kamu serius? Kamu taukan kalo Dafa itu tempramental. Dia bisa menyakitimu," terangnya."Tuan tenang saja. Saya sudah biasa mengalami kekerasan dari semenjak saya kecil, kesakitan seperti itu sudah biasa bagi saya."Tiba-tiba, Tuan Besar memeluk tubuhku. Rasanya kehangatan yang kuat mengalir melalui pelukan ini, aku merasa ini seperti pelukan yang selalu aku rindukan dari sosok yang kuanggap sebagai Bapak. Ternyata seperti ini rasanya, begitu nyaman diselimuti kehangatan di dalam pelukan ini."Terimakasih, Jingga. Saya tau kamu satu-satunya gadis yang nantinya bisa membuat Dafa bangkit kembali. Mungkin terdengar seperti candaan saat sedari dulu, saya sudah ingin menjadikanmu istri Dafa, karna melihat betapa gigihnya kamu kerja di warung makan walau kamu masih sekolah SMP. ?" kekehnya. Lalu melepas pelukannya sembari tersenyum tipis."Tadinya, saya mengurungkan niat itu karna kamu masih kecil, tidak pantas dengan Dafa yang sudah dewasa. Tapi candaan itu berubah menjadi keinginan besar, setelah beberapa kali saya mencari calon istri, tapi mereka terus menghilang meninggalkan DafaJingga, saya sudah menganggap kamu putri saya sendiri. Apa kamu yakin dengan pernikahan ini? Apa kamu tidak keberatan dengan umur Dafa yang sudah dewasa?"Aku menyadari bahwa perbedaan usia antara aku dan Tuan Dafa sangat besar. Namun, wajahnya yang tetap terlihat muda, dengan tatapan tajam seperti elang, dan ketampanannya yang diatas rata-rata membuatku tidak merasa terganggu oleh perbedaan ini. Meskipun sebenarnya, keinginanku untuk menikah dengan Tuan Dafa bukanlah semata-mata karena penampilannya yang menarik."Saya tidak keberatan, Tuan. Tapi, apakah boleh saya meminta sesuatu?""Katakan, apa yang kamu inginkan?""Saya tidak keberatan, Tuan. Tapi, apakah boleh saya meminta sesuatu?""Katakan, apa yang kamu inginkan?""Saya hanya selalu ingin tau kabar keluarga saya, Tuan.""Baiklah." Aku tersenyum saat Tuan Besar menganggukkan kepalanya. Kami baru saja akan meninggalkan ruangan, tetapi tiba-tiba seorang lelaki muda datang dan mendekati Tuan Besar."Pah ... Papah baik-baik aja kan, apa Papah sakit?" tanya lelaki itu, wajahnya terlihat begitu khawatir. "Hans." Tuan besar menatap lekat putranya, setelah itu ia memeluknya dengan erat. "Kapan kamu pulang? Kenapa tidak mengabari papah dulu?" "Tadinya Hans mau ngasih kejutan, tapi malah Hans yang dikasih kejutan. Orang rumah bilang kalo Papah ke rumah sakit," jawabnya. Tuan besar tampak terkekeh pelan. "Papah gak papa. Oh, ya kenalkan dia Jingga. Calon istri Dafa." Aku tersenyum kikuk saat lelaki itu menatap lekat ke arahku dengan alisnya yang dinaikan sebelah, ia lalu mengulurkan tangannya padaku. "Hans," ucapnya."Hans, kamu pulang duluan aja
Leo, maafin Kakak yang tidak bisa menjaga kamu. Biasanya jika Ibu dan Bapak bertengkar, aku selalu membawa Leo keluar, atau menutup kupingnya agar dia tidak mendengar pertengkaran mereka. "Kakak jangan nangis, sekarang Leo udah di kamar. Tadi ada Om Juragan dateng, dia langsung mukulin Bapak terus di bawa pergi. Leo juga di kasih ponsel, katanya Bapak gak boleh tau kalo Leo punya ponsel, ini buat Leo kalo kangen sama Kakak."Aku mengusap kedua pipiku lalu menyunggingkan senyum ke arah adikku. "Leo di sana baik-baik yah, kalo ada apa-apa langsung telepon Kakak. Secepatnya, Kakak bakal jemput Leo!""Leo sayang Kakak!" Setelah itu telepon terputus. Aku memeluk ponsel ini dengan erat, membayangkan jika benda kecil ini adalah Leo. "Jingga." Aku berbalik saat mendengar seseorang memanggil namaku. Ku lihat ada Tania dan Papah yang sudah berada di belakangku. Buru-buru aku seka air mata ini, tidak Jingga, kamu tidak boleh memperlihatkan air matamu pada mereka. "Tu--tuan besar, anda menc
"Jingga, terimakasih karna kamu mau menikah dengan anak saya Dafa. Saya harap kamu bisa membuatnya bangkit kembali seperti dulu." Tampak mata Tuan Besar berkaca-kaca, wajahnya yang begitu terlihat bahagia membuatku semakin yakin untuk bisa mengembalikan anaknya seperti dulu, walau rasanya tidak mungkin."Jingga, mulai sekarang jangan panggil saya Tuan Besar lagi yah. Karna sekarang, saya sudah menjadi Papah kamu juga."Lelaki itu tersenyum, Ia mengusap puncak kepalaku lalu pergi. Entah kenapa aku merasa benar-benar mendapatkan sosok Ayah darinya. ***Sedari tadi, aku sudah bertemu dengan banyak orang, akan tetapi tidak kulihat Tuan Dafa setelah dari acara akad. Karena melihat semua tamu hampir pulang dan acaranya sudah selesai, aku langsung menuju kamar. Tapi tiba-tiba ada sebuah tangan yang mencekal pergelangan tanganku. "Hans." "Saya mau bicara sebentar, boleh?" tanyanya. Aku menganggukan kepala, lelaki itu tampak celingukan lalu membawaku ke tempat yang sedikit sepi. "Mana p
Pov DafaAku terbangun dengan kepala yang berdenyut hebat. Aku menatap ke sekeliling, gadis itu sudah tidak ada. Aku hanya bisa tersenyum miris, mungkin beberapa jam lagi akan ada informasi bahwa dia kabur dan meminta cerai padaku. Seperti itulah kehidupanku. Sejak kejadian empat tahun yang lalu, hidupku berubah menjadi suram. Setiap kali aku memejamkan mata, bayangan kejadian itu langsung muncul kembali seperti memutar kaset yang begitu jelas.Hari itu adalah hari paling buruk yang aku alami. Gara-gara aku, Bunda yang sangat kami cintai meninggal di tempat. Dan Tania, setelah mengetahui aku lumpuh, dia langsung membatalkan pertunangannya. Yang paling mengejutkanku adalah ternyata dia sudah menikah sirih bersama adikku saat aku dirawat di rumah sakit. Seperti kehilangan sumber kebahagiaan, setiap hari aku hanya berdiam diri di kamar. Membiarkan kamarku berantakan hingga tak boleh ada satupun yang membersihkannya. Aku sudah tidak mengurus perusahaan, ataupun sekedar keluar. Tetap m
Setelah mengambil baju dari lemari aku menghampirinya. Tampak gadis itu melongo melihatku. "Tu--tuan bisa berdiri?" tanyanya."Hm." Aku hanya berdehem sebagai jawaban.Jingga menuruti perintahku, gadis itu memakaikan kemeja padaku lalu mulai berjongkok memasangkan kancingnya. "Berapa umurmu?" "18 tahun Tuan," jawabnya membuat aku terkejut. Astaga, Papah bahkan menikahkanku dengan seorang gadis yang masih sangat muda. "Tuan biar saya ganti perbannya." Jingga mengambil kotak obat lalu mulai membuka perban di tanganku. Sedangkan aku hanya diam, entah kenapa mataku tidak bisa lepas menatap wajahnya. Hidung mancung, mata berwarna coklat yang indah, bulu mata lentik. Jangan lupakan bibirnya yang tipis, itu membuatku teringat pada kejadian semalam. Meskipun aku sedikit mabuk, aku masih bisa mengingatnya dengan jelas.Tapi tunggu, mataku memincing melihat ada luka di kening yang tertutup rambut. "Kenapa kepalamu berdarah," ucapku membuat Jingga seketika mendongak. Aku memegang tanganny
Aku mengulum senyum melihat Jingga yang terlihat sangat panik. "Jingga bukan itu maksud saya. Hm, saya melihat tangan dan pundakmu memar. Saya ingin tau tentang luka itu.""Ti--tidak Tuan, itu hanya terkena nyamuk.""Jingga, saya bukan anak kecil lagi. Cepat, berbaliklah ke belakang dan buka bajumu!" "Tidak mau Tuan." Jingga menunduk dan menggigit bibirnya. Wajahnya terlihat memerah karena malu."Jingga, saya tidak akan melakukan apapun padamu. Melihatmu saja, saya tidak selera," ucapku mampu membuat gadis itu melotot. Jingga terdiam sejenak, dengan ragu dia berbalik ke belakang, dan perlahan tangannya gemetar saat dia mulai membuka bajunya. "Ji--jingga." Rongga dadaku terasa sesak, saat melihat tubuhnya yang mulus dengan begitu banyak bekas luka. Ada luka yang masih terlihat biru, ada juga yang sudah mulai memudar."Darimana kamu dapat bekas luka sebanyak itu?""Ii--ini, ini karna itu Tuan. Karna saya suka terjatuh. Iya terjatuh," jawabnya terdengar gugup."JANGAN MEMBOHONGI SAYA
"Tuan, anda ingin sesuatu?" tanya Jingga. "Tidak! Kau saja lebih mementingkan memasak untuk orang lain, padahal suami sendiri kelaparan," ketusku.Di dalam kamar aku terus menggerutu, entah kenapa rasanya masih kesal teringat kejadian tadi. "Tuan, saya sudah menyiapkan untuk Tuan juga, sebentar." Jika mengambil sesuatu di meja, lalu menghampiriku. "Ini Tuan, saya buatin sayur sup. Ini baik untuk Tuan.""Tidak usah!" "Bukannya, Tuan laper?" "Sekarang ngga!""Mau saya suapin?" Astaga, malah ditanya. "Aaa ...." Jingga menyodorkan sesendok sup ke arahku. Dengan ragu, aku mulai memakannya. Hm, rasanya memang seperti masakan Bunda. "Kamu sudah makan?" "Belom, Tuan," jawab Jingga dengan pelan."Makan!" "Tapi, sendoknya cuman satu?" Aku mengambil piring itu, dan mulai menyuapinya memakai sendok bekas diriku. "Makan!"Seulas senyum terbit dari bibir gadis itu, ia mulai membuka mulutnya. Aku melanjutkan memberikan suapan makanan kepadanya, entah kenapa rasa lapar dalam perutku yang
Pov Jingga. Aku benar-benar tidak menyangka dengan hidupku sekarang. Dulu, aku begitu takut membayangkan menikah dengan Tuan Dafa. Tapi sekarang, aku merasa menjadi wanita yang paling bahagia. Semua yang orang katakan itu tidak benar. Mereka bilang Tuan Dafa tempramental, kejam, tidak punya hati. Entahlah mereka tau darimana, yang jelas Tuan Dafa yang menikahiku begitu baik walapun sikapnya seperti batu. Tuan Dafa memiliki banyak beban dalam hidupnya. Apalagi mendengar perkataan Papah dan Satria tadi saat makan, entah bagaimana hati Tuan Dafa. Aku ingin menanyakan padanya, tapi takut membuatnya emosional, terlebih lagi dia terus diam setelah mengobrol dengan Papah.Saat menunggu Tuan Dafa di kamar, aku memang lancang, membuka lemari dan Rak di kamar Tuan Dafa. Di sana aku melihat banyak sekali buku, dan juga lukisan yang begitu indah. Tapi pokusku malah pada obat yang berada di rak. Sebuah obat dengan botol yang polos, membuatku curiga tentang obat itu. Aku yang tidak tau apa-apa m
Dafa terduduk lemas sambil menatap sebuah foto yang berisi keluarganya dulu saat mereka masih lengkap. Dia kemudian memasukkan foto tersebut ke dalam koper.Sudah tujuh tahun sejak peristiwa mengerikan itu terjadi, namun kenangan yang menakutkan itu masih selalu menghantuinya. Dafa menghela nafas pelan dan kembali melanjutkan mengambil barang-barang lainnya untuk dimasukkan ke dalam koper."Sudah siap semuanya?" tanya Tuan William. Dafa mengangguk, ia lalu meminta seseorang untuk membawa barang-barangnya ke mobil."Hana, sini sama Papah." Bocah perempuan yang berada di sisi Tuan William langsung berlari ke pangkuan Dafa. Lelaki itu tersenyum, ia lalu mencium pipi gembul putrinya."Sebelum ke rumah baru, kita nemuin Bunda dulu yah," ucap Dafa membuat bocah itu mengangguk dengan antusias. Dafa lalu menggendong Hanna, sebelum pergi ia terlebih dahulu menatap lama ke arah kamar mereka. Ia menghela nafas pelan, merasa berat meninggalkan rumah yang penuh dengan kenangan indah. Namun, mes
"Tania, berhenti!" teriak Jingga dengan panik, namun Tania justru tertawa. Dengan kegilaan di matanya, wanita itu terus mengemudikan mobilnya menuju jurang yang mengerikan."Tania, jangan bodoh. Kita bisa mati!"Tidak, Jingga. Jika aku tidak bisa mendapatkan Mas Dafa, maka kamu juga tidak."Tania menginjak gas dengan keras, membuat mobil semakin cepat menuju ke jurang yang menakutkan. Jingga dengan panik mencoba menghentikannya, tangan mereka berebut setir mobil sehingga kendaraan itu menjadi tidak stabil. "Lepaskan, Tania!"Namun, Tania tak merespons. Kedua wanita itu terus berebut setir, membuat mobil semakin oleng dan jauh dari kendali."Aku tidak akan membiarkan kamu menyelakaiku atau anakku."Tin! Tin! Tiba-tiba suara klakson mobil terdengar dari arah samping. "HANS," teriak Jingga, ia melihat mobil Hans yang sedang melaju di sisinya dengan tangan lelaki itu berusaha mengetuk kaca mobil Tania."Hentikan perbuatan ini Tania! Berhenti!" teriak Hans dengan keras, namun Tania tet
Ada yang aneh dari tatapan Tania, tapi aku tidak tau apa. "Jingga, saya mau menemui Hans terlebih dahulu. Saya harus mengetahui apa alasan dia melakukan hal itu." "Aku ikut, Mas.""Hm, ayo."Kami akhirnya melangkahkan kaki untuk mencari Hans, sekarang dia harus menjelaskan semuanya. Mengapa dirinya sampai mengambil keputusan seperti itu? "Hans," panggil Mas Dafa. Membuat Lelaki yang sedang duduk di teras itu mendongak menatap kami. "Kak Dafa, ada apa?" "Jujur sama saya, Hans. Kenapa kamu melakukan hal itu?""Hans, hanya ingin menikahinya Kak.""Bohong, saya sudah pernah mencarikanmu wanita. Bukan hanya saya, tapi Papah juga. Tapi kamu selalu menolak dengan alasan tidak mau menikah, sekarang kamu malah ingin menikahi Tania. Hans, saya tau kamu tidak mencintainya, kamu juga tidak sepeduli itu pada putranya. Lalu apa yang membuat kamu ingin menikah dengannya?" tanya Mas Dafa, tampak kekesalan terlihat di wajahnya karna melihat Hans yang hanya tersenyum dan terus diam. "Kakak tidak
Aku terbangun dan menatap ke samping namun tidak ada keberadaan Mas Dafa. Ku lirik jam yang sudah menunjukan pukul satu malam. Kemana Mas Dafa pergi malam-malam seperti ini. Aku langsung bangkit, dan keluar dari kamar. Langkah ku ayunkan ke kamar Tania, pasti Mas Dafa berada di sana.Benar, saja. Aku melihat Mas Dafa sedang menggendong Azka, putra Tania. Mata lelaki itu terlihat sayu, tapi dia seperti tidak lelah menggendongnya. Sedangkan Tania, wanita itu sedang berbaring sembari tersenyum ke arah Mas Dafa. Melihat pemandangn seperti ini, hatiku terasa begitu sakit, terlebih melihat mereka seperti suami istri yang sempurna.Aku menggeleng dengan cepat, bagaimana bisa aku berpikir seburuk itu. Aku tau, jika Mas Dafa hanya mencintaiku. "Mas, gendong Azka nya jangan sambil berdiri gitu. Mendingan sambil tiduran dekat aku," ucap tania dengan nada yang terdengar manja."Tania, saya datang ke sini hanya untuk menidurkan Azka. Jangan pernah berpikir macam-macam, karena jika kamu mengatak
"Ngga, Mas." Langkah Mas Dafa kembali berhenti saat aku menghempaskan tangannya. "Jingga, kamu ....""Mas, aku mohon. Apa kamu tidak kasihan sama Papah, dan anak Tania. Dia masih kecil Mas, dia butuh banyak kasih sayang.""Jingga, kamu tidak tau apapun. Turutin perintah saya, ayo!" Mas Dafa akan kembali menarik tanganku, tapi dengan cepat aku menggeleng. "Maaf Mas, aku tidak akan kemana-mana. Aku akan tetap di sini. Mas, tolong kali ini saja jangan egois," ucapku membuat mata Mas Dafa melebar, seperti tak percaya dengan apa yang aku ucapkan. "Saya egois, kamu serius dengan ucapanmu, Jingga?""Iya, Mas," jawabku sembari menatap ke arahnya, berusaha untuk menutupi ketakutan ini karna sudah melawan dirinya. "Baiklah, kita akan tetap di sini," jawab Mas Dafa dengan nada yang terdengar kecewa.***Aku, Papah dan Hans mengikuti Mas Dafa yang berjalan ke arah kamar Tania, entah kenapa mendadak hatiku menjadi tidak tenang. Semoga saja, ini tidak membuat hubungan kami menjadi kembali reng
Pov JinggaAku menggendong bayi Tania dengan air mata yang menetes, tak kuasa manahan tangisku saat bayi yang baru lahir ini sudah kehilangan Papahnya dan Ibunya seperti tidak menyayanginya."Jingga, kamu amankan dulu bayinya." Aku mengangguk, saat akan membawa bayi ini tiba-tiba Tania kembali berteriak. "Kembalikan bayiku! Jangan bawa dia, kamu mau nyuri dia kan? Karna dia pewaris keluarga William?""Astagfirullah." Hans menggelengkan kepalanya, sedangkan wajah Mas Dafa sudah memerah. Mas Dafa memgambil alih bayi itu, lalu kembali menurunkannya di dekat Tania. "Urus bayimu Tania!" ucap Mas Dafa, setelah itu ia akan kembali mendekatiku akan tetapi Tania malah mencekal tangannya. "Mm--mas Dafa," panggil Tania, membuat kami semua mengerutkan kening. "Mas, bantu aku buat jaga bayi ini. Kasian dia Mas, dia udah gak punya Papah." "Bukannya kamu tadi menuduh istri saya akan mencuri bayimu?" "Yah, karna dia bukan siapa-siapa. Dia pasti bakal ngelakuin segala cara untuk mengambil bayi
"Mas Satria, jangan tinggalin aku Mas."Tania terus menangis histeris, wanita itu hendak berlari menghampiri tubuh Satria namun di hadang beberapa orang. "Lepasin, tolong lepasin. Mas Satria!" "Tania, Satria sudah meninggal!""Ngga! Mas Satria gak akan ninggalin aku, gak mungkin," jerit Tania. "Tenanglah, Tania. Tenang," lirih Tuan William. Ia ikut menangis saat Satria dan Angel di nyatakan meninggal.Jingga menatap Dafa yang hanya diam, matanya terus mengarah pada Jenazah mereka yang sedang di urus. Jingga melihat Dafa yang hanya diam, matanya terpaku pada jenazah mereka yang sedang diurus. Air matanya mengalir deras di pipi, ia berusaha meredakan kepedihan yang mendalam di hatinya. Pemandangan tubuh mereka yang seperti itu terlalu berat baginya. Bagaimana mungkin mereka nekat melompat dari ketinggian 5 lantai? Tubuh mereka hancur dan jiwa mereka telah meninggalkan tubuh, namun tangan mereka masih saling berpegangan erat."Argh." "Tania, kamu kenapa?"Jingga langsung menoleh k
"Ke--kenapa ada polisi?" tanya Clara dengan suara yang terdengar gugup. Semua tamu yang hadir pun menjadi gaduh, karena ternyata ada beberapa polisi yang berada di belakang Jingga."Acaranya akan kita mulai sayang," bisik Dafa di telinga Clara membuat wanita itu langsung menatap heran ke arah Dafa. Dafa mendekati Jingga, ia menatap lekat wanita yang hanya diam itu. Seketika Jingga terlonjak saat Dafa menarik tangan Jingga dan membawanya ke tengah."Mas apa ini, bukannya kamu akan meresmikan acara kita?" tanya Clara. Sekarang wanita itu terlihat sangat bingung, terlebih banyak kusuk-kusuk omongan orang. "Maaf Clara, itu tidak akan terjadi karna saya sudah menemukan semua bukti tentang kalian!" "Bukti? Bukti apa Mas?" Dafa tersenyum sinis, lelaki itu lalu menyuruh orang untuk menyalakan proyektor."Ada apa ini? Apa maksud ini semua Mas?" "Lihat saja!"Tatapan semua orang mengarah pada layar putih di depan, mata mereka tercengang melihat sebuah video terpampang di sana."Sekarang, D
Jingga duduk lemas di tepi trotoar, kaki terasa berat untuk melangkah. Ia tidak lagi memiliki rasa percaya kepada siapapun, hatinya begitu sakit karena semua orang yang pernah ia percayai telah menghianatinya."Bodoh, bodoh, bodoh. Kamu sangat bodoh Jingga, sangat bodoh. Kenapa kamu harus percaya sama mereka!" Jingga terisak, ia memukul kepalanya berkali-kali. "Dari semua hal yang paling menyakitkan, inilah yang paling sakit. Saat penghianatan itu datang dari orang yang kita percaya," gumama Jingga.Wanita itu terkekeh pelan. Ia terlihat benar-benar lelah karena setiap kali dirinya mencoba bangkit, dunia sepertinya selalu membuatnya kembali terjatuh. Jingga mengusap air matanya saat ponselnya berdering, wanita itu terdiam sejenak sebelum mengangkat panggilan telepon dari Papah mertuanya. "Hallo, menantu Papah. Apa kabar?" tanya Tuan William di sebrang sana. Jingga berdehem sejenak. "Alhamdulillah baik Pah ... Papah apa kabar?" "Kabar Papah baik Jingga, kamu lagi apa? Kok kaya di