"Kamu memang sangat cantik Jingga. Tidak sia-sia Bos besar saya menunggumu sampai dewasa," ucap Juragan.
Di dalam mobil, lelaki itu terus berbicara panjang lebar. Sedangkan aku hanya diam, yang kupikirkan sekarang hanya adikku Leo. Aku tidak tau bagaimana keadaannya sekarang, aku takut kebiasaan ibu yang selalu memukulku ia impaskan pada Leo. Dan Bapak, lelaki kejam itu entah pulang atau tidak saat mendapat banyak uang."Jingga!"Aku membuyarkan lamunanku saat Juragan memanggil namaku. "Iya Juragan?""Sebentar lagi kita sampai.""Hm." Aku hanya menganggukkan kepala sebagai jawaban, aku sudah tidak peduli bagaimana nasibku nanti di sana."Sebelum kita sampai apa ada yang ingin kau tanyakan?" tanyanya membuatku menoleh ke arahnya.Aku berpikir sejenak lalu menganggukan kepala. "Ada, saya ingin tau bagaimana ibu dulu? Maksudku, apa Ibu semenjak menikah dengan Bapak kandungku sudah tempramental?" tanyaku."Saya kira kamu akan bertanya soal keluarga Bos saya," kekehnya."Tidak Juragan," jawabku pelan. Sekarang yang terpenting hanya tentang Ibu, tentang masa lalu yang dialami malaikatku.Juragan tampak terdiam sejenak hingga akhirnya berbicara. "Ibumu itu dulu orang yang sopan dan lemah lembut, dia juga sangat cantik. Saat itu saya hanya punya satu istri yaitu, Nita. Melihat kecantikan ibumu saya jadi ingin menikahinya untuk menjadikan yang kedua, tapi Ibumu malah memilih Joko. Seorang pedagang sayur yang miskin." ucapnya sembari tersenyum tipis akan tetapi terlihat tangan Juragan mengepal memegang kemudi."Walau keluarga Ibumu tidak setuju, dia tetap menikah dengan joko, hingga akhirnya Ibumu tidak dianggap lagi oleh keluargamu. Apalagi semenjak Joko ketauan mencuri, dan dibunuh warga, semua orang semakin memojokan Ibumu. Fatimah yang malang."Aku tersenyum miris mendengar kenyataan ini, pantas saja selama ini semua orang di kampungku terlihat tidak peduli dengan kami. Tidak ada tetangga yang menolong saat aku atau ibu menjerit kesakitan, terkadang mereka hanya diam seperti menonton pertunjukan, sekarang aku tau penyebabnya.Aku sering mendengar sebutan "anak pencuri" terlontar, awalnya aku mengira mereka hanya bercanda, tapi sekarang aku menyadari bahwa semuanya nyata. Aku menghela nafas pelan, mencoba menahan rasa sesak di dada ini."Sudah ceritanya, sekarang kau harus turun, kita sudah sampai."Aku melirik ke arah depan, mataku membola melihat rumah yang begitu megah. Apakah ini milik Bos besarnya Juragan?"Ayok, kenapa masih disitu?" tegur Juragan saat melihatku hanya diam di mobil."Ii--iya, Juragan." Buru-buru aku mengikuti Juragan keluar."Dimana Bos besar?" tanya Juragan ke arah dua orang yang sedang menjaga rumah."Silahkan masuk, Tuan sudah menunggu kalian di dalam!""Ayo Jingga!"Detak jantungku terasa berpacu dengan cepat saat aku memasuki rumah megah ini."Maaf Bos, saya membuat anda menunggu lama." Juragan tampak membungkuk hormat ke arah lelaki yang terlihat lebih tua darinya.Lelaki itu terkekeh pelan, walapun ia sudah tua akan tetapi penampilannya begitu berkarisma. Sepertinya dia adalah Bos besar Juragan.Mata lelaki itu memandang ke arahku, senyumnya yang tipis ia perlihatkan padaku. "Kamu Jingga?" tanyanya, membuatku refleks langsung mengangguk."Saya masih mengingat wajahmu, walau sudah tiga tahun tidak bertemu," kekehnya."Apakah kita sudah bertemu sebelumnya?" Akhirnya pertanyaan itu lolos dari bibirku, sejujurnya aku sudah sangat penasaran."Kita memang tidak pernah bertemu, tapi saya selalu memantaumu dari dulu," jawab Lelaki itu membuatku benar-benar merasa bingung."Tono, sekarang kamu boleh pergi. Nanti saya akan mengabari kamu untuk pekerjaan selanjutnya," ucapnya yang langsung diangguki Juragan. Tanpa mengatakan sepatah katapun padaku, ia berlalu begitu saja."Ayok Jingga ikut saya!""Baik Bos juragan," jawabku membuat lelaki itu menoleh ke arahku dengan kening berkerut."Panggil saya Tuan besar atau Papah mertua," jawabnya.Bak anak kecil aku hanya bisa mengangguk, sembari mengekornya dari belakang.Terlihat dua orang lelaki dan perempuan memandang ke arahku dengan tatapan yang, mungkin menjijikan."Pah, dia siapa? Apa dia ART baru. Tumben Papah mau mengurusi seorang ART?" tanya wanita muda yang terlihat sangat cantik dan modis."Jaga bicara kamu Tania, dia adalah calon istri Dafa yang baru." Perkataan lelaki itu membuat aku mendelikan mata, ternyata benar apa kata Juragan. Tapi siapa Dafa?Bukan hanya Aku, mereka 'pun langsung melotot seketika. Tapi sekian detik, tawanya pecah membuatku merasa heran."Papah-Papah, ternyata gadis kampung ini adalah korban Mas Dafa selanjutnya," ucap Wanita sembari tersenyum sinis."Saya kasih tau padamu yah, daripada jadi istri lelaki lumpuh dan gila. Lebih baik kamu pulang saja atau jadi ART." Lelaki di samping wanita bernama Tania itu ikut berbicara."Satya, Tania ... Apakah kalian tidak bisa menjaga ucapan kalian?""Maaf Pah, tapi yang kami bicarakan itu benarkan. Apa Papah lupa sama beberapa istri Mas Dafa yang selalu pergi setelah malam pernikahan mereka?" tanya Tania membuat mataku membola.Terlihat Tuan besar menghela nafas pelan, wajahnya yang tadi ceria berubah kusut seketika. "Jingga itu beda, dia tidak seperti kebanyakan wanita lain," jawab Tuan besar sembari menatap ke arahku."Pah, mana ada orang yang sanggup tinggal bersama lelaki yang tega menyiksanya," terang Lelaki bernama Satria. Perkataan mereka mampu membuat nyaliku seketika menciut, mendengarnya saja sudah membuatku yakin seperti apa calon suamiku."Yasudah Pah ... Kami harap, gadis kampung ini tidak memiliki nasib yang sama seperti istri Mas Dafa sebelumnya.""Kami pamit pergi dulu yah, Pah," pamit Satria. Lelaki itu pergi sembari memegang pinggang Tania dengan mesra."Jingga ... Apa kamu takut mendengar ucapan mereka?" tanya Tuan besar. Mungkin karena melihat pelipisku yang sudah banjir keringat."Apa yang mereka katakan benar, Tuan?""Benar, tapi tidak sepenuhnya benar," jawabnya. "Ayo ikut saya, akan saya temui kamu dengan anak saya, Dafa!"***Aku melihat seorang lelaki yang sedang duduk di kursi roda. Kamarnya begitu berantakan, wajahnya terlihat sangat tampan walau rambutnya seperti tidak terurus."Dia Dafa, anak saya yang pertama, saat ini berusia 28 tahun. Ia mengalami kecelakaan empat tahun yang lalu bersama ibunya dan sejak itu mengalami kecacatan," ucap Tuan besar dengan wajahnya yang sendu, sambil menatap putranya."Dia lelaki yang tegas juga sangat pintar, tapi itu semua langsung sirna setelah kecelakaan itu terjadi. Kelumpuhan dan kepergian ibunya membuat Dafa terpuruk dan tak berdaya, apalagi Tania membatalkan tunangannya dan menikahi adiknya, Satria.""Apa?" Mataku melebar tak percaya, jadi Tania adalah tunangannya, dan Satria adiknya."Seharusnya keluarga dan kekasih menyemangatinya untuk sembuh, tapi mereka malah semakin membuatnya jatuh ke jurang keterpurukan. Itulah yang membuat kondisi Dafa Semakin lama malah semakin buruk, dia sudah tidak ingin diobati lagi, kesehatan fisik dan mentalnya sudah parah.Saya sudah berkali-kali mencarikannya calon istri agar dia kembali semangat hidup, akan tetapi semuanya tetap sama ...." Tuan Besar membuka kecamatanya, lalu mengusap matanya yang berembun."Mereka selalu kabur di malam pertama, karna tidak kuat melihat Dafa yang mengamuk dan hampir menyelakai mereka."Deg!Tiba-tiba sorot mata lelaki yang duduk di kursi roda itu menatap ke arahku dengan tatapan tajamnya seperti penuh kebencian.Pasrah, Aku telah keluar dari kandang harimau dan sekarang malah memasuki kandang macan."Pah," panggil Lelaki itu dengan bariton suaranya yang berat. Akhirnya, aku dan Tuan Besar masuk ke dalam ruangan setelah berdiri diam di depan pintu. Tuan Besar dengan tegas menginstruksikan dua orang pelayan yang berada di sisi Tuan Dafa untuk segera pergi.Aku menoleh ke kiri dan kanan, kamarnya terlihat begitu gelap. Gorden tidak terbuka, memberikan kesan yang sedikit menyeramkan."Cari apa kamu?" tanya Tuan Dafa sembari menatap sinis ke arahku. Aku langsung menggelengkan kepala sebagai jawaban, kenapa harus keciduk sih. "Dafa, bagaimana keadaanmu?" tanya Tuan besar."Mengapa kalian ada di sini?" tanyanya balik, dengan tatapan tajam menatap kami berdua."Dafa, Papah hanya ingin menjengukmu ....""Katakan!"Aku menelan saliva dengan susah payah. Melihat interaksi mereka, aku menyadari bahwa hubungan mereka tidak baik."Begini, Dafa. Papah ingin memperkenalkanmu dengan Jingga." Aku melihat Tuan Besar menghela nafas pelan, lelaki itu tampak sangat sulit mengatakannya. "Gadis ini a
"Saya tidak keberatan, Tuan. Tapi, apakah boleh saya meminta sesuatu?""Katakan, apa yang kamu inginkan?""Saya hanya selalu ingin tau kabar keluarga saya, Tuan.""Baiklah." Aku tersenyum saat Tuan Besar menganggukkan kepalanya. Kami baru saja akan meninggalkan ruangan, tetapi tiba-tiba seorang lelaki muda datang dan mendekati Tuan Besar."Pah ... Papah baik-baik aja kan, apa Papah sakit?" tanya lelaki itu, wajahnya terlihat begitu khawatir. "Hans." Tuan besar menatap lekat putranya, setelah itu ia memeluknya dengan erat. "Kapan kamu pulang? Kenapa tidak mengabari papah dulu?" "Tadinya Hans mau ngasih kejutan, tapi malah Hans yang dikasih kejutan. Orang rumah bilang kalo Papah ke rumah sakit," jawabnya. Tuan besar tampak terkekeh pelan. "Papah gak papa. Oh, ya kenalkan dia Jingga. Calon istri Dafa." Aku tersenyum kikuk saat lelaki itu menatap lekat ke arahku dengan alisnya yang dinaikan sebelah, ia lalu mengulurkan tangannya padaku. "Hans," ucapnya."Hans, kamu pulang duluan aja
Leo, maafin Kakak yang tidak bisa menjaga kamu. Biasanya jika Ibu dan Bapak bertengkar, aku selalu membawa Leo keluar, atau menutup kupingnya agar dia tidak mendengar pertengkaran mereka. "Kakak jangan nangis, sekarang Leo udah di kamar. Tadi ada Om Juragan dateng, dia langsung mukulin Bapak terus di bawa pergi. Leo juga di kasih ponsel, katanya Bapak gak boleh tau kalo Leo punya ponsel, ini buat Leo kalo kangen sama Kakak."Aku mengusap kedua pipiku lalu menyunggingkan senyum ke arah adikku. "Leo di sana baik-baik yah, kalo ada apa-apa langsung telepon Kakak. Secepatnya, Kakak bakal jemput Leo!""Leo sayang Kakak!" Setelah itu telepon terputus. Aku memeluk ponsel ini dengan erat, membayangkan jika benda kecil ini adalah Leo. "Jingga." Aku berbalik saat mendengar seseorang memanggil namaku. Ku lihat ada Tania dan Papah yang sudah berada di belakangku. Buru-buru aku seka air mata ini, tidak Jingga, kamu tidak boleh memperlihatkan air matamu pada mereka. "Tu--tuan besar, anda menc
"Jingga, terimakasih karna kamu mau menikah dengan anak saya Dafa. Saya harap kamu bisa membuatnya bangkit kembali seperti dulu." Tampak mata Tuan Besar berkaca-kaca, wajahnya yang begitu terlihat bahagia membuatku semakin yakin untuk bisa mengembalikan anaknya seperti dulu, walau rasanya tidak mungkin."Jingga, mulai sekarang jangan panggil saya Tuan Besar lagi yah. Karna sekarang, saya sudah menjadi Papah kamu juga."Lelaki itu tersenyum, Ia mengusap puncak kepalaku lalu pergi. Entah kenapa aku merasa benar-benar mendapatkan sosok Ayah darinya. ***Sedari tadi, aku sudah bertemu dengan banyak orang, akan tetapi tidak kulihat Tuan Dafa setelah dari acara akad. Karena melihat semua tamu hampir pulang dan acaranya sudah selesai, aku langsung menuju kamar. Tapi tiba-tiba ada sebuah tangan yang mencekal pergelangan tanganku. "Hans." "Saya mau bicara sebentar, boleh?" tanyanya. Aku menganggukan kepala, lelaki itu tampak celingukan lalu membawaku ke tempat yang sedikit sepi. "Mana p
Pov DafaAku terbangun dengan kepala yang berdenyut hebat. Aku menatap ke sekeliling, gadis itu sudah tidak ada. Aku hanya bisa tersenyum miris, mungkin beberapa jam lagi akan ada informasi bahwa dia kabur dan meminta cerai padaku. Seperti itulah kehidupanku. Sejak kejadian empat tahun yang lalu, hidupku berubah menjadi suram. Setiap kali aku memejamkan mata, bayangan kejadian itu langsung muncul kembali seperti memutar kaset yang begitu jelas.Hari itu adalah hari paling buruk yang aku alami. Gara-gara aku, Bunda yang sangat kami cintai meninggal di tempat. Dan Tania, setelah mengetahui aku lumpuh, dia langsung membatalkan pertunangannya. Yang paling mengejutkanku adalah ternyata dia sudah menikah sirih bersama adikku saat aku dirawat di rumah sakit. Seperti kehilangan sumber kebahagiaan, setiap hari aku hanya berdiam diri di kamar. Membiarkan kamarku berantakan hingga tak boleh ada satupun yang membersihkannya. Aku sudah tidak mengurus perusahaan, ataupun sekedar keluar. Tetap m
Setelah mengambil baju dari lemari aku menghampirinya. Tampak gadis itu melongo melihatku. "Tu--tuan bisa berdiri?" tanyanya."Hm." Aku hanya berdehem sebagai jawaban.Jingga menuruti perintahku, gadis itu memakaikan kemeja padaku lalu mulai berjongkok memasangkan kancingnya. "Berapa umurmu?" "18 tahun Tuan," jawabnya membuat aku terkejut. Astaga, Papah bahkan menikahkanku dengan seorang gadis yang masih sangat muda. "Tuan biar saya ganti perbannya." Jingga mengambil kotak obat lalu mulai membuka perban di tanganku. Sedangkan aku hanya diam, entah kenapa mataku tidak bisa lepas menatap wajahnya. Hidung mancung, mata berwarna coklat yang indah, bulu mata lentik. Jangan lupakan bibirnya yang tipis, itu membuatku teringat pada kejadian semalam. Meskipun aku sedikit mabuk, aku masih bisa mengingatnya dengan jelas.Tapi tunggu, mataku memincing melihat ada luka di kening yang tertutup rambut. "Kenapa kepalamu berdarah," ucapku membuat Jingga seketika mendongak. Aku memegang tanganny
Aku mengulum senyum melihat Jingga yang terlihat sangat panik. "Jingga bukan itu maksud saya. Hm, saya melihat tangan dan pundakmu memar. Saya ingin tau tentang luka itu.""Ti--tidak Tuan, itu hanya terkena nyamuk.""Jingga, saya bukan anak kecil lagi. Cepat, berbaliklah ke belakang dan buka bajumu!" "Tidak mau Tuan." Jingga menunduk dan menggigit bibirnya. Wajahnya terlihat memerah karena malu."Jingga, saya tidak akan melakukan apapun padamu. Melihatmu saja, saya tidak selera," ucapku mampu membuat gadis itu melotot. Jingga terdiam sejenak, dengan ragu dia berbalik ke belakang, dan perlahan tangannya gemetar saat dia mulai membuka bajunya. "Ji--jingga." Rongga dadaku terasa sesak, saat melihat tubuhnya yang mulus dengan begitu banyak bekas luka. Ada luka yang masih terlihat biru, ada juga yang sudah mulai memudar."Darimana kamu dapat bekas luka sebanyak itu?""Ii--ini, ini karna itu Tuan. Karna saya suka terjatuh. Iya terjatuh," jawabnya terdengar gugup."JANGAN MEMBOHONGI SAYA
"Tuan, anda ingin sesuatu?" tanya Jingga. "Tidak! Kau saja lebih mementingkan memasak untuk orang lain, padahal suami sendiri kelaparan," ketusku.Di dalam kamar aku terus menggerutu, entah kenapa rasanya masih kesal teringat kejadian tadi. "Tuan, saya sudah menyiapkan untuk Tuan juga, sebentar." Jika mengambil sesuatu di meja, lalu menghampiriku. "Ini Tuan, saya buatin sayur sup. Ini baik untuk Tuan.""Tidak usah!" "Bukannya, Tuan laper?" "Sekarang ngga!""Mau saya suapin?" Astaga, malah ditanya. "Aaa ...." Jingga menyodorkan sesendok sup ke arahku. Dengan ragu, aku mulai memakannya. Hm, rasanya memang seperti masakan Bunda. "Kamu sudah makan?" "Belom, Tuan," jawab Jingga dengan pelan."Makan!" "Tapi, sendoknya cuman satu?" Aku mengambil piring itu, dan mulai menyuapinya memakai sendok bekas diriku. "Makan!"Seulas senyum terbit dari bibir gadis itu, ia mulai membuka mulutnya. Aku melanjutkan memberikan suapan makanan kepadanya, entah kenapa rasa lapar dalam perutku yang
Dafa terduduk lemas sambil menatap sebuah foto yang berisi keluarganya dulu saat mereka masih lengkap. Dia kemudian memasukkan foto tersebut ke dalam koper.Sudah tujuh tahun sejak peristiwa mengerikan itu terjadi, namun kenangan yang menakutkan itu masih selalu menghantuinya. Dafa menghela nafas pelan dan kembali melanjutkan mengambil barang-barang lainnya untuk dimasukkan ke dalam koper."Sudah siap semuanya?" tanya Tuan William. Dafa mengangguk, ia lalu meminta seseorang untuk membawa barang-barangnya ke mobil."Hana, sini sama Papah." Bocah perempuan yang berada di sisi Tuan William langsung berlari ke pangkuan Dafa. Lelaki itu tersenyum, ia lalu mencium pipi gembul putrinya."Sebelum ke rumah baru, kita nemuin Bunda dulu yah," ucap Dafa membuat bocah itu mengangguk dengan antusias. Dafa lalu menggendong Hanna, sebelum pergi ia terlebih dahulu menatap lama ke arah kamar mereka. Ia menghela nafas pelan, merasa berat meninggalkan rumah yang penuh dengan kenangan indah. Namun, mes
"Tania, berhenti!" teriak Jingga dengan panik, namun Tania justru tertawa. Dengan kegilaan di matanya, wanita itu terus mengemudikan mobilnya menuju jurang yang mengerikan."Tania, jangan bodoh. Kita bisa mati!"Tidak, Jingga. Jika aku tidak bisa mendapatkan Mas Dafa, maka kamu juga tidak."Tania menginjak gas dengan keras, membuat mobil semakin cepat menuju ke jurang yang menakutkan. Jingga dengan panik mencoba menghentikannya, tangan mereka berebut setir mobil sehingga kendaraan itu menjadi tidak stabil. "Lepaskan, Tania!"Namun, Tania tak merespons. Kedua wanita itu terus berebut setir, membuat mobil semakin oleng dan jauh dari kendali."Aku tidak akan membiarkan kamu menyelakaiku atau anakku."Tin! Tin! Tiba-tiba suara klakson mobil terdengar dari arah samping. "HANS," teriak Jingga, ia melihat mobil Hans yang sedang melaju di sisinya dengan tangan lelaki itu berusaha mengetuk kaca mobil Tania."Hentikan perbuatan ini Tania! Berhenti!" teriak Hans dengan keras, namun Tania tet
Ada yang aneh dari tatapan Tania, tapi aku tidak tau apa. "Jingga, saya mau menemui Hans terlebih dahulu. Saya harus mengetahui apa alasan dia melakukan hal itu." "Aku ikut, Mas.""Hm, ayo."Kami akhirnya melangkahkan kaki untuk mencari Hans, sekarang dia harus menjelaskan semuanya. Mengapa dirinya sampai mengambil keputusan seperti itu? "Hans," panggil Mas Dafa. Membuat Lelaki yang sedang duduk di teras itu mendongak menatap kami. "Kak Dafa, ada apa?" "Jujur sama saya, Hans. Kenapa kamu melakukan hal itu?""Hans, hanya ingin menikahinya Kak.""Bohong, saya sudah pernah mencarikanmu wanita. Bukan hanya saya, tapi Papah juga. Tapi kamu selalu menolak dengan alasan tidak mau menikah, sekarang kamu malah ingin menikahi Tania. Hans, saya tau kamu tidak mencintainya, kamu juga tidak sepeduli itu pada putranya. Lalu apa yang membuat kamu ingin menikah dengannya?" tanya Mas Dafa, tampak kekesalan terlihat di wajahnya karna melihat Hans yang hanya tersenyum dan terus diam. "Kakak tidak
Aku terbangun dan menatap ke samping namun tidak ada keberadaan Mas Dafa. Ku lirik jam yang sudah menunjukan pukul satu malam. Kemana Mas Dafa pergi malam-malam seperti ini. Aku langsung bangkit, dan keluar dari kamar. Langkah ku ayunkan ke kamar Tania, pasti Mas Dafa berada di sana.Benar, saja. Aku melihat Mas Dafa sedang menggendong Azka, putra Tania. Mata lelaki itu terlihat sayu, tapi dia seperti tidak lelah menggendongnya. Sedangkan Tania, wanita itu sedang berbaring sembari tersenyum ke arah Mas Dafa. Melihat pemandangn seperti ini, hatiku terasa begitu sakit, terlebih melihat mereka seperti suami istri yang sempurna.Aku menggeleng dengan cepat, bagaimana bisa aku berpikir seburuk itu. Aku tau, jika Mas Dafa hanya mencintaiku. "Mas, gendong Azka nya jangan sambil berdiri gitu. Mendingan sambil tiduran dekat aku," ucap tania dengan nada yang terdengar manja."Tania, saya datang ke sini hanya untuk menidurkan Azka. Jangan pernah berpikir macam-macam, karena jika kamu mengatak
"Ngga, Mas." Langkah Mas Dafa kembali berhenti saat aku menghempaskan tangannya. "Jingga, kamu ....""Mas, aku mohon. Apa kamu tidak kasihan sama Papah, dan anak Tania. Dia masih kecil Mas, dia butuh banyak kasih sayang.""Jingga, kamu tidak tau apapun. Turutin perintah saya, ayo!" Mas Dafa akan kembali menarik tanganku, tapi dengan cepat aku menggeleng. "Maaf Mas, aku tidak akan kemana-mana. Aku akan tetap di sini. Mas, tolong kali ini saja jangan egois," ucapku membuat mata Mas Dafa melebar, seperti tak percaya dengan apa yang aku ucapkan. "Saya egois, kamu serius dengan ucapanmu, Jingga?""Iya, Mas," jawabku sembari menatap ke arahnya, berusaha untuk menutupi ketakutan ini karna sudah melawan dirinya. "Baiklah, kita akan tetap di sini," jawab Mas Dafa dengan nada yang terdengar kecewa.***Aku, Papah dan Hans mengikuti Mas Dafa yang berjalan ke arah kamar Tania, entah kenapa mendadak hatiku menjadi tidak tenang. Semoga saja, ini tidak membuat hubungan kami menjadi kembali reng
Pov JinggaAku menggendong bayi Tania dengan air mata yang menetes, tak kuasa manahan tangisku saat bayi yang baru lahir ini sudah kehilangan Papahnya dan Ibunya seperti tidak menyayanginya."Jingga, kamu amankan dulu bayinya." Aku mengangguk, saat akan membawa bayi ini tiba-tiba Tania kembali berteriak. "Kembalikan bayiku! Jangan bawa dia, kamu mau nyuri dia kan? Karna dia pewaris keluarga William?""Astagfirullah." Hans menggelengkan kepalanya, sedangkan wajah Mas Dafa sudah memerah. Mas Dafa memgambil alih bayi itu, lalu kembali menurunkannya di dekat Tania. "Urus bayimu Tania!" ucap Mas Dafa, setelah itu ia akan kembali mendekatiku akan tetapi Tania malah mencekal tangannya. "Mm--mas Dafa," panggil Tania, membuat kami semua mengerutkan kening. "Mas, bantu aku buat jaga bayi ini. Kasian dia Mas, dia udah gak punya Papah." "Bukannya kamu tadi menuduh istri saya akan mencuri bayimu?" "Yah, karna dia bukan siapa-siapa. Dia pasti bakal ngelakuin segala cara untuk mengambil bayi
"Mas Satria, jangan tinggalin aku Mas."Tania terus menangis histeris, wanita itu hendak berlari menghampiri tubuh Satria namun di hadang beberapa orang. "Lepasin, tolong lepasin. Mas Satria!" "Tania, Satria sudah meninggal!""Ngga! Mas Satria gak akan ninggalin aku, gak mungkin," jerit Tania. "Tenanglah, Tania. Tenang," lirih Tuan William. Ia ikut menangis saat Satria dan Angel di nyatakan meninggal.Jingga menatap Dafa yang hanya diam, matanya terus mengarah pada Jenazah mereka yang sedang di urus. Jingga melihat Dafa yang hanya diam, matanya terpaku pada jenazah mereka yang sedang diurus. Air matanya mengalir deras di pipi, ia berusaha meredakan kepedihan yang mendalam di hatinya. Pemandangan tubuh mereka yang seperti itu terlalu berat baginya. Bagaimana mungkin mereka nekat melompat dari ketinggian 5 lantai? Tubuh mereka hancur dan jiwa mereka telah meninggalkan tubuh, namun tangan mereka masih saling berpegangan erat."Argh." "Tania, kamu kenapa?"Jingga langsung menoleh k
"Ke--kenapa ada polisi?" tanya Clara dengan suara yang terdengar gugup. Semua tamu yang hadir pun menjadi gaduh, karena ternyata ada beberapa polisi yang berada di belakang Jingga."Acaranya akan kita mulai sayang," bisik Dafa di telinga Clara membuat wanita itu langsung menatap heran ke arah Dafa. Dafa mendekati Jingga, ia menatap lekat wanita yang hanya diam itu. Seketika Jingga terlonjak saat Dafa menarik tangan Jingga dan membawanya ke tengah."Mas apa ini, bukannya kamu akan meresmikan acara kita?" tanya Clara. Sekarang wanita itu terlihat sangat bingung, terlebih banyak kusuk-kusuk omongan orang. "Maaf Clara, itu tidak akan terjadi karna saya sudah menemukan semua bukti tentang kalian!" "Bukti? Bukti apa Mas?" Dafa tersenyum sinis, lelaki itu lalu menyuruh orang untuk menyalakan proyektor."Ada apa ini? Apa maksud ini semua Mas?" "Lihat saja!"Tatapan semua orang mengarah pada layar putih di depan, mata mereka tercengang melihat sebuah video terpampang di sana."Sekarang, D
Jingga duduk lemas di tepi trotoar, kaki terasa berat untuk melangkah. Ia tidak lagi memiliki rasa percaya kepada siapapun, hatinya begitu sakit karena semua orang yang pernah ia percayai telah menghianatinya."Bodoh, bodoh, bodoh. Kamu sangat bodoh Jingga, sangat bodoh. Kenapa kamu harus percaya sama mereka!" Jingga terisak, ia memukul kepalanya berkali-kali. "Dari semua hal yang paling menyakitkan, inilah yang paling sakit. Saat penghianatan itu datang dari orang yang kita percaya," gumama Jingga.Wanita itu terkekeh pelan. Ia terlihat benar-benar lelah karena setiap kali dirinya mencoba bangkit, dunia sepertinya selalu membuatnya kembali terjatuh. Jingga mengusap air matanya saat ponselnya berdering, wanita itu terdiam sejenak sebelum mengangkat panggilan telepon dari Papah mertuanya. "Hallo, menantu Papah. Apa kabar?" tanya Tuan William di sebrang sana. Jingga berdehem sejenak. "Alhamdulillah baik Pah ... Papah apa kabar?" "Kabar Papah baik Jingga, kamu lagi apa? Kok kaya di