"Mbak, aku pinjam bajunya dong, buat acara kondangan nikah temenku besok," ucap Silvi--adik iparku.
"Baju yang mana?" tanyaku tanpa menghentikan aktifitasku mencuci setumpuk piring kotor di wastafel."Yang bagus lah, Mbak. Nanti aku pilih sendiri. Yang penting aku sudah minta izin sama Mbak," balasnya, setelah itu dia berlalu meninggalkanku.Aku menghela nafas berat. Ini bukan kali pertama Silvi meminjam baju-bajuku. Bahkan tak jarang dia memakai barang-barangku tanpa izin. Aku begitu risih dengan prilaku Silvi yang tak punya sopan santun padaku sebagai Kakak iparnya. Aku tahu, usiaku dengan Silvi hanya beda dua tahun. Tapi tak sepantasnya dia berlaku begitu terhadapku.Pernikahanku dengan Mas Hilman masih terbilang hitungan bulan. Bisa dibilang kami pengantin baru yang sedang hangat-hangatnya."Assalamualaikum!" Aku menghentikan pekerjaanku kala mendengar suara Mas Hilman datang.Seperti biasa, kusambut kedatangan suamiku dengan senyuman termanisku. Aku mencium tangannya kemudian dia mencium keningku."Mas, mau langsung makan apa mau mandi dulu?" tanyaku."Mandi dulu saja. Silvia mana?" tanyanya, dan aku mengernyit. Kenapa Mas Hilman malah menanyakan Silvi?"Mas, aku minta uang dong. Uangku habis nih," Belum juga aku menjawab pertanyaan Mas Hilman, Silvi tiba-tiba keluar dari kamarku. Lebih tepatnya, kamarku dengan Mas Hilman.Napasku seketika sesak. Sorot mataku tajam menatap Silvi. Berharap gadis itu sadar, bahwa tindakannya sudah kelewat batas."Sil, kamu ngapain di dalam?" tanyaku penuh penekanan. Begitu menjengkelkan, saat melihat respon Mas Hilman yang seperti tak keberatan dengan prilaku adiknya itu.Silvi membalas tatapanku tanpa rasa bersalah sedikitpun."Kan, tadi aku udah bilang. Aku pinjem baju, Mbak!" sungutnya terlihat tak suka dengan pertanyaanku.Mendengar balasan Silvi, dadaku semakin terasa panas. Terlebih saat melihat baju yang bertengger di tangannya. Baju itu bahkan sama sekali belum aku pakai."Gak gitu juga, dong, Sil. Kamu gak bisa seenaknya masuk sendiri. Setidaknya, tunggu Mbak sampai selesai. Dan itu, baju itu bahkan belum aku pakai!" balasku terpancing emosi. "Rin ..." Mas Hilman, menyentuh pundakku. Namun sama sekali tak mendinginkan hawa panas di hatiku."Yaelah, Mbak ... pelit amat, sih. Masalah baju aja sampek merah padam gitu mukanya. Lagian aku cuma pinjem! bukan minta!" lantangnya semakin berani, karena pembelaan dari Mas Hilman.Apa? masalah baju? Silvi benar-benar tak tahu diri! Dan Mas Hilman, kenapa malah diam saja. Aku menatap tajam Mas Hilman, dan Silvi bergantian. Tanpa menjawab ucapannya, aku merebut gamis di tangan Silvi dengan paksa, kemudian masuk kamar dan membanting pintu dengan keras."Mbak! jangan kurang ajar sama aku, ya!" terdengar teriakan Silvi dari luar."Anak, itu. Benar-benar!" gerutuku kesal. Hampir saja aku membuka pintu, ingin membalas ucapannya. Namun, aku harus ingat. Sebagai orang baru dalam keluarga ini. Aku masih memiliki rasa sungkan. Aku tak ingin ribut terlebih dengan Ipar. Apalagi aku masih satu rumah dengan Mertua."Ada apa, sih, ribut-ribut!" Aku menajamkan pendengaranku, saat kudengar suara Ibu Mertua berada dibalik pintu kamar."Gak ada apa-apa, Bu!" sahut Mas Hilman."Mbak Arini, gak ngasih aku pinjem baju! Mas jangan diem aja dong, Mas! aku ini adikmu!" Terdengar suara Silvi mencari pembelaan. Aku mengepalkan tangan. Jujur saja, ini pertama kalinya aku melawan Silvi. Karena dia sudah keterlaluan. Sudah masuk kamar seenak udelnya, eh, malah main ambil baju yang bahkan masih terbungkus plastik!Masih di posisi yang Sama, aku semakin mempertajam pendengaranku. "Baju apaan sih, Man, sampek gak boleh di pinjem. Silvi kan, cuma pinjem. Bilangin istrimu sana!" "Bukan begitu, Bu. Bajunya belum pernah Arini, pakek. Makanya Arini gak ngizinin," jelas Mas Hilman."Baju yang lain saja ya, Sil. Selain baju itu pasti dipinjami sama mbakmu. Lagian kenapa harus pinjam sih, bajumu kan sudah banyak," tawar Mas Hilman. Enak saja, kali ini tak kan kubiarkan Silvi menyentuh barang-barangku lagi. Sudah terlihat jelas sifat aslinya sekarang. Dan, Ibu ... bukannya menasehati, malah membela putrinya. Membuat hatiku semakin dongkol saja."Gak mau, aku mau baju itu! pokoknya Mas, harus ambilin. Besok pagi mau aku pakai kondangan. Cuma baju saja kok, pelit!" Darahku semakin mendidih. Silvi masih ngotot menginginkan bajuku. Dasar tak tahu diri!"Sudahlah, Man, ambil sana! Masalah baju saja kok dibikin ribut! lagian yang pinjem itu Adik iparnya, bukan orang lain!" aku melebarkan mataku, mendengar ucapan Ibu. Kenapa jadi aku yang salah!Setelah itu, terdengar langkah yang semakin menjauh. Mungkin Ibu dan Silvi sudah pergi. Detik kemudian, knop pintu berputar sebelum akhirnya pintu itu benar-benar terbuka dan menampakkan sosok suamiku dengan wajah letihnya."Rin ..." "Sebaiknya, Mas mandi dulu, terus makan. Masalah baju, aku tetap tidak ingin meminjamkan. Maaf!" tegasku."Kamu, kok, gitu, Rin," balas Mas Hilman, terlihar tak suka."Apa aku salah, Mas. Apa aku salah menolak keinginan adikmu yang tak tahu aturan itu!""Tapi sekarang dia adikmu, juga, Rin!" sahut Mas Hilman seolah tak terima. Untuk pertama kalinya, nada bicara Mas Hilman sedikit kasar padaku. Memang hanya sedikit, tapi itu menyakitkan. Sangat."Jangan pura-pura buta, Mas! kamu sendiri yang melihat Silvi masuk kamar kita tanpa izin. Dan apa? kamu hanya diam saja, bahkan sama sekali tak menegur. Ini bukan hanya perkara baju saja, Mas! asal kamu tahu, Silvi sudah berulang kali memakai barang-barangku tanpa izin. Itu berarti juga dia sudah berulang kali masuk kamar kita saat aku tidak ada. Kau lihat sikapnya tadi, kan? dia sama sekali tak menghargaiku sebagai Kakak iparnya. Begitulah, selama ini perlakuan dia terhadapku!" Napasku naik turun, emosiku seakan meledak di ubun-ubun. Kulihat Mas Hilman, seperti tercekat melihat kemarahanku."Rin, kamu ...""Maaf, Mas. Aku tak akan begini jika bukan karena sebab. Selama ini aku hanya diam, karena aku tak ingin ribut hanya karena hal sepele. Selama ini aku diam, karena aku menjaga sikap sebagai orang baru di keluargamu. Tapi, sikap Silvi tadi sudah benar-benar keterlaluan. Bahkan kau lihat sendiri, Ibu tetap membelanya tadi. Aku tak ingin ada masalah, Mas. Jadi, ajari adikmu bagaimana dia harus bersikap!" jelasku, kemudian berlalu dari hadapan Mas Hilman. Setelahnya meletakkan baju itu ke tempat asalnya."Mulai sekarang, kunci kamar kita saat keluar. Aku tidak ingin Silvi kembali memasuki kamar kita dan menyentuh barang-barangku. Mas, cepatlah mandi. Makanan sudah kusiapkan tadi," ucapku, kemudian keluar kamar. Kulihat Mas Hilman masih berdiri dengan wajah bingungnya. Biarlah, biar Mas Hilman bisa tegas dan tau batasan bagaimana dia memanjakan adiknya. Lagian Silvi sudah dewasa, dia bukan anak kecil lagi yang kemauannya harus di turuti.Aku kembali melanjutkan pekerjaanku mencuci piring yang tadi sempat kuhentikan karena kedatangan Mas Hilman. Dan juga, karena Silvi.Kulihat Ibu menatapku sinis saat aku melewatinya. Entah kenapa, perasaanku jadi tak enak. Apa mungkin Ibu benci hanya karena aku tak meminjamkan bajuku pada Silvi? Ah, sudahlah, masa bodoh. Aku tak ingin terus menahan semuanya. Toh, selama ini aku sudah berusaha menjadi menantu dan Ipar yang baik. Aku yang memasak, dan mengerjakan seluruh pekerjaan rumah tanpa bantuan Ibu bahkan Silvi. Aku juga yang mencuci seluruh baju-baju kotor milik mereka, meski aku tahu, Ibu dan Silvi nganggur. Ibu pagi-pagi sudah bergosip di rumah tetangga. Sedang Silvi, dia seharian bermain ponsel sembari senyam-senyum mirip orang gila. Meski usia Silvi terbilang dewasa, yakni dua puluh dua tahun. Tapi sikapnya samasekali tak mencerminkan usianya. Pernah kutanyakan pada Mas Hilman, kenapa Silvi tidak bekerja saja, dari pada seharian nganggur ngabisin kuota. Kata Mas Hilman, Silvi pernah mencoba bekerja sebagai pelayan toko. Pekerjaan yang terbilang ringan. Tapi, belum sampai satu minggu dia sudah berhenti, capek katanya.Setelah selesai mencuci piring, aku menghampiri Mas Hilman di kamar. Kulihat Ibu masih tetap berada di posisi sama saat aku melewati ruang TV. Bedanya, sekarang ada Silvi. Meski aku tak menatap mereka, tapi aku tahu bagaimana tatapan mereka saat aku melewatinya, bahkan kurasa, kepala mereka ikut berputar sampai aku hilang masuk ke dalam kamar. "Maafin Mas, ya, Rin," ucap Mas Hilman saat aku baru saja membuka pintu. Wajahnya lebih segar sehabis membersihkan diri.Aku tersenyum, entah kenapa aku tak bisa marah terlalu lama. Apalagi jika kata maaf sudah terucap.Suasana hening sesaat. Tingkah kami seakan canggung karena masalah tadi."Kamu sudah makan? gimana kalo kita makan diluar, sambil jalan-jalan sore," tanya Mas Hilman, seketika membuat binar di mataku. Tentu saja aku tak akan menolak. Aku harus menjernihkan fikiranku yang sempat ternoda."Aku mandi dulu," balasku dan Mas Hilman mencium keningku.Aku bergegas menyambar handuk, dan masuk ke kamar mandi. Terlintas dalam benakku untuk memakai pakaian yang tadi ingin dipinjam Silvi. Aku tersenyum simpul. Jika Silvi atau Ibu nanti memaksa untuk meminjam, setidaknya aku sudah pernah memakainya. Lagipula, Silvi ingin memakainya besok, dan otomatis baju itu sudah kotor karena lebih dulu aku pakai."Mau kemana, Man?" tanya Ibu pada Mas Hilman, saat kami akan keluar. Kulihat tatapan Ibu masih tak bersahabat. Menatapku dari ujung kepala sampai kaki."Mau keluar aja kayak mau kondangan, Rin!" sentil Ibu, membuatku terperanjat. Ini pertama kalinya Ibu berbicara dengan nada tak enak padaku. Padahal selama ini Ibu tak pernah mempermasalahkan penampilanku yang menurutku tak ada bedanya jika mau keluar ataupun kondangan. Hanya bedak tipis dan sedikit lipstik agar tak terlihat pucat."Kondangan gimana, Bu. Penampilan Arini tak ada bedanya dengan sebelumnya," balasku sopan."Iya, Nih, Ibu. Masak iya mau ngajak keluar Istri pakek daster bolong!" canda Mas Hilman terdengar garing. Aku tahu, Mas hilman bermaksud mencairkan suasana. Mungkin suamiku itu menyadari, jika sikap Ibu tak seperti biasa."Loh, Mbak! baju itu bukannya yang tadi mau aku pinjam, ya?" tanya Silvi tiba-tiba keluar dari kamarnya."Kenapa kamu pakek, Rin. Kan kamu tahu, kalo baju itu mau dipakek Silvi besok!" sahut Ibu. Nadanya semakin terdengar tak suka."Iya, Mbak Arini ini gimana sih, Mas Hilman juga. Kan tadi aku sudah bilang!" sentak Silvi dengan wajah cemberutnya. Aku semakin geram, aku ingin membalas ucapannya, tapi aku masih sungkan karena ada Ibu di hadapanku."Silvi! bicara yang sopan!" bentak Mas Hilman. Silvi terlihat mengembun, mungkin tak menyangka jika Mas Hilman mampu membentaknya."Hilman! tak sepantasnya kamu membentak adikmu hanya karena membela Arini!" balas Ibu."Dan kamu, Rin. H
"Gimana, sih, Mas! aku kan sudah bilang lewat WA, tadi!" sungutnya sembari menghentakkan kaki. Pantas saja tadi Mas Hilman sempat melihat ponsel. Ternyata itu dari Silvi."Ya, gimana Dek! Mas lupa. Besok saja, pulang kerja kubelikan," bujuk Mas Hilman.Aku melirik malas. Silvi persis seperti anak kecil. Mas Hilman, juga. Dia terlalu memanjakan adiknya."Jadi, Silvi sudah pesan Mie ayam. Kenapa bisa lupa sih, Man-Man ... gak biasanya juga kamu mengabaikan permintaan Silvi," sahut Ibu, matanya melirikku sinis, seakan aku yang membuat Mas Hilman lupa."Mas, kita shalat sekarang. Udah adzan Maghrib juga," ajakku."Eh, Rin! kamu gak liat, Ibu belum selesai ngomong sama Hilman? shalat duluan sana!" sungut Ibu. Benar sekali dugaanku, Ibu akan seterusnya seperti ini. Mertuaku itu seolah mencari gara-gara. Niat hati ingin mengalihkan pembicaraan, eh, malah jadi salah lagi."Yaudah, Mas. Aku shalat duluan, ya," ucapku, kemudian memasuki kamar."Arini ngomong apa saja sama kamu!" suara Ibu terde
"Mbak Arini baru bangun, ya?" tanya Mbak Dita, tetangga sebelah."Iya, Mbak. Semalem kebangun, baru bisa tidur hampir subuh, eh, malah jadi kesiangan," jelasku."Sama Mbak, aku juga baru bangun. Lagi datang bulan, jadi puas-puasin tidur, deh!" balasnya dengan ketawa cekikikan. Aku tergelak, perutku tergelitik mendengar ucapan Mbak Dita. "Masak apa hari ini, Mbak?" tanyaku.Mbak Dita terlihat berpikir sebelum akhirnya membalas ucapanku."Masih bingung, Mbak Rin," balasnya. Aku ber-oh ria menanggapi.Setelahnya, aku bergegas memilih sayuran. Kuambil Dua ikat bayam, satu plastik jagung isi tiga buah, setengah kilo daging ayam, dan satu papan tempe. Makanan kesukaan Mas Hilman."Berapa, Mang?" tanyaku sembari menunjukkan belanjaanku."Bayam dua ikat empat ribu, jagung empat ribu, daging ayam sembilan belas ribu, tempenya lima ribu. Semua jadi tiga puluh dua ribu, Neng!" jelasnya.Aku berlari kecil memasuki rumah setelah membayar belanjaan. Kulihat Ibu sedang menonton TV sembari memakan k
"Satu lagi, Bu. Mulai hari ini, suruh Silvi mencuci bajunya sendiri. Jangan sampai dia tidak bisa melakukannya kelak saat ia di perlakukan sama sepertiku di keluarga suaminya."Setelah berucap, aku menutup pintu kamar. Kupegangi jantungku yang kian berdentum hebat, bahkan tanganku gemetar karena takut. Kuusap dengan kasar mataku yang mulai mengembun. Aku tidak boleh lemah.Aku menghempaskan tubuhku di atas ranjang. Kulirik jam dinding masih menunjukkan pukul sembilan pagi. Entah kenapa waktu seakan berjalan lambat semenjak kejadian kemarin. Rasanya aku ingin cepat-cepat ke rumah Ibu."Assalamualaikum! Mbak Arini ... Mbak Arini ..." Aku terperanjat saat mendengar sesorang memanggil namaku. Kepalaku terasa pusing karena terkejut, baru saja aku tertidur memulai mimpiku."Eh, Mbak Dita, cari siapa?" Itu suara Ibu. Karena kamarku terletak paling depan, suara siapapun terdengar jelas dari dalam."Mbak Arininya ada, Bu?" tanya Mbak Dita. Aku bergegas keluar, sebelum Ibu menjawabnya."Mbak Di
"Satu lagi, Bu. Mulai hari ini, suruh Silvi mencuci bajunya sendiri. Jangan sampai dia tidak bisa melakukannya kelak saat ia di perlakukan sama sepertiku di keluarga suaminya."Setelah berucap, aku menutup pintu kamar. Kupegangi jantungku yang kian berdentum hebat, bahkan tanganku gemetar karena takut. Kuusap dengan kasar mataku yang mulai mengembun. Aku tidak boleh lemah.Aku menghempaskan tubuhku di atas ranjang. Kulirik jam dinding masih menunjukkan pukul sembilan pagi. Entah kenapa waktu seakan berjalan lambat semenjak kejadian kemarin. Rasanya aku ingin cepat-cepat ke rumah Ibu."Assalamualaikum! Mbak Arini ... Mbak Arini ..." Aku terperanjat saat mendengar sesorang memanggil namaku. Kepalaku terasa pusing karena terkejut, baru saja aku tertidur memulai mimpiku."Eh, Mbak Dita, cari siapa?" Itu suara Ibu. Karena kamarku terletak paling depan, suara siapapun terdengar jelas dari dalam."Mbak Arininya ada, Bu?" tanya Mbak Dita. Aku bergegas keluar, sebelum Ibu menjawabnya."Mbak Di
"Mbak Arini baru bangun, ya?" tanya Mbak Dita, tetangga sebelah."Iya, Mbak. Semalem kebangun, baru bisa tidur hampir subuh, eh, malah jadi kesiangan," jelasku."Sama Mbak, aku juga baru bangun. Lagi datang bulan, jadi puas-puasin tidur, deh!" balasnya dengan ketawa cekikikan. Aku tergelak, perutku tergelitik mendengar ucapan Mbak Dita. "Masak apa hari ini, Mbak?" tanyaku.Mbak Dita terlihat berpikir sebelum akhirnya membalas ucapanku."Masih bingung, Mbak Rin," balasnya. Aku ber-oh ria menanggapi.Setelahnya, aku bergegas memilih sayuran. Kuambil Dua ikat bayam, satu plastik jagung isi tiga buah, setengah kilo daging ayam, dan satu papan tempe. Makanan kesukaan Mas Hilman."Berapa, Mang?" tanyaku sembari menunjukkan belanjaanku."Bayam dua ikat empat ribu, jagung empat ribu, daging ayam sembilan belas ribu, tempenya lima ribu. Semua jadi tiga puluh dua ribu, Neng!" jelasnya.Aku berlari kecil memasuki rumah setelah membayar belanjaan. Kulihat Ibu sedang menonton TV sembari memakan k
"Gimana, sih, Mas! aku kan sudah bilang lewat WA, tadi!" sungutnya sembari menghentakkan kaki. Pantas saja tadi Mas Hilman sempat melihat ponsel. Ternyata itu dari Silvi."Ya, gimana Dek! Mas lupa. Besok saja, pulang kerja kubelikan," bujuk Mas Hilman.Aku melirik malas. Silvi persis seperti anak kecil. Mas Hilman, juga. Dia terlalu memanjakan adiknya."Jadi, Silvi sudah pesan Mie ayam. Kenapa bisa lupa sih, Man-Man ... gak biasanya juga kamu mengabaikan permintaan Silvi," sahut Ibu, matanya melirikku sinis, seakan aku yang membuat Mas Hilman lupa."Mas, kita shalat sekarang. Udah adzan Maghrib juga," ajakku."Eh, Rin! kamu gak liat, Ibu belum selesai ngomong sama Hilman? shalat duluan sana!" sungut Ibu. Benar sekali dugaanku, Ibu akan seterusnya seperti ini. Mertuaku itu seolah mencari gara-gara. Niat hati ingin mengalihkan pembicaraan, eh, malah jadi salah lagi."Yaudah, Mas. Aku shalat duluan, ya," ucapku, kemudian memasuki kamar."Arini ngomong apa saja sama kamu!" suara Ibu terde
"Kondangan gimana, Bu. Penampilan Arini tak ada bedanya dengan sebelumnya," balasku sopan."Iya, Nih, Ibu. Masak iya mau ngajak keluar Istri pakek daster bolong!" canda Mas Hilman terdengar garing. Aku tahu, Mas hilman bermaksud mencairkan suasana. Mungkin suamiku itu menyadari, jika sikap Ibu tak seperti biasa."Loh, Mbak! baju itu bukannya yang tadi mau aku pinjam, ya?" tanya Silvi tiba-tiba keluar dari kamarnya."Kenapa kamu pakek, Rin. Kan kamu tahu, kalo baju itu mau dipakek Silvi besok!" sahut Ibu. Nadanya semakin terdengar tak suka."Iya, Mbak Arini ini gimana sih, Mas Hilman juga. Kan tadi aku sudah bilang!" sentak Silvi dengan wajah cemberutnya. Aku semakin geram, aku ingin membalas ucapannya, tapi aku masih sungkan karena ada Ibu di hadapanku."Silvi! bicara yang sopan!" bentak Mas Hilman. Silvi terlihat mengembun, mungkin tak menyangka jika Mas Hilman mampu membentaknya."Hilman! tak sepantasnya kamu membentak adikmu hanya karena membela Arini!" balas Ibu."Dan kamu, Rin. H
"Mbak, aku pinjam bajunya dong, buat acara kondangan nikah temenku besok," ucap Silvi--adik iparku."Baju yang mana?" tanyaku tanpa menghentikan aktifitasku mencuci setumpuk piring kotor di wastafel."Yang bagus lah, Mbak. Nanti aku pilih sendiri. Yang penting aku sudah minta izin sama Mbak," balasnya, setelah itu dia berlalu meninggalkanku.Aku menghela nafas berat. Ini bukan kali pertama Silvi meminjam baju-bajuku. Bahkan tak jarang dia memakai barang-barangku tanpa izin. Aku begitu risih dengan prilaku Silvi yang tak punya sopan santun padaku sebagai Kakak iparnya. Aku tahu, usiaku dengan Silvi hanya beda dua tahun. Tapi tak sepantasnya dia berlaku begitu terhadapku.Pernikahanku dengan Mas Hilman masih terbilang hitungan bulan. Bisa dibilang kami pengantin baru yang sedang hangat-hangatnya."Assalamualaikum!" Aku menghentikan pekerjaanku kala mendengar suara Mas Hilman datang.Seperti biasa, kusambut kedatangan suamiku dengan senyuman termanisku. Aku mencium tangannya kemudian dia