"Satu lagi, Bu. Mulai hari ini, suruh Silvi mencuci bajunya sendiri. Jangan sampai dia tidak bisa melakukannya kelak saat ia di perlakukan sama sepertiku di keluarga suaminya."
Setelah berucap, aku menutup pintu kamar. Kupegangi jantungku yang kian berdentum hebat, bahkan tanganku gemetar karena takut. Kuusap dengan kasar mataku yang mulai mengembun. Aku tidak boleh lemah.Aku menghempaskan tubuhku di atas ranjang. Kulirik jam dinding masih menunjukkan pukul sembilan pagi. Entah kenapa waktu seakan berjalan lambat semenjak kejadian kemarin. Rasanya aku ingin cepat-cepat ke rumah Ibu."Assalamualaikum! Mbak Arini ... Mbak Arini ..." Aku terperanjat saat mendengar sesorang memanggil namaku. Kepalaku terasa pusing karena terkejut, baru saja aku tertidur memulai mimpiku."Eh, Mbak Dita, cari siapa?" Itu suara Ibu. Karena kamarku terletak paling depan, suara siapapun terdengar jelas dari dalam."Mbak Arininya ada, Bu?" tanya Mbak Dita. Aku bergegas keluar, sebelum Ibu menjawabnya."Mbak Dita, mari masuk, Mbak!" ucapku mempersilahkan. Meski aku tak melihat, aku tahu Ibu melirikku tak suka, sebelum akhirnya ia berlalu masuk ke belakang.Mbak Dita menatapku seolah merasa tak enak."Ada apa, Mbak Rin. Kok Bu Ida seperti terlihat tak suka dengan kedatanganku," ucapnya."Bukan denganmu, Mbak, tapi denganku," balasku."Memangnya ada apa, Mbak. cerita dong!" pintanya. "Nanti saja Mbak. Duduk dulu, yuk!" ajakku."Mbak Dita mau minum apa, aku buatin," tawarku."Gak usah repot-repot, Mbak. Sebenernya aku kesini mau ngajak Mbak Arini jalan-jalan," jelasnya. Dahiku mengernyit."Jalan-jalan kemana, Mbak. Tumben, biasanya juga nongkrong di emperan!" candaku. Mbak Dita tertawa cekikikan menanggapi."Sekali-kali lah, kita keluar, Mbak. Emang Mbak Arini gak bosen, tiap hari di rumah terus, cuma nungguin Suami pulang. Pemandangannya tiap hari itu-itu saja," ucapnya."Ayolah, Mbak. Kita refresing, ya!" bujuknya. Tentu saja aku tak menolak, Mbak Dita yang keluarganya baik-baik saja merasa butuh hiburan. Apalagi aku?"Oke deh. Kalo gitu, aku mandi dulu. Mbak Dita tunggu sini saja, ya," pintaku."Ya aku pulang dulu, mau siap-siap juga, Mbak. Tadi aku kesini dulu buat mastiin Mbak Arini mau apa nggak," balasnya."Sebentar, saja, Mbak. Aku kalo dandan cepet kok! ya, tunggu!" bujukku lagi, kemudian memasuki kamar sebelum Mbak Dita menjawabnya. Bukan apa, setidaknya jika ada Mbak Dita, Ibu akan merasa sedikit sungkan untuk menegurku.Lima belas menit kemudian, aku keluar kamar. Kulihat Mbak Dita menatapku dengan tak percaya."Mbak Arini gak mandi, ya?" tanyanya."Mandi kilat, Mbak! udah, Ayo!" ajakku."Mau kemana, Rin?" tanya Ibu membuatku terkejut setengah mati. Ibu muncul tiba-tiba dari ruang tengah. Niat hati mau pamit, tapi Ibu lebih dulu menanyakannya."Mau keluar, nganterin Mbak Dita belanja," jawabku asal."Jangan lama-lama. tuh, rumah belum disapu sudah main pergi, saja!" omelnya."Tadi, kan, aku minta Ibu supaya nyuruh Silvi yang nyapu. Masa iya, nyapu sekali saja gak mau," balasku."Silvi lagi kondangan. Lagian ini sudah tugas kamu, Rin," Ibu masih tak mau kalah. Aku semakin tak tahan. Dugaanku salah. Kukira, Ibu akan sungkan karena keberadaan Mbak Dita. Tapi sikap Ibu masihlah sama."Kalo gitu, Ibu saja yang nyapu," ucapku, dan Ibu terbelalak."Kamu berani, sama Ibu?" tantangnya."Maaf, Bu. Arini kan cuma ngasih saran. Kalo Ibu gak mau, tunggu saja Silvi sampai pulang. Arini pergi dulu, ya," pamitku, lalu meraih tangan Ibu, menciumnya. "Ayo, Mbak Dit!" ajakku, kulihat Ibu mematung menatapku tajam. Aku tidak peduli."Mari Bu, saya pinjam Mbak Arini sebentar, ya. Assalamualaikum!" ucap Mbak Dita, kemudian menyusulku keluar."Arini! akan kuadukan kelakuanmu dengan Hilman saat dia pulang nanti!" teriak Ibu saat aku membuka gerbang rumah. "Gimana, Mbak Rin. Mertuamu ngamuk!" ucap Mbak Dita lirih, sembari menyenggol lenganku. Aku tak menjawab. Biar saja, jika Mas Hilman menyalahkanku, akan kubalik perkataannya. Aku masih punya senjata, untuk membuat Mas Hilman bungkam karena dia tak pulang semalaman.Jarak rumahku dengan Mbak Dita hanya berjarak tiga rumah. Mbak Dita masih ngedumel takut dengan Ibu. Takut jika Mas Hilman akan menyalahkannya, karena dia yang mengajakku keluar."Mbak Rin, gimana!" ucapnya lagi, saat membuka pintu rumahnya. Saat siang begini, Mbak Dita memang hanya di rumah sendirian. Suaminya kerja, Adik iparnya juga kerja. Sedang Bapak dan Ibu mertuanya menjaga toko sembako di pasar. Jelas saja Mbak Dita merasa bosan. Tapi itu lebih baik menurutku, dari pada aku ... ada Ibu dan Silvi di rumah, namun mereka mendiamkanku. Sama saja, tapi beda keadaan."Mbak Rin!" ucapnya yang entah ke berapa kali."Jadi kita keluar atau tidak?" tanyaku tegas. Mbak Dita langsung bungkam mendengar nadaku yang tinggi."Y-ya jadi, Mbak. Kok Mbak Arini jadi marah sama aku," ucapnya takut."Bukan Marah, Mbak. Habis Mbak Dita dari tadi ngomel terus. Urusan mereka itu denganku, bukan dengan Mbak," jelasku."Bener, ya, Mbak. Jangan bawa-bawa aku nanti kalo ada apa-apa," ucapnya memastikan. Wajahnya masih terlihat khawatir."Iya, iya. Ya Allah!" balasku geram, Mbak Dita langsung ke belakang dengan tawa khasnya. Cekikikan."Jangan lama-lama, Mbak! keburu siang!" ucapku."Di ruang tengah ada camilan sama susu UHT, ambil saja Mbak!" balasnya. Mendengar suaranya, sudah pastikan Mbak Dita sedang berada di kamar mandi.Sudah dua puluh menit aku menunggu. Mbak Dita tak kunjung keluar, membuatku merasa ngantuk."Mbak Rin ... Mbak Arini ..." terdengar samar-samar suara orang memanggilku. Aku semakin sadar saat terasa bahuku diguncang pelan. Kubuka mataku perlahan, dan kulihat seorang wanita tersenyum ke arahku."Maaf, Mbak, aku bangunin. Kurasa tidur Mbak Arini sudah cukup," ucapnya. Aku baru sadar, sekarang aku di rumah siapa."Ya Allah, Mbak. Kenapa gak di bangunin dari tadi," ujarku saat melihat jam dinding di ruang tamu menunjukkan pukul dua belas siang."Maunya sih, begitu. Tapi kok aku kasian, Mbak Arini kelihatan capek.""Terus, jadi, gak, jalan-jalannya?" tanyaku."Gimana Mbak saja, deh. Kalo aku sih, iya saja. Kalo Mbak Arini iya, Mbak shalat sini saja. Habis itu kita berangkat," ucapnya.Aku mengangguk. Mbak Dita menunjukkan kamar mandi dan mengambilkan mukena."Mbak Arini, sudah lapar, kah? kalo lapar, kita makan siang dulu," tanyanya setelah aku menyelesaikan shalat."Gak usah Mbak Dit, kita makan diluar saja. Aku minta bedak sama lipstiknya ya. Udah luntur, kena air. Mau ambil di rumah, nanti di omeli lagi sama Ibu," ucapku, Mbak Dita mengangguk kemudian mengambilkannya."Mbak Arini yang nyetir, ya," pintanya, setelah memakai helm di kepala."Memangnya kamu kenapa?" tanyaku."Masih takut di jalan raya Mbak. Soalnya dulu pernah nyrempet orang, jadi trauma. Makanya aku ngajakin Mbak Arini," jelasnya."Para pengantin baru mau kemana?" teriak Bu Marni--teman bergosip Ibu setiap hari."Mau cari angin, segar Bu," balas Mbak Dita."Enak bener, ya. Suami kerja, istrinya jalan-jalan. Tiap hari nganggur di rumah," timpal Bu Marni lagi. Kulihat Mbak Dita mimik wajahnya berubah."Lah, emang kerja itu tugas suami, Bu! kalo kita nganggur, itu urusan kita, bukan urusan Ibu!" Balas Mbak Dita tak terima."Sudah, Mbak! ayo. Gak usah di ladenin!" ucapku, kemudian Mbak Dita naik."Bu Marni itu kalo ngomong pedes banget, ya Mbak. Amit-amit, deh, untung mertuaku gak gitu," gerutunya di atas motor."Alhamdulillah, Mbak. Itu anugerah yang wajib di syukuri. Punya Mertua yang baik itu rezeki besar Mbak. Tidak semua menantu bisa merasakannya," balasku."Iya, sih, Mbak. Kalo Bu Ida gimana ke Mbak Arini?" tanyanya."Seperti yang kamu lihat, tadi lah, Mbak. Sebenarnya tidak dari awal Ibu bersikap ketus padaku. Kemarin ada sedikit masalah. Jadi sikap Ibu ikut berubah," jelasku."Masalah apa Mbak?" tanyanya."Ada lah, Mbak. Tak pantas untuk aku bicarakan," jawabku."Memang Mbak Arini betah, kalo Bu Ida begitu seterusnya sama Mbak?" "Ya gak, lah, Mbak. Kemarin aku bicara sama Mas Hilman, kalo aku mau ngontrak saja untuk mencegah hal-hal yang belum terjadi. Tapi Mas Hilman belum memberi kepastian," jelasku."Kalo mau ngontrak, Mbak pilih ngontrak dimana?" tanyanya lagi."Kemana saja, Mbak. Yang penting pisah rumah," jawabku."Mbak lihat, gak rumah Bu Risma. Sekarang dia ikut anaknya ke Jakarta. Rumahnya mau di jual, atau kalo belum laku bisa di kontrak dulu. Bayarnya bisa nyicil.""Bu Risma, yang tinggal sendiri itu? yang rumahnya di blok B kan?" tanyaku."Iya, Mbak. Bener," ucapnya. Ada sedikit harapan di hati. Rumah Bu Risma tak terlalu jauh dengan rumah Ibu. Hanya beda blok. Mertuaku blok A sedang Bu Risma blok B. Hanya beda jalan saja. Mungkin jika Mas hilman beralasan lagi ingin menjaga Ibu, aku bisa menunjukkan rumah itu. Dengan begitu, Mas Hilman tetap bisa memantau Ibu dan Silvi meski kami pisah rumah."Jadi kita mau kemana, Mbak?" tanyaku."Kita mampir makan dulu, deh Mbak. Laper," jawabnya."Makan dimana, Mbak," tanyaku lagi."Ayam geprek Pak Sholeh, enak Mbak. Aku sering kesana sama Mas Aldi. Apalagi minumnya es campur. Tambah maknyos!" ucapnya, aku tertawa melihat gelagat Mbak Dita di kaca spion. "Dimana, itu tempatnya. Baru denger saya Mbak.""Sekitar 200 meter dari sini. Kiri jalan, dekat rumah makan Bu Siti," jelasnya."Oke, deh. Nanti kalo sudah deket bilang, Mbak.""Mbak Rin. Berhenti, Mbak!" aku terkejut, reflek memakirkan kendaraan di pinggir jalan, mendengar suara panik Mbak Dita."Ada apa sih, Mbak! untung jalanan lagi sepi! katanya masih 200 meter lagi tempatnya," tegurku, nadaku sedikit kutinggikan. Merasa kesal dengan sikap Mbak Dita."Itu, Mbak. Aku kayak lihat Suami Mbak Arini tadi. Tapi kok bawa anak sama cewek, masuk mobil lagi," jelasnya, tangannya menunjuk minimarket di seberang jalan sana."Mas Hilman, kerja Mbak. Masa iya, sih. Memang Mbak Dita lihat jelas wajahnya?" tanyaku.Mbak Dita terlihat bingung, ragu untuk menjawab."Sekilas sih, Mbak. Mau putar balik, pasti mobilnya sudah jalan. Mungkin aku salah lihat," jawabnya kikuk."Mbak, aku pinjam bajunya dong, buat acara kondangan nikah temenku besok," ucap Silvi--adik iparku."Baju yang mana?" tanyaku tanpa menghentikan aktifitasku mencuci setumpuk piring kotor di wastafel."Yang bagus lah, Mbak. Nanti aku pilih sendiri. Yang penting aku sudah minta izin sama Mbak," balasnya, setelah itu dia berlalu meninggalkanku.Aku menghela nafas berat. Ini bukan kali pertama Silvi meminjam baju-bajuku. Bahkan tak jarang dia memakai barang-barangku tanpa izin. Aku begitu risih dengan prilaku Silvi yang tak punya sopan santun padaku sebagai Kakak iparnya. Aku tahu, usiaku dengan Silvi hanya beda dua tahun. Tapi tak sepantasnya dia berlaku begitu terhadapku.Pernikahanku dengan Mas Hilman masih terbilang hitungan bulan. Bisa dibilang kami pengantin baru yang sedang hangat-hangatnya."Assalamualaikum!" Aku menghentikan pekerjaanku kala mendengar suara Mas Hilman datang.Seperti biasa, kusambut kedatangan suamiku dengan senyuman termanisku. Aku mencium tangannya kemudian dia
"Kondangan gimana, Bu. Penampilan Arini tak ada bedanya dengan sebelumnya," balasku sopan."Iya, Nih, Ibu. Masak iya mau ngajak keluar Istri pakek daster bolong!" canda Mas Hilman terdengar garing. Aku tahu, Mas hilman bermaksud mencairkan suasana. Mungkin suamiku itu menyadari, jika sikap Ibu tak seperti biasa."Loh, Mbak! baju itu bukannya yang tadi mau aku pinjam, ya?" tanya Silvi tiba-tiba keluar dari kamarnya."Kenapa kamu pakek, Rin. Kan kamu tahu, kalo baju itu mau dipakek Silvi besok!" sahut Ibu. Nadanya semakin terdengar tak suka."Iya, Mbak Arini ini gimana sih, Mas Hilman juga. Kan tadi aku sudah bilang!" sentak Silvi dengan wajah cemberutnya. Aku semakin geram, aku ingin membalas ucapannya, tapi aku masih sungkan karena ada Ibu di hadapanku."Silvi! bicara yang sopan!" bentak Mas Hilman. Silvi terlihat mengembun, mungkin tak menyangka jika Mas Hilman mampu membentaknya."Hilman! tak sepantasnya kamu membentak adikmu hanya karena membela Arini!" balas Ibu."Dan kamu, Rin. H
"Gimana, sih, Mas! aku kan sudah bilang lewat WA, tadi!" sungutnya sembari menghentakkan kaki. Pantas saja tadi Mas Hilman sempat melihat ponsel. Ternyata itu dari Silvi."Ya, gimana Dek! Mas lupa. Besok saja, pulang kerja kubelikan," bujuk Mas Hilman.Aku melirik malas. Silvi persis seperti anak kecil. Mas Hilman, juga. Dia terlalu memanjakan adiknya."Jadi, Silvi sudah pesan Mie ayam. Kenapa bisa lupa sih, Man-Man ... gak biasanya juga kamu mengabaikan permintaan Silvi," sahut Ibu, matanya melirikku sinis, seakan aku yang membuat Mas Hilman lupa."Mas, kita shalat sekarang. Udah adzan Maghrib juga," ajakku."Eh, Rin! kamu gak liat, Ibu belum selesai ngomong sama Hilman? shalat duluan sana!" sungut Ibu. Benar sekali dugaanku, Ibu akan seterusnya seperti ini. Mertuaku itu seolah mencari gara-gara. Niat hati ingin mengalihkan pembicaraan, eh, malah jadi salah lagi."Yaudah, Mas. Aku shalat duluan, ya," ucapku, kemudian memasuki kamar."Arini ngomong apa saja sama kamu!" suara Ibu terde
"Mbak Arini baru bangun, ya?" tanya Mbak Dita, tetangga sebelah."Iya, Mbak. Semalem kebangun, baru bisa tidur hampir subuh, eh, malah jadi kesiangan," jelasku."Sama Mbak, aku juga baru bangun. Lagi datang bulan, jadi puas-puasin tidur, deh!" balasnya dengan ketawa cekikikan. Aku tergelak, perutku tergelitik mendengar ucapan Mbak Dita. "Masak apa hari ini, Mbak?" tanyaku.Mbak Dita terlihat berpikir sebelum akhirnya membalas ucapanku."Masih bingung, Mbak Rin," balasnya. Aku ber-oh ria menanggapi.Setelahnya, aku bergegas memilih sayuran. Kuambil Dua ikat bayam, satu plastik jagung isi tiga buah, setengah kilo daging ayam, dan satu papan tempe. Makanan kesukaan Mas Hilman."Berapa, Mang?" tanyaku sembari menunjukkan belanjaanku."Bayam dua ikat empat ribu, jagung empat ribu, daging ayam sembilan belas ribu, tempenya lima ribu. Semua jadi tiga puluh dua ribu, Neng!" jelasnya.Aku berlari kecil memasuki rumah setelah membayar belanjaan. Kulihat Ibu sedang menonton TV sembari memakan k
"Satu lagi, Bu. Mulai hari ini, suruh Silvi mencuci bajunya sendiri. Jangan sampai dia tidak bisa melakukannya kelak saat ia di perlakukan sama sepertiku di keluarga suaminya."Setelah berucap, aku menutup pintu kamar. Kupegangi jantungku yang kian berdentum hebat, bahkan tanganku gemetar karena takut. Kuusap dengan kasar mataku yang mulai mengembun. Aku tidak boleh lemah.Aku menghempaskan tubuhku di atas ranjang. Kulirik jam dinding masih menunjukkan pukul sembilan pagi. Entah kenapa waktu seakan berjalan lambat semenjak kejadian kemarin. Rasanya aku ingin cepat-cepat ke rumah Ibu."Assalamualaikum! Mbak Arini ... Mbak Arini ..." Aku terperanjat saat mendengar sesorang memanggil namaku. Kepalaku terasa pusing karena terkejut, baru saja aku tertidur memulai mimpiku."Eh, Mbak Dita, cari siapa?" Itu suara Ibu. Karena kamarku terletak paling depan, suara siapapun terdengar jelas dari dalam."Mbak Arininya ada, Bu?" tanya Mbak Dita. Aku bergegas keluar, sebelum Ibu menjawabnya."Mbak Di
"Mbak Arini baru bangun, ya?" tanya Mbak Dita, tetangga sebelah."Iya, Mbak. Semalem kebangun, baru bisa tidur hampir subuh, eh, malah jadi kesiangan," jelasku."Sama Mbak, aku juga baru bangun. Lagi datang bulan, jadi puas-puasin tidur, deh!" balasnya dengan ketawa cekikikan. Aku tergelak, perutku tergelitik mendengar ucapan Mbak Dita. "Masak apa hari ini, Mbak?" tanyaku.Mbak Dita terlihat berpikir sebelum akhirnya membalas ucapanku."Masih bingung, Mbak Rin," balasnya. Aku ber-oh ria menanggapi.Setelahnya, aku bergegas memilih sayuran. Kuambil Dua ikat bayam, satu plastik jagung isi tiga buah, setengah kilo daging ayam, dan satu papan tempe. Makanan kesukaan Mas Hilman."Berapa, Mang?" tanyaku sembari menunjukkan belanjaanku."Bayam dua ikat empat ribu, jagung empat ribu, daging ayam sembilan belas ribu, tempenya lima ribu. Semua jadi tiga puluh dua ribu, Neng!" jelasnya.Aku berlari kecil memasuki rumah setelah membayar belanjaan. Kulihat Ibu sedang menonton TV sembari memakan k
"Gimana, sih, Mas! aku kan sudah bilang lewat WA, tadi!" sungutnya sembari menghentakkan kaki. Pantas saja tadi Mas Hilman sempat melihat ponsel. Ternyata itu dari Silvi."Ya, gimana Dek! Mas lupa. Besok saja, pulang kerja kubelikan," bujuk Mas Hilman.Aku melirik malas. Silvi persis seperti anak kecil. Mas Hilman, juga. Dia terlalu memanjakan adiknya."Jadi, Silvi sudah pesan Mie ayam. Kenapa bisa lupa sih, Man-Man ... gak biasanya juga kamu mengabaikan permintaan Silvi," sahut Ibu, matanya melirikku sinis, seakan aku yang membuat Mas Hilman lupa."Mas, kita shalat sekarang. Udah adzan Maghrib juga," ajakku."Eh, Rin! kamu gak liat, Ibu belum selesai ngomong sama Hilman? shalat duluan sana!" sungut Ibu. Benar sekali dugaanku, Ibu akan seterusnya seperti ini. Mertuaku itu seolah mencari gara-gara. Niat hati ingin mengalihkan pembicaraan, eh, malah jadi salah lagi."Yaudah, Mas. Aku shalat duluan, ya," ucapku, kemudian memasuki kamar."Arini ngomong apa saja sama kamu!" suara Ibu terde
"Kondangan gimana, Bu. Penampilan Arini tak ada bedanya dengan sebelumnya," balasku sopan."Iya, Nih, Ibu. Masak iya mau ngajak keluar Istri pakek daster bolong!" canda Mas Hilman terdengar garing. Aku tahu, Mas hilman bermaksud mencairkan suasana. Mungkin suamiku itu menyadari, jika sikap Ibu tak seperti biasa."Loh, Mbak! baju itu bukannya yang tadi mau aku pinjam, ya?" tanya Silvi tiba-tiba keluar dari kamarnya."Kenapa kamu pakek, Rin. Kan kamu tahu, kalo baju itu mau dipakek Silvi besok!" sahut Ibu. Nadanya semakin terdengar tak suka."Iya, Mbak Arini ini gimana sih, Mas Hilman juga. Kan tadi aku sudah bilang!" sentak Silvi dengan wajah cemberutnya. Aku semakin geram, aku ingin membalas ucapannya, tapi aku masih sungkan karena ada Ibu di hadapanku."Silvi! bicara yang sopan!" bentak Mas Hilman. Silvi terlihat mengembun, mungkin tak menyangka jika Mas Hilman mampu membentaknya."Hilman! tak sepantasnya kamu membentak adikmu hanya karena membela Arini!" balas Ibu."Dan kamu, Rin. H
"Mbak, aku pinjam bajunya dong, buat acara kondangan nikah temenku besok," ucap Silvi--adik iparku."Baju yang mana?" tanyaku tanpa menghentikan aktifitasku mencuci setumpuk piring kotor di wastafel."Yang bagus lah, Mbak. Nanti aku pilih sendiri. Yang penting aku sudah minta izin sama Mbak," balasnya, setelah itu dia berlalu meninggalkanku.Aku menghela nafas berat. Ini bukan kali pertama Silvi meminjam baju-bajuku. Bahkan tak jarang dia memakai barang-barangku tanpa izin. Aku begitu risih dengan prilaku Silvi yang tak punya sopan santun padaku sebagai Kakak iparnya. Aku tahu, usiaku dengan Silvi hanya beda dua tahun. Tapi tak sepantasnya dia berlaku begitu terhadapku.Pernikahanku dengan Mas Hilman masih terbilang hitungan bulan. Bisa dibilang kami pengantin baru yang sedang hangat-hangatnya."Assalamualaikum!" Aku menghentikan pekerjaanku kala mendengar suara Mas Hilman datang.Seperti biasa, kusambut kedatangan suamiku dengan senyuman termanisku. Aku mencium tangannya kemudian dia