Zidan sedang menuju ke rumah. Ia sangat kesal dan tidak habis pikir, Melvin bisa saja terus bekelit bagaikan ular. Saat ini Zidan masih kesulitan mencari bukti bahwa Melvin lah yang menculik Theo., bahkan sampai sekarang belum ada kabar dari Theo. Dan hal itu membuat Zidan sangat khawatir.
Kring! Kring! Kring!
Ponsel Zidan berbunyi dan Zidan langsung melihat siapa yang sedang meneleponnya, ternyata Zee.
"Assalamualaikum, Kak Zidan," ucap Zee memberikan salam kepada Zidan.
"Wa'alaikumussalam, ada apa Zee?"
"Kakak ada dimana sekarang?"
"Aku sedang di mobil. Tadi aku baru saja ke rumah Melvin."
"Tadi aku ditelepon oleh Kak Theo."
"Hah ... Theo menelepon kamu? Alhamdulillah." Zidan mengucap syukur. Akhirnya ada kabar dari Theo. Ia sudah khawatir setengah mati tentang keselamatan Theo.
"Sekarang Kak Theo berada di puncak," lanjut Zee.
"Loh ... koq bisa sampai puncak, Zee?" tanya Zidan heran.
"Enta
"Maaf, Zee. Alangkah baiknya nanti kamu tanyakan lagi kepada Theo. Takutnya kakak salah menjelaskan sehingga menyebabkan hubungan kamu dan Theo menjadi tidak baik," lirih Zidan yang tidak mau menjawab pertanyaan dari Zee."Baiklah, aku akan bertanya langsung kepada Kak Theo," Zee menyerah. Ia tidak mau memaksa Zidan untuk memberitahukannya. Memang jika Zidan tidak mengetahui hal sebenarnya, lebih baik tidak perlu menjabarkannya. Zee menutup sambungan telepon dengan Zidan. Nanti ia akan menanyakan sendiri kepada Theo. Walaupun begitu, hatinya masih tidak tenang. Banyak pertanyaan yang muncul di pikiran Zee Zee mondar-mandir, hatinya tidak menentu. sebenarnya apa yang diketahui oleh Zidan dan tidak berani Zidan katakan kepadanya. Apa yang Zidan tutupi darinya?Vivi ... ya Vivi. Zee ingat betul, wanita muda yang sepertinya terlihat sangat menyukai Theo tapi Theo kurang menyukainya, malah terlihat menghindar. "Tapi apa yang terjadi antara Vivi dan Theo sehingga Melvin bisa mengancam Th
"Apakah Vivi sekertaris baru dari Theo?" Virni mencoba mengkonfirmasi kepada Zee."Apakah sekarang sekertaris Kak Theo bernama Vivi?" Zee pun bingung."Seingat mama, namanya Vivi.""Lalu dimana sekertaris lama Kak Theo?""Entahlah. Mungkin dipindah tugaskan." Virni menggedikkan bahunya. Ia memang tidak tahu tentang Vivi dan Theo. Ia hanya sekilas melihat Vivi, itupun karena harus meeting dengan Theo."Ya sudah. Terima kasih, Ma." Zee sudah tidak mau membahas lagi masalahnya dengan Theo. Lebih baik memang ia bertanya sendiri kepada pria yang kini sudah mengambil hatinya."Memangnya ada apa, Zee?" Sekarang malah giliran Verni yang penasaran."Tidak, Ma. Tidak ada apa-apa," ucap Zee berbohong. Ia tentu saja tidak mau membuat Verni khawatir. Biar masalahnya ia selesaikan sendiri tanpa orang lain terlibat. Sudah cukup masalahnya dengan Melvin membuat semua orang di dalam rumahnya pusing tujuh keliling."Baiklah, jika tidak ada yang kamu ingin tanyakan lagi, mama mau pamit ke kantor terlebi
Bapak penjaga itu terlihat ketakutan dengan ancaman Theo tentang pelaporan kepada pihak yang berwajib. Tapi ia juga tidak bisa berbuat apa-apa. Penjaga itu hanyalah orang kecil yang tidak memiliki kuasa apapun. Bagaimana caranya ia bisa memberikan jawaban atas pertanyaan dari Theo?Theo mengambil ponsel Pak Amir lalu berpura-pura menelepon ke kantor polisi."Halo dengan kantor polisi?" ucap Theo di telepon. Ia melakukan drama di hadapan penjaga itu agar penjaga itu tambah ketakutan dan mungkin saja ia akan mengatakan yang sebenarnya kepada Theo tentang apa yang terjadi kepada dirinya.Padahal Theo tadi hanya mematikan suara notifikasi dari ponsel Pak Amir dan juga membuat menjadi mode airplane karena ia takut ada telepon yang masuk." ... " "Begini, Pak. Aku mau melaporkan kasus penculikan dan aku korbannya." Theo menatap tajam kepada penjaga itu. Penjaga yang semakin terlihat resah dan ketakutan dengan tatapan mata Theo." ... ""Aku berada di puncak. Penginapan Mawar. Tadi malam a
Bapak penjaga penginapan itu mengantarkan Theo dan Pak Amir menuju ke rumah yang ditempati Pak Entis selama satu minggu. Terlihat hanya gubuk kosong yang tidak ada penghuninya sama sekali. Ya ... memang rumah itu terlihat tidak ada orang, jadi sepertinya benar apa yang dikatakan penjaga penginapan tersebut. "Pak ... bapak teh mencari siapa? Atau bapak teh sedang mencari kontrakan?" tanya seorang Ibu yang berjalan mendekati Theo dan Pak Amir yang sedari tadi melihat-lihat ke dalam rumah yang satu minggu ini ditempati oleh Pak Entis. Ibu itu adalah pemilik kontrakan yang ditinggali oleh Pak Entis."Aku mencari Pak Entis. Apakah ibu ingat?" tanya Theo dengan sangat sopan."Ah ... Pak Entis. Ingat atuh. Masa tidak ingat sih." Ibu pemilik kontrakan itu tersenyum sumringah. "Itu Pak Entis teh ... bayar satu bulan tapi ditempati cuma satu minggu. Habis itu teh ... dia bayar besar sekali lagi. Bagaimana Ibu tidak ingat?"Theo mulai bertanya di dalam hatinya. Artinya ada seseorang yang meren
Theo akhirnya pulang bersama Pak Amir setelah ia mendapatkan nama orang yang sangat ia curigai. Vivi ... entahlah Vivi yang mana, yang pasti Theo akan mencari tahu."Pak Amir ...""Ya, Den.""Tolong jangan katakan apapun kepada mama. Aku ingin menyelidikinya terlebih dahulu.""Baik, Den."Pak Amir tentu saja akan menurut kepada Theo. Ia tahu bahwa Anita sangat menyukai Vivi, tetangga lama mereka. Jadi lebih baik Pak Amir tutup mulut sebelum kebenaran yang sesungguhnya terungkap. Vivi mana yang menculik Theo.Membutuhkan waktu hampir dua jam, akhirnya Theo dan Pak Amir sampai ke rumah. Untungnya perjalanan tidak macet dari Puncak ke Jakarta.Setelah sampai, Theo masuk ke dalam rumah dan ternyata sudah ada Anita dan Roger yang menungguinya di dalam."Assalamualaikum," sapa Theo saat masuk ke dalam rumahnya."Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh," jawab Anita dan Roger."Bagaimana keadaan kamu, Nak?" tanya Anita yang segera menghampiri Theo. Ia meraba tubuh Theo satu per satu, ta
Pagi sudah menjelang, sekarang Theo sudah bersiap-siap untuk berangkat ke sebuah cafe. Ia akan menemui detektif untuk menyelidiki tentang penculikannya."Theo ... apakah kamu tidak ke kantor sekarang?" tanya Roger penasaran. Rasanya sangat aneh melihat Theo hanya menggunakan kaos polo dan celana jeans.Theo menggeleng."Lantas apa yang akan kamu lakukan sekarang? Apakah kamu akan pergi ke rumah Zee?" Roger mencoba menebak.Theo segera menarik tangan Roger. Mengajak papa-nya itu ke arah balkon. Theo merasa Roger bisa dipercaya dan tidak berkomplot dengan Anita."Apa yang ingin kamu bicarakan?" tanya Roger pelan. Ia merasa ada suatu rahasian yang Theo tidak ingin bagikan kepada Anita sehingga anaknya itu mengajaknya ke balkon."Pa ... saat aku di puncak, aku menemukan sesuatu.""Apa itu?""Ini ... bill hotel."Theo mengeluarkan bill hotel yang ia temukan di puncak dan memberikannya kepada Roger."Kenapa dengan bill hotel ini?" tanya Roger bingung. Ia tidak menemukan sesuatu yang aneh.
"Tidak ... tidak ada apa-apa, Ma," jawab Theo terbata-bata karena sangat kaget dengan kedatangan Anita yang tiba-tiba di saat ia berbicara rahasia dengan Roger."Aneh. Kalian pasti merencanakan sesuatu ya? Terus mama tidak boleh tahu! Apakah ini ada hubungan dengan Zee?" tanya Anita penuh curiga."Ini masalah pekerjaan, Ma," jawab Roger menengahi. Memang sebaiknya Anita tidak tahu apa-apa terlebih dahulu. Karena takutnya akan menghancurkan rencana penyelidikan yang akan dilakukan oleh Roger dan Theo."Hmm ... Smell fishy." Anita berpura-pura mencium sekitar, menunjukkan bahwa ia tidak percaya kepada Roger dan Theo."Pa , Ma ... Theo berangkat dahulu ya!" pamit Theo yang sudah tidak mau berbicara banyak lagi. Takut keceplosan."Kamu mau kemana? Ke rumah Zee?" tanya Anita penuh curiga."Tidak. Aku mau ke kantor polisi!" tegas Theo."Ya baiklah kalau begitu," ujar Anita. Memang seharusnya Theo pergi ke kantor polisi untuk melakukan penyelidikkan terhadap penculikan terhadap dirinya.Sete
"Membicarakan proyek lah. Selain itu juga Verni kan pengacara di kantor kita," jelas Roger. Ia sangat tahu Anita saat ini sedang sangat sensitif terhadap keluarga Zee sehingga apapun yang menyangkut nama Zee, Anita menjadi tidak suka."Lantas? Proyek apa?" Anita memicingkan matanya, penuh curiga terhadap Roger."Proyek masa depan anak kita dong, Ma!" Roger tersenyum sumringah."Ma-maksudnya bagaimana? Kita bertemu mereka untuk melamar Zee begitu?" tanya Anita panik. Ia merasa terjebak sendiri. Harusnya ia tidak ikut ke meeting aneh bersama Roger."Ya belum ke tahap itu. Begini ... mama kan sudah mengenal Verni. Sangat mengenal Verni. Masa mama tidak bisa melihat keluarga itu sangat baik dengan kita sih?""Verni memang baik. Tapi Zee ... Zee sudah membohongi mama!" jawab Anita ketus. Ia tidak terima dipermalukan di hadapan banyak orang, termasuk Rita, saudaranya."Itu salah siapa? Apa salah Zee?" Roger bertanya retoris dan sedikit menyindir kepada Anita."Itu salah Theo, sih," jawab An
Setiap pagi wajah Theo datang dengan cerah. Wajahnya berbahagia. Kali ini ponsel di tangannya masih aktif. Kakinya menapaki lantai dari lift menuju ruangannya melewati receptionis. "Sayang, aku sudah sampai Kantor. Aku akan pulang jam 5 sore. Kita makan malam ya? Aku tak sabar menunggu malam lagi" Theo terkekeh. Semenjak bersama Zee, jiwa romantisnya seakan tidak ada habisnya saja. Setiap hari, Theo selalu ingin cepat pulang dan bertemu dengan Zee.Theo mendengar jawaban lawan bicara di ponselnya, ia yakni Zee sedang mengecup mesra di ponselnya walau hanya kecupan di udara sambil mengatakan "Zee, aku sangat mencintaimu." Zee juga bahagia, "Terima kasih Kak Theo untuk semua hal yang indah sejak kamu menjadi suamiku. Aku juga mencintaimu.""Bye, Sayangku. I love you."Theo tak menyadari Vivi berada di belakangnya juga keluar dari lift. Hati Vivi tersayat. Vivi tahu bahwa Theo akan selalu menelepon istrinya dengan ucapan yang sangat manja dan penuh cinta sementara dulu Theo bukanlah o
Vivi merenung masih memikirkan Theo. Mamanya Melani masuk ke kamarnya. "Waktunya bagimu meninggalkan perusahaan Theo. Dia tidak mencintaimu. Kita punya perusahaan, Sayang. Kau harus belajar memimpin perusahaan ayahmu."Vivi menggeleng. "Aku lebih suka masak, Ma. Aku tidak berminat pada usaha Papa.""Hfff..." Melani menarik nafas berat. Vivi anaknya memang keras kepala. "Maksudmu? tetap menjadi sekretaris Theo, seorang bawahan. Diperintah sana dan sini?" Melani kecewa pada putrinya. "Mama mendampingi Papamu agar perusahaan kita maju. Kami berharap Kamu juga berjuang bersama kami agar kita tetap sejahtera.""Mama masih mengerti dengan bisnis Choco chipmu yang kini punya banyak cabang di mall-mall. Iseng-iseng untuk belajar memulai bisnis besar. Mama masih mengerti kamu melamar pekerjaan sekretaris padahal lulisan Hardvard. Untuk mengejar Theo orang yang sudah lama kamu sukai."Vivi acuh mendenagar omelan Mamanya. Melani menarik nafasnya kesal. "Tetapi tolong sudahi main-mainnya kamu
Virny dan Alex menyambut haru kedatangan Zee. Virny menangis memeluk putrinya. Jangan pergi lagi sayang, Mama rindu" "Zee juga rindu, Ma. Zee baik-baik saja, Ma. Jangan menangis." Zee memang merindukan Mamanya. Alex juga memeluk putrinya. Zidan menaruh semua tas di kamar Zee. Semua berbahagia untuk kedatangan Zee.Zee melihat pada Theo. Virny tersenyum pada Theo, "Bagaimana kamu bisa menemukan tempat persembunyian Zee, Theo?""Selama ini selalu bilang baik-baik saja. Tidak mau memberi alamatnya dengan alasan ingin menenangkan diri?" Virny penasaran."Setahun lebih mencari Zee, Tante. Terombang ambing tak menentu, Theo tidak ingin lagi kehilangan dia."Semua tersenyum, memandang dua sejoli ini. "Sebenarnya Zee hanya memintamu menyelesaikan masalahmu dengan Vivian. Itu langkah yang tepat, lihatlah kasusmu usai kita bisa berkumpul lagi." ujar Alex mengerti jalan pikiran Zee."Om, Tante perkenankan Theo tidak membuang waktu terlalu lama. Theo meminta restu kalian berdua. Theo ingin mel
Siang ini sepertinya semua bunga dibumi ini tumbuh hanya untuk Theo, dipetik dan dicurahkan begitu saja untuk hatinya. Kehadiran Zee siang ini memasak makananya tak diperkenankan olehnya. "Aku akan memasak untuk Kak Theo" ujar Zee bersiap ke dapur. Dipikirannya di kulkas ada banyak bahan untuk dimasak."Jangan Zee kita pesan makanan on line saja, aku tak mau kamu meninggalkanku bahkan hanya ke dapur. Aku takut Zee"Zee tertawa tak percaya, Theo seperti anak kecil yang takut ibunya pergi, Theo tak perduli. Ia tetap mengenggam tangan Zee. Bahkan Zee kesulitan untuk menggapai ponselnya. Zee membalas genggaman Theo. Memandang Theo. "Kak aku berjanji padamu, bersedia menjadi istrimu. Besok kita kerumah orang tuaku. Maafkan aku pernah meninggalkanmu. Tolong percayai aku." kedua netra mereka beradu. Theo melihat kesungguhan dan tatapan kerinduan pada netra Zee yang indah itu. Theo tersenyum. "Maafkan aku, Zee. Kamu benar, aku percaya padamu, Zee. Kita pesan on line dan makan berdua ya, Z
Theo hari ini merekah. Hatinya bak dilingkari pelangi. Ia tak dapat menangisi Zee lagi, Robin telah menemukan keberadaan Zee."Bos, Aku berhasil menemukan Zee." Robin sumringah menyampaikan laporannya. "HAH? Jangan bohongi aku. Aku butuh buktinya." tantang Theo tak percaya."Buka file yang kukirim. Ini Zee yang Bos maksud kan?"Theo membuka email, dan melihat file pdf yang terkirim dengan hati berdebar . Tampaklah gambar seorang wanita. 'Zee?' wajahnya cantik natural seperti biasanya tanpa make up berlebih, berbulu mata lentik, putih, rambutnya kini panjang kecoklatan. Zee mengecat rambutnya. Zee semakin cantik. Theo tak sanggup berkata, menyentuh gambar itu dengan hati berdebar. 'Zee.... Kamu cantik, sayang. Aku suka menatapmu dan mengetahui kamu baik-baik saja.' Batinnya bergemuruh."Katakan dimana foto ini diambil, Robin?" Suara Theo bergetar menahan sesuatu yang hangat yang seakan ingin tumpah dari matanya. Theo tak dapat mengendalikan perasaannya."Ada apa Bos? Dia Zee, atau Ze
"Melvin bangu...un, buka matamu. Bangun nak!! Lihat Mama!" Teriak Nina mengguncang bahu anaknya. Dokter Adrian menggeleng lemah. "Ikhlaskan Nyonya," kata Dokter itu iba melihat histetis Nina. Robert mencoba meraih tangan istrinya.Nina menggeleng. "Pa, dokter ini bohong. Kita jangan mau percaya." Tangan Nina melepas tangan Robert yang berusaha menggengamnya. Wajah Melvin ditutup kain putih oleh Suster."Tidaaaak .... Hiks. Anakku, tidak. Apa yang kalian lakukan? Kamu pikr dia mati? Dia memang bersalah, tapi dia anakku, dia berhak mendapat maaf dari siapapun percayalah dia anak baik, Suster!" tegas Nina. Vina memeluk anaknya. Metadang dan mengamuk pada siapa saja. "Ma... Tenanglah Ma, jangan seperti ini." Rio menenangkan Nina. Wajahnya juga sendu.Vina membiarkan Suster itu melaksanakan tugasnya. Menutup wajah Pasien "Vina, apa ini maksudnya?" tanya Nina pada anak perempuannya. Vina menangis. Terisak menjawab, "Kak Melvin tiada, Ma." Rio mengangguk meyakinkan Mamanya lagi. "Hu ...
Sudah 3 kali sidang dilakukan untuk pembacaan tuntutan dan pengumpulan bukti. Lelah terus-menerus hadir dan ingin segera mendengar putusan hakim. Itulah yang dirasakan semua tersangka, yakni Melvin, Vivian, Devan, Entis pada kasus Video porno ini. Vivian sudah dua kali ijin sakit untuk sekedar menghirup udara diluar penjara. Om Bram pengacaranya, sudah tak bisa membantunya lagi karena itu sudah batas maksimal ijin sakit. Vivian nanti dianggap belum dipenjara sudah sering melarikan diri dengan banyak alasan. Vivian mendengus kesal, ia tak suka Sel, tak suka jeruji hitam, lantai penjara bahkan semua hal tentang penjara. Sebanyak apapun ia membayar sipir agar bisa memabawa ponsel, laptop, dan semua kemudahan-kemudahan lain, penjara tetaplah penjara. Tak akan jadi istana. Vivian kini menyesali nasibnya. Berungkali Mama dan Papa menengoknya dan semua makin berat buat Vivian. Vivian ingin bebas. Air matanya menetes tak henti. Rasanya hidupnya pengap tetap disini. Ketika Bu Ivony, salah
Penangkapan Melvin di sebuah desa terpencil menjadi trending topic informasi di dunia maya, dan televisi. Kepolisian seakan menunjukkan bahwa mereka masih punya kinerja terbaik. Para warganet dan rakyat penyimak berita cukup puas dengan hasil kinerja kepolisian mereka menyanjung kepolisian yang sanggup mengungkap kasus ini dengan cepat.Bram Sirait selaku orang yang sudah menyinggung Bripka Anggara dalam suatu kesempatan bahwa kepolisian tidak akan bisa maksimal mencecar Vivian karena mereka juga punya kesalahan tidak bisa menangkap pelaku utama sampai saat ini kini hanya bisa diam menunduk kesal dan menyusun rencana terbaik untuk seluruh anggota timnya agar Vivian tidak mendapat hukuman penjara maksimal. "Om Bram, Vian sudah lelah dipenjara kok sekarang malah Melvin tertangkap aku takut Om, hiks.""Ah, Vian, jangan nangis gitu. Nanti Papamu akan marah sama Om. Om bisa usahakan supaya kamu dirawat di rumah sakit, dengan alasan sakit nanti kita atur itu, lumayan bisa seminggu sampe 10
Sementara guru mengaji Celine dan Vivian disisi Celine yang terisak. Celine berusaha memegangi tangan anaknya, padahal disisi kanan kiri anaknya ada dua polisi. Tiba-tiba Mereka terhenti sejenak dan terperangah... Didepan pintu rumah mereka ratusan wartawan menutup jalan hingga polisi harus berhenti.Flash... Flash.. Flash... Suara kamera dan cahaya silaunya keluar tak terhenti menyorot Vivian. "Vivian... Vivian sejak kapan anda berhijab?""Vivian... Vivian... Vivian...""Vivian, apa komentar anda?"Semua wartawan berebut, mengambil gambar Vivian. Mengabadikan tangan Vivian yang di borgol, hijab Vivian yang menggetarkan dan paduan busana dan wajah Vivian yang memang cantik. Vivian menutup wajahnya. Bram Sirait langsung membuat pagar untuk Vivian agar tak ada tangan iseng yang menarik, memaksa memotret dan sebagainya untuk Vivian."No Comment, tak ada komentar." ucap Bram Sirait menghalau mike dan pertanyaan-pertanyaan. Dua Bodyguard di sisi Vivian, Vivian diam menunduk justru pengaca