Ayyara lagi-lagi harus meneguk ludahnya dengan susah payah. Padahal hanya kalimat seperti itu saja yang keluar dari mulut kieran, namun itu mampu membuat Ayyara mendadak gugup. Ayyara sangat membenci situasi ini. Dengan segera, dia langsung menyingkirkan tangan laki-laki itu dari atas kepalanya. Lalu beringsut duduk.
"Kamu jangan bangga dulu, mas. Aku menatapmu seperti barusan, bukan karena aku mulai memliki perasaan padamu atau sebagainya."Ayyara menarik nafas sesat, lalu menghembuskannya pelan. Dia masih tak berani menatap wajah Kieran, karena itu bisa saja membuatnya gugup lagi. Ayyara kemudian melanjutkan kalimatnya. Dia harap dengan ini Kieran akan kecewa dan tak berpikir macam-macam tentangnya lagi."Aku tadi hanya tidak sengaja saja menatapmu, dan kamu justru terbangun. Jadi kamu mengira jika aku menatapmu dengan lama, menunggumu bangun tidur? Itu salah. Tadi hanya tidak sengaja saja."Senyum Kieran seketika pudar, saat kalimat Ayyara laAyyara tak akan pernah mengizinkan sang suami untuk menyentuhnya. Dia sudah berjanji pada dirinya sendiri, hanya akan mengizinkan tubuhnya disentuh oleh Bagas. Dia tak akan diam, membiarkan siapapun mengambil pertama kalinya, kecuali laki-laki yang dia cintai.Namun kenyataannya sekarang, justru seperti ini. Ayyara tak pernah menyangka, jika pada akhirnya Kieran lah yang menyentuhnya pertama kali. Perempuan itu masih berada di atas kasur, memunggungi sang suami yang masih memeluknya dari belakang. Ayyara tahu, pasti Kieran saat ini telah tersenyum puas, karena berhasil menyentuhnya. Namun yang Ayyara rasakan saat ini hanya penyesalan, tak terima dengan apa yang baru saja terjadi padanya. Matanya sejak tadi sudah berkaca-kaca, menahan air mata. Bukan air mata kesedihan, namun air mata kekesalan. Tangannya mencengkeram erat selimut yang menutupi tubuh polosnya, menyalurkan amarahnya. "Kamu menyesal telah memberikan pertama kalinya padaku?" tanya
Ayyara segera menggeleng, menepis semua pemikiran buruknya. Dia tak mau jika sampai dia mengandung anak dari Kieran. "Bagas memang tidak tahu jika aku sudah melakukannya dengan mas Kieran. Tapi, jika aku sampai hamil, itu pasti akan membongkar semuanya." Ayyara segera terduduk, sambil menahan selimut untuk menutupi tubuhnya yang masih polos. Dia harus mencari cara agar dirinya tidak hamil. Ayyara kemudian meraih ponselnya yang tergeletak di atas nakas samping tempat tidur. "Aku harus mencari sesuatu di internet, cara untuk mencegah kehamilan setelah berhubungan badan."Setelah mendapatkannya. Ayyara langsung mengambil bajunya yang berserak di lantai, memakainya kembali, lalu bergegas menuju dapur. Dia mencari satu ruas jahe, dan segera dia bersihkan. Lalu menyalakan kompor, dan memasukan satu ruas jahe tersebut ke dalam panci kecil yang sudah dia beri sedikit air. "Di sini dituliskan, jika meminum air rebusan jahe setelah se
Bagas kembali melihat ke meja kerja Ayyara. Ini kesekian kalinya dia bolak-balik hanya untuk memastikan apa perempuan itu sudah datang. Namun masih tetap sama, Ayyara belum juga datang. Membuat Bagas jadi tidak tenang. Tidak seperti biasanya Ayyara akan datang terlambat. "Apa Ayyara tidak masuk kerja hari ini? Tapi kenapa? Tumben sekali dia tidak memberikan kabar padaku." Bagas kembali menyalakan layar ponselnya. Berharap ada notifikasi panggilan atau pesan dari Ayyara. Dia sangat menunggunya. "Apa aku harus telepon dia lebih dulu? Tapi, aku takut jika dia masih bersama pak Kieran, dan pak Kieran tahu jika aku menelpon istrinya. Takutnya pak Kieran justru akan marah padaku.""Bagas."Bagas menoleh saat mendengar namanya di panggil. Seorang pria paruh baya mulai menghampirinya."Pak Ardi.""Ternyata kamu ada di sini? Saya tadi mendatangimu ke ruangan kerjamu, tapi kamu tidak ada.""Memangnya ada apa pak?" tany
Di sisi lain, Kieran tengah memeriksa isi flashdisk yang baru saja diberikan oleh sekertarisnya. Dia menatap dengan seksama, monitor di depannya itu. "Bagaimana pak, apa ada yang salah?"Kieran menggeleng, namun masih ragu. "Saya baru memeriksa beberapa file saja. Dan sejauh ini saya belum menemukan sesuatu yang membuat saya kurang suka."Nasya tersenyum, sedikit merasa lega. "Jika ada beberapa yang menurut saya kurang, saya akan panggil kamu ke sini lagi.""Baik pak, kalau begitu saya permisi dulu ya."Kieran mengangguk, mengizinkan sang sekertaris untuk keluar dari ruangannya. Setelah Nasya pergi, mendadak ponselnya bergetar. Kieran melihat lebih dulu siapa nama yang menelponnya, sebelum akhirnya dia menjawabnya."Halo, pak Ardi."'Halo pak Kieran, selamat siang. Maaf jika saya mengganggu waktunya. Ada yang ingin saya tanyakan pada pak Kieran saat ini.'"Tidak apa-apa, tanyakan saja pak. Apa yang in
Pintu utama terbuka. Kieran mengedarkan pandangannya ke sekitar, menyusuri setiap ruang rumahnya. Dia sengaja pulang sore, hanya karena ingin segera melihat keadaan Ayyara. Apa benar istrinya itu tidak masuk kerja hari ini?Hingga sampai di ruang tengah, langkah Kieran terhenti. Pandangannya tertuju pada perempuan yang sedang menikmati sebungkus makanan ringan, duduk di sofa sambil menonton televisi. Kieran menatapnya heran, dia lalu menghampiri dengan langkah pelan.Ayyara tidak sadar, jika sang suami sudah datang. Dia terlalu fokus pada acara berita yang ada di televisi itu.Kieran kembali menghentikan langkahnya, tepat di belakang Ayyara. Perempuan itu mendadak batuk, tersedak keripik balado yang sedang dimakannya. Salah satu tangan Ayyara mulai meraba ke samping kirinya, mencari sesuatu tanpa mengalihkan pandangannya dari televisi. Satu alis Kieran terangkat, menatap sang istri dengan sorot aneh. Dia kemudian menatap satu botol minu
Ayyara melirik sang suami yang kembali fokus mengepel. Dia mengernyit tidak suka, saat mendengar pertanyaan Kieran barusan. Ayyara kembali meluruskan pandangannya pada televisi di depannya, lalu menjawab, "gara-gara perbuatanmu tadi pagi, aku jadi terlambat. Dan jika aku tetap berangkat kerja, sampai sana pasti aku akan mendapat omelan dari pak Ardi. Jadi, aku memutuskan untuk tidak kerja saja. Terlambat atau tidak masuk kerja, itu sama-sama akan mendapat omelan. Jadi aku memilih tidak masuk kerja saja sekalian."Mendengar penjelasan Ayyara. Kieran langsung menyudahi kegiatannya. Dia menyandarkan tongkat pel yang dia pegang itu ke sisi sofa, lalu menghampiri Ayyara. Menatapnya dengan sorot tegas. "Aku tidak suka jika ada yang memarahimu."Ayyara mendongak, menatap laki-laki yang kini sudah berdiri di sampingnya. Dia menatapnya bingung."Jika pak Ardi berani memarahimu, katakan saja padaku. Aku akan memberinya peringatan, untuk tidak memarahimu la
Pagi ini, Kieran sudah bersiap untuk berangkat kerja. Dia keluar kamar, dan mendapati Ayyara yang sedang berteleponan dengan seseorang di ruang tengah. Tak ingin bertanya, atau berpamitan pada sang istri. Kieran memilih untuk langsung berangkat begitu saja.Beberapa hari ini keduanya memang jarang berbicara. Semenjak Ayyara menyalahkan Kieran beberapa hari lalu, karena laki-laki itu telah menyentuhnya dan membuat Ayyara terlambat masuk kerja. Kieran memilih untuk banyak diam, dan tak mau berbicara lebih dulu pada Ayyara, sebelum Ayyara lebih dulu yang mengajaknya berbicara. Jikapun mereka saling berbicara, itu hanya singkat. Kieran lebih memilih menghindar dari Ayyara. Tentu saja, hati Kieran masih sakit. Jika dirinya mengingat kembali apa yang ayyara katakan padanya waktu itu. Seakan membuat Kieran nyaris ingin berhenti untuk berjuang mendapatkan cinta sang istri. Namun, di sisi lain Kieran juga tidak bisa melepaskan Ayyara begitu sa
"Aku memang benar-benar tidak ada waktu. Jika kamu bersedia, antarkan makanan itu ke kantor. Aku pasti akan memakannya."Ayyara mengernyit, menatap sang suami dengan sorot protes. "Kamu ingin aku ke kantormu, membawakan bekal untukmu? Kamu pikir aku budakmu?"Apapun yang dikatakan Kieran, memang selalu salah bagi Ayyara. Kieran sadar, seharusnya dia tidak menjawab, dan memilih diam walau Ayyara terus memberikan tuduhan padanya. "Jika tidak mau, aku juga tidak akan memaksamu. Aku benar-benar ingin memakan masakan istriku. Andai saja ada yang mengantarkan ke kantor, aku pasti akan memakannya." Kieran tersenyum hampa. Dia berbalik, lalu melanjutkan langkahnya begitu saja. Meninggalkan Ayyara. Melihat sang suami yang sudah menjauh. Ayyara hanya menghela nafas kasar, sambil memberinya tatapan kesal. Dia lalu memutar kedua bola matanya, tanda dirinya tengah muak dengan apa keinginan laki-laki itu. "Aku harus bangun pagi untuk memas
Pemakaman selesai, seorang perempuan berpakaian serba hitam masih setia duduk di samping makam tersebut. Tangannya tak berhenti mengusap pelan nisan yang bertulis nama Kieran Bimantara.Kini Ayyara tak bisa melihat suaminya lagi, kini Ayyara tak bisa memeluk tubuh Kieran lagi. Terakhir dia melihat Kieran hanya di rumah sakit, setelah dibawa pulang dia tak diijinkan lagi melihat jasad suaminya. Proses pemakaman pun juga terlaksana cukup tertutup, tak ada yang bisa melihat wajah Kieran terakhir kalinya kecuali Raymond dan beberapa orang suruhan Raymond. Entah kenapa, Ayyara juga tak paham. "Ayyara. Ayo kita pulang," bisik Daria yang sejak tadi masih berada di samping sang menantu tersebut. Namun Ayyara menggeleng pelan, menandakan bahwa dirinya tak mau pergi dari sana."Ayyara ingin tetap di sini ma." Mata sembabnya kini menatap gundukan tanah yang masih basah di hadapannya, dia lalu tersenyum sedih. "Dulu, mas Kieran pernah berjanji pada Ayyara.
Di depan sebuah ruang IGD, seorang perempuan terisak. Dia berjongkok sambil memeluk seorang anak laki-laki. Rasa bersalah dan takut bercampur menjadi satu. Bara yang sejak tadi berada di pelukan sang mama hanya bisa diam, tak peduli bau amis darah begitu menusuk ke penciumannya dan akan ikut mengotori seragam sekolahnya. Dia tak bisa menenangkan tangisan sang mama.Jujur, Bara sendiri juga masih shock melihat papanya tertabrak di hadapannya. Tapi dia tak bisa menangis, dia hanya bisa menahan rasa khawatir di pelukan mamanya. "Papa enggak apa-apa kan ma?"Akhirnya Bara bersuara, namun Ayyara tak sanggup untuk menjawabnya."Ayyara!"Bara menoleh, dari arah kejauhan sepasang suami istri menghampiri keberadaan Ayyara dan Bara. Mereka adalah Raymond dan Daria. Tampak jelas kekhawatiran di raut keduanya. Daria langsung berjongkok di hadapan sang menantu, memegang bahu Ayyara. Menyadarkan Ayyara bahwa mereka sudah datang.
Setelah Bagas dan Viona melangkah pergi, mata Ayyara mulai menggenang. Hatinya benar-benar sakit dan hancur, Bagas tidak seperti dulu lagi. Ayyara telah kehilangan laki-laki yang dia cintai.Dia terpaksa menikah dengan laki-laki yang tak dia cintai, melahirkan anak dari laki-laki yang dia benci, ibunya kini meninggal, dan sekarang Ayyara benar-benar dilupakan oleh seseorang yang sangat dia sayangi. Sepahit itukah kehidupannya? Kenapa takdir begitu sangat kejam?"Jika tidak ada kebahagiaan dalam hidupku, kenapa aku harus dilahirkan?" Satu tetes air mata akhirnya terjatuh. Ayyara mulai berjalan gontai memasuki mobilnya kembali, dengan air mata yang semakin mengalir deras. Mobil berwarna merah itu mulai melaju kencang, menyusuri jalanan yang ramai. Ayyara seakan tak peduli dengan keselamatannya maupun sekitarnya. Tatapannya kosong, pikirannya kembali mengingat rantai kehidupannya sejak pertama dia menikah dengan Kieran. Dia sudah tak mempunyai kebahagiaan, bahkan tak tau lagi tujuan unt
Kieran yang masih menemani anaknya bermain di ruang tengah, sejak tadi tak bisa tenang setelah tahu istrinya ternyata meninggalkan rumah secara diam-diam. Apalagi berita tentang dirinya dan Ayyara terus saja semakin menyebar. Kieran takut akan terjadi sesuatu pada sang istri di luar sana.Namun tak beberapa lama, terdengar suara pintu utama terbuka. Kieran segera beringsut berdiri tanpa mempedulikan anaknya, dan langsung menghampiri ke arah pintu utama. Melihat Ayyara berjalan gontai sambil menghapus bekas air mata di pipinya yang masih basah, membuat Kieran seketika khawatir. "Apa yang terjadi padamu Ayyara?"Langkah Ayyara terhenti, tepat di samping Kieran. Pertanyaan laki-laki itu justru membuat air matanya mengalir deras, Ayyara mulai terisak.Kieran semakin bingung, istrinya sedikit pun tak mau menjelaskan. Dia ingin memeluk tubuh Ayyara untuk memberi ketenangan, namun tertunda saat Bara datang dan langung menggenggam salah satu ta
Saat ini Bagas tertunduk, merasa frustasi dengan apa yang baru saja terjadi padanya. Dia berada di sebuah kafe, bersama Kieran dan juga Nasya. Bagas sudah menceritakan semuanya apa yang terjadi pada Kieran maupun Nasya. Karena Bagas tak punya siapa-siapa lagi untuk meminta bantuan selain pada mereka. "Sebenarnya saya tidak masalah jika harus menikahi Viona, walau karena kesalahpahaman ini. Tapi masalahnya, ayah Viona meminta saya untuk melunasi hutangnya pada pak Raymond sebelum pernikahan berlangsung. Jika saya tidak mau melunasi dan tidak mau melunasi hutangnya, ayah Viona akan melaporkan saya ke polisi karena telah melecehkan Viona. Saya yakin polisi juga tidak akan menyalahkan saya karena tidak ada bukti yang kuat jika saya telah melecehkan Viona, tapi Viona bilang jika saya tidak mengikuti keinginan ayahnya kemungkinan Viona yang akan dalam masalah."Nasya mengangguk paham. "Walau hanya melihatnya sekali saja, tapi saya tahu bagaimana sifat ayah Viona. Saya s
Seminggu setelah pemakaman Mira. Ayyara tak pernah lagi bertemu ataupun berniat untuk menemui sang kakak, Ayuma. Agra, yang saat ini sudah masuk di bangku SMP, Kieran yang membiayai sekolahnya di luar kota. Sesuai permintaan Ayyara, yang tak mau jika sang adik sampai diurus oleh sang kakak. Sampai saat ini kematian Mira membuat Ayyara berpikiran buruk pada sang kakak. Dari sifatnya Ayyara sudah tau, mana mungkin Ayuma mau mengurus adiknya. Bahkan Ayyara masih berpikiran, mungkin saja penyakit ibunya semakin parah hingga menyebabkan kematian pasti karena Ayuma yang tak merawat ibunya dengan baik.Sebenarnya Ayyara ingin menginterogasi Ayuma atas kematian ibunya, namun dicegah oleh Kieran. Dengan alasan, tak mau Ayyara semakin mendapat masalah di saat masalahnya bersama Kieran kini belum juga usai."Apa yang dikatakan mas Kieran memang benar. Kak Ayuma bisa saja balik menuduhku, menyalahkanku karena sudah sangat tak menjenguk ibu. Tapi aku kan mel
Pagi itu, Kieran akhirnya membawa istri dan anaknya ke rumah Mira. Namun sampai sana rumah ibu mertuanya itu terlihat sangat sepi, padahal yang Ayyara katakan Ayuma juga berada di sana."Sepertinya tidak ada orang?" ucap Ayyara menebak. Tapi dia juga tak yakin, mengingat ibunya itu tidak suka meninggalkan rumah terlalu lama. "Tapi kita tunggu di teras saja, mungkin ibu sedang keluar ke suatu tempat dan akan segera pulang."Kieran mengangguk mengikuti saran sang istri. Mereka kemudian keluar dari mobil, Kieran menuntun Bara dan mengikuti Ayyara yang mulai berjalan menuju teras rumah Mira.Karena penasaran apakah di rumah benar tidak ada orang, Ayyara akhirnya memutuskan untuk membuka pintu utama tersebut. Dan anehnya pintu ternyata tidak dikunci, membuat Ayyara mengernyit bingung. "Jika di dalam rumah tidak ada orang, kenapa pintunya tidak dikunci?" Firasat Ayyara berubah buruk. Dia memutuskan untuk masuk ke rumah itu begitu saja, Kieran yang masi
Pukul lima pagi, Kieran terbangun dari tidurnya. Dia mengedipkan matanya sesaat lalu mengedarkan pandangannya. Dia sadar saat ini telah tertidur di sofa karena Ayyara mengusirnya dari kamar tadi malam. Padahal di rumahnya juga masih banyak kamar yang tidak terpakai, namun Kieran memilih untuk tidur di sana saja.Dia mulai beringsut duduk, membuat selimut tebal berwarna cokelat yang tadinya menutupi tubuhnya kini merosot turun. Kieran mengernyit bingung. "Seingatku, tadi malam aku tidak membawa selimut. Apa Ayyara yang memakaikannya padaku?""Bibi yang memakaikan selimut itu untuk tuan," sahut seorang wanita dari kejauhan yang sudah sadar jika sang tuan telah bangun. Kieran kini menatap ke arahnya, tampak kecewa dengan ucapan wanita itu barusan, namun Kieran menutupinya dengan senyuman tipis. Bi Sarah mulai menghampiri. "Terimakasih bi.""Tuan kenapa tidur di sini? Apa nyonya yang menyuruh tuan untuk tidur di sini?" Bi Sarah memasang raut khawatir
"Sebenarnya aku tidak apa-apa, maaf telah merepotkan kalian. Seharusnya kalian tidak perlu mendengarkan perkataan ayahku." Viona menunduk bersalah. Melihat hal itu Bagas tak tega. "Tidak Viona, ini sama sekali tidak merepotkan kami." Bagas kemudian menoleh ke arah Nasya yang juga masih bersama mereka. "Benarkan Nasya?"Nasya mengangguk menyetujui pertanyaan Bagas "Benar Viona, tidak perlu terlalu dipikirkan seperti itu."Viona tersenyum, setidaknya dia harus bersyukur karena bertemu dengan orang sebaik Bagas dan Nasya. Andai orang lain yang akan menabraknya tadi, pasti tentu akan marah saat Darka memintanya pertanggung jawaban padahal Viona nyaris tertabrak karena ulah ayahnya sendiri."Oh ya Bagas, Viona. Kalian tunggu di sini sebentar ya, biar aku yang menebus obatnya di apotek."Bagas dan Viona mengangguk mengizinkan, Nasya kemudian melangkah pergi meninggalkan mereka yang masih duduk di kursi tunggu yang ada di rumah sakit itu.