"Nyonya, kenapa nyonya basah kuyub seperti ini?" tanya Bi Sarah khawatir. Kini dia sudah berdiri di depan Ayyara, menatap Ayyara dari ujung kaki sampai kepala.
Ayyara tersenyum lalu menjelaskan, "pak Darma lupa membawa payung. Jadi saya tadi sempat hujan-hujanan saat berjalan dari teras kantor ke parkiran mobil."Bi Sarah menghela nafas pelan, lalu menatap pak Darma yang masih berdiri tak jauh darinya dengan sorot marah. "Pak Darma, seharusnya jangan biarkan nyonya Ayyara hujan-hujanan seperti ini!""Tidak apa-apa bi, tolong jangan salahkan pak Darma," ucap Ayyara menenangkan bi Sarah agar tak marah pada supirnya itu. Pandangan wanita paruh baya itu kini mengarah padanya, masih dengan sorot khawatir."Nyonya, lain kali jangan hujan-hujanan lagi ya. Bi Sarah takut nanti nyonya akan flu jika kehujanan sampai basah kuyup seperti ini. Kasihan Den Bara kalau nyonya sampai sakit, nanti takutnya Den Bara akan ikut sakit."Ayyara tersenyum, laluPukul tiga dini hari, Kieran terbangun saat mendengar sesuatu di sekitarnya. Matanya berkedip beberapa kali, sebelum akhirnya dia menoleh menatap sang istri yang masih tidur di sampingnya. Perempuan itu tidur dengan posisi membelakanginya. Namun Kieran merasa ada yang aneh pada tubuh Ayyara, terlihat seakan bergetar. Dia kemudian beringsut duduk, lalu memegang bahu perempuan itu secara perlahan tanpa berniat untuk mengusik tidurnya. Mata Kieran melebar saat merasakan suhu panas di tubuh Ayyara yang begitu tinggi. Kieran seketika khawatir. Ternyata perempuan itu sejak tadi menggigil. "Ayyara kamu sakit?"Kieran menarik bahu perempuan itu dengan pelan, membuat tubuh sang istri kini terlentang. Ayyara sedikitpun tak menjawab pertanyaan Kieran. Mata perempuan itu masih tertutup, namun bibirnya merintih pelan. Kieran kembali menempelkan telapak tangannya ke kening sang istri. "Kamu demam Ayyara. Pasti karena kehujanan kemarin."Ki
"Bara kenapa, sus?" tanya Kieran yang sudah sampai di kamar sang anak. Dia melihat Bara menangis nyaring di gendongan sang suster, suster itu juga terlihat sedang berusaha keras memberikan botol susu untuk putranya. "Sepertinya Bara haus, tuan. Tapi saat saya berikan susu formula untuknya, Bara tidak mau minum. Sepertinya Bara ingin minum ASI."Kieran menghela nafas pelan. "Tapi mamanya sedang sakit."Suster itu juga bingung, dia terus menenangkan Bara di gendongannya namun usahanya tetap gagal. Bara justru menangis semakin kencang.Kieran juga tak tega melihat anaknya terus menangis seperti itu. Selama ini yang Kieran tahu jika Bara menangis hanya Ayyara yang bisa menenangkannya. "Sini biar saya gendong sebentar."Walau sangat jarang menggendong Bara, karena tidak diizinkan oleh Ayyara. Namun kali ini Kieran ingin berusaha menenangkan putranya. "Siapa tahu jika saya yang menggendong, Bara akan berhenti menangis."
"Kamu ingin kerja lagi?"Ayyara menatap laki-laki yang baru saja masuk ke kamar, dari cermin yang ada di hadapannya. Saat ini dia tengah berdiri di depan cermin untuk merapikan pakaiannya sebelum berangkat. "Aku baru masuk kerja satu kali, dan tidak mungkin aku harus kembali izin tidak masuk."Kieran menghela nafas berat. Baru saja Ayyara sembuh, tapi perempuan itu ingin bekerja lagi. Tentu saja Kieran sangat khawatir dengan kesehatannya. Padahal walau Ayyara tidak bekerja, Kieran sama sekali tak masalah jika perempuan itu akan menghabiskan uangnya untuk membeli semua yang Ayyara mau. Melihat sang suami yang masih diam berdiri di belakangnya, Ayyara akhirnya berbalik. Dia tahu apa yang saat ini sedang ada di pikiran Kieran. "Tidak perlu khawatir mas. Aku sudah sembuh. Sungguh, aku baik-baik saja. Lagi pula, kemarin aku sakit juga pasti karena hujan-hujanan. Setelah ini aku tidak mau lagi hujan-hujanan, dan aku akan memikirkan kesehatan
Kieran menggeleng, tak terima melihat air mata bi Sarah jatuh. Kedua tangannya perlahan terulur, menahan bahu bi Sarah. "Bi, saya tidak apa-apa. Apa yang Ayyara lakukan pada saya itu memang pantas, karena ..." Kieran menghela nafas berat. Dia berusaha tersenyum di tengah hatinya yang sedang terluka parah. "Saya yang sudah memaksa Ayyara untuk menikah dengan saya. Jadi wajar saja jika saat ini Ayyara marah dengan saya."Bi Sarah menggeleng, masih tak terima dengan apa yang Ayyara lakukan pada tuan kesayangannya itu. "Jika nyonya Ayyara tidak mencintai tuan, kenapa tuan harus menikah dengannya? Kenapa tuan tidak bilang saja pada ibu dan bapak tentang hal itu, bibi yakin ibu dan pak Raymond pasti akan membatalkan perjodohan ini.""Tidak bi." Kieran mengukir senyum sakit. Entah mungkin dia terlihat bodoh kali ini, karena lebih memilih melanjutkan perjodohan itu walaupun sudah tahu dia akan terluka. Namun jika sampai perjodohan itu tidak terjadi, mungkin Kiera
Suara pintu diketuk berhasil mengalihkan perhatian seorang laki-laki yang sejak tadi terus menyibukkan dirinya di depan layar komputer. Seorang perempuan yang mengetuk pintu itu tersenyum manis, lalu berjalan menghampiri laki-laki itu dengan dua tangan yang dia sembunyikan di belakang tubuhnya. "Pagi ganteng," sapa perempuan itu yang sama sekali tak dibalas, laki-laki itu justru kembali mengarahkan pandangannya pada monitor di hadapannya, berusaha tak menggubris keberadaan perempuan itu. Ayyara menghela nafas pelan. Entah sampai kapan hubungannya dan Bagas akan seperti ini. Ayyara perlahan juga merasakan lelah, membuatnya beberapa kali berpikir apa dia harus menyerah saja mempertahankan Bagas?"Aku sangat sibuk, tolong jangan menggangguku.""Karena kamu sibuk, aku harap kamu tak akan melupakan makan siangmu." Ayyara menyodorkan ke atas meja laki-laki itu, sekotak nasi yang dia beli di kantin kantor barusan. "Aku baru saja selesai makan siang, ja
Tujuh tahun kemudian.Seorang perempuan berambut panjang sepunggung tersenyum lebar, membawa sebuah amplop berwarna cokelat. Dia berjalan keluar tempat kerjanya, menyusul laki-laki yang tadinya lebih dulu keluar dari sana. "Kamu senang hari ini menerima gaji?"Keberadaan perempuan itu secara tiba-tiba di sampingnya membuat Bagas seketika tersentak kaget. Dia kemudian menoleh lalu mengukir senyum dan mengangguk mengiyakan apa yang Ayyara tanyakan barusan. "Uang ini akan aku berikan langsung pada pak Raymond. Dan sisanya akan ku bayar lagi nanti saat aku menerima gaji lagi."Ayyara mengangguk paham, dia kemudian menyodorkan amplop yang sejak tadi ada di tangannya kepada Bagas. Meminta laki-laki itu untuk menerimanya."Apa ini Ayyara?""Sesuai janjiku, aku akan memberikan gajiku padamu. Jadi hutangmu pada papa Raymond tinggal sedikit kan? Sebentar lagi kamu akan bisa untuk melunasinya, dan setelah lunas aku akan bercerai dengan mas
"OPA!" Seorang pria paruh baya yang tadinya sibuk membaca koran di teras rumahnya sambil membenarkan kaca matanya yang sesekali melorot, seketika tersentak kaget saat mendengarkan teriakan anak kecil dari kejauhan. Dia menoleh, membuat pandangannya kini terarah pada anak kecil berseragam merah putih yang baru keluar dari mobil berlari ke arahnya. Pria paruh baya itu tersenyum sumringah melihat kedatangan anak kecil itu, dengan segera dia langsung melipat kembali koran yang dia baca, melepas kaca matanya dan dia letakkan ke atas meja sampingnya. "Cucu opa!"Setelah sampai di hadapannya, Raymond langsung menggendong cucunya dan memeluknya dengan erat. Walau sangat sering bermain ke rumahnya, tapi entah kenapa Raymond selalu merasa sangat rindu pada Bara, seakan sudah sangat lama tak bertemu. Pandangan Raymond kini mengarah pada laki-laki yang juga berjalan ke arahnya, menyusul Bara. "Kieran. Kenapa kamu tidak bilang jika ingin
Raymond berjalan menuju ruang tamu setelah salah satu pembantunya mengatakan padanya jika ada orang yang datang ke rumah ingin bertemu dengannya. "Sore pak," sapa laki-laki yang ada di ruang tamu itu dengan sopan saat melihat Raymond tiba. "Silakan duduk, Bagas."Bagas mengangguk, menurut. Dia dan Raymond kini duduk bersampingan di sofa ruang tamu. "Maaf pak, jika saya mengganggu waktunya. Saya hanya ingin memberikan ini pada pak Raymond." Bagas meletakkan dua amplop coklat di atas meja depannya. Menyodorkannya pada Raymond. "Hari ini saya menerima gaji. Jadi saya langsung berikan pada pak Raymond saja untuk mencicil hutang saya. Sisanya masih banyak ya pak, saya akan cicil lagi bulan depan."Raymond mengambil dua amplop itu, lalu dia berikan lagi pada Bagas. Membuat Bagas seketika menatapnya bingung."Kenapa pak?""Hutangmu pada saya sudah lunas. Temanmu yang melunasinya, jadi sekarang jika kamu ingin membayarkan ber
Pemakaman selesai, seorang perempuan berpakaian serba hitam masih setia duduk di samping makam tersebut. Tangannya tak berhenti mengusap pelan nisan yang bertulis nama Kieran Bimantara.Kini Ayyara tak bisa melihat suaminya lagi, kini Ayyara tak bisa memeluk tubuh Kieran lagi. Terakhir dia melihat Kieran hanya di rumah sakit, setelah dibawa pulang dia tak diijinkan lagi melihat jasad suaminya. Proses pemakaman pun juga terlaksana cukup tertutup, tak ada yang bisa melihat wajah Kieran terakhir kalinya kecuali Raymond dan beberapa orang suruhan Raymond. Entah kenapa, Ayyara juga tak paham. "Ayyara. Ayo kita pulang," bisik Daria yang sejak tadi masih berada di samping sang menantu tersebut. Namun Ayyara menggeleng pelan, menandakan bahwa dirinya tak mau pergi dari sana."Ayyara ingin tetap di sini ma." Mata sembabnya kini menatap gundukan tanah yang masih basah di hadapannya, dia lalu tersenyum sedih. "Dulu, mas Kieran pernah berjanji pada Ayyara.
Di depan sebuah ruang IGD, seorang perempuan terisak. Dia berjongkok sambil memeluk seorang anak laki-laki. Rasa bersalah dan takut bercampur menjadi satu. Bara yang sejak tadi berada di pelukan sang mama hanya bisa diam, tak peduli bau amis darah begitu menusuk ke penciumannya dan akan ikut mengotori seragam sekolahnya. Dia tak bisa menenangkan tangisan sang mama.Jujur, Bara sendiri juga masih shock melihat papanya tertabrak di hadapannya. Tapi dia tak bisa menangis, dia hanya bisa menahan rasa khawatir di pelukan mamanya. "Papa enggak apa-apa kan ma?"Akhirnya Bara bersuara, namun Ayyara tak sanggup untuk menjawabnya."Ayyara!"Bara menoleh, dari arah kejauhan sepasang suami istri menghampiri keberadaan Ayyara dan Bara. Mereka adalah Raymond dan Daria. Tampak jelas kekhawatiran di raut keduanya. Daria langsung berjongkok di hadapan sang menantu, memegang bahu Ayyara. Menyadarkan Ayyara bahwa mereka sudah datang.
Setelah Bagas dan Viona melangkah pergi, mata Ayyara mulai menggenang. Hatinya benar-benar sakit dan hancur, Bagas tidak seperti dulu lagi. Ayyara telah kehilangan laki-laki yang dia cintai.Dia terpaksa menikah dengan laki-laki yang tak dia cintai, melahirkan anak dari laki-laki yang dia benci, ibunya kini meninggal, dan sekarang Ayyara benar-benar dilupakan oleh seseorang yang sangat dia sayangi. Sepahit itukah kehidupannya? Kenapa takdir begitu sangat kejam?"Jika tidak ada kebahagiaan dalam hidupku, kenapa aku harus dilahirkan?" Satu tetes air mata akhirnya terjatuh. Ayyara mulai berjalan gontai memasuki mobilnya kembali, dengan air mata yang semakin mengalir deras. Mobil berwarna merah itu mulai melaju kencang, menyusuri jalanan yang ramai. Ayyara seakan tak peduli dengan keselamatannya maupun sekitarnya. Tatapannya kosong, pikirannya kembali mengingat rantai kehidupannya sejak pertama dia menikah dengan Kieran. Dia sudah tak mempunyai kebahagiaan, bahkan tak tau lagi tujuan unt
Kieran yang masih menemani anaknya bermain di ruang tengah, sejak tadi tak bisa tenang setelah tahu istrinya ternyata meninggalkan rumah secara diam-diam. Apalagi berita tentang dirinya dan Ayyara terus saja semakin menyebar. Kieran takut akan terjadi sesuatu pada sang istri di luar sana.Namun tak beberapa lama, terdengar suara pintu utama terbuka. Kieran segera beringsut berdiri tanpa mempedulikan anaknya, dan langsung menghampiri ke arah pintu utama. Melihat Ayyara berjalan gontai sambil menghapus bekas air mata di pipinya yang masih basah, membuat Kieran seketika khawatir. "Apa yang terjadi padamu Ayyara?"Langkah Ayyara terhenti, tepat di samping Kieran. Pertanyaan laki-laki itu justru membuat air matanya mengalir deras, Ayyara mulai terisak.Kieran semakin bingung, istrinya sedikit pun tak mau menjelaskan. Dia ingin memeluk tubuh Ayyara untuk memberi ketenangan, namun tertunda saat Bara datang dan langung menggenggam salah satu ta
Saat ini Bagas tertunduk, merasa frustasi dengan apa yang baru saja terjadi padanya. Dia berada di sebuah kafe, bersama Kieran dan juga Nasya. Bagas sudah menceritakan semuanya apa yang terjadi pada Kieran maupun Nasya. Karena Bagas tak punya siapa-siapa lagi untuk meminta bantuan selain pada mereka. "Sebenarnya saya tidak masalah jika harus menikahi Viona, walau karena kesalahpahaman ini. Tapi masalahnya, ayah Viona meminta saya untuk melunasi hutangnya pada pak Raymond sebelum pernikahan berlangsung. Jika saya tidak mau melunasi dan tidak mau melunasi hutangnya, ayah Viona akan melaporkan saya ke polisi karena telah melecehkan Viona. Saya yakin polisi juga tidak akan menyalahkan saya karena tidak ada bukti yang kuat jika saya telah melecehkan Viona, tapi Viona bilang jika saya tidak mengikuti keinginan ayahnya kemungkinan Viona yang akan dalam masalah."Nasya mengangguk paham. "Walau hanya melihatnya sekali saja, tapi saya tahu bagaimana sifat ayah Viona. Saya s
Seminggu setelah pemakaman Mira. Ayyara tak pernah lagi bertemu ataupun berniat untuk menemui sang kakak, Ayuma. Agra, yang saat ini sudah masuk di bangku SMP, Kieran yang membiayai sekolahnya di luar kota. Sesuai permintaan Ayyara, yang tak mau jika sang adik sampai diurus oleh sang kakak. Sampai saat ini kematian Mira membuat Ayyara berpikiran buruk pada sang kakak. Dari sifatnya Ayyara sudah tau, mana mungkin Ayuma mau mengurus adiknya. Bahkan Ayyara masih berpikiran, mungkin saja penyakit ibunya semakin parah hingga menyebabkan kematian pasti karena Ayuma yang tak merawat ibunya dengan baik.Sebenarnya Ayyara ingin menginterogasi Ayuma atas kematian ibunya, namun dicegah oleh Kieran. Dengan alasan, tak mau Ayyara semakin mendapat masalah di saat masalahnya bersama Kieran kini belum juga usai."Apa yang dikatakan mas Kieran memang benar. Kak Ayuma bisa saja balik menuduhku, menyalahkanku karena sudah sangat tak menjenguk ibu. Tapi aku kan mel
Pagi itu, Kieran akhirnya membawa istri dan anaknya ke rumah Mira. Namun sampai sana rumah ibu mertuanya itu terlihat sangat sepi, padahal yang Ayyara katakan Ayuma juga berada di sana."Sepertinya tidak ada orang?" ucap Ayyara menebak. Tapi dia juga tak yakin, mengingat ibunya itu tidak suka meninggalkan rumah terlalu lama. "Tapi kita tunggu di teras saja, mungkin ibu sedang keluar ke suatu tempat dan akan segera pulang."Kieran mengangguk mengikuti saran sang istri. Mereka kemudian keluar dari mobil, Kieran menuntun Bara dan mengikuti Ayyara yang mulai berjalan menuju teras rumah Mira.Karena penasaran apakah di rumah benar tidak ada orang, Ayyara akhirnya memutuskan untuk membuka pintu utama tersebut. Dan anehnya pintu ternyata tidak dikunci, membuat Ayyara mengernyit bingung. "Jika di dalam rumah tidak ada orang, kenapa pintunya tidak dikunci?" Firasat Ayyara berubah buruk. Dia memutuskan untuk masuk ke rumah itu begitu saja, Kieran yang masi
Pukul lima pagi, Kieran terbangun dari tidurnya. Dia mengedipkan matanya sesaat lalu mengedarkan pandangannya. Dia sadar saat ini telah tertidur di sofa karena Ayyara mengusirnya dari kamar tadi malam. Padahal di rumahnya juga masih banyak kamar yang tidak terpakai, namun Kieran memilih untuk tidur di sana saja.Dia mulai beringsut duduk, membuat selimut tebal berwarna cokelat yang tadinya menutupi tubuhnya kini merosot turun. Kieran mengernyit bingung. "Seingatku, tadi malam aku tidak membawa selimut. Apa Ayyara yang memakaikannya padaku?""Bibi yang memakaikan selimut itu untuk tuan," sahut seorang wanita dari kejauhan yang sudah sadar jika sang tuan telah bangun. Kieran kini menatap ke arahnya, tampak kecewa dengan ucapan wanita itu barusan, namun Kieran menutupinya dengan senyuman tipis. Bi Sarah mulai menghampiri. "Terimakasih bi.""Tuan kenapa tidur di sini? Apa nyonya yang menyuruh tuan untuk tidur di sini?" Bi Sarah memasang raut khawatir
"Sebenarnya aku tidak apa-apa, maaf telah merepotkan kalian. Seharusnya kalian tidak perlu mendengarkan perkataan ayahku." Viona menunduk bersalah. Melihat hal itu Bagas tak tega. "Tidak Viona, ini sama sekali tidak merepotkan kami." Bagas kemudian menoleh ke arah Nasya yang juga masih bersama mereka. "Benarkan Nasya?"Nasya mengangguk menyetujui pertanyaan Bagas "Benar Viona, tidak perlu terlalu dipikirkan seperti itu."Viona tersenyum, setidaknya dia harus bersyukur karena bertemu dengan orang sebaik Bagas dan Nasya. Andai orang lain yang akan menabraknya tadi, pasti tentu akan marah saat Darka memintanya pertanggung jawaban padahal Viona nyaris tertabrak karena ulah ayahnya sendiri."Oh ya Bagas, Viona. Kalian tunggu di sini sebentar ya, biar aku yang menebus obatnya di apotek."Bagas dan Viona mengangguk mengizinkan, Nasya kemudian melangkah pergi meninggalkan mereka yang masih duduk di kursi tunggu yang ada di rumah sakit itu.