"Maaf saya tinggal, Bu." Setelah mengucapkan kata itu, Damar berbalik, kembali melangkahkan kaki, meninggalkan Ivana yang hatinya terbakar rasa marah karna tak di pedulikan. Kedua tangan Ivana terkepal, netranya terus menatap punggung lebar Damar, yang semakin menjauh. Wanita ini kembali berbalik melayangkan langkah ke arah meja yang tadi dia duduki."Pak Damar memang sedikit sulit di dekati, Bu," ucap salah seorang kolega yang masih duduk di meja itu. Ivana hanya menyunggingkan senyum. "Maaf saya tinggal." Ivana meninggalkan meja menuju Villanya. Dengan kasar Ivana menutup pintu kamar menelungkupkan tubuh, otaknya keruh, baru kali ini dia di tolak seorang lelaki. Biasanya dengan segala pesonanya tak ada lelaki yang bisa menolak keinginannya. "Aku hanya meminta di ajak makan bersama, tapi dia menolak. Ahhhh ...." Ivana berteriak kencang di atas bantal. Bantal bersarung putih bersih ini di gunakan Ivana untuk meredam suara teriakannya.Ivana terus berteriak, jari tangan mengepal m
Semua mata mengarah ke podium, menatap dua wanita cantik yang kini berdiri di sana. Nisa mencari keberadaan Damar. Netranya memindai. Kemana Mas Damar, monolog Nisa. Dengan percaya diri Ivana mulai menyanyikan lagu milik Duo Ratu. Dengan luwes wanita yang terlihat begitu mempesona ini sedikit menggoyangkan pinggul, dan dengan sedikit kencang Ivana menyenggol pinggul Nisa membuat netra Nisa membeliak kaget. Tetapi dengan cepat, Nisa dapat menguasai diri, dia ikut bernyanyi menyambung lagu ketika Ivana berhenti bernyanyi. Ivana mengernyitkan dahi, mendengar Nisa bernyanyi dengan suara yang tak kalah merdu dengan suaranya. Dia baru sadar Nisa yang sekarang sepertinya bukan lagi anak manja yang apa-apa nggak bisa. Nisa tersenyum lebar melihat keterkejutan lawannya kini, ia begitu menikmati music yang melantun, dan dengan suara merdu lantunan syair keluar dari mulutnya, hingga di akhir music. Tepuk tangan menggema memberikan aplaus untuk dua orang wanita cantik di atas panggung. Ketika
Sang Surya memberikan rasa hangat pada jiwa yang kini sedang dianugerahi kebahagiaan yang melimpah ruah. Seorang wanita duduk di balkon menghadap hangatnya sinar Surya. Netranya memandang si lelaki di bawah sana yang sedang beramah tamah dengan beberapa orang, mungkin kolega Damar, pikir Nisa. Semua kepedihan yang di rasakan pada masa yang lalu seolah menguap secepat embun pagi menghilang ketika Sang Surya datang menyinari bumi. Pikiran wanita muda ini mengingat masa lalu ketika hatinya begitu terluka karena mengetahui ada perempuan lain di kehidupan Damar. Tetapi lelaki ini tetap teguh mendampinya, bahkan selalu melindungi se-memberontak apapun Nisa saat itu. Nisa menyunggingkan senyum, mengingat dingin dan marahnya wajah Damar ketika Nisa di jerat dengan minuman peningkat gairah waktu itu. Walau lelaki ini terlihat begitu marah tetapi tetap saja dia melindungi Nisa. Bahkan menjaganya dari keterjerumusan pada kubangan dosa. Hingga akhirnya lelaki ini melanggar janjinya pada i
Dua hari ini Damar memberikan semua waktu dan perhatian untuk istri kecilnya. Dua hari ini mereka benar-benar menikmati bulan madu yang indah. Walau, kali ini bukan di tempat special, tetapi rasa yang di dapat sangat special. Nisa duduk di balkon penginapan, di hadapannya terbentang sungai yang mengalirkan air jernih, suara gemericik air menambah syahdu suasana pagi ini. "Mau main air ke bawah nggak? Airnya dingin," ujar Damar. "Nggak, Mas! Dingin banget hawanya," jawab Nisa. "Mau di beri kehangatan?" tanya Damar. "Ishhh ... Kamu, maunya?" Nisa mencebik. "Dan kamu menikmati," Damar berbisik di telinga Nisa. Mencium leher Nisa. Dan Nisa pun diam menikmati. Ponsel Nisa berdering, Chandra menelpon. Nisa segera menjauhkan wajah Damar dari leher Nisa. "Papah telepon, Mas." Damar menjauh tetapi masih terlihat dilayar ponsel. Pemandangan pertama yang Nisa lihat di ponselnya adalah wajah Fatta yang berurai air mata, di pangku oleh Chandra. "Fatta kenapa?" tanya Nisa, khawatir. Damar
Di rumah megah, yang kini semakin hangat, Fina duduk memandang pada dua anak yang sedang bermain. Bayi mungil sudah berubah menjadi bayi gembul, Fatta pun semakin hari semakin besar, adik kaka ini terlihat berceloteh saling berbincang, entah apa yang sedang mereka bicarakan. Para pengasuh sigap ada di sebelah anak asuhnya, mengawasi agar kejadian kemarin tak terulang. Isi kepala Fina berputar, apakah anaknya kelak akan bisa sebahagia anak-anak di hadapannya. Chandra yang ada di sudut ruangan melihat iba pada Fina, hati kecilnya terenyuh mendapati keadaan Fina. Jika saja Fina menjadi istri sholehah, pasti hidupnya tak akan seperti ini. Tapi semua ini mungkin juga karna ada andil dari keadaan Chandra. Jika saja Chandra dapat memberikan nafkah batin dengan baik, mungkin Fina tak melakukan perbuat buruk di belakangnya. Chandra yang tadinya hendak bermain dengan anak Damar mengurungkan niat, ia menemui Darmi. "Mbok, Fina sudah makan?" tanya Chandra. "Sudah Tuan." "Kasih cemilan bergizi
Kaki jenjang Fina melangkah gontai menyusuri koridor Rumah sakit. Hari ini dia di jadwalkan menjalani serangkaian tes. Chandra sudah tak sabar mengetahui anaknya atau bukan yang berada di dalam kandungan Fina. Chandra sudah berada di dalam ruang periksa, sebenarnya Chandra merasa risih di perhatikan oleh para pengunjung, mungkin melihat umur Chandra yang sudah tak muda lagi, dan berada di antara ibu-ibu muda, membuat mereka merasa heran dan memperhatikan dua pasangan yang tak muda lagi ini, mungkin mereka bertanya-tanya siapa yang sedang di periksakan oleh lelaki tua ini. Beruntung Nisa mengantar. "Selamat pagi, Pak, Bu." Si Dokter menyapa. "Silahkan duduk." Dokter cantik mempersilahkan dengan ramah. Dokter cantik ini mengenal siapa Chandra."Pagi, Dok." Chandra menyuruh Fina duduk, dia pun lalu duduk di sebelah Fina. Nisa berdiri di belakang Chandra. "Mbaknya, nggak ada tempat duduk.""Nggak apa-apa, saya berdiri di sini," ujar Nisa. "Pak, boleh saya jelaskan sebelum Bapak menan
Terik matahari menyorot membakar apapun yang ada di muka bumi ini. Siang hari di kota Metropolitan, bersiap saja terkena segala polusi. Polusi udara, polusi suara, polusi cahaya. Sangat kontras dengan hiruk pikuknya kota Jakarta. Sejak keluar dari Rumah Sakit, Fina hanya diam. Netranya menatap pada jalan yang berasap dan berdebu. Wanita ini memikirkan banyak hal. Mulai dari dia harus berubah dan bagaimana dia menjalani kehidupannya pada masa yang akan datang kelak, ketika sudah tak berada di rumah megah Chandra, dan juga mengasuh anak yang dia lahirkan."Pih, mamih pengen itu, Fina menunjuk tukang asongan buah mangga mengkel berwarna kuning." Walaupun sekarang Chandra bukan suaminya, tetapi kebiasaannya meminta sesuatu pada Chandra masih melekat. "Beli yang belum di kupas aja, nanti kita mampir ke Supermaket," ujar Chandra. Fina hanya diam memandang tukang asongan yang melewati mobil di mana Fina berada, terlihat Fina meneguk air liur. Nisa melihat Fina meneguk air liurnya menjadi
Makanan sudah tersaji di atas meja, anggota keluarga sudah berkumpul di meja makan luas ini. Fina terlihat makan dengan lahap, tidak seperti biasanya, wajahnya pun terlihat lebih baik. "Pah, makan yang banyak, biar sehat." Fina mengambilkan udang asam manis ke piring Chandra. Lelaki ini tersenyum cerah, entah terbuat dari apa hati lelaki tua ini, bahkan kesalahan fatal Fina perlahan bisa dia maafkan. Entah sebab iba atau cinta Chandra pada wanita seksi ini. "Buat Mamih, aja. Ini masih banyak," ujar Chandra. Fina beralih pada Fatta, "Fatta ini Oma ambilkan sop, tambah ya, makan yang banyak, biar cepet besar," ujar Fina pada gadis kecil ini. Fatta mengangguk, lalu memakan lahap bakso yang di ambilkan Fina. Fina menatap Nisa dan Damar, melihat wajah Nisa, Fina enggan menyapa, begitu pula wajah Damar yang datar, sejak mereka turun mereka diam seperti ini, tak biasanya, pasti mereka sedang ada masalah, pikir Fina."Mamah, nanti ajarin PR Fatta, ya?" Gadis kecil ini mengajak Nisa berbi
Di gedung Hardiyata, Damar menyugar rambutnya frustasi bayangan Nisa memenuhi isi otaknya. Sudah lama Damar berpuasa, tak berani menyentuh istrinya. Di raihnya gawai lalu di tekan nomor Nisa, Damar menatap ponsel tak berkedip, nampak Nisa menggunakan pakaian haram yang sedang dia coba. "Mah, lagi ngapain? Kok pake pakaian seperti itu?" tanya Damar, jakunnya turun naik melihat penampakan istrinya. "Eh ... Lupa Nisa lagi pake baju beginian," segera Nisa memakai daster yang teronggok di pinggir ranjang. "Nisa lagi nyoba-nyoba, masih muat apa, nggak!" ujar Nisa salah tingkah melihat Damar menatap tak berkedip. Damar terus mengajak Nisa bicara, lelaki ini beranjak dari tempat duduk, meninggalkan kantor, tetapi masih terus berbincamg dengan Nisa. "Mas kamu mau kemana? Kalo sibuk matiin aja, Nisa mau nenenin Agam," ujar Nisa, sudah mengeluarkan aset yang membuat Damar berkhayal kemana-mana. "Ya sudah." Damar mematikan ponsel, lima belas menit kemudian dia sudah berada di depan pintu kama
Bayi mungil sudah berada di box bayi, pengajian di gelar di rumah megah ini. Mengundang anak-anak yatim dari beberapa yayasan. Besok siangnya di rumah mengadakan open house, membagikan sembako gratis untuk warga kurang mampu bekerja sama dengan rt setempat membagikan hadiah atas kebahagian yang sudah keluarga Chandra dapat. Semakin hari kebahagian semakin berpendar di dalam rumah ini, anak-anak yang sehat dan terlihat bahagia. Chandra pun semakin sehat, Fina semakin mendekatkan diri pada sang Maha Pencipta. Karir Damar semakin gemilang dan Nisa semakin memperbaiki diri menjadi orang tua dari tiga anak yang masih sangat membutuhkan kasih sayang. Pagi ini rumah terasa berbeda dari sebelumnya.Oe oe oe ....Huuu ... huuu ... huuu ....Suara nyaring bayi bersahutan dengan suara tangis Nisa. Damar terlihat gelisah dan bingung. Dia mengayun bayi yang sedang menangis kencang. Sudah dua minggu berlalu dari masa Nisa melahirkan, selama itu Damar tak bisa pergi kemanapun. Hari ini Damar mema
Nafas Nisa sudah teratur Damar menatap Nisa, ingin mencium bibir yang sedikit terbuka, tetapi di urungkan, dia tak ingin mengganggu istri kecilnya. Lelaki ini menuju ruang kantor, menyelesaikan tugas kantor dari rumah. Roni pun siaga menghandle pekerjaan Damar. Memang Roni merupakan tangan kanan yang tak diragukan lagi kesetiaannya sejak di bawah naungan Chandra, hingga kini Damar yang menguasai pun Roni masih terus setia. Setelah menyelesaikan pekerjaan lelaki ini menuju ruang makan, ternyata Nisa sudah duduk di sana, menunggu anggota keluarga yang lain datang ke meja makan untuk makan siang. "Sudah bangun?" sapa Damar. Nisa mengangguk. "Mau langsung makan, Mas?" tanya Nisa."Nanti tunggu, Papah," jawab Damar. "Makan lah dulu, tak usah menunggu kalau lama." Suara Chandra menyahut, lalu duduk di tempat biasa lelaki tua ini duduk. "Mamih mana, Pah?" tanya Nisa. "Lagi rewel Alika, nanti papah bawakan makanan ke kamar saja. Ayo di makan." Chandra mempersilahkan anak-anaknya makan.
Nisa menatap kamar bayi bernuansa biru laut. Menurut prediksi dokter, bayi dalam kandungan Nisa adalah bayi laki-laki. Semua barang yang Nisa beli untuk calon bayinya berwarna biru, orens, hijau, sebisa mungkin dia hindari warna pink. Nisa duduk di pinggir ranjang melipat pakaian kecil, sesekali mencium, seolah dia sudah begitu rindu pada bayi yang sudah sekian lama di nanti. Damar mengamati gerik Nisa dari ambang pintu, lelaki ini menyandar di daun pintu, sambil melipat tangan. Bibirnya tersenyum senang melihat Nisa bahagia. "Masih ada yang kurang, Mah?" tanya Damar, membuat Nisa terjingkat tak mengira Damar menyapa. "Mas ... bikin kaget," ujar Nisa mengerucutkan bibir. Damar menghampiri Nisa, menarik bangku kecil lalu menaikkan kaki Nisa di atas bangku kecil. "Kakinya bengkak banget, sakit nggak?" tanya Damar. "Kalo berdiri lama sakit, kamu nggak kenapa-kenapa cuti kerja lama, Mas?" tanya Nisa, "Yang mau lahiran kan Nisa kok yang cuti kerja kamu?" tanya Nisa penasaran la
Waktu kian berjalan, mengiringi kebahagiaan Nisa dan Damar. Semakin hari cinta mereka semakin bersemi. Pagi ini Nisa berada di balkon duduk di kursi goyang menghadap taman di bawah kamarnya, tangannya mengelus perut yang semakin membuncit.Terdengar pintu terbuka, Damar menghampiri Nisa lalu berjongkok di hadapan wanita cantik ini. Lelaki ini terlihat berkeringat, tubuhnya berbalut kaos tanpa lengan terlihat otot tangannya menyembul, menandakan kekuatan tubuhnya. Tanpa aba-aba lelaki atletis ini mencium pipi Nisa. "Udah mandi belum?" tanya Damar, menyeka keringat di dahi, dengan anduk kecil yang terlampir di leher.Nisa menggeleng. "Nanti aja, Nisa mode males. Kok udahan olah raganya?" tanya Nisa. "Udah." Damar bangun dari jongkok, langsung mengangkat tubuh Nisa memggendong seraya berjalan ke arah kamar mandi. "Kamu masih keringetan, nanti dulu mandinya," ujar Nisa, menyentuh leher Damar menyeka keringat yang masih tersisa. Langkah Damar terhenti, beralih menuju ranjang. "Duduk du
Nisa menggendong Attala karna batita ini merajuk minta di gendong, Nisa mengendong lalu mencium batita ini, menyalurkan kasih sayang, menunjukkan bahwa kasih sayangnya kepada Attala tidak akan berkurang, walau ada bayi lain hadir di rumah ini. Attala tertawa terbahak karna Nisa memborbardir dengan ciuman bertubi. "Dedek Atta ngiri sama dedek bayi?" tanya Nisa. Bola mata bulat mengerjap mencerna ucapan Nisa. "Bener kan Atta ngiri, nggak boleh ngiri, Mamah, Opa, Oma tetep sayang sama kamu, ya!! Attala juga harus sayang sama dedek bayi oke!!" ujar Nisa mengajarkan Attala, anak lelaki Damar dan Kirana. Attala tersenyum melihat raut wajah Nisa, bayi satu tahun ini kembali terbahak karna di serang ciuman oleh Nisa. Damar baru saja pulang dari kantor, bibirnya tersenyum bahagia melihat Nisa dan seluruh keluarga menyayangi kedua putra putrinya. Melihat Damar pulang Nisa segera menyambut suaminya, memberinya sesajen khas suami baru pulang kerja. lelaki ini memandang bayi dalam ayunan, mem
Mentari memberi kehangatan pada penduduk bumi. Nisa menghampiri Damar yang sedang bercermin, wanita muda ini mengambil krim penghilang kemerahan di wajah Damar akibat gigitan semut semalam. "Mas, maafin Nisa ya!" ujar Nisa dengan wajah menggemaskan, tangannya lincah membubuhi krim di wajah suaminya. Damar mengangguk. "Buat Mamah cantik, sama calon dedek bayi apa sih yang nggak," ujar Damar tulus, tangannya mengelus perut Nisa yang sudah sedikit menonjol. Nisa merangkulkan tangan di leher Damar, mencium lembut bibir suaminya. "Makasih ya, Mas, dedek bayinya seneng banget." Setelah mencium Damar Nisa menarik tangan lelaki atletis ini keluar kamar. Karna tangan lelakinya sudah semakin menggerayang ke tempat lain.Damar merangkul pinggang Nisa erat, berjalan turun ke bawah, sampai di bawah Nisa langsung menuju kulkas hendak mengambil buah yang suaminya petik semalam. Beberapa pintu kulkas sudah Nisa buka tetapi barang yang dia cari tak ada. "Mbak, tempat ungu di sini liat nggak?" tany
Indahnya dunia membuat banyak orang terlena. Sisi gelap dunia lebih mendominasi menampilkan kesempurnaan, keindahan juga kebahagiaan. Keindahan dunia hanyalah fatamorgana kebahagaian, daya tarik agar manusia lalai pada kebenaran dan jalan Tuhan. Tetapi bagi mereka yang mendapatkan keindahan dunia dan menggunakan dengan baik, untuk kebaikan diri dan orang lain, maka mereka mendapatkan kebaikan dari apa yang dia miliki dan menjadi bekal kehidupan abadi kelak. Damar lelaki penyayang ini duduk di bangku kebesarannya mendengarkan Roni menyampaikan pencapaian-pencapaian semua bisnis yang sekarang dalam genggaman. Semua usaha yang awalnya di niatkan untuk membantu masyarakat nyatanya menghasilkan rupiah di luar ekspektasi. Wajah cerah, senyum menawan terukir di bibir Damar, begitu pun Roni tak henti menjelaskan apa yang harus dia jelaskan dan paparkan. "Makasih Ron, sudah membersamai saya selama ini, saya harap apa yang kita kerjakan bisa memberikan kebaikan untuk orang lain terutama unt
"Duduk dulu, Bu," ujar Damar, di buat sesantai mungkin. Melihat tak ada reaksi apapun dari Damar membuat Ivana makin meradang. "Pak Damar nggak cemburu liat istrinya di peluk lelaki lain?" tanya Ivana berapi-api. Damar mencoba tersenyum senatural mungkin. "Nanti bisa saya tanyakan ke istri saya, Bu. Jadi Bu Ivana tak usah repot-repot, menunjukkan hal seperti ini kepada saya, lain kali."Mendengar penuturan Damar, Ivana mengepalkan telapak tangan kencang, hingga kuku menancap pada telapak tangan. "Oke, kalo foto ini memang nggak berpengaruh," ujar Ivana, "Permisi. Sekarnag pasti lelaki ini sedang ada di rumah Pak Damar." Ivana bangkit dari duduk lekas meninggalkan kantor. Setelah Ivana pergi Damar memanggil Roni berbincang, lalu dia meninggalkan kantor. Dengan Cepat Damar menaiki mobil tanpa supir. Klakson berbunyi nyaring di depan pintu pagar yang menjulang tinggi, dengan cepat Rudi membuka pagar. Hati Damar sedikit terbakar tadi, tapi sebisa mungkin dia harus bisa meredam segal