Pak Tamin juga ikut keluar dari dalam mobil, lalu berjalan dan berdiri mendekat ke arah rumah."Pak Oppa? Kenapa?" tanyaku tak percaya jika ia benar-benar akan pulang bareng aku. "Kenapa apanya?" balasnya dengan balik bertanya. "Bapak seriusan nih, mau kita pulangnya bareng?" "Huuf … saya sebenarnya gak mau. Ngeri sendiri pulang barengan kamu. Tapi mau gimana lagi, Oma paksa saya terus. Yaudah, biar Oma senang, saya yang ngalah!" "Itu beneran Oma yang suruh? Nggak bohong, kan?""Memalukan sekali jika saya harus berbohong untuk masalah seperti ini, Nona Firda! Oma suruh saya karena mengkhawatirkan kamu, apalagi dengan kondisi tangan seperti itu!" tunjuknya dengan bibir yang dimajukan ke arah tanganku. "Terus, Bapak kok bisa tau jadwal keberangkatan saya?""Ooh … itu … ah, itu soal gampang. Barang kamu ini semua?" tanyanya tak melanjutkan jawaban atas pertanyaanku, malah balik bertanya setelah melihat dua koper dan satu tas kecil di bawah kakiku. "Ya, Pak!"Pak Tamin tanpa disuruh
"Ya enggak lah, Pak. Masa' iya saya pulang kampung mau jual lemang! Aneh-aneh aja pertinyiinnyi.""Oh, iya ... eemmm ... maksud saya ... eemm ... Maksudnya bukan saya yang nanya. Tadi saya hanya disuruh Oma, buat nanyain kamu sudah sampai mana."Oma lagi, Oma lagi. "Oma baik ya, Pak! Perhatian. Nanyain saya terus. Entar kalau saya sudah sampai, saya kabarin Bapak, deh.""Oke, kabarin saya segera, biar saya nggak mikir yang aneh-aneh!""Bapak yang mikirnya aneh-aneh atau Oma, sih?""Oma, Nona Firda! Oke, saya matiin. Kamu ... hati-hati."Klik. Aneh! Satu hari ini Alex an-neh! Oma juga, nggak mungkin nanyain terus sampai segitunya. "Saudara Oma juga banyak di Medan. Dulu, cucu juga tinggal di Siantar, Ling Ling dan Alex kuadrat, kalau Alex ini dari kecil sudah di Medan." Ling Ling dan Alex kuadrat? Aku tiba-tiba kepikiran atas ucapan Oma. Alex kuadrat dan Ling Ling di Siantar. Itu artinya Alex ku, si Ultramen zero. Kalau Alex ini sudah dari kecil di Medan ... itu berarti ... Alex
"Ayah sama Ibu pigi salat dulu ya, Ying. Makan ko dulu ya, Nak. Ibu masak belacan tadi. Ayo Pak, ceritanya nanti saja, salat dulu!" Entah Ibu paham atau tidak akan tatapanku kepadanya. Tapi saat ini, ia menyelamatkan ku dari rasa huru hara di hati. "Ko bantu bawak masuk koper kakakmu ini Nan! Pigi dulu kami ya! Assalamu'alaikum," perintah Ayah kepada Nanda lalu segera berpamitan. "Waalaikumsalam," jawabku dan Nanda berbarengan. Nanda membantu membawa barang-barang bawaanku ke dalam rumah. Selama tiga tahun menikah, baru sekali aku pulang kampung. Itupun hanya seminggu di sini, karena Mas Bima nggak betah, dan kini aku kembali pulang untuk yang kedua kalinya dalam keadaan aku sudah menjadi janda. Tak banyak yang berubah dari rumah masa kecilku ini. Hanya warna cat dindingnya saja yang berubah-ubah setiap tahunnya. Di bawah sudut tangga, masih terlihat meja makan antik dari kayu jati. Keadaannya masih saja awet hingga saat ini. Lima belas tahun sudah meja itu bersemayam di sini. "
Aku cekikian sendiri, dengan menjauhkan gawai dari wajah. Kenapa sekarang aku jadi terlalu suka ngelanturin ucapan dengan bos tamvanku ini, ya? Kayak ada manis-manisnya gitu. Ulu uluu. Pliss, Fir. Walau saat ini kamu masih dilema dia Alex-mu atau bukan, tetap saja kamu harus menjaga sikap. Ucap sisi baik pada diri sendiri. Nggak, Fir! Dia pasti Alex dari masa kecilmu. Mana mungkin dia bisa begitu nyaman dan blak-blakan, jika bukan Alex-mu. Ucap sisi nakal pada diri ini. Stop, jangan bertengkar. "Ck, Firda ... kamu ... aah, yasudah saya senang jika kamu dalam keadaan baik-baik saja, dan ingat, cuti hanya seminggu dipotong dua hari."Aku jadi kepikiran permintaan Lin-Lin, ketika pak Oppa mengingatkan kembali masa cutiku. Apa boleh minta tambahan waktu? Coba aja deh, dia pasti kasihan terus dikasih. Kalau enggak dikasih, akan ku ungkit jasa pukulku sewaktu kecil padanya. "Paaaak, saya mau instrupsi!""Eemm," jawabnya malas-malasan. "Bisa nam-bah cutinya?""Tambahan cuti? Perjanjian
Sepertinya Ibu sudah mulai mencium bau-bau ketidakberesan. Di meja makan aku sudah terlihat mencurigakan, ditanya malah balik bertanya. Luka yang ada di tangan, hingga mendadak datang dan itu pun sendirian. Padahal sudah lama aku dan Mas Bima tak pulang. "Nggak ada loh, Bu! Mas Bima belum dapat cuti, kalo Firda udah sama si Ultramen Gentong," jelasku takut-takut. "Ultramen Gentong? Apa itu?" Aman, tak menyangka jika Ibu malah membahas si Oppa gangnam style. "Ibu lupa? Itu loh, anaknya Babah Along, yang rumahnya dulu dekat parak-parak (semak,red) di ujung kede. Ternyata anaknya itu, bos Firda di Jakarta, Bu! Semalam, pulangnya ya sama dia jugak!" ocehku dengan bersemangat. Si Alek-Alek yang tukang nanges itu? Yang kalok udah nanges ngadu kemari ama si Lin-Lin." Ibu mengingat masa lalu sambil matanya menerawang ke langit-langit kamar. "Haaaag ... iya ... itu ... Firda aja nggak nyangka, kalok dia yang bisa gantiin bos Firda yang pertama, Bu!" jelasku semakin bersemangat, agar Ibu
Ibu melihatku sekilas, lalu kembali menyusun piring bersih ke dalam rak piring. Kulihat Wak Emi juga sedang melirikku dari meja makan. Tangannya penuh dengan bumbu arsik, sedangkan piringnya penuh dengan tulang-belulang ikan. Kelihatannya ia baru saja menandaskan nasi ibuku satu panci. "Fiir," sapanya sambil menjilati tangan. "Halo, Wak!" jawabku malas. "Kapan datang?" Basa basinya"Semalam, Wak!" Aku menjawab sekedarnya saja. Malas jika harus menjawab berjilid jilid, bakalan bisa nginap dia di sini. "Iih, kenapa matamu? Kok bisa bengkak gitu?"Nah, kan tengoklah. Agoi amang. "Dicium kecoak." Kudekati Ibu, lalu memeluknya dari belakang. Ia sedikit terlonjak karena tak menyangka akan mendapat pelukan tiba-tiba dariku. "Iiih, apanya kau! Basah belakang ibu, keringatan!" ujar ibuku sambil menggeliat risih, karena memang belakang bajunya basah. "Wangi kali pulak, jadi lapar awak. Eemmm ... Wanginya aja udah kayak gini, cemana lagi rasanya ... maknyooos ..." kataku memuji masakan I
Pergi menjauh, lah! Tinggalkan orang macam itu. Tak pala ko balas, cukup pigi! Capek-capek-in badan aja terus berurusan sama orang kayak gitu!" sahut Ayah bersemangat, dengan memberi saran yang terdengar tegas. Baiklah, Tarik napas ... buang. Huff ... oke Fir, lanjutkan! "Jadi ... kalok permasalahannya juga berlaku sama pasangan suami istri, bagusan menjauh juga, Yah?""Tergantung, masih bisa diselamatkan ato gak!" "Kalo nggak bisa lagi, Yah?" tanyaku antusias sekali. "Ya, lepaskan. Mau rupanya terus berjalan di dalam ruang gelap yang gak ada cahaya? Bisa sih bisa, Nak ... tapi capek lah! Kalo Ayah, gak pala mau lah capek-capek. Tinggalkan ruang gelap itu, cari cahayanya. Jadi, kita mo gerak kemanapun nggak susah lagi. Cocok ko rasa, Ying?" Ayah membiarkanku untuk berfikir sejenak atas apa yang sedang dijabarkannya. Masuk akal memang, dan itu membuatku sedikit lega. Tapi dalam kasus rumah tanggaku, aku takut yang paling tersakiti adalah Ayah dan ibuku. "Bahas siapanya kau ini?"
Lumpur di kaki tak menggangguku ketika berjalan santai di pajak (pasar) Parluasan yang begitu kurindukan. Ibu berjalan di depan dengan Nanda, sedangkan aku mengekor di belakang mereka. Tangan mereka sudah penuh dengan tintingan belanjaan, sedangkan aku dibiarkan melenggang tanpa beban. Beban hidupku sudah banyak, jadi nggak perlu diberi beban dulu, begitu ucap ibuku tadi. "Maree ... dipeleh-dipeleh, yang sayang anak ya, Kak, yang sayang anak, yang sayang anaaaaak. Maree dipeleh-dipeleh.""Jeroknya ya mamak ku. Jeroknya. Jamin manis. Pantang asam. Kalo asam bukan punyaku. Sappoloh rebo-sappoloh rebo.""A ... paaa sama mu, Kak. A ... pa sama mooo. Kau mo aku, bawaak, mau barangku juga boleh. Yang mana samamu, Kak. yang mana samamu, Mak."Suara pedagang saling sahut-sahutan menjadi daya tarik di pajak Ini. Berebut pembeli dengan ciri khas masing-masing. Aku kadang tertawa sendiri jika mereka sudah menyerang dengan jeritan membahananya. Di salah satu tempat, aku melihat dua orang anak
Gimana? Gimana? Udah lebam belom, Oppa?" Masih mau membrendelku dengan candaan mematikan? Sook. Hayyuk. Aku jabanin. Pintu terbuka. Lin Lin tampak berjalan sembari mengelus perut ratanya. Di tunggu dari tadi, nggak dateng-dateng. Masih asyik terapi sepupunya, dia malah nongol. Nggak seru kalau ada mata lain yang melihat. "Hallo. We kalamaan, ya? Bersihin perut ampe cling tadi, jadi lama. Oia, gimana kalau kita makan siang bareng sambil bahas ini di kantin, Kakak-kakak!" ajaknya masih berdiri di samping sofa memperhatikan kami berdua secara bergantian. "Maaf, Lin. Sepertinya perut Kakak udah nggak sanggup dimasukin makanan lagi," balasku berusaha tenang dengan ikut mengelus perut seperti Lin Lin tadi. "Loh, kenapa? Bukannya belum makan siang ya, Kak?" Dia berjalan dan duduk di tangan sofa di sebelah sepupunya. "Kenyang minum ini," tunjukku pada gelas milk shake. "Minum gituan aja masak kenyang sih, Kak?" protes Lin Lin tak percaya. Memang sih, aku berkata kenyang karena ada satu
Garis lengkungan tertarik di bibirku. Sebuah balasan akhirnya masuk. Sebuah stiker. Aku cepat mengunduh stiker itu. 'Percuma dihapus, malaikat sudah mencatatnya'Hah? Hahahaha. Aku tertawa keras membaca balasan lucu darinya. Benar kan! Ia selalu dapat membuatku mati gaya dalam segala hal yang kulakukan. Baik itu disengaja maupun tak disengaja, dan itu lah yang membuatku selalu merindui kekonyolannya. Tak ingin kalah, aku kembali membalas pesan darinya. Sebuah stiker balasan ku kirim. 'Aku read aja biar kamu sakit hati'Tak berselang lama ia terlihat mengetik sesuatu. Aku menunggu dengan harap, kekonyolan apa lagi yang akan membuatku tertawa oleh tingkahnya. [Share lokasi, ribut kita.]Buahahahahaha. Ya Allah. Katanya ia mau cari ribut? Buahahahahaha. Tuhan ... sesenang ini aku menerima pesan darinya yang ngajak ribut. Jangankan ribut, Nona. Tawuran pun aku mau, asal bersama kamu. Hahaha. Selucu inikah rasanya jatuh cinta? Poying ... ah ... utung saja kamu jauh di sana, Nona. Jika
"Koko nggak keren loh, Kak. Buncit! Lagian ... wajahnya kurang menjual kalau di photo. Hahahaha." Lin Lin mengibaskan tangannya di udara dan malah tertawa ngakak karena sudah menghina koko-nya sendiri. Dasar! "Sama! We juga buncit!" balasku membusungkan perut yang six-pack. Kacau! Walau sudah digembungkan, tetap saja ia tak mau membuncit sempurna seperti miliknya Alex. Shit! "Nggak usah dipaksain. Nggak bakalan sama. We udah kroscek. Hahaha." Lin Lin menekan-nekan perutku dengan jari telunjuknya sembari tertawa lucu. Entah apa yang lucu di sana. "Terserah deh ... siapa yang mau Kakak jadiin pasangan. We nggak paksa dari agen we. Yang penting Kakak mau aja. Ya ya ya," sambungnya kembali dan terus saja membujukku. Lin Lin merampas kotak susu yang ada di tangan, karena aku berniat akan menuangkannya lagi ke dalam gelas. Ia menuangkan susu itu ke dalam gelas yang sudah aku gunakan karena terlalu malas untuk mengambil gelasnya sendiri. Huh, untung saja ia sepupu sendiri. Jika tidak, gel
"Ayo yooo ... siapa yang mau ngelamar siapa niiih?"Aku kaget dan menoleh ke sumber suara. Lin Lin? Kapan dia datang? Kenapa aku tak mendengar dia masuk ke ruangan ini? Perempuan berkulit putih dan bersih itu berjalan anggun mendekati sofa yang kami duduki. Sederhana namun terlihat berkelas. Baju kemeja yang dimasukkan ke dalam celana kembang dengan sepatu bertumit. Rambutnya digulung seperti gulungan siput. Wanita ini begitu berkelas. "Alo kak Poyiiing. Pa kabar, Luuu?"Lin Lin semakin mendekat. Aku yang masih ngebug hanya duduk saja di sofa. Pantatku juga ikutan ngebug. Dia lengket tak mau berpindah, padahal Lin Lin sudah di hadapan dengan membuka tangannya untuk memelukku. Namun aku tak juga berdiri untuk menyambut wanita cantik itu. Lin Lin mengalah, ia gegas menjatuhkan bobot tubuhnya di sampingku yang masih menatapnya dalam diam. "Kangen deh ama kak Poying." Akhirnya ia yang duluan memelukku dalam duduk. Lin Lin juga mengelus punggung. Seperti tersadar, aku pun baru membalas
Jadi pasangan? Aku? Maksudnya? Sebentar ... sebentar. Ngebug—ngebleng—ngelag. Semua itu ada padaku gegara ucapan yang keluar dari mulut si ultrasound, prodak luar ini. Tugas dari Tuhan saja, kadang aku lalai. Laah, sekarang malah makhluk-Nya yang menambah-nambahi tugas, MIKIR KERAS! Tok tok tok! Suara ketukan di pintu kaca menyelamatkan diri sesaat dari pikiran berat. "Masuk," jawab Oppa mengalihkan pandangnya dari diriku. Pintu kaca itu bergerak pelan. Seseorang masuk, dan aku lihat itu adalah Jessica. "Maaf, Pak. Ini ...." Perkataan Jessica menggantung dan langkahnya mendadak terhenti. Ia mematung masih di dekat pintu. Wanita cantik itu memperhatikan kami berdua secara bergantian. "Emm maaf, jika saya datang pada saat yang tidak tepat. Saya bisa datang lagi nanti, Pak," lanjutnya kemudian setelah diam beberapa detik. Sekretaris Oppa itu gegas memutar badannya hendak berlalu menuju pintu kembali, namun langkahnya lagi-lagi terhenti karena pria di depanku ini cepat menyapanya. "
"Buat apa kamu minta dia untuk tetap tinggal lagi di sini sih, Bim. Aneh kamu tuh! Biar aja dong dia pindah, kamu mau ibu sama mbak-mu dijadikannya babu terus di rumah kita sendiri? Udah ... cepetan diselesaikan sidang kalian, bener katanya kamu nggak usah datang, biar urusannya cepat kelar! Siap itu kamu bisa bebas, segera menikah dengan Susi.""Bener! Jauh Susi kemana-mana lah, Bim, dari kan perempuan ini! Kamu liat kan! Lelaki yang dikenalkan Susi sama Mbak! Nggak main-main," celetuk Mbak Yana menimpali ucapan ibunya. . . . "Aamiin, Mbak. Ibu do'ain semoga semuanya lancar, selancar jalan tol, bebas hambatan. Asal nggak nyungsep gegara licin. Hehehe," timpal bu Asih yang membawaku kembali dari ingatan seminggu yang lalu bersama mantan suami dan keluarganya. Kami terus bercanda di teras rumah, hingga hampir memasuki waktu azan magrib. Kami berempat gegas masuk ke dalam rumah. Aku berniat menutup pagar besi namun dari kejauhan aku melihat sesosok lelaki berkaca mata hitam dan ber
"Mana sisa uang gaji, Bima, Fir?" Ibu mas Bima seketika menodong ku ketika baru saja aku membawa tubuh ini keluar dari dalam kamar, setelah selesai salat subuh. "Ya, ampun. Masih pagi juga, Bu. Uang-uang aja sih yang di pikirin!" desis ku kesal pada wanita paruh baya di depan ku ini. "Suka-suka saya dong! Duit-duit saya.""Oh, suka-suka ibu, ya! Oke, sekarang saya pun mau suka-suka. Enyah dari rumah kontrakan ini. Angkatin semua barang-barang itu. Sekarang!"Bu Marni terpaku dan terdiam di tempatnya. Dia hanya melengos dan segera berlalu dari hadapanku. Cemen. Aku tak jadi keluar. Segera masuk lagi ke dalam kamar dan gegas menelepon orang yang akan membantu kami untuk pindahan. "Bang, sekarang bisa? Eneg aku udah di sini, Bang!" "Oke, Siap-siap aja-nya aku, Kak. Dua orang ku bawak kan?""Iya, bawak aja berapa yang ada pasukan Abang! Gampang itu, yang penting ongkang-ongkang kaki aja kami lagi. Terima bersih," pintaku pada bang Turnip. Selain menerima jual beli barang seken, ternya
"Tante Firda, itu mamanya Dini, kan?" Tiba-tiba Rara berkata sambil menunjuk seseorang di depan kami. Aku mengikuti arah telunjuk gadis kecil itu. Dan benar saja dari kejauhan aku melihat mbak Yana sedang bergandengan mesra dengan seorang lelaki tua yang cocok dipanggil kakek oleh anaknya. "Iya, Dek. Itu mamanya Dini," sambung Rahmat membenarkan ucapan adiknya. "Itu bukan papanya Dini kan, Tan?" kata Rahmat lagi kepadaku. Aku hanya berpandangan sesaat dengan bu Asih. Kemudian mengajak mereka terus saja berjalan tanpa memperdulikan wanita yang sudah berbelok masuk ke dalam gerai pakaian dalam itu. Mbak Yana dengan lelaki tua, sedangkan kemarin suaminya ada affair dengan wanita tua. Ck. Dini, please jangan copas kehidupan mama dan papa kamu ya. Batinku miris. Aku selesai makan. Pilihan kami jatuh pada gerai K*C. Semua menu yang disukai anak-anak ku pesan. Foya-foya sedikit tak apalah, mana tahu besok-besok oppa berkenan memberikan uangnya lagi dengan cuma-cuma buat anak-anak ini. H
Kursi yang sedang ku putar-putar ter-jungkang ke belakang karena keseimbangan ku goyah. Tak sampai disitu, map yang berada di atas meja ikutan jatuh dan menimpuk dahi, hingga ku lihat beribu bintang di kepala Arimbi yang menatap datar kepadaku. Aji gile. Serasa bumi tak berputar selama 5 detik. Hahahaha. Suara tawa menyusul dari berbagai penjuru mata angin. Suara insiden barusan mampu menghipnotis panca indra mereka untuk menyaksikan keadaanku yang menyedihkan ini. Syalan. Malunya saat ini pasti bakalan selalu teringat pas p*p, dan skincare-an. "Petakilan!" ucap Arimbi tanpa berniat membantuku. Padahal terjadinya kecelakaan beruntun ini, diakibatkan telingaku menangkap sebait kalimat pamungkas dari mulut mbak bestie. Sakit.Aku mencoba berdiri tanpa bantuan. Begitu melihat teman-teman yang masih terbahak menertawai keberuntunganku barusan, aku pun ikatan ngakak sambil melengos. Kedua tangan saling mengusap bokong dan dahiku secara bersamaan. Aku kembali teringat perkataan mbak best