Pagi ini aku dan Arimbi bangun kesiangan. Itu dikarenakan Arimbi yang melarangku untuk tidur setelah sidang terbuka di akhiri dan masih saja menuntut penjelasan tentang Oppa. Waktu masuk kantor hanya tersisa tiga puluh menit lagi. Alhasil, kami harus berbagi kamar mandi. Begitu selesai berdandan aroma masakan menguar dari balik dapurku. Tak berniat sarapan di rumah, namun aroma ini membuat aku dan Arimbi harus memutar langkah untuk mendatangi sumbernya. "Maaf, Mbak! Saya lancang pakai dapurnya," ujar bu Asih malu-malu. Di lantai dapur sudah terhidang bihun goreng lengkap dengan perintilannya. Masakan yang sama, namun harum aromanya begitu berbeda. Tajam merata sampai tembus ke dalam usus. Hehe. "Nggak papa, Bu! Kami malah senang," imbuh Arimbi sembari meraih piring kosong yang sudah tersedia di samping bihun goreng tersebut. Padahal ia belum di tawari makan oleh si empu yang masak. "Siapa yang suruh lu ambil tu makanan?" cecarku dengan merampas piring yang sudah penuh di tangannya
"Gue jadi curiga, Cuk! Suara pluitnya lebih halus. lebih berkelas gitu," celoteh Arimbi lagi. Priiiiit ... Sekonyong-konyong, dua orang polisi tampan yang berada pada trafik line di seberang kami, menyambut dan memberhentikan laju kendaraan setelah motor meninggalkan perempatan trafik line di belakang. Gawat. Abdi negara! Arimbi gegas menghentikan laju motornya. Kecurigaanku mengkrucut. Pasti kami telah membuat kesalahan. "Selamat pagi, Mbak-mbak!" sapa Pak polisi yang satu dengan senyum ramah dan tak ketinggalan—senyum manis tanpa sari gula— begitu Arimbi dan aku menaikkan kaca helem. "Selamat pagi, Bapak ... ada yang bisa kami bantai? Eh, bantu maksudnya!" jawab Arimbi terbata-bata, hingga salah berucap. Polisi tampan itu pun seketika mengulas senyum. "Bisa tunjukan surat-surat nya, Mbak?" kata polisi itu yang ditujukan pada Arimbi. "Boleh, Pak!" jawab bestie ku itu lagi. Arimbi meraih tas bahu yang dicantolkannya di depan motor. Cepat ia mengeluarkan beberapa kertas berbaga
Mbak Yana dan ibunya sedikit mundur ke belakang, karena suara yang aku keluarkan memang benar-benar diluar kendaliku. Setelah kejadian malam tadi, hari ini pun mereka masih bisa menampakkan wajah tak tahu malunya dan berani memijakkan kaki di lantai rumahku. Sebenarnya manusia jenis apa sih mereka ini. Jenis amuba atau jenis purba. Tapi aku rasa pun, kelompok amuba dan manusia purba tak kan rela jika kedua manusia ini digolongkan ke dalam jenis mereka. Malu-maluin nenek moyang. Aku rasa pun nabi Adam tak ingin manusia-manusia seperti mereka ini disebut keturunan anak cucu Adam. Selain mampu zalim ke orang lain, bahkan tak ada perasaan takut ketika bibir mengikrarkan sumpah palsu. "Untuk sementara kami akan tinggal di sini, sampai surat cerai tiba ke tangan kamu, Fir!" Mas Bima tiba-tiba keluar dari dalam rumahku dan menjawab pertanyaan yang ku ajukan buat ibu dan kakaknya tanpa merasa kikuk. Aku mundur dua langkah kebelakang karena sedikit kaget melihat lelaki ini keluar dari dal
"Mbak, maafin saya, ya. Saya tadi sedang menyapu halaman, eeh, mereka nyelonong masuk sambil bawain barang-barang dari rumah yang sana. Saya sudah mencoba melarang, tapi Mas nya malah ingin memukul Rahmat, saya takut," jelas bu Asih dengan apa yang terjadi tadi. "Astagfirullah, Mas Bima mau memukul Rahmat? Keterlaluan. Maaf ya, Bu. Karena kisruh rumah tangga saya, anak-anak ibu jadi korbannya," ucapku menyesalkan atas tindakan Mas Bima. Aku berpaling menatap keluarga itu yang sudah sibuk lagi mengangkati barang-barang mereka yang masih tersisa di dalam rumahnya. Lihat saja kau Mas Bima. Sebentar lagi kalian akan melihat hasil dari perbuatan kalian pada anak-anak yatim ini. "Yaudah yuk, kita masuk aja. Nggak usah membahas benalu lagi. Nih, kasihan dianggurin," ucap dan ajak Arimbi sembari memperlihatkan kantungan plastik berisi martabak telur. Kami berlima masuk ke dalam rumah, langsung menuju dapur. Aku gegas membersihkan tangan dan kaki terlebih dahulu, begitu juga dengan Arimbi.
Entah mengapa, mataku ingin menjelajah Mas Bima, dan ternyata mantanku itu juga sedang memandang ke arahku seraya berkacak pinggang. Peluh yang mengaliri dahi tak dihiraukannya hingga hampir memasuki mata. Namun sejurus kemudian ia sadar dan membuang peluh itu dengan sangat kasar dan sedikit mendecak. An-neh. "Nona?" tanya dan celetuknya setelah mendengar panggilan bos besar buatku. Dengan masih berkacak pinggang, ia kembali menautkan tatapannya ke arah Pak Oppa dari atas ke bawah dan kembali lagi ke atas, lalu membuang jauh pandangannya ke samping dan berdecak. Oh ho. Jeb ajeb kayaknya tuh. Pa-nas! "Eh eh, sampai lupa disuruh masuk. Masuk dulu, Pak bos! Fir, masa' tamu penting dianggurin diluar sih. Selain banyak mata-mata jahil, apa lu nggak kecium bau-bau daging kebakar? Kebakar api—api cerumbu! Ya ... ya, api cerumbu! Ups." Tak perlu lulusan luar negeri, lulusan luar dalam seperti Arimbi pun tak perlu aba-aba untuk hal-hal absurd seperti ini. Ia langsung tanggap dan lihai dalam
Ucapan Arimbi disambut gelak tawa kami semua. Eh tidak ding, Mas Bima nggak ikutan. Karpet bulu tak bisa menampung kami semua. Aku lebih memilih duduk di lantai tak berkarpet. "Bu Asih, saya kemari mau ajak bu Asih dan anak-anak ke rumah. Oma pengen kenalan." Pak oppa memulai bicara serius dengan bu Asih. "Ke rumah Bapak? Kapan, Pak, Bos?" balas bu Asih begitu pelan dan menunduk. "Kalau bisa sekarang, ayo. Pun kalau memang mau, Oma bilang biar tinggal saja di rumah kami. Sekalian menemani beliau di sana. Nanti anak-anak juga bisa sekolah dari rumah saya," ajak Pak Oppa bersungguh-sungguh. Bu Asih seketika mengarahkan pandangannya kepadaku. Aku hanya mengangguk berkali-kali dengan senyum bahagia. Ternyata Pak Oppa sejauh ini berpikir buat anak-anak yatim ini. Terima kasih ya Allah, tampannya nggak sia-sia. "Assalamu'alaikum!""Waalaikumsalam," jawab kami kaget dengan salam yang tegas. Mbak Yana nggak menyerah. Dalam sekejab ia sudah hadir kembali diantara kami semua. Amazing. Mb
Setelahnya aku meninggalkan mereka semua yang masih mengitari Pak Tamin. Gegas ke kamar untuk mengambil baju salinan yang bersih. Selanjutnya menuju kamar mandi. Mencuci wajah lalu melakukan ritual 315. ByarByurByarTiga guyuran air dari gayung. Lanjut satu sapuan sabun cair ke seluruh area terpencil dan .... ByarByurByarByurByarLima guyuran tanpa jeda lagi ke seluruh tubuh, hingga semua sabun dan daki rontok tak berbekas. Segar, walaupun hanya mandi ekspres. Aku gegas menyalin pakaian di kamar mandi ini dan ... selesai. Dengan langkah setengah berlari aku menuju kamar. Ditungguin itu nggak enak, saudara-saudara. Kayak dihimpit utang. "Pssst, pssst. Swit swiiit. Kirain ... supirnya doang yang kenal, ternyata eh ternyata, sak Omanya pun udah kirim-kirim salam. Entah jangan-jangan ... udah ketemuan juga ama mami en papinya. Emmm." Arimbi tiba-tiba muncul dari balik pintu kamar yang emang tak kukunci. Dengan gaya masygul, ia naik ke atas pembaringan dan mulai tengkurap di sana
"Fir, biaya rumah sakit ... kamu yang bayar!" cetus Mbak Yana tampak sesantai mungkin dengan melipat tangannya di dada. "Sampai di rumah sakit, cari pohon yang paling mempesona ya, Mbak!" saranku dengan ketenangan yang masih di ambang batas kesabaran. "Buat apa?" timpalnya dengan pertanyaan yang bernada ringan. Serasa tak perduli dengan sindiran yang aku ucapkan."Minta ke sana! Kali aja ada dedemit yang ngekos disitu terus kasihan ama kamu— saudarinya. Entar, pasti dipinjami atau bahkan di kasih cuma-cuma," jawabku asal-asalan. Tak perduli dua orang manusia di depanku mendengar ucapan nyeleneh dari mulut ini. "Uffhhh ... Tampak dari kaca spion tengah, Pak Tamin melihat kepada kami berdua yang sedang bersenda gurau dalam emosi. Ia tersedak tawa sambil menutup seluruh mulutnya dengan bibir. "Uuuh, Mamah ... kepala Dini sakiiit. Huhuhu. Sakit, Mah! Papah ... Papah ... huhuhu."Dalam pelukan, Dini meraung. Panas dari tubuhnya mampu menembus kulit tanganku. "Ia ... bentar! Jangan c
Gimana? Gimana? Udah lebam belom, Oppa?" Masih mau membrendelku dengan candaan mematikan? Sook. Hayyuk. Aku jabanin. Pintu terbuka. Lin Lin tampak berjalan sembari mengelus perut ratanya. Di tunggu dari tadi, nggak dateng-dateng. Masih asyik terapi sepupunya, dia malah nongol. Nggak seru kalau ada mata lain yang melihat. "Hallo. We kalamaan, ya? Bersihin perut ampe cling tadi, jadi lama. Oia, gimana kalau kita makan siang bareng sambil bahas ini di kantin, Kakak-kakak!" ajaknya masih berdiri di samping sofa memperhatikan kami berdua secara bergantian. "Maaf, Lin. Sepertinya perut Kakak udah nggak sanggup dimasukin makanan lagi," balasku berusaha tenang dengan ikut mengelus perut seperti Lin Lin tadi. "Loh, kenapa? Bukannya belum makan siang ya, Kak?" Dia berjalan dan duduk di tangan sofa di sebelah sepupunya. "Kenyang minum ini," tunjukku pada gelas milk shake. "Minum gituan aja masak kenyang sih, Kak?" protes Lin Lin tak percaya. Memang sih, aku berkata kenyang karena ada satu
Garis lengkungan tertarik di bibirku. Sebuah balasan akhirnya masuk. Sebuah stiker. Aku cepat mengunduh stiker itu. 'Percuma dihapus, malaikat sudah mencatatnya'Hah? Hahahaha. Aku tertawa keras membaca balasan lucu darinya. Benar kan! Ia selalu dapat membuatku mati gaya dalam segala hal yang kulakukan. Baik itu disengaja maupun tak disengaja, dan itu lah yang membuatku selalu merindui kekonyolannya. Tak ingin kalah, aku kembali membalas pesan darinya. Sebuah stiker balasan ku kirim. 'Aku read aja biar kamu sakit hati'Tak berselang lama ia terlihat mengetik sesuatu. Aku menunggu dengan harap, kekonyolan apa lagi yang akan membuatku tertawa oleh tingkahnya. [Share lokasi, ribut kita.]Buahahahahaha. Ya Allah. Katanya ia mau cari ribut? Buahahahahaha. Tuhan ... sesenang ini aku menerima pesan darinya yang ngajak ribut. Jangankan ribut, Nona. Tawuran pun aku mau, asal bersama kamu. Hahaha. Selucu inikah rasanya jatuh cinta? Poying ... ah ... utung saja kamu jauh di sana, Nona. Jika
"Koko nggak keren loh, Kak. Buncit! Lagian ... wajahnya kurang menjual kalau di photo. Hahahaha." Lin Lin mengibaskan tangannya di udara dan malah tertawa ngakak karena sudah menghina koko-nya sendiri. Dasar! "Sama! We juga buncit!" balasku membusungkan perut yang six-pack. Kacau! Walau sudah digembungkan, tetap saja ia tak mau membuncit sempurna seperti miliknya Alex. Shit! "Nggak usah dipaksain. Nggak bakalan sama. We udah kroscek. Hahaha." Lin Lin menekan-nekan perutku dengan jari telunjuknya sembari tertawa lucu. Entah apa yang lucu di sana. "Terserah deh ... siapa yang mau Kakak jadiin pasangan. We nggak paksa dari agen we. Yang penting Kakak mau aja. Ya ya ya," sambungnya kembali dan terus saja membujukku. Lin Lin merampas kotak susu yang ada di tangan, karena aku berniat akan menuangkannya lagi ke dalam gelas. Ia menuangkan susu itu ke dalam gelas yang sudah aku gunakan karena terlalu malas untuk mengambil gelasnya sendiri. Huh, untung saja ia sepupu sendiri. Jika tidak, gel
"Ayo yooo ... siapa yang mau ngelamar siapa niiih?"Aku kaget dan menoleh ke sumber suara. Lin Lin? Kapan dia datang? Kenapa aku tak mendengar dia masuk ke ruangan ini? Perempuan berkulit putih dan bersih itu berjalan anggun mendekati sofa yang kami duduki. Sederhana namun terlihat berkelas. Baju kemeja yang dimasukkan ke dalam celana kembang dengan sepatu bertumit. Rambutnya digulung seperti gulungan siput. Wanita ini begitu berkelas. "Alo kak Poyiiing. Pa kabar, Luuu?"Lin Lin semakin mendekat. Aku yang masih ngebug hanya duduk saja di sofa. Pantatku juga ikutan ngebug. Dia lengket tak mau berpindah, padahal Lin Lin sudah di hadapan dengan membuka tangannya untuk memelukku. Namun aku tak juga berdiri untuk menyambut wanita cantik itu. Lin Lin mengalah, ia gegas menjatuhkan bobot tubuhnya di sampingku yang masih menatapnya dalam diam. "Kangen deh ama kak Poying." Akhirnya ia yang duluan memelukku dalam duduk. Lin Lin juga mengelus punggung. Seperti tersadar, aku pun baru membalas
Jadi pasangan? Aku? Maksudnya? Sebentar ... sebentar. Ngebug—ngebleng—ngelag. Semua itu ada padaku gegara ucapan yang keluar dari mulut si ultrasound, prodak luar ini. Tugas dari Tuhan saja, kadang aku lalai. Laah, sekarang malah makhluk-Nya yang menambah-nambahi tugas, MIKIR KERAS! Tok tok tok! Suara ketukan di pintu kaca menyelamatkan diri sesaat dari pikiran berat. "Masuk," jawab Oppa mengalihkan pandangnya dari diriku. Pintu kaca itu bergerak pelan. Seseorang masuk, dan aku lihat itu adalah Jessica. "Maaf, Pak. Ini ...." Perkataan Jessica menggantung dan langkahnya mendadak terhenti. Ia mematung masih di dekat pintu. Wanita cantik itu memperhatikan kami berdua secara bergantian. "Emm maaf, jika saya datang pada saat yang tidak tepat. Saya bisa datang lagi nanti, Pak," lanjutnya kemudian setelah diam beberapa detik. Sekretaris Oppa itu gegas memutar badannya hendak berlalu menuju pintu kembali, namun langkahnya lagi-lagi terhenti karena pria di depanku ini cepat menyapanya. "
"Buat apa kamu minta dia untuk tetap tinggal lagi di sini sih, Bim. Aneh kamu tuh! Biar aja dong dia pindah, kamu mau ibu sama mbak-mu dijadikannya babu terus di rumah kita sendiri? Udah ... cepetan diselesaikan sidang kalian, bener katanya kamu nggak usah datang, biar urusannya cepat kelar! Siap itu kamu bisa bebas, segera menikah dengan Susi.""Bener! Jauh Susi kemana-mana lah, Bim, dari kan perempuan ini! Kamu liat kan! Lelaki yang dikenalkan Susi sama Mbak! Nggak main-main," celetuk Mbak Yana menimpali ucapan ibunya. . . . "Aamiin, Mbak. Ibu do'ain semoga semuanya lancar, selancar jalan tol, bebas hambatan. Asal nggak nyungsep gegara licin. Hehehe," timpal bu Asih yang membawaku kembali dari ingatan seminggu yang lalu bersama mantan suami dan keluarganya. Kami terus bercanda di teras rumah, hingga hampir memasuki waktu azan magrib. Kami berempat gegas masuk ke dalam rumah. Aku berniat menutup pagar besi namun dari kejauhan aku melihat sesosok lelaki berkaca mata hitam dan ber
"Mana sisa uang gaji, Bima, Fir?" Ibu mas Bima seketika menodong ku ketika baru saja aku membawa tubuh ini keluar dari dalam kamar, setelah selesai salat subuh. "Ya, ampun. Masih pagi juga, Bu. Uang-uang aja sih yang di pikirin!" desis ku kesal pada wanita paruh baya di depan ku ini. "Suka-suka saya dong! Duit-duit saya.""Oh, suka-suka ibu, ya! Oke, sekarang saya pun mau suka-suka. Enyah dari rumah kontrakan ini. Angkatin semua barang-barang itu. Sekarang!"Bu Marni terpaku dan terdiam di tempatnya. Dia hanya melengos dan segera berlalu dari hadapanku. Cemen. Aku tak jadi keluar. Segera masuk lagi ke dalam kamar dan gegas menelepon orang yang akan membantu kami untuk pindahan. "Bang, sekarang bisa? Eneg aku udah di sini, Bang!" "Oke, Siap-siap aja-nya aku, Kak. Dua orang ku bawak kan?""Iya, bawak aja berapa yang ada pasukan Abang! Gampang itu, yang penting ongkang-ongkang kaki aja kami lagi. Terima bersih," pintaku pada bang Turnip. Selain menerima jual beli barang seken, ternya
"Tante Firda, itu mamanya Dini, kan?" Tiba-tiba Rara berkata sambil menunjuk seseorang di depan kami. Aku mengikuti arah telunjuk gadis kecil itu. Dan benar saja dari kejauhan aku melihat mbak Yana sedang bergandengan mesra dengan seorang lelaki tua yang cocok dipanggil kakek oleh anaknya. "Iya, Dek. Itu mamanya Dini," sambung Rahmat membenarkan ucapan adiknya. "Itu bukan papanya Dini kan, Tan?" kata Rahmat lagi kepadaku. Aku hanya berpandangan sesaat dengan bu Asih. Kemudian mengajak mereka terus saja berjalan tanpa memperdulikan wanita yang sudah berbelok masuk ke dalam gerai pakaian dalam itu. Mbak Yana dengan lelaki tua, sedangkan kemarin suaminya ada affair dengan wanita tua. Ck. Dini, please jangan copas kehidupan mama dan papa kamu ya. Batinku miris. Aku selesai makan. Pilihan kami jatuh pada gerai K*C. Semua menu yang disukai anak-anak ku pesan. Foya-foya sedikit tak apalah, mana tahu besok-besok oppa berkenan memberikan uangnya lagi dengan cuma-cuma buat anak-anak ini. H
Kursi yang sedang ku putar-putar ter-jungkang ke belakang karena keseimbangan ku goyah. Tak sampai disitu, map yang berada di atas meja ikutan jatuh dan menimpuk dahi, hingga ku lihat beribu bintang di kepala Arimbi yang menatap datar kepadaku. Aji gile. Serasa bumi tak berputar selama 5 detik. Hahahaha. Suara tawa menyusul dari berbagai penjuru mata angin. Suara insiden barusan mampu menghipnotis panca indra mereka untuk menyaksikan keadaanku yang menyedihkan ini. Syalan. Malunya saat ini pasti bakalan selalu teringat pas p*p, dan skincare-an. "Petakilan!" ucap Arimbi tanpa berniat membantuku. Padahal terjadinya kecelakaan beruntun ini, diakibatkan telingaku menangkap sebait kalimat pamungkas dari mulut mbak bestie. Sakit.Aku mencoba berdiri tanpa bantuan. Begitu melihat teman-teman yang masih terbahak menertawai keberuntunganku barusan, aku pun ikatan ngakak sambil melengos. Kedua tangan saling mengusap bokong dan dahiku secara bersamaan. Aku kembali teringat perkataan mbak best