Ucapan Arimbi disambut gelak tawa kami semua. Eh tidak ding, Mas Bima nggak ikutan. Karpet bulu tak bisa menampung kami semua. Aku lebih memilih duduk di lantai tak berkarpet. "Bu Asih, saya kemari mau ajak bu Asih dan anak-anak ke rumah. Oma pengen kenalan." Pak oppa memulai bicara serius dengan bu Asih. "Ke rumah Bapak? Kapan, Pak, Bos?" balas bu Asih begitu pelan dan menunduk. "Kalau bisa sekarang, ayo. Pun kalau memang mau, Oma bilang biar tinggal saja di rumah kami. Sekalian menemani beliau di sana. Nanti anak-anak juga bisa sekolah dari rumah saya," ajak Pak Oppa bersungguh-sungguh. Bu Asih seketika mengarahkan pandangannya kepadaku. Aku hanya mengangguk berkali-kali dengan senyum bahagia. Ternyata Pak Oppa sejauh ini berpikir buat anak-anak yatim ini. Terima kasih ya Allah, tampannya nggak sia-sia. "Assalamu'alaikum!""Waalaikumsalam," jawab kami kaget dengan salam yang tegas. Mbak Yana nggak menyerah. Dalam sekejab ia sudah hadir kembali diantara kami semua. Amazing. Mb
Setelahnya aku meninggalkan mereka semua yang masih mengitari Pak Tamin. Gegas ke kamar untuk mengambil baju salinan yang bersih. Selanjutnya menuju kamar mandi. Mencuci wajah lalu melakukan ritual 315. ByarByurByarTiga guyuran air dari gayung. Lanjut satu sapuan sabun cair ke seluruh area terpencil dan .... ByarByurByarByurByarLima guyuran tanpa jeda lagi ke seluruh tubuh, hingga semua sabun dan daki rontok tak berbekas. Segar, walaupun hanya mandi ekspres. Aku gegas menyalin pakaian di kamar mandi ini dan ... selesai. Dengan langkah setengah berlari aku menuju kamar. Ditungguin itu nggak enak, saudara-saudara. Kayak dihimpit utang. "Pssst, pssst. Swit swiiit. Kirain ... supirnya doang yang kenal, ternyata eh ternyata, sak Omanya pun udah kirim-kirim salam. Entah jangan-jangan ... udah ketemuan juga ama mami en papinya. Emmm." Arimbi tiba-tiba muncul dari balik pintu kamar yang emang tak kukunci. Dengan gaya masygul, ia naik ke atas pembaringan dan mulai tengkurap di sana
"Fir, biaya rumah sakit ... kamu yang bayar!" cetus Mbak Yana tampak sesantai mungkin dengan melipat tangannya di dada. "Sampai di rumah sakit, cari pohon yang paling mempesona ya, Mbak!" saranku dengan ketenangan yang masih di ambang batas kesabaran. "Buat apa?" timpalnya dengan pertanyaan yang bernada ringan. Serasa tak perduli dengan sindiran yang aku ucapkan."Minta ke sana! Kali aja ada dedemit yang ngekos disitu terus kasihan ama kamu— saudarinya. Entar, pasti dipinjami atau bahkan di kasih cuma-cuma," jawabku asal-asalan. Tak perduli dua orang manusia di depanku mendengar ucapan nyeleneh dari mulut ini. "Uffhhh ... Tampak dari kaca spion tengah, Pak Tamin melihat kepada kami berdua yang sedang bersenda gurau dalam emosi. Ia tersedak tawa sambil menutup seluruh mulutnya dengan bibir. "Uuuh, Mamah ... kepala Dini sakiiit. Huhuhu. Sakit, Mah! Papah ... Papah ... huhuhu."Dalam pelukan, Dini meraung. Panas dari tubuhnya mampu menembus kulit tanganku. "Ia ... bentar! Jangan c
"Melakukan apa? Apa tidak terlalu berisiko buat kamu, Nona?""Ya, saya tak akan mengalah dengan lari dari masalah. Saya akan melakukan sesuatu sampai mereka yang kapok berurusan dengan saya." "Well, termasuk dengan anak ini?""Tidak, Pak! Jika dengan Dini saya tulus. Bagaimana mungkin kekesalan pada orang tua dan om-nya saya limpahkan kepada dia. Tidak bukan? Itu semata-mata karena saya emang menyayanginya seperti anak sendiri, karena saya tau begitu berharganya akan kehadiran seorang anak."Ya, jika urusan tentang anak, aku lemah. Memang aku terlihat santai dan biasa aja menanggapi perihal masalah ini, namun mereka semua tak tahu, jika sebenarnya hatiku hancur, merasa diri ini tak ada gunanya. Aku wanita normal yang setiap saat menginginkan kehadiran seorang anak di tengah-tengah pernikahan, namun sampai di angka tiga tahun belum juga di beri kepercayaan oleh Tuhan.Namun, beberapa orang yang diberi kepercayaan itu, malah kadang lupa jika ia sudah dititipi permata hati untuk dijaga
Nyawa menyatu dan daya ingatku seketika on. Astaghfirullah. Poying. Bukannya aku berada di mobil Pak Oppa? Aku celingukan ke kanan dan kiri ingin menembus kaca mobil yang tertutup. Ya ampun, bisa-bisanya aku ketiduran dan bermimpi hal yang tak masuk akal. Mimpi indah kata Pak Tamin, dan apa tadi katanya aku bahkan sampai menyebut-nyebut nama Pak Oppa? Omegot. Omegot. Omegot. Benarkah. Seketika aku membenci bibir nggak berakhlak dan beretika ini. Tidak bisakah ia menjaga harga diri dari tuannya? Kuat Firda, kuat. Mental lu harus tetap aman. "Sudah ingat? Atau masih belum sadar seratus persen? Jika belum sepenuhnya mau dipapah atau digendong hingga sampai dalam sama Den Alex, Nona Firda," tutur dan goda Pak Tamin hingga membuatku kejang mendadak. "Eh, tidak, Pak! Tidak perlu, saya bisa sendiri," ucapku cepat dan ingin segera membuka pintu mobil dari arah kanan. Ah seketika aku menghentikan gerakan tangan. Malas deh turun dari pintu sebelah sini karena bakalan akan memutar lagi unt
"Bentar lagi gue halal, Beb!" Arimbi memelukku begitu jam istirahat kantor dimulai. Pantas saja sedari pagi tadi wajah anak perawan satu ini begitu berbinar. Eh, tunggu. Bukannya katanya tahun depan? Dipercepat? Aku pura-pura membelalakan mata tanda kaget ke arah bestie ku ini. Senyum yang tadi merekah seakan akan musnah dalam sekali jentikan jari"Jadi selama ini ... lu haram, Beb? Kacau beliau dong gue!""Syalan, Lu!"Arimbi berujar sembari monoyor pucuk dahiku. Bibir plumpnya mengerucut tanda kesalnya masih dilevel 'bersedia'. Aman. "Mas Fadil bakalan menghalalkan gue! It-tuu," sambungnya lagi melupakan kekesalan karena tampak dari matanya yang semakin berbinar."Mas Fadil? Waaah, bikin iri gue aja. Yang satu prodak haram, nah yang satu datang buat menghalalkannya. Klop dah ah. Baru tau gue Mas Fadil ternyata anggota MUI," godaku terus sampai bestieku benar-benar teler, migrain sampai mimisan. Hihihi. "Hog ogh. Malah dia ketua MUI-nya dan gue ... b**i nya. Puas loe, puas!" omel
"Pegang yang paling kecil dan ramping dong, Mbi!" Sarkasku dengan menggoyang-goyang pinggang di atas jok motor yang sudah mulai melaju pelan. Tak menunggu lama leherku terasa dijalari oleh tangan, seperti gaya akan menyekek leher hingga membuat aku menjerit kegelian. "Apaan sih lu, Nyet. Geli tau!" pekikku merinding disko, karena badanku bangsa yang nggak tahan geli. "Lah, tadi katanya pegang yang paling ramping dan kecil. Gue perhatiin, cuma ini yang paling ramping dan kecil. Ya gue pegang dong!" jawab sohibku itu terdengar sesantai mungkin. "Hadeh, kasihan gue ama Mas Fadil. Belum lah lagi halal, malah udah gilak duluan. Naseb naseb!"Pletok! Lagi, helemku menjadi samsak si wanita cunguk. Merasa mbak bestie udah normal, motor kulajukan menuju arah rumah, karena seingatku, di gang sebelah banyak rumah-rumah yang dikontarakan maupun yang disewakan untuk anak kos. Setiap rumah yang bertuliskan papan iklan disewakan, kami coba tanyain pada pemiliknya. Tapi hingga sampai mentok ja
Sebuah panggilan keras atas namaku menghentikan kekehan kami. Aku melirik asal suara. "Bu Kokom?" desisku lirih. Ternyata bu Kokom yang memanggil diriku dari dalam mobil yang tepat berhenti di ruas jalan. Duh tetangga budiman. Sudah lama nggak melihat wanita ini. "Ngapain, Mbak?" tanyanya setelah turun dari mobil pajero hitam yang dikendarainya. "Ada perlu, Bu. Ibu apa kabar? Udah lama nggak liat. Kemana aja?" tanyaku balik dengan kayu yang masih kumainkan. "Iya saya baru pulang dari rumah anak saya yang di luar negeri. Jelong-jelong. Mbak Firda ngapain di sini? Ada perlu sama si Kitty Hare-hare? Kenapa bawak-bawak kayu segala? Mau tawuran?" Begitu banyak pertanyaan bu Kokom. Tapi yang nyantol di otakku hanya kata 'Kitty hare-hare'. "Kitty hare-hare?" tanyaku terusik karena namanya unik. "Ini, si Kitty hare-hare!" Bu Kokom menujuk wanita tronton di depan kami itu yang sudah merubah wajahnya dengan sangat ramah pada bu Kokom. Terlihat ia serba salah sendiri. "Oooh, saya lagi ca
Gimana? Gimana? Udah lebam belom, Oppa?" Masih mau membrendelku dengan candaan mematikan? Sook. Hayyuk. Aku jabanin. Pintu terbuka. Lin Lin tampak berjalan sembari mengelus perut ratanya. Di tunggu dari tadi, nggak dateng-dateng. Masih asyik terapi sepupunya, dia malah nongol. Nggak seru kalau ada mata lain yang melihat. "Hallo. We kalamaan, ya? Bersihin perut ampe cling tadi, jadi lama. Oia, gimana kalau kita makan siang bareng sambil bahas ini di kantin, Kakak-kakak!" ajaknya masih berdiri di samping sofa memperhatikan kami berdua secara bergantian. "Maaf, Lin. Sepertinya perut Kakak udah nggak sanggup dimasukin makanan lagi," balasku berusaha tenang dengan ikut mengelus perut seperti Lin Lin tadi. "Loh, kenapa? Bukannya belum makan siang ya, Kak?" Dia berjalan dan duduk di tangan sofa di sebelah sepupunya. "Kenyang minum ini," tunjukku pada gelas milk shake. "Minum gituan aja masak kenyang sih, Kak?" protes Lin Lin tak percaya. Memang sih, aku berkata kenyang karena ada satu
Garis lengkungan tertarik di bibirku. Sebuah balasan akhirnya masuk. Sebuah stiker. Aku cepat mengunduh stiker itu. 'Percuma dihapus, malaikat sudah mencatatnya'Hah? Hahahaha. Aku tertawa keras membaca balasan lucu darinya. Benar kan! Ia selalu dapat membuatku mati gaya dalam segala hal yang kulakukan. Baik itu disengaja maupun tak disengaja, dan itu lah yang membuatku selalu merindui kekonyolannya. Tak ingin kalah, aku kembali membalas pesan darinya. Sebuah stiker balasan ku kirim. 'Aku read aja biar kamu sakit hati'Tak berselang lama ia terlihat mengetik sesuatu. Aku menunggu dengan harap, kekonyolan apa lagi yang akan membuatku tertawa oleh tingkahnya. [Share lokasi, ribut kita.]Buahahahahaha. Ya Allah. Katanya ia mau cari ribut? Buahahahahaha. Tuhan ... sesenang ini aku menerima pesan darinya yang ngajak ribut. Jangankan ribut, Nona. Tawuran pun aku mau, asal bersama kamu. Hahaha. Selucu inikah rasanya jatuh cinta? Poying ... ah ... utung saja kamu jauh di sana, Nona. Jika
"Koko nggak keren loh, Kak. Buncit! Lagian ... wajahnya kurang menjual kalau di photo. Hahahaha." Lin Lin mengibaskan tangannya di udara dan malah tertawa ngakak karena sudah menghina koko-nya sendiri. Dasar! "Sama! We juga buncit!" balasku membusungkan perut yang six-pack. Kacau! Walau sudah digembungkan, tetap saja ia tak mau membuncit sempurna seperti miliknya Alex. Shit! "Nggak usah dipaksain. Nggak bakalan sama. We udah kroscek. Hahaha." Lin Lin menekan-nekan perutku dengan jari telunjuknya sembari tertawa lucu. Entah apa yang lucu di sana. "Terserah deh ... siapa yang mau Kakak jadiin pasangan. We nggak paksa dari agen we. Yang penting Kakak mau aja. Ya ya ya," sambungnya kembali dan terus saja membujukku. Lin Lin merampas kotak susu yang ada di tangan, karena aku berniat akan menuangkannya lagi ke dalam gelas. Ia menuangkan susu itu ke dalam gelas yang sudah aku gunakan karena terlalu malas untuk mengambil gelasnya sendiri. Huh, untung saja ia sepupu sendiri. Jika tidak, gel
"Ayo yooo ... siapa yang mau ngelamar siapa niiih?"Aku kaget dan menoleh ke sumber suara. Lin Lin? Kapan dia datang? Kenapa aku tak mendengar dia masuk ke ruangan ini? Perempuan berkulit putih dan bersih itu berjalan anggun mendekati sofa yang kami duduki. Sederhana namun terlihat berkelas. Baju kemeja yang dimasukkan ke dalam celana kembang dengan sepatu bertumit. Rambutnya digulung seperti gulungan siput. Wanita ini begitu berkelas. "Alo kak Poyiiing. Pa kabar, Luuu?"Lin Lin semakin mendekat. Aku yang masih ngebug hanya duduk saja di sofa. Pantatku juga ikutan ngebug. Dia lengket tak mau berpindah, padahal Lin Lin sudah di hadapan dengan membuka tangannya untuk memelukku. Namun aku tak juga berdiri untuk menyambut wanita cantik itu. Lin Lin mengalah, ia gegas menjatuhkan bobot tubuhnya di sampingku yang masih menatapnya dalam diam. "Kangen deh ama kak Poying." Akhirnya ia yang duluan memelukku dalam duduk. Lin Lin juga mengelus punggung. Seperti tersadar, aku pun baru membalas
Jadi pasangan? Aku? Maksudnya? Sebentar ... sebentar. Ngebug—ngebleng—ngelag. Semua itu ada padaku gegara ucapan yang keluar dari mulut si ultrasound, prodak luar ini. Tugas dari Tuhan saja, kadang aku lalai. Laah, sekarang malah makhluk-Nya yang menambah-nambahi tugas, MIKIR KERAS! Tok tok tok! Suara ketukan di pintu kaca menyelamatkan diri sesaat dari pikiran berat. "Masuk," jawab Oppa mengalihkan pandangnya dari diriku. Pintu kaca itu bergerak pelan. Seseorang masuk, dan aku lihat itu adalah Jessica. "Maaf, Pak. Ini ...." Perkataan Jessica menggantung dan langkahnya mendadak terhenti. Ia mematung masih di dekat pintu. Wanita cantik itu memperhatikan kami berdua secara bergantian. "Emm maaf, jika saya datang pada saat yang tidak tepat. Saya bisa datang lagi nanti, Pak," lanjutnya kemudian setelah diam beberapa detik. Sekretaris Oppa itu gegas memutar badannya hendak berlalu menuju pintu kembali, namun langkahnya lagi-lagi terhenti karena pria di depanku ini cepat menyapanya. "
"Buat apa kamu minta dia untuk tetap tinggal lagi di sini sih, Bim. Aneh kamu tuh! Biar aja dong dia pindah, kamu mau ibu sama mbak-mu dijadikannya babu terus di rumah kita sendiri? Udah ... cepetan diselesaikan sidang kalian, bener katanya kamu nggak usah datang, biar urusannya cepat kelar! Siap itu kamu bisa bebas, segera menikah dengan Susi.""Bener! Jauh Susi kemana-mana lah, Bim, dari kan perempuan ini! Kamu liat kan! Lelaki yang dikenalkan Susi sama Mbak! Nggak main-main," celetuk Mbak Yana menimpali ucapan ibunya. . . . "Aamiin, Mbak. Ibu do'ain semoga semuanya lancar, selancar jalan tol, bebas hambatan. Asal nggak nyungsep gegara licin. Hehehe," timpal bu Asih yang membawaku kembali dari ingatan seminggu yang lalu bersama mantan suami dan keluarganya. Kami terus bercanda di teras rumah, hingga hampir memasuki waktu azan magrib. Kami berempat gegas masuk ke dalam rumah. Aku berniat menutup pagar besi namun dari kejauhan aku melihat sesosok lelaki berkaca mata hitam dan ber
"Mana sisa uang gaji, Bima, Fir?" Ibu mas Bima seketika menodong ku ketika baru saja aku membawa tubuh ini keluar dari dalam kamar, setelah selesai salat subuh. "Ya, ampun. Masih pagi juga, Bu. Uang-uang aja sih yang di pikirin!" desis ku kesal pada wanita paruh baya di depan ku ini. "Suka-suka saya dong! Duit-duit saya.""Oh, suka-suka ibu, ya! Oke, sekarang saya pun mau suka-suka. Enyah dari rumah kontrakan ini. Angkatin semua barang-barang itu. Sekarang!"Bu Marni terpaku dan terdiam di tempatnya. Dia hanya melengos dan segera berlalu dari hadapanku. Cemen. Aku tak jadi keluar. Segera masuk lagi ke dalam kamar dan gegas menelepon orang yang akan membantu kami untuk pindahan. "Bang, sekarang bisa? Eneg aku udah di sini, Bang!" "Oke, Siap-siap aja-nya aku, Kak. Dua orang ku bawak kan?""Iya, bawak aja berapa yang ada pasukan Abang! Gampang itu, yang penting ongkang-ongkang kaki aja kami lagi. Terima bersih," pintaku pada bang Turnip. Selain menerima jual beli barang seken, ternya
"Tante Firda, itu mamanya Dini, kan?" Tiba-tiba Rara berkata sambil menunjuk seseorang di depan kami. Aku mengikuti arah telunjuk gadis kecil itu. Dan benar saja dari kejauhan aku melihat mbak Yana sedang bergandengan mesra dengan seorang lelaki tua yang cocok dipanggil kakek oleh anaknya. "Iya, Dek. Itu mamanya Dini," sambung Rahmat membenarkan ucapan adiknya. "Itu bukan papanya Dini kan, Tan?" kata Rahmat lagi kepadaku. Aku hanya berpandangan sesaat dengan bu Asih. Kemudian mengajak mereka terus saja berjalan tanpa memperdulikan wanita yang sudah berbelok masuk ke dalam gerai pakaian dalam itu. Mbak Yana dengan lelaki tua, sedangkan kemarin suaminya ada affair dengan wanita tua. Ck. Dini, please jangan copas kehidupan mama dan papa kamu ya. Batinku miris. Aku selesai makan. Pilihan kami jatuh pada gerai K*C. Semua menu yang disukai anak-anak ku pesan. Foya-foya sedikit tak apalah, mana tahu besok-besok oppa berkenan memberikan uangnya lagi dengan cuma-cuma buat anak-anak ini. H
Kursi yang sedang ku putar-putar ter-jungkang ke belakang karena keseimbangan ku goyah. Tak sampai disitu, map yang berada di atas meja ikutan jatuh dan menimpuk dahi, hingga ku lihat beribu bintang di kepala Arimbi yang menatap datar kepadaku. Aji gile. Serasa bumi tak berputar selama 5 detik. Hahahaha. Suara tawa menyusul dari berbagai penjuru mata angin. Suara insiden barusan mampu menghipnotis panca indra mereka untuk menyaksikan keadaanku yang menyedihkan ini. Syalan. Malunya saat ini pasti bakalan selalu teringat pas p*p, dan skincare-an. "Petakilan!" ucap Arimbi tanpa berniat membantuku. Padahal terjadinya kecelakaan beruntun ini, diakibatkan telingaku menangkap sebait kalimat pamungkas dari mulut mbak bestie. Sakit.Aku mencoba berdiri tanpa bantuan. Begitu melihat teman-teman yang masih terbahak menertawai keberuntunganku barusan, aku pun ikatan ngakak sambil melengos. Kedua tangan saling mengusap bokong dan dahiku secara bersamaan. Aku kembali teringat perkataan mbak best