Perutku begah, tubuhku penuh dengan peluh yang mengalir. Bukan ... ini bukan peluh dikarenakan gerakan-gerakan yoga ku, melainkan peluh karena KE PE DA SAN. Aku memesan bakso tanpa mie sampai dua mangkok. Ck, kesal aku tuh pada diri sendiri. Malam hanya memakan buah, siang menghantam bakso hingga dua mangkok, yang benar saja. Menjelang sore gorden jendela malah baru ku sibakkan. Menyapu rumah dan mengepel lantai juga baru ku lakukan. Membersihkan area wastafel, setelah area depan selesai. Ketika akan menyapu halaman aku mempunyai firasat, bakalan ada lagi drama jika sudah diluar. Srek srek srekSuara sapu lidi terdengar nyaring. Sebentar saja pekerjaan itu sudah selesai ku lakukan karena halaman yang tak begitu kotor.Selanjutnya aku ingin menyirami semak belukar, eh maksudnya tanaman-tanaman ku. Begitu akan meraih gayung di ember, sebuah tangan sudah terlebih dulu melakukannya. Aku tersentak dan melihat ulah siapa itu. "Hai, Nak Firda ... Ibu bantuin, yah!" Sosok yang tak kuhara
Sebuah suara menjadi backsound dari kekehan kecil kami. Tak dinyana, keseruan kami harus dirusak oleh kehadiran keluarga benalu. Mbak Yana dengan Mas Adit. Lah, katanya musuhan. Ais. Namun, tampak jelas jika raut wajah Mas Adit keruh di samping Mbak Yana. Aku melirik pasangan selanjutnya. Mas Bima dengan Susi similikiti, dan Viona ... ia dengan seorang pria baru, yang tak ku kenal sama sekali. Hendrik? Pasti dibuang ke palung laut yang terdalam. "Jendes mainnya dengan wanita ini terus ya! Jangan-jangan mereka ..." ucap Viona yang menggantung. "Hiiiii ..." Viona, Susi dan Mbak Yana berbarengan histeris dengan gaya seolah-olah bergidik geli. Aku mencuci tangan begitu juga Arimbi. Untung saja acara makan kami telah selesai, jika tidak rasa telur puyuh bisa berubah menjadi rasa dragonball. Mbak Yana mendekat dan ikut duduk disebelah Arimbi. Memang lesehan ini memanjang jadi satu dan ada beberapa meja yang di letakkan dengan berjarak jarak. Jika pengunjung merupakan keluarga besar, m
"Rara, Rahmat, Kenalin! Ini Tante Arimbi, teman Tante Firda," ujarku seketika. Arimbi langsung mengulurkan tangannya pada kakak beradik itu dengan senyum aduhainya. Namun, sebelum kakak beradik itu akan membalas uluran tangan Arimbi, keduanya malah dengan cepat menyapukan tangan mereka pada baju yang dikenakan pada bagian belakang. Mungkin saja karena merasa tangannya kotor dan tak ingin tangan Arimbi terikut-ikut kotor. Merasa sudah bersih dan layak, kemudian keduanya bergantian membalas uluran tangan Arimbi dengan sopan. Ealahdalah, melihat adab yang begini saja hatiku meleleh. "Rahmat, Tante," tutur anak lelaki itu dengan sopan begitu tangannya sudah beradu dengan Arimbi lalu menciumnya dengan takzim. "Arimbi," balas sahabatku ini sambil menepuk bahu Rahmat pelan. "Kalau aku Rara, Tante!" Sang adik berujar dengan cepat sembari mengulurkan tangganya pada Arimbi. Padahal, Rahmat dan Arimbi belum saling melepaskan tangan. HahahhahaAku, Arimbi dan Rahmat tertawa barengan, karena
Arimbi memacu kuda besinya dengan kecepatan sedang. Tak berapa lama kami pun sudah sampai di rumah kontrakanku. Terlihat di depan rumah Mbak Yana, mobil sultan donasi masih terparkir dengan rapi. Arimbi tak singgah, ia langsung tancap gas karena memang malam telah menunjukkan pukul 21.30 Wib.Aku memutar anak kunci pintu. Sebelum masuk ke dalam rumah, diri ini disamperin oleh Bu Vivi, tetangga kontrakan yang masih duduk manis menikmati angin malam di teras rumahnya. Ia memberitahukan, jika tadi Mbak Yana dan Viona datang ke rumah dengan aura kemarahan. Itu terlihat dari cara mereka menggedor pintu rumahku. Namun dikarenakan aku tak di rumah, mereka langsung pulang lagi. "Ada apa ya, Mbak Fir? Sampai segitu marahnya mereka?" tanya Bu Vivi terlihat penasaran. "Nggak tau juga, Bu! Mungkin kurang sajen," jawabku terkikik. Bu Vivi juga ikutan terkikik. Tak ingin berlama-lama aku izin masuk dan tak lupa mengucapkan terima kasih padanya. ***Trang tring trong. Sudah lama nada gawaiku
Pagi ini aku meminta Arimbi untuk menjemputku. Rasanya malas jika harus naik ojol. Tadi malam aku benar-benar tak bisa tidur dikarenakan keributan yang dibuat oleh keluarga cemara itu. Berkali-kali Mas Adit menelponku agar membukakan pintu untuk ibunya, sebelum akhirnya gawai ku matikan. Oh, salah apa diri ini, Tuhan. Hingga harus hidup dengan di kelilingi manusia-manusia ajaib seperti mereka-mereka ini.Arimbi nge-wa kalau dirinya sebentar lagi otewe. Aku hanya tinggal duduk manis menunggunya di depan teras. Tak berapa lama sebuah mobil putih lewat di depan rumahku, yang disupirin Susi silimikiti. Woilah, mobilnya berubah, cuk! Bukan lagi mobil donasi seperti kemarin itu. Aku masih asyik menunggu Arimbi dengan di temani gawai di tangan. Saking asyiknya, tanpa kusadari siluet seseorang menampakkan diri di ujung ekor mataku. Tersentak aku mendongak dalam duduk. Mas mantan? Ulala. Mau apa? Tanda tanya tiga buah muncul di otak sebelah kananku. "Ayo, ikut! Biar pergi ngantornya bareng
Seperti janji kami kemarin, sepulang dari kerja, aku menyewa grab untuk membawa Rahmat dan Rara muter-muter di mall. Sedangkan Arimbi tetap mengendarai motornya. Arimbi ingin membelikan keperluan Rara dan Rahmat dari atas hingga bawah. Rara terlihat senang dan antusias. Tadinya Rahmat menolak untuk dibelikan itu semua, namun dengan pujukanku dan Arimbi, ia pun mau menerimanya. Jatahku, ialah menyumbangkan sembako untuk keperluan mereka sehari-hari. Beras, minyak, gula, garam, telur, tepung-tepungan hingga sekecil-kecilnya isi dapur ku penuhi. Aku merasa bersalah, mengapa tak mengingat mereka ketika pulang kampung dan memberikannya oleh-oleh. Setelah dirasa semua sudah terpenuhi, kami mengantar anak-anak itu menuju rumahnya. Dari kejauhan aku melihat dua orang pria bertubuh kekar berdiri tegap dengan bersedekap tangan di dada memperhatikan sekelilingnya dalam diam. "Itu siapa, Mat?" tanyaku penuh selidik pada Rahmat. "Itu teman-temannya juragan Toni, Tante?" jawab Rahmat sambil m
Lain halnya dengan Mas Bima, ia hanya terdiam dengan tatapan tajam dan napas yang memburu di tempatnya berdiri. Mungkin Mas Bima masih menaruh rasa segan dan hormat, kepada wanita paruh baya itu. Bu Ayu membingkai wajah Mas Adit. Memperhatikan setiap incinya, padahal belum sesentipun wajah anaknya tersentuh oleh tangan Mas Bima. Begitulah seorang ibu. Tak perduli anak salah atau tidak. Jika ada yang menyakiti, bisa dipastikan ia lah yang paling terdepan, untuk pasang badan buat anak-anak tersayang. Melihat itu, kembali mantan mertuaku berdiri untuk menyeimbangi besannya."Jangan berani-beraninya kamu menyentuh anak-anakku!" semprotnya hingga terlihat percikan ludah mengenai wajah Bu Ayu. Matanya melotot tajam seakan ingin menerkam lawan di depan. "Aku tak akan menyentuh anakmu, kalau dia tak macam-macam dengan anakku!" lanjut Bu Ayu lagi tak kalah sengit. Walau ia lebih pendek, itu tak menjadi tolak ukur untuk takut menghadapi sang besan. Bu Marni tinggi namun kurus, sedangkan besa
"Apa benar itu Mas Adit?" Pak RT beralih pertanyaan ke Mas Adit. Yang ditanya malah menganggukkan kepala dengan bersemangat. "Saya lelah dengan kehidupan rumah tangga saya bersama Yana, Pak RT. Tak ada kenyamanan lagi yang diberikannya selain ribut dan ribut. Manalagi mertua yang selalu ikut campur, baik dalam materi dan batin," jelas Mas Adit terlihat sedih. "Lantas, kamu bisa seenaknya berselingkuh dengan ipar sendiri yang saat itu masih sah menjadi istriku?" Mas Bima ikut bicara dengan geram, ia bahkan ingin berdiri dari duduknya untuk mendekati Mas Adit. Namun tangannya cepat ditarik oleh Susi similikiti. "Aku tidak ada berselingkuh dengannya!" belaku cepat, mematahkan ucapan Mas Bima. "Jika tidak, kenapa dia sering ngirimin kamu uang, hagh!" bentak Mbak Yana masih tak terima atas apapun yang aku katakan. "Ooh, baiklah Mbak Yana. Akan aku jelaskan, sejelas jelasnya padamu. Yang pertama, aku tidak pernah selingkuh dengan lelaki yang makan hati dengan ibu dan dirimu. Yang kedu
Gimana? Gimana? Udah lebam belom, Oppa?" Masih mau membrendelku dengan candaan mematikan? Sook. Hayyuk. Aku jabanin. Pintu terbuka. Lin Lin tampak berjalan sembari mengelus perut ratanya. Di tunggu dari tadi, nggak dateng-dateng. Masih asyik terapi sepupunya, dia malah nongol. Nggak seru kalau ada mata lain yang melihat. "Hallo. We kalamaan, ya? Bersihin perut ampe cling tadi, jadi lama. Oia, gimana kalau kita makan siang bareng sambil bahas ini di kantin, Kakak-kakak!" ajaknya masih berdiri di samping sofa memperhatikan kami berdua secara bergantian. "Maaf, Lin. Sepertinya perut Kakak udah nggak sanggup dimasukin makanan lagi," balasku berusaha tenang dengan ikut mengelus perut seperti Lin Lin tadi. "Loh, kenapa? Bukannya belum makan siang ya, Kak?" Dia berjalan dan duduk di tangan sofa di sebelah sepupunya. "Kenyang minum ini," tunjukku pada gelas milk shake. "Minum gituan aja masak kenyang sih, Kak?" protes Lin Lin tak percaya. Memang sih, aku berkata kenyang karena ada satu
Garis lengkungan tertarik di bibirku. Sebuah balasan akhirnya masuk. Sebuah stiker. Aku cepat mengunduh stiker itu. 'Percuma dihapus, malaikat sudah mencatatnya'Hah? Hahahaha. Aku tertawa keras membaca balasan lucu darinya. Benar kan! Ia selalu dapat membuatku mati gaya dalam segala hal yang kulakukan. Baik itu disengaja maupun tak disengaja, dan itu lah yang membuatku selalu merindui kekonyolannya. Tak ingin kalah, aku kembali membalas pesan darinya. Sebuah stiker balasan ku kirim. 'Aku read aja biar kamu sakit hati'Tak berselang lama ia terlihat mengetik sesuatu. Aku menunggu dengan harap, kekonyolan apa lagi yang akan membuatku tertawa oleh tingkahnya. [Share lokasi, ribut kita.]Buahahahahaha. Ya Allah. Katanya ia mau cari ribut? Buahahahahaha. Tuhan ... sesenang ini aku menerima pesan darinya yang ngajak ribut. Jangankan ribut, Nona. Tawuran pun aku mau, asal bersama kamu. Hahaha. Selucu inikah rasanya jatuh cinta? Poying ... ah ... utung saja kamu jauh di sana, Nona. Jika
"Koko nggak keren loh, Kak. Buncit! Lagian ... wajahnya kurang menjual kalau di photo. Hahahaha." Lin Lin mengibaskan tangannya di udara dan malah tertawa ngakak karena sudah menghina koko-nya sendiri. Dasar! "Sama! We juga buncit!" balasku membusungkan perut yang six-pack. Kacau! Walau sudah digembungkan, tetap saja ia tak mau membuncit sempurna seperti miliknya Alex. Shit! "Nggak usah dipaksain. Nggak bakalan sama. We udah kroscek. Hahaha." Lin Lin menekan-nekan perutku dengan jari telunjuknya sembari tertawa lucu. Entah apa yang lucu di sana. "Terserah deh ... siapa yang mau Kakak jadiin pasangan. We nggak paksa dari agen we. Yang penting Kakak mau aja. Ya ya ya," sambungnya kembali dan terus saja membujukku. Lin Lin merampas kotak susu yang ada di tangan, karena aku berniat akan menuangkannya lagi ke dalam gelas. Ia menuangkan susu itu ke dalam gelas yang sudah aku gunakan karena terlalu malas untuk mengambil gelasnya sendiri. Huh, untung saja ia sepupu sendiri. Jika tidak, gel
"Ayo yooo ... siapa yang mau ngelamar siapa niiih?"Aku kaget dan menoleh ke sumber suara. Lin Lin? Kapan dia datang? Kenapa aku tak mendengar dia masuk ke ruangan ini? Perempuan berkulit putih dan bersih itu berjalan anggun mendekati sofa yang kami duduki. Sederhana namun terlihat berkelas. Baju kemeja yang dimasukkan ke dalam celana kembang dengan sepatu bertumit. Rambutnya digulung seperti gulungan siput. Wanita ini begitu berkelas. "Alo kak Poyiiing. Pa kabar, Luuu?"Lin Lin semakin mendekat. Aku yang masih ngebug hanya duduk saja di sofa. Pantatku juga ikutan ngebug. Dia lengket tak mau berpindah, padahal Lin Lin sudah di hadapan dengan membuka tangannya untuk memelukku. Namun aku tak juga berdiri untuk menyambut wanita cantik itu. Lin Lin mengalah, ia gegas menjatuhkan bobot tubuhnya di sampingku yang masih menatapnya dalam diam. "Kangen deh ama kak Poying." Akhirnya ia yang duluan memelukku dalam duduk. Lin Lin juga mengelus punggung. Seperti tersadar, aku pun baru membalas
Jadi pasangan? Aku? Maksudnya? Sebentar ... sebentar. Ngebug—ngebleng—ngelag. Semua itu ada padaku gegara ucapan yang keluar dari mulut si ultrasound, prodak luar ini. Tugas dari Tuhan saja, kadang aku lalai. Laah, sekarang malah makhluk-Nya yang menambah-nambahi tugas, MIKIR KERAS! Tok tok tok! Suara ketukan di pintu kaca menyelamatkan diri sesaat dari pikiran berat. "Masuk," jawab Oppa mengalihkan pandangnya dari diriku. Pintu kaca itu bergerak pelan. Seseorang masuk, dan aku lihat itu adalah Jessica. "Maaf, Pak. Ini ...." Perkataan Jessica menggantung dan langkahnya mendadak terhenti. Ia mematung masih di dekat pintu. Wanita cantik itu memperhatikan kami berdua secara bergantian. "Emm maaf, jika saya datang pada saat yang tidak tepat. Saya bisa datang lagi nanti, Pak," lanjutnya kemudian setelah diam beberapa detik. Sekretaris Oppa itu gegas memutar badannya hendak berlalu menuju pintu kembali, namun langkahnya lagi-lagi terhenti karena pria di depanku ini cepat menyapanya. "
"Buat apa kamu minta dia untuk tetap tinggal lagi di sini sih, Bim. Aneh kamu tuh! Biar aja dong dia pindah, kamu mau ibu sama mbak-mu dijadikannya babu terus di rumah kita sendiri? Udah ... cepetan diselesaikan sidang kalian, bener katanya kamu nggak usah datang, biar urusannya cepat kelar! Siap itu kamu bisa bebas, segera menikah dengan Susi.""Bener! Jauh Susi kemana-mana lah, Bim, dari kan perempuan ini! Kamu liat kan! Lelaki yang dikenalkan Susi sama Mbak! Nggak main-main," celetuk Mbak Yana menimpali ucapan ibunya. . . . "Aamiin, Mbak. Ibu do'ain semoga semuanya lancar, selancar jalan tol, bebas hambatan. Asal nggak nyungsep gegara licin. Hehehe," timpal bu Asih yang membawaku kembali dari ingatan seminggu yang lalu bersama mantan suami dan keluarganya. Kami terus bercanda di teras rumah, hingga hampir memasuki waktu azan magrib. Kami berempat gegas masuk ke dalam rumah. Aku berniat menutup pagar besi namun dari kejauhan aku melihat sesosok lelaki berkaca mata hitam dan ber
"Mana sisa uang gaji, Bima, Fir?" Ibu mas Bima seketika menodong ku ketika baru saja aku membawa tubuh ini keluar dari dalam kamar, setelah selesai salat subuh. "Ya, ampun. Masih pagi juga, Bu. Uang-uang aja sih yang di pikirin!" desis ku kesal pada wanita paruh baya di depan ku ini. "Suka-suka saya dong! Duit-duit saya.""Oh, suka-suka ibu, ya! Oke, sekarang saya pun mau suka-suka. Enyah dari rumah kontrakan ini. Angkatin semua barang-barang itu. Sekarang!"Bu Marni terpaku dan terdiam di tempatnya. Dia hanya melengos dan segera berlalu dari hadapanku. Cemen. Aku tak jadi keluar. Segera masuk lagi ke dalam kamar dan gegas menelepon orang yang akan membantu kami untuk pindahan. "Bang, sekarang bisa? Eneg aku udah di sini, Bang!" "Oke, Siap-siap aja-nya aku, Kak. Dua orang ku bawak kan?""Iya, bawak aja berapa yang ada pasukan Abang! Gampang itu, yang penting ongkang-ongkang kaki aja kami lagi. Terima bersih," pintaku pada bang Turnip. Selain menerima jual beli barang seken, ternya
"Tante Firda, itu mamanya Dini, kan?" Tiba-tiba Rara berkata sambil menunjuk seseorang di depan kami. Aku mengikuti arah telunjuk gadis kecil itu. Dan benar saja dari kejauhan aku melihat mbak Yana sedang bergandengan mesra dengan seorang lelaki tua yang cocok dipanggil kakek oleh anaknya. "Iya, Dek. Itu mamanya Dini," sambung Rahmat membenarkan ucapan adiknya. "Itu bukan papanya Dini kan, Tan?" kata Rahmat lagi kepadaku. Aku hanya berpandangan sesaat dengan bu Asih. Kemudian mengajak mereka terus saja berjalan tanpa memperdulikan wanita yang sudah berbelok masuk ke dalam gerai pakaian dalam itu. Mbak Yana dengan lelaki tua, sedangkan kemarin suaminya ada affair dengan wanita tua. Ck. Dini, please jangan copas kehidupan mama dan papa kamu ya. Batinku miris. Aku selesai makan. Pilihan kami jatuh pada gerai K*C. Semua menu yang disukai anak-anak ku pesan. Foya-foya sedikit tak apalah, mana tahu besok-besok oppa berkenan memberikan uangnya lagi dengan cuma-cuma buat anak-anak ini. H
Kursi yang sedang ku putar-putar ter-jungkang ke belakang karena keseimbangan ku goyah. Tak sampai disitu, map yang berada di atas meja ikutan jatuh dan menimpuk dahi, hingga ku lihat beribu bintang di kepala Arimbi yang menatap datar kepadaku. Aji gile. Serasa bumi tak berputar selama 5 detik. Hahahaha. Suara tawa menyusul dari berbagai penjuru mata angin. Suara insiden barusan mampu menghipnotis panca indra mereka untuk menyaksikan keadaanku yang menyedihkan ini. Syalan. Malunya saat ini pasti bakalan selalu teringat pas p*p, dan skincare-an. "Petakilan!" ucap Arimbi tanpa berniat membantuku. Padahal terjadinya kecelakaan beruntun ini, diakibatkan telingaku menangkap sebait kalimat pamungkas dari mulut mbak bestie. Sakit.Aku mencoba berdiri tanpa bantuan. Begitu melihat teman-teman yang masih terbahak menertawai keberuntunganku barusan, aku pun ikatan ngakak sambil melengos. Kedua tangan saling mengusap bokong dan dahiku secara bersamaan. Aku kembali teringat perkataan mbak best