“Kenapa wajahmu jadi seperti itu?”
Reno melambai di depan Sena. Ia mendadak khawatir karena Sena untuk beberapa waktu tetap terpaku seperti itu dan tidak bereaksi.
Sena mengerjap, melepaskan udara yang diperangkap dalam rongga paru-paru dan menoleh pada Reno. Ia melihat lagi hal aneh begitu Adit membelakang. Awalnya ia mendengar teriakan seorang gadis yang tak dikenal. Lama-lama disadari jika suara itu miliknya dan tiba-tiba dilihatnya seseorang berjalan dengan gaya yang sama membelakang dan menjauh.
Tanpa sadar disandarkan kepalanya pada Reno. Sena memejamkan mata.
“Sena, baik-baik aja, kan?” Reno sedikit terbata saat bertanya.
Tak menyangka tiba-tiba Sena berlaku seperti ini dengannya. Ia merasakan tubuhnya memanas. Jantungnya berpacu cepat dan menyakitkan. Namun, ia tak bisa membuat Sena menjauh darinya.
“Tidak apa, sebentar saja. Sungguh ….” Sena berkata pelan.
Reno berharap waktu berhenti cukup lama. Biar di
Reaksi tubuh Sena saat bersentuhan dengan Adit semakin jelas kini. Adit tahu jika Sena berusaha tidak memperlihatkan hal itu. Akan tetapi, perasaannya tidak mungkin bisa ditipu. Apakah Sena sudah ingat semuanya? Ia bertanya di dalam hati, sebab tak mungkin mencari tahu dari Reno. Saat ini ia dan Reno sedang berseberangan pendapat. Temannya sejak SMP itu sudah tidak lagi mau membantunya. Adit mengosok tengkuknya dengan kesal dan membuang napas keras-keras. Kepalanya sudah kembali berdenyut. Ia tak suka perasaan kalah yang dirasakan kini. Perasaan yang sama persis saat di SMA dulu. “Tampangmu tampak kusut?” Adit mengangkat kepalany sedikit dan melihat Monik. Di belakang gadis itu terlihat Endah yang mengernyit. Endah berkali-kali memandang wajah Adit dan punggung Monik. “Aku seperti terjun ke sebuah lubang.” Monik terkekeh mengejek. Ia menyibak rambutnya yang tersampir ke depan menuju belakang bahu. “Kamu memang baru saj
Reaksi tubuh Sena saat bersentuhan dengan Adit semakin jelas kini. Adit tahu jika Sena berusaha tidak memperlihatkan hal itu. Akan tetapi, perasaannya tidak mungkin bisa ditipu. Apakah Sena sudah ingat semuanya? Ia bertanya di dalam hati, sebab tak mungkin mencari tahu dari Reno. Saat ini ia dan Reno sedang berseberangan pendapat. Temannya sejak SMP itu sudah tidak lagi mau membantunya. Adit mengosok tengkuknya dengan kesal dan membuang napas keras-keras. Kepalanya sudah kembali berdenyut. Ia tak suka perasaan kalah yang dirasakan kini. Perasaan yang sama persis saat di SMA dulu. “Tampangmu tampak kusut?” Adit mengangkat kepalany sedikit dan melihat Monik. Di belakang gadis itu terlihat Endah yang mengernyit. Endah berkali-kali memandang wajah Adit dan punggung Monik. “Aku seperti terjun ke sebuah lubang.” Monik terkekeh mengejek. Ia menyibak rambutnya yang tersampir ke depan menuju belakang bahu. “Kamu memang baru saj
Ini gelas ketiga yang dihabiskan Adit. Gadis yang mengiriminya pesan untuk bertemu. Bahkan sampai sekarang batang hidung perempuan itu tak tampak. Entah ke mana sembunyinya. Saat Adit bertanya pada pelayan yang mengantarkan minuman, dikatakan jika gadis tersebut dan temannya sudah ada di kafe dari setengah jam lalu. Endah memandangi puncak kepala Adit yang duduk di lantai dasar. Ia lalu beralih melirik Monik yang senyum-senyum saja sejak tadi. “Apa lagi yang kamu rencanakan?” katanya penasaran. Sebagai teman, ia tak mau lagi terlibat masalah dengan Monik. Diskors hampis sebulan dari kegiatan kampus saja sudah cukup membuatnya resah. Apalagi bayang-bayang namanya akan semakin buruk saja jika teman di depannya ini kembali berulah. “Aku nggak mau, ya, kamu mencelakai Sena lagi,” tentangnya bahkan sebelum Monik bersuara. Monik membuang muka, melambai pada seorang pemuda yang lewat dan menyapa dan melotot menatap Endah. “Kata siapa aku menc
“Sedang apa bocah ini di sini?”Rayna yang berkunjung untuk makan siang hari ini menatap jengkel Adit yang duduk di meja panjang yang menghadap ke dapur restoran. Beberapa koki sedang memasak pesanan pelangan. Di depan Adit ada segelas minuman berwarna coklat—Rayna menduga itu Dagolna—dan mie goreng.“Ah, dia makan siang tentu saja.” Salah seorang pelayan yang menjawab pertanyaan Rayna.“Mana Reno? Dia tidak tahu orang ini ada di sini?”Tak sedikit pun Rayna berkeinginan melunakan suaranya supaya tak terdengar Adit. Ia memang sengaja berlaku demikian, berharap pemuda tersebut mundur sendiri karena malu.Pelayan yang tadi menjawab, menarik Rayna menuju kantor manager. Tidak ada seorang pun di dalam sana.“Bos pergi! Dia kabur saat melihat mobil orang itu parkir. Katanya kalau ditanya bilang di rumah belum datang.”Belum datang adalah alasan paling abstrak dari Reno. Hal terseb
Adit pergi lagi malamnya ke restoran Reno. Tepat saat pemuda itu mengunci pintu kaca dan berbalik. Ia melihat Reno terkejut dan dengan cepat menyembunyikan dan berganti ekspresi dingin.“Restoran sudah tutup sejak setengah jam lalu,” katanya.Selepas itu Reno melengang pergi begitu saja. Tidak punya keinginan bertanya untuk apa Adit menemuinya kembali.“Aku ingin bertemu denganmu, sebentar.” Adit menjangkau pergelangan tangan Reno, menjangkau, menghentikan gerakan temannya itu.“Rasanya aku tidak punya urusan denganmu!” seru Reno. “Apalagi yang kamu inginkan denganku?”“Maaf ….”Reno cukup terekejut saat kata-kata itu meloncat dari mulut Adit. Ia merasa itu tidak mungkin terjadi. Bahkan ia mencubit kulit punggung tangannya sendiri untuk memastikan.“Jangan bercanda!” teriaknya akhirnya.Kemarahan yang keluar bukan hanya dihasilkan oleh perbuatan Adit
Apa yang kulakukan? Sena menutup wajahnya mengingat ajakannya pada Reno.Tanpa pikir panjang ia mengucapkan hal itu. Napasnya sesaat berhenti saat menyadari dirinya melakukan kebodohan. Namun, jujur Sena tak ingin kehilangan kesempatan untuk bisa berdua saja dengan Reno.Walaupun pikirannya mengingat jika Adit memiliki tempat khusus di hatinya, Sena tidak merasa nyaman saat bersama dengan pemuda itu. Ia merasa terbebani. Saat bersama Reno, Sena merasa nyaman. Ia merasa apapun yang akan terjadi Reno akan melindunginya.Sena berbalik lagi. Seprai berwana biru dengan garis-garis putih yang terpasang di tempat tidur sudah lusuh. Tadi sebelum dirinya merebahkan diri, seprai tertata rapi dan tidak kusut semacam kini.“Tidak bisa tidur,” keluhnya.Ia memutuskan untuk duduk dan bersandar di kepala ranjang. Kamarnya terasa amat sunyi. Keinginan untuk mematikan lampu saat tidur disingkirkan cepat-cepat. Baru memikirkannya saja tubuhnya s
“Kamu sakit, Sena?”Reno tak sengaja menyenggol jemari Sena yang lentik. Selain berkeringat, ujung jari Sena dingin.Sena yang tangannya bersentuhan, secara cepat menarik diri. Ia ingin berlari dan masuk lekas-lekas ke dalam bioskop mini yang sudah di sewa Mama. Kegelapan setelah lampu diredupkan di dalam sana akan menyamarkan rona merah di pipinya.“Ti-DAK!” Sena nyaris berteriak saat menjawab.Memandang perubahan yang merayap di wajah Sena, Reno hanya bisa terkekeh saja. Ia berusaha menahan senyum, tetapi tetap saja lolos sedikit. Dalam hati dirinya berharap Sena tak menyadari bahwa ia menikmati kegugupan Sena. Dalam hal ini Reno senang karena bukan hanya dirinya saja yang sedari tadi salah tingkah.Sejak Rayna memilihkan pakaian yang kata kakak perempuannya itu sama warna. Ia salah membedakan kopi dan kecap dan tersedak saat minum. Saat berangkat tadi, Reno hanya menggunakan sendal jepit dan harus memutar balik ke rumah.
Reno memejamkan mata. Rayna ada di belakangnya sekarang. Kakak perempuannyalah yang memaksa Reno untuk datang ke kantor polisi dan membuat laporan.Awalnya Reno menolak dengan banyak alasan. Alasan pertama sangat merepotkan, tetapi pelototan Rayna melenyap semua.“Terima kasih atas laporannya. Kami akan segera menyelidiki. Jika ada tambahan bukti, bisa diserahkan segera pada kami.”Polisi yang mencatat laporannya menyalami Reno. Tentu saja setelah rentetan pertanyaan.Reno bernapas lega, seperti baru saja keluar dari ruangan pengap kea lam bebas. Ia mengisi paru-parunya dengan oksigen penuh-penuh dan mendapatkan tepukan di kepala dari Rayna.“Jangan lebay,” tegur kakanya itu.Rayna lebih dulu memasuki mobil dan menanti hingga adiknya sampai di kursi sopir. “Kamu tidak punya bayangan siapa pelakunya?” tanya Rayna sekali lagi seperti pertanyaan polisi yang menanyai Reno tadi.“Nggak.”
“Pokoknya kalian harus pulang pada jam yang sudah dijanjikan, Oke?” Rayna sekali lagi memberi peringatan dengan wajah cemas.Pertunangan Sena dan Reno diumumkan tadi siang. Reno sudah mendapat peringatan untuk tidak membawa Sena tanpa pemberitahuan dan izin dari Ratih. Namun, mereka berdua berhasil membujuk Rayna untuk bisa memberi waktu kabur. Rayna jelas menolaknya, sebab kemarahan Ratih cukup mengerikan.“Kalian bisa membuatku terbunuh kalau tidak menurut,” renggek Rayna kembali. Ia belum melepaskan tangannya dari ujung baju Sena.“Iya, Kak, kami akan kembali jam 10 malam nanti. Ini cuma nonton bioskop kok. Janji.” Setelah pertunangan, Rayna meminta Sena memanggilnya Kakak. Begitu panggilan tersebut meluncur dari mulut Sena, Rayna meloncat seperti anak kecil. Ia begitu bahagia karena bisa mendapatkan adik perempuan.“Adik laki-laki itu memang bagus, tapi aku tidak mungkin menanyakan padanya pakaian manis. Tidak
“Apapun yang terjadi jangan merasa kasihan padanya!”Ratih mengatakan itu dengan sangat meyakinkan ketika akan berangkat. Namun, saat sudah sampai di rumah sakit dan memastikan jika mayat yang ditemukan memang Monik, tak urung dirinya menangis juga.Sena dilarang masuk ke dalam. Yang masuk untuk memeriksa hanya Reno, Ratih, dan Monik. Mereka sebelum masuk diberi peringatan oleh polisi. Sebab yang mereka saksikan cukup mengerikan.“Mama baik-baik saja?” Sena bertanya dengan cemas.Ratih mengeleng. “Tidak bisa dibilang baik-baik saja jika harus menyaksikan pemandangan seperti itu. Menyebalkan mengakuinya, tapi itu mengerikan.”Di sampingnya Rayna mengangguk membenarkan. “Pilihan tepat untuk meninggalkanmu di luar. Aku pikir akan kesulitan menelan makanan untuk beberapa lama setelah ini.”Sena tahu hal itu benar. Wajah tiga orang di depannya ini terlihat pucat. Sena jadi bertanya-tanya apa yang su
Apa sudah berhenti? Seluruh tubuhnya benar-benar remuk rasanya. Bukan hanya itu seluruh kekuatannya seolah tersedot keluar. Monik berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi. Ia berlari di gang dan kebingungan sendiri. Gang yang dimasuki ternyata rumit seperti labirin.Ketika ia merasa sudah berada di luar gang, ia tergangga dan menyadari jika bukannya menemukan jalan, tempat itu hanya bangunan-bangunan kotor. Beberapa orang preman duduk di depan bangunan dan terlihat tertarik melihat kedatangan Monik.“Tersasar, Dek?” tanya salah satu preman dengan tato yang tak jelas di bahunya.Monik mengabaikan pertanyaan itu. Ia menutup hidungnya karena bau air selokan semakin kuat karena hembusan angin. Ia memaki dalam hati karena asal lari dan tidak melihat ke mana arah tujuan jalan tersebut. Mungkin ia bisa kembali dan berbelok di arah lain pada belokan sebelumnya.“Sombong.”Karena terlalu berkonsentrasi berpikir, Monik tidak
Tidak ada yang berhasil! Tidak ada! Monik melarikan kendaraannya dengan kencang. Syukurlah ia berhasil kabur dari kejaran dan tak berpapasan dengan salah satu petugas keamanan di rumah sakit. Saat penguman pencarian seorang gadis dengan cadar warna hitam disampaikan melalui pengeras suara, Monik telah melewati satpam gerbang dan masuk ke dalam mobil. Ia melihat satpam yang menyadari keberadaannya mendekat dan melajukan mobil dengan cepat.Ada sesuatu yang meloncat ke atas mobil Monik. Ia kaget dan memanting stir tiba-tiba ke kiri. Mobilnya menghantam pembatas jalan dan kepalanya dengan keras terbentur setir. Semuanya tiba-tiba menjadi gelap selama sesaat. Akan tetapi, Monik cepat menguasai diri. Ia harus segera keluar dari mobil jika tidak ingin tertangkap. Polisi pasti sedang mengejarnya saat ini. Untunglah suasana jalanan sedang sepi.Seluruh persendian Monik terasa sakit. Namun, ia memaksakan diri untuk berjalan terus. Ia singah di toilet taman untuk member
Ratih memeluk putri tunggalnya erat-erat. Sesuai instruksi polisi ia bergerak ke rumah sakit pada malam hari. Seharian ini ia selalu mengontak Rayna menanyakan apa yang sedang dilakukan Sena. Sampai sore, ia tidak mendapat kabar kalau ada orang yang tidak dikenal mendekati putrinya. Namun, Rayna melaporkan Sena sukses membuat Reno bertekuk lutut.Saat itu Ratih hanya bisa membatin, Seperti itulah kekuatan seorang wanita yang sedang jatuh cinta.“Apa semuanya baik-baik saja, Sayang?”Ratih tahu tidak seharusnya menanyakan hal ini pada Sena. Ia sudah bertekad untuk membuat putrinya merasa aman. Ia juga sudah mengatakan pada Rayna kalau tidak perlu membuat Sena merasa cemas tentang kedatangan Monik ke rumah. Saat ini ia ke rumah sakit untuk membujuk Sena tinggal di sini semalam, kalau perlu sampai Monik tertangkap.Rasanya tempat Reno di rawat adalah daerah paling aman karena ada seorang polisi dan juga banyak orang yang be
“SENA!”Sena kaget karena Reno berteriak dan mengapai. Ia langsung menangkap tangan pemuda yang matanya masih terpejam tersebut. Dalam hati ia bertanya-tanya apa yang sedang terjadi.“Reno?” Ragu-ragu Sena menguncang bahu pemuda itu. Ia berharap yang dilakukan bisa membuat Reno tersadar. Akan tetapi, kemungkinan juga tidak. Reno masih dalam pengaruh obat bius.Reno mengenggam jemari Sena erat-erat. Seolah-olah Sena akan menghilang ketika tangannya dilepaskan. Sena tersenyum senang. Ia senang karena dirinya memiliki posisi sepenting itu di dalam hati Reno. Ia harap dirinya tidak hanya berkhayal saja.Rayna mengetuk pintu dari luar, lalu menjulurkan kepalanya. Ia tersenyum-senyum mendekati Sena. Ia tak menyangka adiknya yang bodoh sampai mengenggam tangan Sena tanpa sadar.“Heemmm!” Rayna terbatuk sedikit mengoda.Sena terkejut dan berusaha melepaskan genggaman tangan Reno. Tentu saja hal tersebut tidak berh
Tidak ada yang bisa membujuk Sena jika sudah bertekad. Sama seperti saat ia memutuskan tidan mengatakan apa yang sedang terjadi dalam kehidupan SMA-nya. Seperti saat ia diam saja diperlakukan tidak mengenakan oleh Adit. Atau saat Monik mengancamnya dahulu saat Reno berada di penjara. Begitu juga dengan sekarang. Tidak ada yang bisa mengubah keputusannya untuk datang ke rumah sakit dan tampak mengerikan di kamera. Ia sama sekali tidak peduli.Akan tetapi, lobi rumah sakit sepi. Sepertinya kabar ini belum sampai ke telinga para pencari berita. Mereka pasti masih terlalu fokus pada kematian Tora.“Reno ada di kamar VVIP. Aku sudah menduga kamu akan langsung kemari.”Sena memeluk Rayna segera. Kakak perempuan Reno tersebut selalu berhasil membaca situasi dengan baik saat Sena tidak bisa. Ia melepaskan pelukannya segera dan masuk ke ruangan rawat Reno.Kemeja yang digunakan Reno tidak dikancingkan. Perban melilit bagian perut dan sedikit dadanya. M
Walau berada pada bagian belakang kantor polisi, Sena bisa tahu kalau semua petugas sedang sibuk sekarang. Ia tidak mendengar kabar kalau ada orang penting akan datang ke daerah ini. Namun, kalau bukan alasan tersebut, lalu kenapa kantor yang telah ditinggali beberapa hari ini kalang kabut begini. Setelah hanya bisa mengamati dari sudut yang tidak nyaman dan mendengar kebisingkan yang ditimbulkan oleh orang-orang di depan, seorang petugas muncul dari ujung lorong menuju tempat Sena. Ia membuka kunci terali dan meminta Sena untuk mengikuti dirinya keluar. Sena tidak membantah. Sejak ia berada di dalam penjara, ia tak punya keinginan untuk membantah perintah orang. Sebenaranya sejak lama ia selalu ketakutan untuk melawan, walau akhirnya bisa melakukan hal tersebut. “Apa saya akan diinterogasi lagi?” tanya Sena. Polisi tersebut hanya mendorong pintu hingga terbuka. “Silakan masuk Nona, Anda akan tahu lebih jelasnya di dalam.” Sena tidak bisa berh
Rayna mengangkat ponselnya dengan kesal. Ia belum berhasil membujuk Ratih untuk makan. Ia sedang meminta bantuan Reno yang masih ada di kantor polisi meminta izin untuk membiarkan Sena bicara sebentar di telepon. Namun, sepertinya izin tersebut belum bisa di dapatkan setelah satu jam berlalu.“Ya, halo?” sapanya tanpa mengurangi sedikit pun aura kekesalannya.“Kamu baik-baik saja?” tanya seorang lelaki di telepon. Rayna menjauhan ponsel sedikit untuk melihat siapa pemanggil yang pura-pura akrab dengannya ini. Setelah tahu jika yang menghubunginya Fariq, ia menghirup napas dalam dulu sebelum kemudian mulai bicara kembali. “Maaf … hariku benar-benar sama sekali tidak terkendali. Ada apa?” tanya Rayna cepat.“Kamu sudah menghidupkan televisi?”Rayna tidak banyak bertanya. Ia segera berlari menuju ruang tengah dan menyambar remote TV. Dalam sekali tekan ia segera melihat berita berduka cita. Mata Rayna la