Bab 73"Dela!" Suara khas ibu mertua, wajahnya merah menahan marah. Dadaku bergetar kuat, lututku lemas terasa tulang lepas dari tempatnya, aku seperti kehilangan tenaga.Mas Irfan bertepuk tangan sambil menggelengkan kepala. Netranya tajam bagaikan pedang yang menghunus tepat di jantungku."Wanita macam apa kamu! Pergi dengan laki-laki lain tanpa izin suami! Mentang-mentang kamu sudah bekerja, seenaknya kamu jalan bersama orang yang bukan dengan mukrimnya." Omel wanita yang sejak dulu membenciku.Ya Alloh Ya Kareem, dalam hati aku menjerit. Kejam sekali tuduhan ibu mertuaku, aku berusaha menggigit bibir untuk mengurangi rasa sakit hatiku. Netraku mulai mengembun."Maaf, Bu ...""Tidak usah berkelit!" potong wanita yang selalu kuhormati dengan suara kasar. Aku terhenyak, hatiku terasa sakit sekali."Halah, maling tidak mungkin ngaku!" semprotnya lagi. Aku tidak diberi kesempatan untuk membela diri.Mata ibu mertua melotot, tangan kirinya berkecak pinggang, tangan kanan jari telunjukny
Bab 74 POV IRFAN"Fan, mumpung keluarga Nungky datang dari Surabaya, ayuk kita menemuinya," ajak ibu ketika aku akan ke bengkel memeriksa mobil-mobil yang sedang dikerjakan oleh karyawan dan mitra kerjaku."Untuk apa, Bu?" Aku mengerutkan dahi. Bukankah keluarga mereka sering kesini juga, aku sedikit memberi pengertian."Gimana sih Fan! Kamu gak ngerti-ngerti juga maksud Ibumu ini, kamu lelet kaya istrimu!" bentak Ibu.Sebenarnya aku paham maksud wanita yang menjadi pintu surgaku, tapi sengaja aku mengulur waktu.Jujur aku masih ragu dan tidak tega menyakiti Dela dengan cara menduakan dia.Walaupun ada laki-laki yang mengusik istriku, tapi aku masih ingin memastikan. Aku niat memberi kesempatan, siapa tahu hubunganku hangat kembali seperti saat kami masih belum punya anak."Ibu sudah beli oleh-oleh. Nanti setelah ngantar istrimu, kamu cepat pulang, bantu ibu ngemas oleh-oleh ini," titahnya penuh semangat, sambil tangannya menunjuk beberapa bungkusan di dalam tas kresek warna putih.
POV IRFANMobil kuparkirkan di halaman rumah Pugeran, berjajar dengan mobil lain dengan nomor polisi luar kota. Ada tiga mobil yang parkir disitu."Banyak juga tamunya," aku membatin.Ibu turun terlebih dahulu membawa dua jinjing tas, sedangkan aku membawa beberapa dos isi oleh-oleh, harus bolak-balik karena tidak bisa kubawa sekaligus.Fara dan Ilham yang melihatku dan neneknya datang langsung berteriak sambil melonjak kegirangan, mereka berlari kearah kami."Nenek! Papa! Asyik mereka datang!" sambutnya sambil berlari memeluknya sang nenek."Ma, Nenek dan Papa datang!" si kecil ikut membeo juga lari mengikuti kakanya memelukku.Duh, mereka dengan tegas memanggilku Papa, itu memang ibu yang menyuruh. Dan suka cita dua bocil itu dengan bangga berteriak dengan lantang.Aku tidak enak, apalagi di depan keluarga Mbak Nung. Nanti dikira aku sudah menjadi Papa mereka, mana tatapan keluarga Mbak Nung sebegitunya. Aku risih dan salah tingkah. Mbak Nung, dan keluarga besar dari Surabaya berdi
Bab 76"Irfan!" Suara ibu dengan nada tinggi, naik beberapa oktaf, langkahnya terburu-buru. Sepertinya ada berita penting yang akan disampaikan kepada anak kesayangan.Aku berhenti dibalik pintu mengintip dua anak manusia yang sedang berbincang di ruang tamu, membuatku penasaran.Telinga kupasang dengan baik pembicaraan mereka, bisik-bisik hampir aku tidak mendengar. Kira-kira apa yang mereka bicarakan?Wajah Ibu kelihatan bungah, setelah berbisik senyumnya mengembang. Sebaliknya Mas Irfan mengerutkan dahinya, tangannya menggaruk kepalanya sampai diulang berkali-kali.Pertanda dia bingung, sebagai istrinya aku paham kebiasaannya. Aku hanya bisa mengintip melihat gerak-gerik mereka.Ibu menarik tangan Mas Irfan, kemudian mereka duduk berdua, jangkauanku agak dekat sehingga aku bisa mendengar percakapannya."Ya udah, jangan lupa, besok kamu harus menemui Pak Herman sebelum rombongan mereka pulang ke Surabaya.""Ada apa ya, Bu." balas Mas Irfan."Sudahlah datang saja, Ibu juga tidak tah
Bab 77. "Assalamualakum" Dengan suara berat, khas Pak Syamsul."Apa kabar, Pak," jawabku setelah menjawab salamnya."Maaf Bu Dela, saya baru bisa mengabari berhubung kesibukan saya yang padat. Selain itu, pembayaran pembebasan tanah ini sedikit molor karena harus bertahap, banyak sekali yang harus diselesaikan, Bu." Panjang sekali penjelasan Pak Syamsu Notaris dari Sragen."Alhamdulillah, terima kasih Pak Syamsul. Saya maklum dengan kesibukan Bapak, semoga Pak Syamsul diberi kesehatan, Aamiin.""Terima kasih Bu Dela, saya tidak bisa datang untuk menyerahkan ini, terpaksa saya kirim. Uang ibu sudah saya transfer dengan jumlah sesuai yang disepakati, nanti mohon di cek.""Alhamdulillah, sekali lagi terima kasih Pak Syamsul." Ucapku dengan rasa haru dan bahagia.Setelah mengakhiri percakapan dengan Pak Syamsul, aku langsung melorot ke lantai. Sementara tangan kiriku menahan bayi, kemudian kuajak sujud syukur mengucapkan terima kasih kepada sang khalik.Sedetik aku bingung, apa yang
Bab 78POV IRFANAku ingin memperbaiki hubunganku dengan istri tercinta, setelah cemburuku tidak beralasan kepada Andre, aku berani menyebut nama laki-laki itu karena memang aku saja yang terlalu berlebihan.Setelah kejadian di Rumah Sakit, ketika anakku badannya panas tinggi, aku baru terbuka kalau Andre niatnya tulus ingin menolong Dela. Satpam kantor Dela juga mengatakan hal sama, dia sebagai saksi kalau Andre niatnya baik.Apalagi pesan Andre yang terakhir membuatku tersadar, kalau aku sudah tidak sanggup mencintai Dela, dia akan mengambil paksa. Aku tersenyum sinis waktu itu.Setelah kucerna, memang betul kata Andre, buat apa aku menyiksa Dela? Kalau memang sudah tidak sanggup untuk mencintainya, Andre yang bakal mengambil alih.Akhirnya aku tersadar.Sebenarnya awal masalahnya ketika aku disuruh ibu untuk menikahi Mbak Nung. Sehingga membuat aku uring-uringan dan melempar kesalahan itu kepada Dela dan Andre.Hati nuraniku menciptakan opini yang salah, Andre kubuat sebagi kambin
Bab 79 #POV IRFAN (Ibu Mertuaku Terlalau Ikut Campur)"Istri pertamanya, mana?" tanya Ustadz Zainal, setelah membaca berkasku yang disodorkan ibu.Deg! Aku kaget bukan kepalang. Dela? Ya, istriku hanya Dela. Aku membatin."Sedang tidak enak badan, Pak Ustd." Jawab Ibu cepat. Aku menoleh kearah ibu, wanita paruh baya itu mengedipkan matanya.Aku tidak menyangka ibu berbohong kepada mereka, Ustadz Zainal manggut-manggut sambil melirikku. Dalam hati aku kesal sekali, dikiranya aku yang butuh pernikahan siri ini."Ok lah, kalau memang begitu. Yang pasti tidak keberatan, kan?" Ustadz Zainal melorotkan kaca mata plusnya, nanar menatapku."Tidak." Masih ibu yang memjawab. Pak Ustadz manggut-manggut, setelah itu berkasku dipinggirkan.Ibu mengeluarkan bungkusan yang dibawa tadi, lalu di dekatkan Pak Ustadz, ternyata maharnya berupa seperangkat alat salat.Sebelumnya Pak Ustadz Zainal memberi tausyiah panjang lebar tentang nikah siri. Semua diam mendengarkan dengan khusuk.Pikiranku malah j
Bab 80Setelah kuberi n3n3n, bayi gembul itu tidak mau tidur, rupanya dia mengajak bercanda. Padahal aku masih ingin meneruskan chat yang tadi sempat kuketik, dan belum sempat kirim ke Diana.Bayi montok itu kugeletakkan di tempat tidur, kutaruh beberapa boneka supaya dia bisa bermain dengan mainan itu.Kuambil ponsel, lalu kutekan nama Diana. Ternyata masih ada chat yang tadi belum sempat kukirim, sebelum kukirim, kuperiksa sekali lagi. Setelahnya langsung kukirim ke sahabat sejatiku itu.Tidak sampai hitungan menit, ada notifikasi masuk, dari Diana. Aku berbaring di sebelah bayi gembul sambil membuka benda gepeng.Kubiarkan Zaqi mengganggu dengan tangan jahilnya, sontak aku menoleh, membuatknya terkekeh. Lalu kuulangi sekali lagi. Gemes sekali melihat bayi montokku, dia tertawa senang setelah kutowel pipinya.[Del, kamu serius akan membatalkan beli rumah itu? Sayang sekali, bukannya kamu sudah cocok semuanya, termasuk harganya juga]Aku langsung menekan gambar telepon, tidak sabar k