Bab 80Setelah kuberi n3n3n, bayi gembul itu tidak mau tidur, rupanya dia mengajak bercanda. Padahal aku masih ingin meneruskan chat yang tadi sempat kuketik, dan belum sempat kirim ke Diana.Bayi montok itu kugeletakkan di tempat tidur, kutaruh beberapa boneka supaya dia bisa bermain dengan mainan itu.Kuambil ponsel, lalu kutekan nama Diana. Ternyata masih ada chat yang tadi belum sempat kukirim, sebelum kukirim, kuperiksa sekali lagi. Setelahnya langsung kukirim ke sahabat sejatiku itu.Tidak sampai hitungan menit, ada notifikasi masuk, dari Diana. Aku berbaring di sebelah bayi gembul sambil membuka benda gepeng.Kubiarkan Zaqi mengganggu dengan tangan jahilnya, sontak aku menoleh, membuatknya terkekeh. Lalu kuulangi sekali lagi. Gemes sekali melihat bayi montokku, dia tertawa senang setelah kutowel pipinya.[Del, kamu serius akan membatalkan beli rumah itu? Sayang sekali, bukannya kamu sudah cocok semuanya, termasuk harganya juga]Aku langsung menekan gambar telepon, tidak sabar k
Bab 81Sesampainya di kantor, aku segera turun, Mas Irfan membantu menurunkan tas bawaan untuk keperluan Zaqi, lalu ditaruh di atas meja satpam. Ada dua tas, yang satu baju ganti dan perlengkapannya, satunya beberapa botol berisi ASI, yang sebelumnya sudah kupompa. Kuraih punggung tangan Mas Irfan, lalu kucium. Laki-lakì yang di panggil Ayah oleh Zaqi menciumku lalu mencium pipi buah hatinya."Asaalamualaikum Ayah," tukasku menirukan suara bayi."Walaikumssalam, anak Ayah," balas Mas Irfan dengan suara anak kecil.Setelah pamit ke Mbak Nung, kuayun langkahku masuk ke kantor. Maksud hati akan menaruh tas lebih dulu biar tidak ribet, setelah itu mengantar Zaqi di penitipan bayi dan anak yang terletak di belakang kantor.Dari balik cendela kantor, aku melihat Mbak Nung keluar mobil, lalu pindah duduk depan disamping Mas Irfan."Iya, bener gitu, biar Mas Irfan tidak seperti sopirnya." batinku. Netraku menatap mobil suamiku sampai menghilang .Aku berjalan menuju ke penitipan bayi, di sana
82 Sampai rumah aku ingin segera mandi setelah meletakkan Zaqi dikereta bayi, dia sih sudah mandi, sudah harum sudah kenyang juga, tinggal bermain saja.Aku bermaksud menitipkan ke Mas Irfan biar dijaga sebentar, nanti gantian mandinya. Belum sempat aku bicara, Mas Irfan sudah maauk ke kamar mandi.Barangkali dia juga gerah, tak apalah. Seharian cuaca memang panas, aku pinginnya berendam di air. Mas Irfan pasti mengalami hal yang sama, gerah. Kereta bayi siap akan kudorong keluar, ke kamar tamu, supaya Zaqi tidak bosan. Kudengar Mas Irfan bersenandung di dalam kamar mandi, menunjukkan kalau dia bahagia bersentuhan dengan air.Tidak lama kemudian laki-laki hitam manis itu keluar kamar mandi dengan rambut basah. Keramas lagi? Aku membatin. Bukannya tadi pagi sudah keramas? Apa ini panasnya kebangetan, ya?Mungkin iya, aku menjawab sendiri sambil mendorong kereta bayi keluar kamar. Setelah bayi anteng aku membuatkan kopi buat Mas Irfan, aku sendiri ingin minum teh hangat.Mas Irfan ke
83. "Hallo, Di?" Suaraku bergetar sudah tidak sabar ingin berbicara dengan sahabat sejatinya, kalau untuk mahkluk hanya dia tempatku mencurahkan isi hati."Hallo, Say. Kenapa suaramu aneh, kaya gitu?" tegur Diana."Jangan lupa besok jemput aku lagi, antar ke Notaris!" tegasku.Aku tidak mau basa-basi langsung saja, karena emosiku belum bisa kukendalikan, buktinya suara gemetarku tidak bisa kusembunyikan."Loh, loh, kan emang udah sepakat mau kesana besok. Ini kenapa kaya emosi gitu, sih," selidik Diana."Aku pingin cepat-cepat beli rumah itu." Suaraku nada tinggi, berusaha mengendalikan nafas yang naik turun."Ini ada apa, kok tiba-tiba emosi." Goda Diana."Ceritanya panjang, besok saja kalau ketemu." Ketusku.Terdengar suara tawa Diana dari seberang telepon, membuatku cemberut. "Bukannya ditolong, malah diketawain," sergahku."Kamu itu aneh! Kemaren minta dibatalkan pembelian rumahnya, alasannya ceritanya panjang, kalau ketemu akan diceritain. Sekarang minta cepat-cepat beli rumah,
84. POV IRFAN.Setelah menikah secara siri, otomatis statusku berubah. Istriku menjadi dua, Dela dan Nungky. Bagaimana perasaanku saat ini? Apakah aku bahagia? Entahlah.Jujur, aku sendiri bingung bagaimana nanti menjalaninya dengan istri dua. Tidak terbesit dibenakku kalau aku sampai mempunyai istri lebih dari satu.Dan yang membuat tidak nyaman, istri keduaku adalah kakak iparku sendiri. Semua ibuku yang mengendalikan, aku hanya menurut saja apa kemauannya. Aku tidak sanggup menolaknya, sudah kuterangkan secara jelas keberatanku. Tapi ibu tidak mau tahu, aku harus menikahi Mbak Nungky, titik.Sulit bagiku untuk menyampaikan kepada Dela tentang kemauan ibu yang tidak masuk akal. Dimulai dari mana aku harus mengatakannya? Dia istri yang baik, setia. Mulanya aku curiga kalau dia selingkuh dengan mantan pacaranya, sehingga aku punya alasan untuk menceraikannya dan menuruti kemauan ibu.Ternyata Dela tidak terbukti kalau dia bermain belakang dengan Andre. Maka aku bingung tidak ada al
85 #POV IRFANMobil sudah siap di halaman untuk mengantarkan dua bidadari ke kantor masing-masing. Aku menunggu di depan setelah mesin mobil kupanasi.Dela keluar menggendong Zaqi sambil menenteng tas, aku mengambil alih tas keperluan anakku. LaluZaqi kugendong sebentar supaya bundanya duduk dengan nyaman, setelah itu bayi lucu itu kuserahkan.Aku celingukan menunggu Mbak Nung yang belum keluar. Tadi sepertinya sudah siap berangkat, apa masih mengeringkan rambut, ya?Langkahku merasuk kedalam, aku berpapasan dengan Mbak Nung di depan pintu. Rambutnya sudah nampak kering."Semalam dompetnya tertinggal di kamar," bisiknya.Mbak Nung masuk ke dalam, aku membuntutinya dari belakang. Lalu kuambil dompetku yang ada di nakas."Jangan lupa nanti tidak turun di terminal lo, langsung ke Wonosari." Suaranya manja sambil mendorong tubuhku keluar kamar.Aku mengangguk, sekilas kulirik istri keduaku. Mbak Nung kelihatan anggun, aku bukan membedakan dengan istri pertama, tapi aku harus mengaku
86. Esoknya kami hanya bertiga berangkat ke kantor, formasi tidak lenkap. Aku iseng menanyakan Fara, rasanya aku sudah berhari-hari tidak bertemu dengan balita kriwil itu.Kata Mbak Nung Fara badannya panas, nanti akan diantar ke dokter sama Nenek, sama mbak baru yang menemani kemanapun pergi."Mbak baru?" tanyaku."Iya, Dik. Kucarikan embak-embak untuk ngurus Fara dan Ilham," jelas Mbak Nung."Oh, pantesan aku lihat Fara ada teman bermain." Aku manggut-manggut."Iya, Dik. Fara dah mulai TK, biar ada yang antar jemput," imbuhnya."Tak tearasa Fara sudah besar, ya Mbak. Sebentar lagi SD." Aku menggumam.Ketika melintasi Terminal Jombor, mobil tidak berhenti. Mbak Nung akan diantar sampai tujuan, aku juga tidak tanya karena sudah diberi tahu Mbak Nung kemaren.Hari ini aku ada janjian penting dengan pemilik rumah, kita akan diajak ke Notaris yang ditujuk. Semoga urusanku dilancarkan dan dimudahkan Nya. Aamiin. Tepat jam istirahat, Diana menjemputku. Mobilnya sudah parkir di halaman ka
87 "Di?" Sapaku, tidak sabar ingin segera menyapa orang yang selalu memberikan solusi."Siap, Nyonya Besar." Goda Diana, membuatku geli. Ada-ada saja anak ini."Kamu boleh mengajakku kemana saja, Mas Irfan pergi mengantar Ibu ke Surabaya." Aku menantang."Kakakmu yang janda itu juga ikut?" ketus Diana."Iya lah, semua keluarga cemara ikut, kecuali aku," jelasku."Sebaiknya kamu dirumah saja, kalau ikut suamimu tidak bebas.!" sentaknya."Maksudnya apa, Di?" Aku langsung cemberut."Pesona kakak iparmu, Del, membahayakan suamimu." ujarnya.Diana terkekeh, tertawanya sinis seakan mengejekku, aku semakin cemberut. Aku mencoba mencerna kalimat wanita gigih itu, tapi tidak kutemukan."Ok, besok pulang dari kantor aku jemput, ya.""Deal" jawabku.Setelah sepakat untuk acara besok, tidak lama kemudian hubungan komunikasi kami terputus.***Malam kulewati berdua dengan buah hatiku, Zaqi.Ternyata aku tidak bisa tidur, membayangkan kira-kira Mas Irfan sedang apa ya disana?.Sambil menunggu jawa