Bab 77. "Assalamualakum" Dengan suara berat, khas Pak Syamsul."Apa kabar, Pak," jawabku setelah menjawab salamnya."Maaf Bu Dela, saya baru bisa mengabari berhubung kesibukan saya yang padat. Selain itu, pembayaran pembebasan tanah ini sedikit molor karena harus bertahap, banyak sekali yang harus diselesaikan, Bu." Panjang sekali penjelasan Pak Syamsu Notaris dari Sragen."Alhamdulillah, terima kasih Pak Syamsul. Saya maklum dengan kesibukan Bapak, semoga Pak Syamsul diberi kesehatan, Aamiin.""Terima kasih Bu Dela, saya tidak bisa datang untuk menyerahkan ini, terpaksa saya kirim. Uang ibu sudah saya transfer dengan jumlah sesuai yang disepakati, nanti mohon di cek.""Alhamdulillah, sekali lagi terima kasih Pak Syamsul." Ucapku dengan rasa haru dan bahagia.Setelah mengakhiri percakapan dengan Pak Syamsul, aku langsung melorot ke lantai. Sementara tangan kiriku menahan bayi, kemudian kuajak sujud syukur mengucapkan terima kasih kepada sang khalik.Sedetik aku bingung, apa yang
Bab 78POV IRFANAku ingin memperbaiki hubunganku dengan istri tercinta, setelah cemburuku tidak beralasan kepada Andre, aku berani menyebut nama laki-laki itu karena memang aku saja yang terlalu berlebihan.Setelah kejadian di Rumah Sakit, ketika anakku badannya panas tinggi, aku baru terbuka kalau Andre niatnya tulus ingin menolong Dela. Satpam kantor Dela juga mengatakan hal sama, dia sebagai saksi kalau Andre niatnya baik.Apalagi pesan Andre yang terakhir membuatku tersadar, kalau aku sudah tidak sanggup mencintai Dela, dia akan mengambil paksa. Aku tersenyum sinis waktu itu.Setelah kucerna, memang betul kata Andre, buat apa aku menyiksa Dela? Kalau memang sudah tidak sanggup untuk mencintainya, Andre yang bakal mengambil alih.Akhirnya aku tersadar.Sebenarnya awal masalahnya ketika aku disuruh ibu untuk menikahi Mbak Nung. Sehingga membuat aku uring-uringan dan melempar kesalahan itu kepada Dela dan Andre.Hati nuraniku menciptakan opini yang salah, Andre kubuat sebagi kambin
Bab 79 #POV IRFAN (Ibu Mertuaku Terlalau Ikut Campur)"Istri pertamanya, mana?" tanya Ustadz Zainal, setelah membaca berkasku yang disodorkan ibu.Deg! Aku kaget bukan kepalang. Dela? Ya, istriku hanya Dela. Aku membatin."Sedang tidak enak badan, Pak Ustd." Jawab Ibu cepat. Aku menoleh kearah ibu, wanita paruh baya itu mengedipkan matanya.Aku tidak menyangka ibu berbohong kepada mereka, Ustadz Zainal manggut-manggut sambil melirikku. Dalam hati aku kesal sekali, dikiranya aku yang butuh pernikahan siri ini."Ok lah, kalau memang begitu. Yang pasti tidak keberatan, kan?" Ustadz Zainal melorotkan kaca mata plusnya, nanar menatapku."Tidak." Masih ibu yang memjawab. Pak Ustadz manggut-manggut, setelah itu berkasku dipinggirkan.Ibu mengeluarkan bungkusan yang dibawa tadi, lalu di dekatkan Pak Ustadz, ternyata maharnya berupa seperangkat alat salat.Sebelumnya Pak Ustadz Zainal memberi tausyiah panjang lebar tentang nikah siri. Semua diam mendengarkan dengan khusuk.Pikiranku malah j
Bab 80Setelah kuberi n3n3n, bayi gembul itu tidak mau tidur, rupanya dia mengajak bercanda. Padahal aku masih ingin meneruskan chat yang tadi sempat kuketik, dan belum sempat kirim ke Diana.Bayi montok itu kugeletakkan di tempat tidur, kutaruh beberapa boneka supaya dia bisa bermain dengan mainan itu.Kuambil ponsel, lalu kutekan nama Diana. Ternyata masih ada chat yang tadi belum sempat kukirim, sebelum kukirim, kuperiksa sekali lagi. Setelahnya langsung kukirim ke sahabat sejatiku itu.Tidak sampai hitungan menit, ada notifikasi masuk, dari Diana. Aku berbaring di sebelah bayi gembul sambil membuka benda gepeng.Kubiarkan Zaqi mengganggu dengan tangan jahilnya, sontak aku menoleh, membuatknya terkekeh. Lalu kuulangi sekali lagi. Gemes sekali melihat bayi montokku, dia tertawa senang setelah kutowel pipinya.[Del, kamu serius akan membatalkan beli rumah itu? Sayang sekali, bukannya kamu sudah cocok semuanya, termasuk harganya juga]Aku langsung menekan gambar telepon, tidak sabar k
Bab 81Sesampainya di kantor, aku segera turun, Mas Irfan membantu menurunkan tas bawaan untuk keperluan Zaqi, lalu ditaruh di atas meja satpam. Ada dua tas, yang satu baju ganti dan perlengkapannya, satunya beberapa botol berisi ASI, yang sebelumnya sudah kupompa. Kuraih punggung tangan Mas Irfan, lalu kucium. Laki-lakì yang di panggil Ayah oleh Zaqi menciumku lalu mencium pipi buah hatinya."Asaalamualaikum Ayah," tukasku menirukan suara bayi."Walaikumssalam, anak Ayah," balas Mas Irfan dengan suara anak kecil.Setelah pamit ke Mbak Nung, kuayun langkahku masuk ke kantor. Maksud hati akan menaruh tas lebih dulu biar tidak ribet, setelah itu mengantar Zaqi di penitipan bayi dan anak yang terletak di belakang kantor.Dari balik cendela kantor, aku melihat Mbak Nung keluar mobil, lalu pindah duduk depan disamping Mas Irfan."Iya, bener gitu, biar Mas Irfan tidak seperti sopirnya." batinku. Netraku menatap mobil suamiku sampai menghilang .Aku berjalan menuju ke penitipan bayi, di sana
82 Sampai rumah aku ingin segera mandi setelah meletakkan Zaqi dikereta bayi, dia sih sudah mandi, sudah harum sudah kenyang juga, tinggal bermain saja.Aku bermaksud menitipkan ke Mas Irfan biar dijaga sebentar, nanti gantian mandinya. Belum sempat aku bicara, Mas Irfan sudah maauk ke kamar mandi.Barangkali dia juga gerah, tak apalah. Seharian cuaca memang panas, aku pinginnya berendam di air. Mas Irfan pasti mengalami hal yang sama, gerah. Kereta bayi siap akan kudorong keluar, ke kamar tamu, supaya Zaqi tidak bosan. Kudengar Mas Irfan bersenandung di dalam kamar mandi, menunjukkan kalau dia bahagia bersentuhan dengan air.Tidak lama kemudian laki-laki hitam manis itu keluar kamar mandi dengan rambut basah. Keramas lagi? Aku membatin. Bukannya tadi pagi sudah keramas? Apa ini panasnya kebangetan, ya?Mungkin iya, aku menjawab sendiri sambil mendorong kereta bayi keluar kamar. Setelah bayi anteng aku membuatkan kopi buat Mas Irfan, aku sendiri ingin minum teh hangat.Mas Irfan ke
83. "Hallo, Di?" Suaraku bergetar sudah tidak sabar ingin berbicara dengan sahabat sejatinya, kalau untuk mahkluk hanya dia tempatku mencurahkan isi hati."Hallo, Say. Kenapa suaramu aneh, kaya gitu?" tegur Diana."Jangan lupa besok jemput aku lagi, antar ke Notaris!" tegasku.Aku tidak mau basa-basi langsung saja, karena emosiku belum bisa kukendalikan, buktinya suara gemetarku tidak bisa kusembunyikan."Loh, loh, kan emang udah sepakat mau kesana besok. Ini kenapa kaya emosi gitu, sih," selidik Diana."Aku pingin cepat-cepat beli rumah itu." Suaraku nada tinggi, berusaha mengendalikan nafas yang naik turun."Ini ada apa, kok tiba-tiba emosi." Goda Diana."Ceritanya panjang, besok saja kalau ketemu." Ketusku.Terdengar suara tawa Diana dari seberang telepon, membuatku cemberut. "Bukannya ditolong, malah diketawain," sergahku."Kamu itu aneh! Kemaren minta dibatalkan pembelian rumahnya, alasannya ceritanya panjang, kalau ketemu akan diceritain. Sekarang minta cepat-cepat beli rumah,
84. POV IRFAN.Setelah menikah secara siri, otomatis statusku berubah. Istriku menjadi dua, Dela dan Nungky. Bagaimana perasaanku saat ini? Apakah aku bahagia? Entahlah.Jujur, aku sendiri bingung bagaimana nanti menjalaninya dengan istri dua. Tidak terbesit dibenakku kalau aku sampai mempunyai istri lebih dari satu.Dan yang membuat tidak nyaman, istri keduaku adalah kakak iparku sendiri. Semua ibuku yang mengendalikan, aku hanya menurut saja apa kemauannya. Aku tidak sanggup menolaknya, sudah kuterangkan secara jelas keberatanku. Tapi ibu tidak mau tahu, aku harus menikahi Mbak Nungky, titik.Sulit bagiku untuk menyampaikan kepada Dela tentang kemauan ibu yang tidak masuk akal. Dimulai dari mana aku harus mengatakannya? Dia istri yang baik, setia. Mulanya aku curiga kalau dia selingkuh dengan mantan pacaranya, sehingga aku punya alasan untuk menceraikannya dan menuruti kemauan ibu.Ternyata Dela tidak terbukti kalau dia bermain belakang dengan Andre. Maka aku bingung tidak ada al