Bab 24 POV IRFANAku tertunduk lesu, usahaku sia-sia. Seharusnya tadi malam gawaiku kuisi baterai sampai penuh, supaya aku bisa mengubunginya, setidaknya aku bisa melihat kode boking tiket kereta api yang aku pesankan, dan berapa nomor kursi sekaligus gerbongnya, sebelum gawaiku off.Seandainya aku bisa menemukan gerbongnya, aku pasti mendatangi, bisa ngobrol, walaupun hanya sebentar. Setidaknya bisa melepas rindu selama tujuh hari ke depan.Kupandangi kereta api jurusan Yogja-Surabaya yang membawa penumpang, salah satunya orang yang sangat berarti bagiku, sampai kereta itu menghilang dari pandanganku. Bersamaan dengan itu juga seakan separo jiwaku hilang.Kembali pandanganku menunduk, kedua tanganku kumasukkan saku celana, langkah kaki yang lunglai terpaksa kuayunkan menuju tempat parkir mobil.Tidak biasanya aku lesu seperti ini, bukan karena kurang tidur, atau belum sarapan, juga bukan belum mandi. Tetapi, ada yang hilang di hatiku.Kuhidupkan mesin mobil, kujalankan pelan-pelan me
Bab 25 POV IRFAN"Ok, terima kasih, ponakan om yang cantik,"Alhamdulillah, bisikku."Fan, ibu belum selesai bicara, lho," Suara ibu terdengar samar.Kuayunkan langkah seribu untuk menemui tamu di depan. Aku bersyukur sekali dengan adanya tamu, untuk sementara waktu aku bisa menghindar dari ibu.Ternyata Yanto yang datang, seperti yang kuharapkan, dia membawa asisten. Kupersilahkan mereka untuk segera menangani mobil yang butuh sentuhannya.Sebenarnya ibu menyuruhku untuk menutup bengkel, supaya aku fokus mengurusi Mbak Nung yang sedang melahirkan, antar ini dan itu untuk keperluannya.Disisi lain banyak pemilik mobil yang minta segera dibetulkan. Aku tidak mau mengecewakan pelanggan, sehingga semua tetap kulayani.Rejeki tidak bisa ditolak, ada saja mobil yang masuk bengkel, dengan kerusakan berbeda. Aku pun menghubungi mitraku yang lain, namanya Supri dan team untuk membantuku segera.Tadi ibu mengabarkan kalau keluarga Mbak Nung akan datang sore nanti. Aku tidak bisa membayangkan ba
Bab 26Kereta api jurusan Surabaya itu terus melaju ke arah timur, Air mataku masih meleleh memikirkan Mas Irfan yang sudah menyempatkan waktunya untuk menemuiku, namun tidak bertemu.Penyesalanku tiada habisnya, seharusnya kiriman chat dari Mas Irfan segera kubuka, supaya tahu kalau yang berdiri di stasiun tadi, yang terlihat sepintas olehku adalah Mas Irfan, bukan orang lain.Tanganku merogoh tisu yang kusimpan di dalam tas, kususuti air mata yang tidak bisa kuhentikan. Jilbabku juga sudah basah bercampur air mata dan ingus. Wajakku kuhadapkan keluar, pura-pura melihat pemandangan sawah, sehingga wanita di sebelahku tidak curiga. Padahal pandanganku kabur, air mataku menganak sungai.Kenapa ponsel Mas Irfan tidak bisa kuhubungi?Sengaja dimatikan karena marah? sebab aku tidak membuka chatnya? Atau memang mati karena baterai habis.Bisa jadi baterainya habis, sebab Mas Irfan sering lupa. Hampir setiap malam aku selalu mengingatkan, bahkan aku yang mencolokannya. Kembali kususuti
Bab 27"Walaikumssalam" balas keduanya, sambil berdiri. Kedua tangan mereka memyambutku, aku langsung menghambur kepelukan bapak dan Ibuk bergantian. Mata bapak kelihat merah, ibuk juga berkaca-kaca. Air mataku sudah menganak sungai.Kami semua kangen. Kelihatan dari pelukan mereka kalau kedatanganku sangat ditunggu. Kucium punggung tangannya satu persatu. Walaupun senyumannya mengembang, sorot mata mereka seperti mencari sesuatu ketika mas sopir pamit, setelah menurunkan barang bawaanku."Alhamdulillah, kamu bisa pulang," ucap mereka setelah kami saling berpelukan. Ibu menciumi seakan melampiaskan rasa rindunya yang selama ini ditahan."Kamu sendirian, Nduk," tanya bapak, masih celingukan setelah mobil carteran itu menghilang dari pandangan"Tumben, Nduk. Kemana suamimu?" lanjut ibu cemas.Aku menghabiskan minuman yang disodorkan ibu, lalu gelas yang sudah kosong kutaruh di atas meja."Oh, ya. Mas Irfan titip sungkem untuk bapak dan ibu. Gak bisa ngantar Dela pulang, karena mene
Bab 28"Yang." Terdengar suara Mas Irfan setelah kugeser tombolnya. Terlihat wajahnya yang hitam manis dengan senyum sumringah."Astaghfirullah aladzin!" teriakku kaget. Jantungku hampir copot melihat dilayar ada Mas Irfan. Aku mengucek kedua mataku. Ini mimpi, apa nyata, ya?"Tanteeee!" teriak bocil berambut kriwil yang membuatku sadar kalau ini bukan khayalanku, ini memang wajah Mas Irfan.Aku mengatur nafasku yang sempat berpacu dengan cepat. Bangun tidur tiba-tiba bisa melihat wajah suamiku dilayar pipih itu."Tante, dimanaaa," tanya balita cantik itu, dengan teriakan panjang."Tante di tempat Nenek Sragen," jawabku setelah bocil agak tenang. Setelahnya balita kriwil itu pergi, dia sempat melambaikan tangan."Yang, apa Sayang lihat setan? kok beristighfar? Lagian wajahnya pucat kaya gitu," Mas Irfan menatapku penuh seksama.Aku tersenyum malu, pasti wajahku acak-acakan. Kutarik kerudung warna biru yang menggantung didekat kursi, langsung kupakai."Udah gitu aja, cuma Mas, kok yang
Bab 29Kulihat, ternyata dari Diana. Aku berharap pesan dari Mas Irfan untuk meminta maaf atas nama ibunya yang sudah keterlaluan terhadapku. Berkata kasar dan tidak punya perasaan.Segera kugeser layar ponsel, lalu ku tekan atas nama Diana. Siapa tahu ada berita penting.[Sudah isi link, belum? Besok terakhir, Del] pesan dari sahabat yang peduli denganku.[Alhamdulillah, sudah, Di. Barusan] balasku.[Syukurlah, Ya udah kalau gitu] tulisnya lagi.[Cuma nanya gitu doang?] balasku kesal. Aku ingin komunikasi lebih, sepertinya dia lagi sibuk bersama sang buah hati.Terbukti, pesan terakhirku masih centang satu. Aku maklum dengan kesibukannya, lumayan dia masih mau mengingatkanku.Kuletakkan ponsel begitu saja, hatiku masih pilu mengenang kelakuan ibu mertua terhadapku. Kuambil lagi ponsel, kugeser mencari nama Mas Irfan, tiba-tiba aku resah, kemudian kuletakkan lagi.Aku ingin sekali menghubungi, tetapi aku trauma, takut kalau ibu mertua yang menerima teleponku., Dikira aku wanita gata
Bab 30 Sebelum ibu menutup pintu meninggalkanku, aku meminta untuk memgantarkan ke kamar mandi, aku tidak kuat pergi sendiri. Selain kepalaku pusing, mata berkunang-kunang, perut juga mual. Ibu menuntunku. Sesampainya di kamar mandi, semua isi perutku keluar tanpa terkecuali. Dengan sabar ibu menunggu sampai selesai, takut kalau aku jatuh, katanya "Terima kasih, Bu." Mataku mengembun. Kasih sayangnya tidak berkurang walaupun aku sudah menjadi istri orang. Lebih-lebih kalau aku pulàng ke Sragen, apalagi kalau sedang sakit seperti ini.Bahkan kadang diperlakukan seperti masih anak-anak. Makan ditungguin, tidur ditemani, mau apa saja diambilkan, diantar kemana-mana. Kalau pergi tidak segera pulang, perasaan mereka was-was.Beda rasanya kasih sayang Ibu kandung dengan ibu mertua. Ibu mertuaku sama sekalai tidak ada rasa sayangnya. Namun, sebaliknya aku menganggap ibu mertua juga seperti ibu kandungku sendiri, kuhormati dan kusayangi."Gak main-main, ini sakitmu. Nduk!" Kata Ibu cema
Bab 31 Kulihat jam ketika mengirim pesan dari Mas Irfan. Oh, tadi aku ketiduran waktu menunggu kabar darinya. Aku kesal sekali.Kubaca lagi pesan selanjutnya.[Yang angkat teleponnya, aku jadi gilaaa kalau gini caranya][yang, kemana aja] dan masih banyak lagi, dengan kalimat yang sama. Aku tertegun, ternyata sudah puluhan kali dia menghubungiku. Kutarik nafas panjang, lalu kuhempaskan pelan.Sebaiknya aku saja yang akan menghubungi, toh belum malam sekali. Biasanya jam segini Mas Irfan berada di bengkel. Kadang mengerjakan sesuatu, entah itu lembur atau memberesi motor bututnya yang dimodivikasi. Ada saja yang dikerjakannya.Kutekan nomor yang kutandai dengan nama suamiku.Sekali, tidak diangkat, dua kali, tiga kali, sampai lima kali, masih tidak diangkat juga. Aku khawatir kalau sampai berkali-kali Ibunya yang mengangkatnya. Kuketik juga pesan balasan.[Mas, kemana aja sih, Mas susah dihubungi juga][Mas Irfan, Mas Irfan...]Akhirnya aku lelah, hape kusingkirkan jauh karena
Bab 96 Tamat.Di dalam perjalanan menuju kantor, pikiranku mengingat kejadian kemaren, dimana aku dituduh selingkuh setelah Mas Irfan mendapat kiriman foto dari temannya.Foto-foto itu diambil dari status Andre, kemudian dikirim ke Mas Irfan, kemaren kudengar seperti itu, ketika ibunya bertanya.Aku membuang nafas kasar.Emang ada yang salah kalau kita foto-foto? Sesaat keningku berkerut, lalu menyalahkan Andre kenapa juga dia pasang status seperti itu.Aku tidak tahu kenapa Mas irfan tidak cerdas, hanya selembar foto akan dijadikan barang bukti perselingkuhan? Dimana selingkuhnya? Aku mengambil gawai lalu kulihat foto yang dikirim Mas Irfan. Kuamati satu-satu, sampai ku zoom. Di dalam foto posisiku duduk dipinggir, Diana di tengah, sedangkan Andre duduk disebelahnya Diana.Aku tersenyum tipis.Kamu lucu dan aneh, Mas. Dengan mencari-cari alasan yang tidak masuk akal kamu akan segera menceraikanku. Jangan khawatir Mas, sebelum kau cerai aku akan pergi dari kehidupanmu dan ibu, itu ka
Bab 95 Tetap kutahan emosiku, harus sabar dan berlapang dada supaya bisa mendengar ocehan mereka selanjutnya.Tadi malam aku berdoa setelah salat istikaroh, andai aku masih diizinkan bersama Mas Irfan tunjukkan kebaikannya, sebaliknya kalau ada kejelekan dia, aku pasrah kalau harus berpisah.Kupingku kembali kupasang dengan seksama."Beruntung istrimu selingkuh ini kesempatan yang baik untuk segera kau ceraikan!" kata ibu mertua.Deg! Dadaku bergemuruh, ujung mataku langsung menghangat, tega sekali ibu mertua menuduhku seperti itu."Iya, Bu. Aku akan segera mendaftarkan perceraian di Pengadilan." Suara laki-laki halalku.Lututku tiba-tiba lemas, seakan tulang-tulangku lepas dari dagingnya. Dadaku bergemuruh lebih kencang."Bagus! Sehingga istrimu satu, menantu ibu hanya Nungky." Nada suaranya culas.Air mataku langsung mengalir deras dituduh seperti itu oleh ibu mertua, isakan tangisku kutahan."Tega sekali kalian menuduh seperti itu!" isakku dalam hati."Sebelum kau cerai, ibu ping
Bab 95Diana datang membawa cangkir isi kopi pahitpesanan Andre. Wanita inspirasiku itu merapatkan kening melihatku kemudian berganti melihat Andre."Kalian ngomongin apa kok serius banget," goda Diana sambil menyodorkan cangkir.Andre tertawa lepas, suasananya akrab membuatku kangen pada waktu kuliah dulu, walaupun masa laluku bersama Andre sudah kubuang jauh."Awas ya, jangan bikin bidadari mewek lagi." ketus Diana, dia biang keladinya yang membuat suasana selalu hidup."Apaan sih," Aku cemberut."Selama dua tahun ke depan aku bakal kangen kalian." Suara Andre lirih sambil menunduk, nampak sedih.Aku dan Diana saling menatap, ikut merasakan kesedihan Andre."Kita makan siang diluar, yuk," ajak Andre setelah sedetik hening."Maaf aku harus kembali ke kantor." Aku sengaja menolak, tidak enak setiap hari pergi bertiga.Ada tatapan kecewa dari Andre, Aku tidak mungkin pergi menuruti kemauannya. Diana langsung menangkap keberatanku."Tenang, kita makan disini saja, aku sudah suruhan ora
Bab 93 Aku sudah berada di dalam mobil bersama Pak Wiryo, dalam perjalanan kami hanya ngobrol basa-basi. Kutatap bayi gembulku yang ada di gendongan, wajah tanpa dosa itu sedang terlelap. Hatiku trenyuh, bagaimana tidak? Tidak lama lagi aku akan memisahkan dia dari Ayahnya.Apakah aku egois? Hanya mementingkan perasaanku sendiri tetapi tidak memikirkan hati anakku yang nantinya akan terluka? Dia akan menjadi korban perpisahan kami, betapa sedihnya kau, Nak.Namun, tidak mungkin juga aku menerima permintaan Mas Irfan untuk dimadu. Harus berbagi suami, berbagi kasih sayang dan perhatian.Apa Mas Irfan bisa adil? Selama Ibu mertua masih ikut campur, dipastikan hatiku akan semakin hancur. Sekarang saja sudah terlihat, betapa tidak adilnya ibu mertua. Terlebih Mbak Nung menantu kesayangan ibu dan aku menantu yang tidak dikehendaki. Demikian dengan cucu, Ibu lebih sayang kepada Fara dan Ilham dibanding Zaqi. "Apa salah anakku sehingga ikut kau benci? Itu juga cucumu, Bu." Aku menggerun
Bab 92"Siapa kamu!" Suara yang sangat kuhafal.Langkah kaki itu semakin dekat, lalu menghidupkan lampu. Ruangan jadi terang benderang, aku tidak sempat lari menyelamatkan diri."Kamu!" bentaknya, matanya membulat sempurna.Aku menunduk, entah bagaimana ekpresi wajahku. Ibu mertua mendatangiku sambil membawa sapu."Kukira maling, ngapain, kamu!" Wanita itu membentakku, aku masih shock belum sempat menjawab.Dari arah kamar Mbak Nung, keluarlah dua sosok manusia yang hanya memakai baju seadanya.Aku menatap mata pemilik nama Irfan sebagai biang keladinya. Nafasku memburu, rasanya ingin kuterkam dan kutelan laki-laki itu. Aku benci melihat laki-laki yang menyakiti hatiku."Heh, ngapain kamu disitu!" Teriak Ibu mertua ketika aku tidak kunjung menjawab. Sedetik otakku berputar mencari alasan yang tepat, jangan sampai aku kena mental malu."Mencari Mas Irfan, Bu. Badan Zaqi panas minta tolong diantar ke dokter," jawabku akhirnya walaupun berbohong.Aku segera Istighfar, harus mengorbanka
"Lalu apa!""Kereta Zaqi terguling, Bu." Aku menekan suara menahan marah.Sontak ibu mertua terkejut, tapi mimiknya berubah menjadi culas, bibirnya mencebik."Nangisnya karena terkejut, bukan karena anakmu luka! Fara dan Ilham masih kecil, jangan kau salahkan!" tukasnya membela diri, tidak mau disalahkan."Maaf, Bu. Saya tidak menyalahkan." Aku membela diri."Sana, bawa pulang anakmu! Di sini bikin ribut saja! Seharusnya dipegangi, jangan dilepaskan!" Omelnya.Tanpa pamit, Zaqi kubawa pulang. Tanpa kuindahkan juga laki-laki yang disebut suami, aku muak semuanya.Langkahku buru-buru, aku sudah tidak kuat menahan air mataku yang mulai bergulir. Sampai kamar tangisku pecah."Kenapa ibu juga memusuhi Zaqi? Kalau tidak suka denganku, aku ihklas, Bu. Jangan kau musuhi anakku juga, kasihan Zaqi, itu juga cucu ibu seperti halnya Fara dan Ilham, Ibu tidak adil." Aku menggerundel dalam hati.Kutenangkan anakku dengan cara memberi ASI, aku duduk di sofa sambil menahan nafasku yang memburu. Aku se
Bab 90 Menjelang tidur, aku iseng membuka ponselku, kutekan atas nama Mas Irfan. Benar juga, pesan darinya berderet-deret, misscall, videocall.Aku tersenyum sinis. Pasti dia kelabakan merasa bersalah telah menunjukkan kemesraannya di hadapanku lewat video call bersama keluarga cemara di kamar hotel.Tentu saja aku marah, istri mana yang tidak cemburu melihat wanita lain ikut memeluk suamiku, walau terhalang tubuh kedua anaknya.Wajar ponsel langsung kumatikan. Perasaanmu dimana, Mas? Aku masih istri sahmu, istri yang selalu menyelipkan namamu saat berdoa kepada Nya."Tega sekali kamu!" rutukku.Sejak dulu ibu memang tidak suka kepadaku, berusaha memisahkan kita, dan menyuruhmu menikahi menantu kesayangannya itu. "Tidak heran kalau nanti kita harus berpisah, itu yang dikehendaki ibumu,'kan?" Aku berbicara sendiri, berandai-andai. Akhirnya aku tertidur ditengah hatiku yang sedang galau, gundah gulana, capai, letih dan lelah. Tetapi aku berjanji tidak akan menangis lagi, walaupun uj
bab 89"Andre!" Aku dan Diana teriak hampir bersamaan.Kami saling menatap, aku sungguh kaget, kenapa harus bertemu dengan Andre di tempat ini. Kok Andre bisa tahu aku ada disini, eh jangan gede rasa dulu."Ini sesuatu kebetulan atau gimana?" Laki-laki yang pernah mengisi hatiku mengangķat tangan dan mengendikkan bahu, menunjukkan kalau dia sendiri juga bingung."Ini boss saya, Bu," ucap dua laki-laki muda itu memperkenalkan Andre.Andre mengulurkan tangan menyalami satu persatu, setelah itu dia berbincang dengan dua stafnya. Aku menatap lekat Diana dengan penuh curiga, jangan-jangan dia biang keroknya."Kamu mbocorin, ya," bisikku."Enggaklah, mana aku tahu jasa ekterior ini miliknya." Diana mengangkat kedua bahunya."Ternyata dunia ini sempit," gumamku."Ini perusahaanmu, Ndre?" tanya Diana, setelah Andre selesai menemui dua anak buahnya, lalu mendatangi kami."Ini bagian dari anak perusahaan, ngomong-ngomong ini rumah siapa?" Andre memandangku lalu menatap Diana bergantian.Diana
Bab 88Bu Erna berjanji, besok akan mengirim tukang cat yang akan segera meng-eksekusi Rumah Melati. Semua kuserahkan kepada Diana yang menjadi mandornya, beruntung dia bersedia.Aku juga sempat browsing jasa membuat eksterior di internet, Alhamdulillah langsung dapat. Katanya besok akan dilihat lokasinya, lalu segera ku sharelok sekalian."Pulangnya aku antar, ya, Del," Diana menawarkan diri, ketika aku sibuk memesan taksi online."Enggaklah, Di. Aku sudah banyak merepotkan kamu, lagian besok kamu masih punya tugas menjadi mandor. Aku tidak tega kalau terus merepoti.""Halah, aku kan sudah pengalaman ngurusi kaya gini. Ok, kamu hati-hati, ya." katanya."Terima kasih, Di. Sampai besok, ya."Sebelumnya Bu Erna memperkenalkanku kepada Satpam Perumahan yang bernama Pak Didik, karena pemilik rumah sudah berubah dengan namaku.Taksi yang kupesan sudah datang, kunci segera kuserahkan kepada Diana. Besok dia yang harus membukakan pintu untuk tukang cat yang dikirim Bu Erna.***Sampai rumah