Bab 32"Mas, ini Ibu." Benda pipih itu kuserahkan ke Ibu.Kubiarkan mereka ngobrol sendiri, Ibu kelihatan senang walaupun agak canggung cara memegangnya. Setidaknya, biar Ibu tahu betapa mudah dan pentingnya memiliki ponsel di zaman yang serba canggih ini."Sudah, Nduk." Ibu mengulurkan benda pintar itu, kemudian meneruskan masak. Aku pamit mlipir pergi ke kamar."Yang, kamu susah banget dihubungi," kata Mas Irfan dengan wajah cemberut, setelah Aku sampai di kamar."Sama, Mas juga. Ingin sekali Aku telepon, tetapi aku takut Ibu yang terima. Nanti marah-marah lagi kaya kemaren," kataku juga sambil cemberut. Ceritanya Aku ngambek sama Mas Irfan."Maaf, Yang. Kejadian kemaren memang tidak tepat. Maafkan Ibu, ya. Jangan diambil hati, please.." Tangan Mas Irfan yang satu mengatup di dada. Perasan mana yang tidak luluh kalau melihat suami sudah memohon supaya memaafkan ibunya.Dalam hati Aku kesal, tetapi kalau sudah begitu, rasanya meleleh. Mas Irfan memajukan bibirnya minta di cium, kute
Bab 33POV IRFAN Aku tertegun dengan kalimat Ibu yang ditujukan pada Dela, begitu menyakitkan. Apa lagi Ibu langsung merebut gawai dari tanganku, sebenarnya itu perbuatan yang tidak baik. Namun, dia ibu kandungku, aku tidak mau melawannya."Fan, kamu tahu to, kalau Ibu masih membutuhkan tenagamu untuk bantu Nungky ngurusi pembayaran di kasir? Malah sayang-sayangan, apa kamu sengaja nggoda Ibu, biar kesal," maki Ibu.Aku mengacak rambutku yang sudah mulai gondrong, kugaruk kepalaku yang tidak gatal. Aku bingung mau menjawab apa, tidak sanggup kalau harus membantah perkataan Ibu."Iya, Bu. Apa salahnya Irfan menyapa Dela," kataku pelan, sangat hati-hati."Sudah! Jangan banyak alasan. Cepetan sana! Nungky butuh bantuanmu," perintahnya dengan tegas.Aku langsung ngeloyor menuruti perintah Ibu, menemani Mbak Nung menuju ke kasir, Fara menyambutku lalu menggelendot manja.Aku sadar, seperti inilah yang membuat istriku cemburu, Aku selalu membersamai keluarga kecilnya sehingga tidak heran
Bab 34Narasi Dela Padma. -Hari ke 3 di Sragen-Setelah salat subuh aku izin ke bapak, tidak ikut ngaji karena kepalaku pusing, rasanya isi perut juga mau muntah. Entah kenapa tiba-tiba seperti ini. Apa bawaan bayi, ya? batinku.Ibu menyiapkan segelas kacang hijau, dan susu. Juga ada roti tawar beserta selai kacang yang kubeli di pasar kemaren. "Sarapan, dulu, Nduk," titah Ibu. Aku mengangguk."Gimana pusingmu,?" tanya ibu lagi, sambil meletakkan tangannya di dahi. Aku hanya memincingkan mata, kemudian merem lagi.Entah kenapa aku malas untuk beranjak. "Sudah turun panasmu." Ibu memeras handuk kecil kemudian dicelupkan ke air hangat. Itu yang selalu dilakukan ibu sejak dulu jika aku mengalami demam.Terbukti panasku sudah turun. Untuk mengurangi rasa mual, aku ingat obat dari dokter. Tetapi aku harus makan terlebih dahulu, segera kusingkapkan selimutku.Dengan terpaksa aku turun dari ranjang. Kuambil sepotong roti tawar, kumakan sebagian, yang penting perutku sudah terisi. Setela
Bab 35Mas Irfan bingung ketika aku menunjukkan foto di galeri, hasil tespack yang kuambil kemaren. Disitu menunjukkan bahwa ada garis dua, yang artinya positif. "Maksudnya apa, Yang? Mata laki-laki kurus hitam manis itu membulat, senyumnya merekah.Aku senang melihat perubahan wajahnya, aku pun ikut terharu. "Jadi? Aku akan menjadi Papa?" tanyanya seakan tidak percaya.Aku mengangguk. Mas Irfan langsung bersimpuh bersujud syukur kepada sang pemilik hidup. Mataku berkaca-kaca melihat pemandangan yang indah ini. Akupun ikut bersujud syukur di sampingnnya."Aku akan mengabarii ibu, Yang," kata Mas Irfan, tangannya berusaha mengambil gawai yang ada di sakunya.Kutahan tangannya, aku tidak setuju dengan idenya. Bukan karena apa, aku ingin melihat sendiri apakah ibu mertuaku senang mendapat kabar bahagia ini. Atau bahkan julid seperti biasanya. Rasa tidak suka kepadaku kurasakan beberapa tahun yang lalu, sejak pertama kali aku menjadi menantunya."Jangan dulu, Mas, kita sampaikan ber
Bab 36Tidak terasa hari sudah sore, rumah dalam keadaan sepi. Pintu masih terkunci rapat, kuncinya masih ada di bawah pot bunga. "Bapak dan Ibu kok belum pulang, ya?" tanya Mas Irfan ketika tidak ditemui keduanya."Iya, nih, Mas. Nah, kalau tidak ada alat komunikasi, kitalah yang kesulitan. Kita tidak tahu Bapak dan Ibu sekarang ada dimana, susah mencarinya," timpalku.Ada sedikit rasa kawatir karena mereka dalam sedang transaksi, posisi bapak dipastikan membawa uang banyak. Aku takut kalau mereka terjadi apa-apa, batinku."Yuk kita salat dulu. Nanti kalau sampai mahgrib kita tunggu belum pulang, antar aku kerumah Pak RT ya, Mas," ajakku."Lapor pak RT?" tanyanya. Bola matanya berputar keatas, barangkali dia bingung kenapa harus lapor kesana.Aku gegas mengambil air wudhu karena waktu ashar hampir lewat. Entah tiba-tiba perasaanku tidak enak.Setelah salat berjamaah, aku bersimpuh mendoakan kedua orang tuaku. Kukirim semua doa yang terbaik untuk mereka. Ya Alloh, semoga tidak terjad
Bab 37 Aku sudah tidak sabar untuk mengetahui isi chat dari ibu mertua yang berderet itu, termasuk miscall dan vidio call. Namun, aku harus bersabar. Kalau tidak, aku sendiri yang ujungnya sakit hati.Sampai pagi Mas irfan juga tidak segera memeriksa ponselnya, barangkali aku sudah ada di sampingnya sehingga dia tidak merasa ada yang saling membutuhkan."Aman, Yang. Ada Kang Nono," begitu jawabnya ketika aku pura-pura menanyakan bagaimana keadaan ibu setelah ditinggal anak kesayangan sampai berhari-hari.Mas Irfan juga masih membiarkan ponselnya tergeletak di atas meja, kendati kabelnya sudah kulepas karena baterai sudah penuh. Bahkan dia dan Bapak sedang asyik membahas sepeda motor butut milik laki-laki yang menjadi cinta pertamaku itu.Antusias sekali kalau membicarakan motor lawas, itu memang hobinya dia untuk mengutak-atik. Sebagai menantu yang baik dia juga memeriksa motor milik bapak, bahkan dicuci sampai bersih.Dari balik cendela dapur aku bungah menyaksisan antara bapak d
Bab 38 Tiba-tiba pintu digedor dengan kuat, jantungku mulai berdebar tidak karuan. Pandangan kami saling bertemu, Mas Irfan merapatkan alis sambil mengangkat kedua bahunya, kemudian gegas membukan pintu yang menghubungkan rumah ibu."Tante ...!" teriak suara anak kecil yang tidak asing lagi ditelingaku."Faraaa!" sambutku, gadis kecil menggemaskan itu berlari memelukku, kemudian bergelayut manja ke Mas Irfan.Syukurlah, aku bernafas lega, kukira ibu mertua sedang marah karena anak kesayangannya pergi berhari-hari menjemputku.Mungkin kriwil dan keluarganya disuruh tidur di sini karena menemani ibu selama ditinggal anak bungsunya ke Sragen. Baguslah untuk menemani ibu. Aku membatin."Kamu lagi liburan nginep di rumah Nenek?" tanyaku sangat percaya diri, menghampiri sambil mengacak rambut kriwilnya.Kulirik Mas Irfan, sedang menyesap kopi yang sudah kuhidangkan di meja makan, matanya melihat layar datar yang sedang menyiarkan berita politik masa kini."Enggaklah Tan, kita pindah kes
Bab 39 Kubuka pintu depan, kulihat di dalam mobil sudah ada keluarga cemara formasi lengkap. Sedetik aku tercengang, kulempar senyum untuk mengurangi rasa kagetku, padahal di dalam hati dadaku mendadak bergemuruh.Beberapa pasang mata yang ada di dalam mobil melihat penampilanku yang berbeda, entah mendapat pujian atau ejekan. Sorot mata itu menatapku dari ujung jilbab sampai sepatu.Barangkali mereka heran, aku yang biasanya hanya memakai kaos dan kulot kalau membantu ibu di toko, sekarang berpenampilan beda."Tante!" teriak Fara menyambutku. Ibu duduk di samping Mas Irfan sedang memangku bayi, di kursi belakang ada Mbak Nung dan Fara sudah memakai baju seragam paud."Tante! antar aku sekolah, sekalian antar adik imunisasi, ya," kata balita cantik dengan mimik yang menggemaskan. Kubalas dengan anggukan dan seulas senyum.Aku mengucapkan salam setelah membuka pintu, Mbak Nung menarik Fara agak bergeser supaya aku bisa duduk leluasa."Walaikumssalam" jawab mereka hampir bersama."Maa
Bab 96 Tamat.Di dalam perjalanan menuju kantor, pikiranku mengingat kejadian kemaren, dimana aku dituduh selingkuh setelah Mas Irfan mendapat kiriman foto dari temannya.Foto-foto itu diambil dari status Andre, kemudian dikirim ke Mas Irfan, kemaren kudengar seperti itu, ketika ibunya bertanya.Aku membuang nafas kasar.Emang ada yang salah kalau kita foto-foto? Sesaat keningku berkerut, lalu menyalahkan Andre kenapa juga dia pasang status seperti itu.Aku tidak tahu kenapa Mas irfan tidak cerdas, hanya selembar foto akan dijadikan barang bukti perselingkuhan? Dimana selingkuhnya? Aku mengambil gawai lalu kulihat foto yang dikirim Mas Irfan. Kuamati satu-satu, sampai ku zoom. Di dalam foto posisiku duduk dipinggir, Diana di tengah, sedangkan Andre duduk disebelahnya Diana.Aku tersenyum tipis.Kamu lucu dan aneh, Mas. Dengan mencari-cari alasan yang tidak masuk akal kamu akan segera menceraikanku. Jangan khawatir Mas, sebelum kau cerai aku akan pergi dari kehidupanmu dan ibu, itu ka
Bab 95 Tetap kutahan emosiku, harus sabar dan berlapang dada supaya bisa mendengar ocehan mereka selanjutnya.Tadi malam aku berdoa setelah salat istikaroh, andai aku masih diizinkan bersama Mas Irfan tunjukkan kebaikannya, sebaliknya kalau ada kejelekan dia, aku pasrah kalau harus berpisah.Kupingku kembali kupasang dengan seksama."Beruntung istrimu selingkuh ini kesempatan yang baik untuk segera kau ceraikan!" kata ibu mertua.Deg! Dadaku bergemuruh, ujung mataku langsung menghangat, tega sekali ibu mertua menuduhku seperti itu."Iya, Bu. Aku akan segera mendaftarkan perceraian di Pengadilan." Suara laki-laki halalku.Lututku tiba-tiba lemas, seakan tulang-tulangku lepas dari dagingnya. Dadaku bergemuruh lebih kencang."Bagus! Sehingga istrimu satu, menantu ibu hanya Nungky." Nada suaranya culas.Air mataku langsung mengalir deras dituduh seperti itu oleh ibu mertua, isakan tangisku kutahan."Tega sekali kalian menuduh seperti itu!" isakku dalam hati."Sebelum kau cerai, ibu ping
Bab 95Diana datang membawa cangkir isi kopi pahitpesanan Andre. Wanita inspirasiku itu merapatkan kening melihatku kemudian berganti melihat Andre."Kalian ngomongin apa kok serius banget," goda Diana sambil menyodorkan cangkir.Andre tertawa lepas, suasananya akrab membuatku kangen pada waktu kuliah dulu, walaupun masa laluku bersama Andre sudah kubuang jauh."Awas ya, jangan bikin bidadari mewek lagi." ketus Diana, dia biang keladinya yang membuat suasana selalu hidup."Apaan sih," Aku cemberut."Selama dua tahun ke depan aku bakal kangen kalian." Suara Andre lirih sambil menunduk, nampak sedih.Aku dan Diana saling menatap, ikut merasakan kesedihan Andre."Kita makan siang diluar, yuk," ajak Andre setelah sedetik hening."Maaf aku harus kembali ke kantor." Aku sengaja menolak, tidak enak setiap hari pergi bertiga.Ada tatapan kecewa dari Andre, Aku tidak mungkin pergi menuruti kemauannya. Diana langsung menangkap keberatanku."Tenang, kita makan disini saja, aku sudah suruhan ora
Bab 93 Aku sudah berada di dalam mobil bersama Pak Wiryo, dalam perjalanan kami hanya ngobrol basa-basi. Kutatap bayi gembulku yang ada di gendongan, wajah tanpa dosa itu sedang terlelap. Hatiku trenyuh, bagaimana tidak? Tidak lama lagi aku akan memisahkan dia dari Ayahnya.Apakah aku egois? Hanya mementingkan perasaanku sendiri tetapi tidak memikirkan hati anakku yang nantinya akan terluka? Dia akan menjadi korban perpisahan kami, betapa sedihnya kau, Nak.Namun, tidak mungkin juga aku menerima permintaan Mas Irfan untuk dimadu. Harus berbagi suami, berbagi kasih sayang dan perhatian.Apa Mas Irfan bisa adil? Selama Ibu mertua masih ikut campur, dipastikan hatiku akan semakin hancur. Sekarang saja sudah terlihat, betapa tidak adilnya ibu mertua. Terlebih Mbak Nung menantu kesayangan ibu dan aku menantu yang tidak dikehendaki. Demikian dengan cucu, Ibu lebih sayang kepada Fara dan Ilham dibanding Zaqi. "Apa salah anakku sehingga ikut kau benci? Itu juga cucumu, Bu." Aku menggerun
Bab 92"Siapa kamu!" Suara yang sangat kuhafal.Langkah kaki itu semakin dekat, lalu menghidupkan lampu. Ruangan jadi terang benderang, aku tidak sempat lari menyelamatkan diri."Kamu!" bentaknya, matanya membulat sempurna.Aku menunduk, entah bagaimana ekpresi wajahku. Ibu mertua mendatangiku sambil membawa sapu."Kukira maling, ngapain, kamu!" Wanita itu membentakku, aku masih shock belum sempat menjawab.Dari arah kamar Mbak Nung, keluarlah dua sosok manusia yang hanya memakai baju seadanya.Aku menatap mata pemilik nama Irfan sebagai biang keladinya. Nafasku memburu, rasanya ingin kuterkam dan kutelan laki-laki itu. Aku benci melihat laki-laki yang menyakiti hatiku."Heh, ngapain kamu disitu!" Teriak Ibu mertua ketika aku tidak kunjung menjawab. Sedetik otakku berputar mencari alasan yang tepat, jangan sampai aku kena mental malu."Mencari Mas Irfan, Bu. Badan Zaqi panas minta tolong diantar ke dokter," jawabku akhirnya walaupun berbohong.Aku segera Istighfar, harus mengorbanka
"Lalu apa!""Kereta Zaqi terguling, Bu." Aku menekan suara menahan marah.Sontak ibu mertua terkejut, tapi mimiknya berubah menjadi culas, bibirnya mencebik."Nangisnya karena terkejut, bukan karena anakmu luka! Fara dan Ilham masih kecil, jangan kau salahkan!" tukasnya membela diri, tidak mau disalahkan."Maaf, Bu. Saya tidak menyalahkan." Aku membela diri."Sana, bawa pulang anakmu! Di sini bikin ribut saja! Seharusnya dipegangi, jangan dilepaskan!" Omelnya.Tanpa pamit, Zaqi kubawa pulang. Tanpa kuindahkan juga laki-laki yang disebut suami, aku muak semuanya.Langkahku buru-buru, aku sudah tidak kuat menahan air mataku yang mulai bergulir. Sampai kamar tangisku pecah."Kenapa ibu juga memusuhi Zaqi? Kalau tidak suka denganku, aku ihklas, Bu. Jangan kau musuhi anakku juga, kasihan Zaqi, itu juga cucu ibu seperti halnya Fara dan Ilham, Ibu tidak adil." Aku menggerundel dalam hati.Kutenangkan anakku dengan cara memberi ASI, aku duduk di sofa sambil menahan nafasku yang memburu. Aku se
Bab 90 Menjelang tidur, aku iseng membuka ponselku, kutekan atas nama Mas Irfan. Benar juga, pesan darinya berderet-deret, misscall, videocall.Aku tersenyum sinis. Pasti dia kelabakan merasa bersalah telah menunjukkan kemesraannya di hadapanku lewat video call bersama keluarga cemara di kamar hotel.Tentu saja aku marah, istri mana yang tidak cemburu melihat wanita lain ikut memeluk suamiku, walau terhalang tubuh kedua anaknya.Wajar ponsel langsung kumatikan. Perasaanmu dimana, Mas? Aku masih istri sahmu, istri yang selalu menyelipkan namamu saat berdoa kepada Nya."Tega sekali kamu!" rutukku.Sejak dulu ibu memang tidak suka kepadaku, berusaha memisahkan kita, dan menyuruhmu menikahi menantu kesayangannya itu. "Tidak heran kalau nanti kita harus berpisah, itu yang dikehendaki ibumu,'kan?" Aku berbicara sendiri, berandai-andai. Akhirnya aku tertidur ditengah hatiku yang sedang galau, gundah gulana, capai, letih dan lelah. Tetapi aku berjanji tidak akan menangis lagi, walaupun uj
bab 89"Andre!" Aku dan Diana teriak hampir bersamaan.Kami saling menatap, aku sungguh kaget, kenapa harus bertemu dengan Andre di tempat ini. Kok Andre bisa tahu aku ada disini, eh jangan gede rasa dulu."Ini sesuatu kebetulan atau gimana?" Laki-laki yang pernah mengisi hatiku mengangķat tangan dan mengendikkan bahu, menunjukkan kalau dia sendiri juga bingung."Ini boss saya, Bu," ucap dua laki-laki muda itu memperkenalkan Andre.Andre mengulurkan tangan menyalami satu persatu, setelah itu dia berbincang dengan dua stafnya. Aku menatap lekat Diana dengan penuh curiga, jangan-jangan dia biang keroknya."Kamu mbocorin, ya," bisikku."Enggaklah, mana aku tahu jasa ekterior ini miliknya." Diana mengangkat kedua bahunya."Ternyata dunia ini sempit," gumamku."Ini perusahaanmu, Ndre?" tanya Diana, setelah Andre selesai menemui dua anak buahnya, lalu mendatangi kami."Ini bagian dari anak perusahaan, ngomong-ngomong ini rumah siapa?" Andre memandangku lalu menatap Diana bergantian.Diana
Bab 88Bu Erna berjanji, besok akan mengirim tukang cat yang akan segera meng-eksekusi Rumah Melati. Semua kuserahkan kepada Diana yang menjadi mandornya, beruntung dia bersedia.Aku juga sempat browsing jasa membuat eksterior di internet, Alhamdulillah langsung dapat. Katanya besok akan dilihat lokasinya, lalu segera ku sharelok sekalian."Pulangnya aku antar, ya, Del," Diana menawarkan diri, ketika aku sibuk memesan taksi online."Enggaklah, Di. Aku sudah banyak merepotkan kamu, lagian besok kamu masih punya tugas menjadi mandor. Aku tidak tega kalau terus merepoti.""Halah, aku kan sudah pengalaman ngurusi kaya gini. Ok, kamu hati-hati, ya." katanya."Terima kasih, Di. Sampai besok, ya."Sebelumnya Bu Erna memperkenalkanku kepada Satpam Perumahan yang bernama Pak Didik, karena pemilik rumah sudah berubah dengan namaku.Taksi yang kupesan sudah datang, kunci segera kuserahkan kepada Diana. Besok dia yang harus membukakan pintu untuk tukang cat yang dikirim Bu Erna.***Sampai rumah