Sudah satu minggu Jesica mendiamkanku,nomor ponselku pun telah diblokir. Aku seperti kehilangan separuh jiwaku. KriiinggKriiinggSuara ponsel menyadarkanku dari lamunan. Sebuah panggilan dari nomor baru. Aku tak tahu ini nomor siapa? Ah, mungkin saja orang iseng. Kubiarkan saja hingga ponsel diam sendiri. Lagi, ponselku menjerit-jerit. Satu panggilan dari nomor yang sama. Rasa penasaran, akhirnya ku angkat telpon itu. "Assalamu'alaikum...""Waalaikumsalam, Adam?Kamu Adam kan?" tanya seorang lelaki dari seberang sana. Dari suaranya saja aku tak tahu dia siapa? "Iya, saya sendiri, anda siapa ya? Ada perlu apa dengan saya?""Saya papinya Jesica, tolong ke rumah sakit sekarang. Jesica di rawat di sini. Dari kemarin dia selalu menyebut namamu. Om mohon kamu segera ke sini."DEGKamu kenapa Jes, kenapa seperti ini? Pasti semua gara-gara aku. Aku bodoh, membiarkan orang yang aku cintai terluka karena ulahku sendiri. 'Bodoh kamu Dam, bodoh...!'merutuki diri sendiri. "Kamu mendengar uca
Kutatap wajah cantik Jesica, dia terlelap hingga tak mendengar pertengkaran kami. Mungkin pengaruh obat, hingga dia tidur dengan pulas.Kucium tangannya, air bening mengalir dari sudut netra. Aku tak sanggup kehilangan dia. Ya Allah persatukan kami dalam ikatan suci pernikahan."Cepat pergi dari sini! Saya muak melihat kamu!" bentak papi Jesica."Maafkan aku Jes." kubisikan di telinganya. Semoga saja dia memaafkanku."Adam, kamu tak mendengar perkataan saya!""Ba-baik Om, saya titip Jesica. Kalau ada apa-apa tolong hubungi saya." kuangkat bokong dari kursi. Tak ada alasan lagi aku berada di sini.Melangkah gontai, sesekali kulirik Jesica yang masih terlelap. Andai dapat kuulang waktu. Aku akan memilih menolak perjodohan itu. Aku tak sanggup kehilangan kamu Jes. Ini terlalu sakit.*****Kuparkirkan mobil di carport. Berjalan gontai memasuki rumah."Mas Adam sudah pulang? kok tidak terdengar salam?" Aisyah berjalan mendekat mencium tanganku dengan takzim."Kamu tidak mendengarnya mungki
Kami terdiam sembari menatap Jesica, ada kebimbangan di sorot matanya. Aku tahu ini pilihan yang berat untuknya. Aku hanya bisa pasrah. Bila Jesica mau berpindah keyakinan aku siap meninggalkan Aisyah. Dan jika kemungkinan terburuk Jesica memilih mundur, aku hanya bisa menjalani biduk rumah tangga dengan Aisyah walau tanpa cinta."Aku siap berpindah keyakinan pi, mi. Maafkan Jesica.""Papi ikhlas walau berat nak, asalkan kamu sembuh dan bahagia." ucap Om Wibowo. Mereka bertiga akhirnya berpelukan.Aku bernafas lega, setelah ini aku dan Jesica akan hidup bahagia. Untuk restu Umi dan Abi biar datang seiring berjalannya waktu.****Satu bulan setelah kepulangan Jesica dari rumah sakit. Dengan mantap Jesica mengucapkan kalimat syahadat di masjid tak jauh dari kediaman Om Wibowo. Lega bercampur haru menyaksikan itu.Tante Ana berkali-kali menyeka air mata yang jatuh membasahi pipi. Om Wibowo sendiri terlihat berlapang dada melepas putri kesayangannya untuk berpindah keyakinan.Sesuai kesep
Hari demi hari kulalui seorang diri. Tak terasa usia kandunganku memasuki usia empat bulan, dengan perut membukit seperti hamil usia enam bulan. Mungkin karena ada dua calon bayi di dalamnya.Kurebahkan tubuh di kasur depan televisi. Kasur di kamar ayah yang dipindahkan tetangga yang sedang memperbaiki sambungan pipa di wastafel tempo hari. Sengaja memang karena bosan tiduran di kamar. Kunyalakan televisi, tak sengaja melihat acara memasak yang di tayangkan salah satu stasiun televisi swasta. Melihat ayam berpadu dengan tepung dan sambal membuat air liur menetes sendirinya. Jarum jam baru menunjukkan angka sembilan. Kusambar hijab dan dompet, berjalan perlahan menuju warung sayur mayur tak jauh dari rumah. Semoga saja masih ada ayam. Karena ingin sekali menyantap ayam dengan dengan sambal bawang. Sebenarnya ingin membeli yang sudah matang saja, tapi aku harus lebih berhemat untuk biaya kelahiran anakku nantinya. Karena aku tak mau meminta sepeserpun uang dari Mas Adam. Bagiku ayah
Mbak Bella melangkah mendekatiku, mengelus pundak. Menguatkan diri ini yang sudah rapuh. "Kamu kuat Aisyah,kamu bisa melewati semua ini. Tak usah mendengarkan omongan orang lain. Belum tentu mereka sanggup melewati semua ini jika berada diposisi kamu."Ucapan Mbak Bella mampu memberi semangat dikala diri ini terpuruk. "Terima kasih Mbak sudah mau mendengarkan curhatan saya. Dan saya minta maaf untuk laporannya. Akan segera saya perbaiki.""Jangan mencampur adukan lagi urusan pribadi dan pekerjaan Ais.""Baik Mbak."Mbak Bella melangkah meninggalkan ruanganku. Namun setelah membuka pintu dia berbalik arah menatapku kembali. "Jadwal periksa kandungan,kan? Saya izinkan kamu pulang lebih awal." ucapnya lalu pergi meninggalkanku yang masih kebingungan. Dari mana Mbak Bella tahu kalau ini jadwal periksa kandungan, aku saja hampir lupa. ****TingSatu notifikasi pesan WhatsApp masuk. Kubuka aplikasi yang berwarna hijau itu. [Aku tunggu di depan ya.]Pesan dari Daniel bikin geleng-gelen
Pov DanielMengantar bumilku memeriksakan kandungan adalah rutinitas yang paling menyenangkan bagiku. Walau sering kali Aisyah melarang, tapi aku tetap setia menemaninya. Momen seperti ini sangat di nantikan bagi sepasang suami istri.Seperti hari ini aku mengantarnya ke rumah sakit. Saat berjalan ke poli kandungan aku melihat sepasang suami istri berjalan bergandengan dan sesekali suami itu mengelus perut istrinya yang telah membukit.Aku membayangkan jika Aisyah adalah istriku. Pasti aku akan melakukan hal yang sama, mengelus dan mencium perutnya yang telah membukit.Tak lupa mengajak berbicara janin yang ada di dalam perutnya. Ah, pasti sangat menyenangkan."Dan," panggil Aisyah."Iya sayang." Kutatap Aisyah. Dia menyatukan kedua alisnya.Apa ada yang salah dengan ucapanku? Kenapa ekspresi Aisyah seperti itu?"Sayang...?" tanya Aisyah memastikan.Astaga, aku kelepasan. Kugaruk kepala yang tak gatal dan pasti mukaku sudah merah menahan malu."Maaf Ais." Aisyah justru tersenyum meliha
Aisyah mengunci pintu rumah, tak lupa menyimpannya di dalam tas. Duduk termenung sembari menunggu ojek online yang telah di pesannya beberapa menit yang lalu.Sudah hampir lima belas menit dia menunggu, namun posisi ojek masih sama, belum ada pergerakan. Itu tandanya ojek masih setia di tempatnya.KriiiinggKriiiinggPonsel Aisyah menjerit-jerit, tanpa menunggu lama Aisyah menggeser ke atas tombol hijau yang tertera di layar ponsel."Sampai mana Pak?" tanya Aisyah dengan suara sedikit meninggi."Maaf Mbak, dicancel saja ya, ban sepeda motor saya bocor terkena paku. Ini baru mencari bengkel mbak." jawab ojek dengan suara serak, merasa bersalah karena harus mengecewakan pelanggan. Meski ini buka sepenuhnya kesalahannya,semua murni musibah."Aduh, ya sudah kalau begitu." dengan raut kecewa Aisyah mematikan sambungan telepon. Membatalkan pesanan dari aplikasi online.Aisyah kembali mengotak atik benda pipih miliknya. Memesan kembali ojek online. Tapi belum ada juga yang menerima orderann
Bella mulai membicarakan pokok-pokok kerjasama yang akan dilakukan dengan Putra. Dengan seksama Aisyah memperhatikan. Berbeda dengan Putra yang lebih fokus memperhatikan wanita yang ada di hadapannya.Putra terdiam, bukan mendengarkan ucapan Bella tapi justru memikirkan cara meminta maaf dan merebut hati Aisyah kembali. Bagi Putra Aisyah lebih penting dari meeting saat ini."Apakah ada pertanyaan Pak Putra mengenai kerja sama kita yang baru?" tanya Bella.Netra Putra berputar-putar, kebingungan mau menjawab apa? Bagaimana dia bisa menjawab sedang yang dibicarakan saja dia tidak tahu menahu."Tidak Bu Bella, saya sangat setuju dengan apa yang ada ucapkan barusan."ucap Putra lantang.Walau di dalam hatinya ada keraguan, tapi Putra malu memperlihatkannya di hadapan Aisyah."Baiklah kalau begitu, meeting hari ini selesai. Untuk kontrak kerja samanya akan di berikan Aisyah besok Pak." ucap Bella menutup meeting pagi ini."Baik Bu." ucap Putra.Aisyah berjalan perlahan meninggalkan ruang me
Tok ... Tok ... Tok.... Kuketuk pintu rumah Jesica dengan hati berdebar tak menentu. Semoga saja niat baikku disambut baik oleh Jesica dan keluarganya."Assalamu'alaikum...." ucapku."Waalaikumsalam" jawaban dari dalam rumah. Suara yang dulu sangat kurindu. Dialah wanita yang mati-matian ku perjuangkan meski akhirnya kulukai hatinya perlahan.Pintu di buka dari dalam, Jesica terlihat terkejut saat melihat diriku berdiri tepat di depan pintu. Menatapnya dengan rasa rindu.Rindu ingin memeluknya, meski kutahu dia tak akan mau ku sentuh. Mungkin dia jijik dengan diriku. Lelaki yang tega melukai hatinya. Menggoreskan luka di sanubarinya.Dengan penuh amarah dia berusaha menutup pintu. Namun terganjal kakiku. Sakit saat kaki beradu dengan pintu. Tapi akhirnya tahu tak sesakit hati Jesica."Jesica, tolong buka pintunya. Beri aku kesempatan untuk menjelaskan dan meminta maaf padamu." ucapku mengiba."Untuk apa kamu kemari?" tanyanya ketus sambil perlahan membuka pintu.Alhamdulillah, akhirn
Pov AdamTiga puluh menit menatap gedung yang penuh kenangan. Perusahaan yang susah payah ku bangun kini hilang begitu saja. Kenapa hidupku menderita seperti ini?Mengambil ponsel dari saku celana. Memesan taxi dari aplikasi online. Tujuanku saat ini adalah rumah masa kecilku dulu. Semoga Abi mengizinkanku tinggal di sana. Bukankah aku anak kandungnya, pasti beliau akan menerimaku meski aku telah mengecewakannya.Sebuah mobil berhenti tepat di hadapanku.Mobil dengan warna putih dan plat yang sama seperti di aplikasi."Dengan Pak Adam?" tanya driver itu."Iya Pak, sesuai aplikasi ya!" ku masukkan koper ke dalam mobil dan menjatuhkan bobot di atas kursi belakang kemudi."Baik Pak."Kendaraan roda empat yang ku tumpangi melaju dengan kecepatan sedang membelah padatnya kemacetan ibu kota. Mobil berwarna putih ini berhenti saat lampu merah menyala. Pandanganku tertuju pada segerombolan pengamen dan pengemis di trotoar jalan.Ya Allah, apa nasibku akan sama seperti mereka?Tak punya tempat t
Pov Adam"Maaf Dam, Abi sudah tak memiliki apapun. Semua harta benda bukan lagi milik Abi."Ucapan Abi bagai halilintar di siang bolong. Bagaimana mungkin harta benda Abi hilang begitu saja? Atau ini hanya akal-akalan Abi saja?Astaga, aku harus bagaimana?Kupijit pelipis yang terasa berdenyut.Menyambar kunci mobil di atas meja. Berjalan sedikit berlari menuju mobil yang terparkir. Aku harus ke rumah Abi, memastikan apa yang barusan kudengar hanya omong kosong belaka. Abi pasti hanya bercanda padaku.Melajukan kendaraan roda empatku dengan kecepatan tinggi. Kuterjang semua yang ada di hadapanku.Tak perduli klakson kendaraan lain berbunyi seperti tengah memprotesku.Yang aku ingin segera sampai di rumah Abi.Keluar dari mobil disambut terik mentari yang menusuk kulit. Melangkahkan kaki masuk kedalam rumah yang tak dikunci. Sepi, sunyi tak ada lagi kehangatan yang selalu kurasakan saat berada di rumahku. Yang terasa hanya kenangan pahit saat kehilangan wanita yang sangat ku cintai, Umi.
Aku duduk di teras rumah seorang diri, tak ada lagi istri apalagi anak. Hidupku kini terasa begitu sunyi.Kemana hilangnya kebahagiaan yang dulu kurasakan?Baru kemarin kurasakan hidupku begitu sempurna. Dan kini berbalik seratus delapan puluh derajat. Kesepian dan sengsara.Apa ini benar sebuah karma? atau hanya cobaan dari Sang Pencipta.Ku pijat pelipis yang terasa berdenyut. Memikirkan nasib perusahaan dan pernikahan yang sedang diujung tanduk.Para investor mulai mencabut kucuran dananya hanya karena sebuah video. Padahal sudah pernah ku jelaskan. Namun nyatanya semua sia-sia belaka.Mereka pikir aku adalah lelaki yang tak bertanggung jawab karena menelantarkan anak dan istri. Bahkan tega meninggalkan Jesica yang tengah sakit. Mereka tak pernah melihat dari sudut pandang ku. Andai mereka jadi sepertiku, mungkin akan bertindak sama seperti yang kulakukan."Ini tehnya Pak." Bibi meletakkan secangkir teh di atas meja."Terima kasih,Bi," Kuseruput teh hangat. Sedikit memberi ketenanga
Aku duduk di ruang tunggu bersama Daniel. Menunggu seorang suster memanggil namaku. Sudah dua puluh menit kami menunggu. Hingga membuatku merasa bosan. "Nyonya Tiara Aisyah Kurniawan." panggil seorang suster. Berjalan memasuki ruang periksa dokter dengan tangan digandeng Daniel. "Selamat siang Dok...." sapaku kepada dokter Asih, dokter yang menangani ku saat hamil si kembar dulu. "Selamat siang, Bu Aisyah apa kabar?Bagaimana keadaan si kembar?" tanyanya basa-basi. Mungkin dia masih ingat kalau aku pasiennya dulu. "Alhamdulillah sehat dok.""Nah, gitu dong Pak. Kalau istrinya periksa kandungan di temani. Jangan seperti dulu. Kasihan istrinya." ucap dokter Asih membuatku dan Daniel saling pandang. Mungkin wanita di hadapanku ini mengira jika dulu ayah si kembar adalah Daniel. Daniel hanya mengangguk. Menjelaskan secara rinci juga tak mungkin. "Saya belum tahu istri saya hamil atau tidak dok. Tapi sudah telat satu minggu." ucap Daniel. "Baik Pak, biar saya periksa terlebih dahul
Aku duduk di teras sambil menyuapi Mukhlas dan Mukhlis. Ya, sekarang mereka sudah bisa makan bubur saring karena usia mereka sudah delapan bulan. Kedua buah hatiku dengan lahap memakan bubur saring dengan hati ayam dan brokoli. Mereka menyukai bubur buatan sendiri dibandingkan bubur kemasan. Ini membuat PR untukku agar lebih kreatif dalam membuat makanan agar mereka tak bosan. "Suapan terakhir sayang," ucapku pada Mukhlas.Mukhlas menutup mulut rapat-rapat sama seperti Mukhlis. Mungkin keduanya sudah kenyang. Karena hanya satu sendok yang tersisa. Suara mobil berhenti di depan rumah. Lelaki yang kini menemani hari-hariku keluar dari mobil dengan wajah sumringah. "Mbak Sari, tolong bersihkan bekas makan yang menempel di pipi ya." Mbak Sari mengangguk lalu mendorong stroller masuk ke dalam rumah. Meninggalkan diriku di teras rumah. "Assalamu'alaikum,Sayang." Daniel mendekat. Bau terasi terdeteksi oleh indera penciuman. Semakin lama semakin mendekat. Kenapa Daniel baunya seperti ini
Aku menata pakaian ke dalam koper. Tak terasa sudah tiga hari kami menghabiskan waktu untuk berbulan madu. Rasa rindu pada si kembar kian menggebu. Meski setiap hari melakukan videocall namun rinduku masih belum terobati kalau belum bertemu."Sudah selesai sayang?" tanya Daniel yang baru keluar dari kamar mandi. Handuk hanya melilit bagian pinggangnya.Ku tatap suamiku yang masih bertelanjang dada. Ada debaran tak menentu saat melihat Daniel seperti itu.Lelaki yang sudah sah menjadi imamku berjalan mendekat. Dan lagi desiran hangat memenuhi sekujur tubuh. Degup jantung kian berdetak kencang."Kenapa lihatin seperti itu?Mau?" wajahnya kini hanya berjarak beberapa senti dari wajahku.CUPSatu kecupan mendarat di bibir. Ah, Daniel selalu seperti itu.Membuatku melayang ke angkasa."Aku baru selesai mandi lho,Yang, rambut juga masih basah," ucapku manja."Ih, kamu pikiranya ke situ terus. Mau lagi ya?" mengerlingkan mata, menggoda."Apaan sih?" Kututup wajah ini yang mulai bersemu merah.D
Jarum jam sudah menunjukkan angka empat. Ku matikan laptop dan segera berjalan menuju pintu."Pak." panggilan Luna menghentikan langkahku."Ada apa?""Kita ada meeting sebentar lagi."Ya Allah, aku sampai lupa kalau akan meeting. Bagaimana ini? Kalau aku tak datang Papi akan marah besar."Tolong atur jadwal lagi, saya ada keperluan mendesak." ucapku lalu meninggalkannya begitu saja.Aku berjalan menuju lift,netra melihat setiap sudut kantor.Karyawan masih banyak yang berlalu lalang. Dan tersenyum saat aku melewatinya.Bagaimana jika perusahaan ini bangkrut? Mereka akan kerja dimana untuk menghidupi keluarganya? Ya Allah, isi semua karena aku tak fokus hingga investor terbesar membatalkan kerjasamanya.Ya Allah, kenapa ujian bertubi-tubi menimpaku?Apa karena aku kurang bersedekah?Atau karena aku tega menyakiti hati Aisyah?"Pak..." panggilan seseorang menyentakku dari lamunan."I-iya." ucapku terbata."Maaf Pak, apakah ada yang bisa saya bantu? Saya lihat dari tadi Bapak berdiri di
Pov AdamAda nyeri di sanubari saat melihat Aisyah duduk di pelaminan bersanding dengan Daniel. Sesak dada untuk bernafas pun rasanya susah. Harusnya aku yang ada di sana bukan Daniel. Persis lagu yang barusan aku nyanyikan.Berjalan mendekat, bukan untuk memberi selamat tapi untuk melihat Aisyah lebih dekat. Pandangan tak suka nampak jelas terlihat di wajah Om Bram, ayah sahabatku."Santai saja Om, aku hanya ingin melihat ibu dari anak-anakku lebih dekat," batinku.Semakin dekat dengan Aisyah,entah kenapa jantung kian berdetak kencang. Dengan perasaan yang sulit ku artikan.Kenapa aku justru merasakan benih cinta mulai mekar saat bunga itu telah tumbuh subuh di halaman rumah orang lain?Kenapa cinta ini terlambat? Saat dia telah pergi aku baru menyadari dia begitu berarti.Kutatap wajah ibu dari kedua anakku. Dia sungguh cantik mempesona. Dan kenapa aku baru menyadarinya? Kemana saja diriku selama ini?"Selamat ya, jaga Aisyah baik-baik. Sebelum aku mengambilnya kembali," ucapku pela