Nikmat yang dirasakan saat mengecap manisnya perselingkuhan, akan terasa makin melenakan, sebab setan tiada henti menjalankan peran.
***
“El, kamu sudah tidur, Sayang?” Binsar menepuk pipi istrinya.
Tak ada sahutan, Elma meletakkan kepala di atas meja makan.
“Hebat! Obat tidur itu bekerja sangat cepat,” ucap pria itu mengacungkan jempol ke arah Riris. Kasir toko yang tinggal bersama mereka itu membalas dengan kedipan dan senyum penuh makna.
“Abang amankan dulu, ya, Sayang!” kata Binsar membalas dengan kedipan tak kalah nakal, lalu menggendong tubuh ringkih istrinya.
“Ok, jangan lama-lama, ya! Udah nyut-nyut, nih!” goda Riris lagi seraya membasahi bibir tipisnya dengan sapuan lidah.
“Tenang!” sahut Binsar lalu berjalan menuju kamar. Tubuh istrinya yang berbobot hanya tiga puluh tujuh kilogram itu dia baringkan di atas kasur dengan pelan-pelan. Dia lalu menarik selimut tebal, menutupi badan wanita itu hingga sebatas bahu.
“Tidurlah yang nyenyak, ya, Sayang! Maaf, aku butuh kehangatan! Kamu enggak bisa lagi berikan itu, kan? Tenang, aku tidak akan memaksamu. Ada Riris yang dengan senang hati mau menggantikan tugasmu. Kamu bobok saja, ya!” ucap Binsar tersenyum tipis seraya membelai rambut tipis Elma. Rambut yang kian rontok pengaruh penyakit yang sedang dia derita.
“Si kerempeng itu sudah lelap?”
Binsar tersentak, sontak menoleh ke arah pintu. Riris berdiri di sana dengan wajah cemberut. “Eh, Sayang! Kamu nyusul ke sini?” tanyanya seraya mengulas senyum.
“Ya, kukira kenapa Abang lama-lama di kamar ini! Rupanya sedang berusaha merayu istri tercinta,” jawab Riris dengan wajah ditekuk. Sengaja dia majukan bibirnya beberapa centi sebagai bentuk protes.
“Kamu cemburu?” goda Binsar bangkit lalu berjalan menuju pintu.
“Cemburu? Aku cemburu pada perempuan penyakitan itu? Enggak banget, ya!” ketus Riris semakin cemberut.
“Tapi, dari nada bicaramu, aku menangkap ada cemburu yang membakar, sini, Sayang!” Binsar memeluk pinggang Riris setelah menutup pintu kamar Elma dengan pelan. “Jangan cemberut gitu, dong! Aku makin gemas melihat bibir kamu yang manyun ini!”
“Enggak mau!” rajuk Riris menempelkan telunjuknya di bibir Binsar saat pria itu hendak menyambar bibirnya.
“Hem, enggak mau, ya? Ya, sudah. Kamu ke kamar kamu saja kalau begitu! Aku mau nonton tv,” ancam Binsar sontak melepas pelukan. Dia langsung berbalik dan meninggalkan perempuan itu.
“Abang ….” teriak Riris menjejeri langkahnya.
“Kenapa?” Binsar tak menghiraukan.
“Abang, gitu! Aku lagi merajuk ….”
“Kamu merajuk kenapa, coba? Hanya karena aku membelai kepala Elma?” Binsar meletakkan bokongnya di sofa, seraya menekan remot tv.
“Bukan!” Riris ikut duduk mepet di sampingnya.
“Lalu kenapa?”
“Abang bilang, Abang sayang sama aku! Abang bilang, Abang puas dengan pelayananku di ranjang. Tapi kenapa Abang tetap aja Abang lebih sayang sama istri Abang?”
“Maaf, Ris! Aku sayang sama kamu! Aku suka dan sangat puas dengan pelayananmu! Tapi aku sangat mencintai istriku. Maaf, ya! Aku tak mau pernikahanku terganggu dengan hubungan kita. Ingat, kita melakukannya atas dasar suka sama suka. Tidak ada ikatan dan perjanjian apa-apa!”
Riris tercekat, menelan saliva yang terasa sangat pahit. Dia memang telah berhasil menaklukkan Binsar di atas ranjang, tapi belum berhasil menaklukkan hati pria itu seperti permintaan Risda, ibu kandung Binsar.
‘Sepertinya butuh waktu sedikit lagi untuk bisa menyingkirkan Elma dari rumah besar ini. Aku tak akan putus asa. Sebentar lagi Bang Binsar pasti akan bertekuk lutut di kakiku.’ Riris menguatkan tekat
“Iya, Bang! Aku paham. Maaf, aku sempat merajuk enggak jelas. Temani aku bobok, ya! Abang udah janji, kan, tadi! Makanya Abang nyuruh aku ngasih obat tidur buat istri Abang!” bujuknya kemudian.
“Hem, jujur aku sangat merindukan permainanmu, Sayang! Di sini saja, ya! Sofa ini cukup kuat untuk menahan bobot tubuh kita berdua!” Binsar meraih tubuh gadis itu, langsung menyerangnya dengan penuh nafsu.
Keduanya kini bergulat di atas sofa, desah dan rintihan mesum terdengar saling bersahutan.
*
“Bang! Abang ….” panggil Elma dengan suara serak. Tenggorokannya bagai disekat, itu membuat suaranya hampir tak terdengar.
“Bang Binsar! Abang ….!” Bersusah payah, kembali dia berusaha memanggil. Tanganya meraba-raba ke samping kiri. Namun, tangan kurus itu tak menemukan apa-apa. “Abang di mana? Aku haus, Abang,” lirihnya pelan lalu berusaha bangkit perlahan. Pengaruh obat yang dia konsumsi, membuat kerongkongannya terasa panas. Elma kehausan.
Dengan berpegangan di pinggiran ranjang, dia berusaha menggapai dinding. Hampir saja dia jatuh dan tersungkur. Langkahnya terhuyung, berjalan pelan menuju pintu kamar.
Begitu membuka pintu, telinganya langsung mendengar suara dari arah ruang tamu. Hatinya berangsur lega, yakin kalau suaminya sedang menonton siaran televisi di sana. Tak ingin merepotkan orang lain, wanita itu ingin langsung pergi ke dapur saja. Mengambil minum sendiri untuk mengobati dahaganya.
Namun, langkah beratnya sontak terhenti. Telinganya menangkap ada suara lain selain suara televisi. Seperti orang sedang mendesah penuh kenikmatan dan sesekali merintih. Suara aneh dan sangat mencurigakan itu terdengar di antara suara televisi.
Elma menajamkan pendengaran, suara desah dan rintihan makin jelas terdengar. Di televisi sedang jeda iklan. Jelas desahan itu bukan berasal dari televisi. Penasaran, Elma melangkah menuju ruang keluarga. Dia harus membuktikan kecurigaannya. Dengan berpegangan pada dinding, dia menyeret langkah beratnya.
Wanita itu makin kesulitan saat telah tiba di ruang keluarga. Ruangan itu gelap gulita. Lampu dalam keadaan padam. Hanya bias dari cahaya layar televisi yang masih menyala yang memberi penerangan. Netranya makin kesulitan untuk melihat. Dengan memicingkan kedua mata Elma menangkap ada dua bayangan di atas sofa. Siluet itu bergerak-gerak dengan liar di sana.
Dua sosok yang di atas sofa memang hanya terlihat samar di mata Elma, tetapi dia bisa menangkap kedua orang itu seperti tengah main kuda-kudaan. Satu di bawah dan satu lagi bergerak liar di atasnya. Suara desah kenikmatanpun bisa ditangkap oleh indera pendengaran. Siapa mereka? Elma penasaran sekaligus berdebaran.
‘Kenapa ada dua? Bukankah seharusnya Bang Binsar sendirian? Sama siapa, dia? Anak-anak semua sedang berada di rumah neneknya. ART yang bekerja di rumah ini selalu pulang di sore hari. Di rumah ini hanya ada aku, Bang Binsar dan Riris. Mungkinkah dia sedang bersama Riris? Apa yang sedang mereka lakukan? Apakah suara desahan yang saling bersahutan itu adalah suara Bang Binsar dan suara … Riris?’ batin Elma berkecamuk.
“Siapa di sofa itu? Abang? Abangkah yang di situ? Sama siapa?” Elma berteriak.
“Gawat, itu istri Abang! Bagaimana ini?” ucap Riris panik demi mendengar suara serak Elma.
“Iya, mampus kita!” Binsar tak kalah panik, langsung melepas bagian tubuhnya dari bagian tubuh Riris yang berada di bawahnya.
****
Bersambung
“Abang! Itu Abang, kan? Dan itu … siapa?” Elma semakin memicingkan mata. Tetapi tumor yang dia derita membuat pandangannya semakin terganggu saja. Cahaya temaram dari sorot televisi tak membantu penglihatannya sama sekali. Segera dia berjalan lagi dengan berpegangan pada dinding, Jemarinya mencari saklar lampu penerangan.“Cepat, istri Abang mau nyalain lampu!” bisik Riris sambil memungut pakaiannya yang berserakan di lantai, lalu bersembunyi di balik sofa. Binsar menyambar celana boxernya, lalu memakainya dengan buru-buru.Ceklek! Seketika ruang televisi itu menjadi terang benderang.“Oh, Abang sendirian, ya? Tadi sepertinya dua orang. Mataku makin parah saja akhir-akhir ini,” sesal Elma seraya berjalan mendekati sofa. Langkah kakinya makin terhuyung. Wanita dengan tulang pipi yang kian menonjol itu tampak seperti tengkorak berjalan.“Kamu melihat apa, sih? Dari tadi juga aku sendirian di sini! Sepertinya matamu harus diperiksakan ke dokter spesialis, Sayang!” sahut Binsar gu
“Kau harus pergi dari sini, Ris! Sekarang kemasi semua pakaianmu!” Binsar berkata tegas.“Apa? Abang bilang apa?” Wanita itu tersentak kaget.“Kemasi semua pakainmu! Selepas subuh nanti, aku akan mengantarmu ke terminal. Kau pulang kampung dengan bus yang berangkat pertama! Aku akan telpon Mama. Mama yang akan menjelaskan pada orang tuamu di kampung kalau aku terpaksa memecatmu!”“Abang bercanda, kan, Bang? Ini maksudnya apa? Abang ngeprank ini, kan, Abang?” Riris bangkit lalu menghampiri Binsar yang masih berdiri di dekat pintu. “Abang jangan buat Riris takut, dong Bang!” rengeknya bergelayut di lengan pria itu.“Maaf, Ris! Tapi aku serius! Kita harus mengkhiri ini. Kau harus tinggalkan rumah ini!” Binsar melepas rangkulan Riris di lengannya.“Tapi salahku apa, Abang?” Riris mulai berkaca-kaca. Wanita itu menatap lekat wajah Binsar tepat di manik-manik mata. Dia kira leguhan nikmat sang pujaan di sofa tadi, akan mampu mengikat hati pria itu terhadap dirinya. Ternyata tidak sa
Binsar cepat-cepat menuju pintu, Elma yang sudah merasa sedikit bertenaga pagi ini ikut berjalan di belakangnya.“Kamu! Kenapa belum …,” sergah Binsar begitu daun pintu dibuka.“Ris, kamu rajin banget buatin sarapan segala! Terima kasih, ya! Kamu memang gadis yang baik!” sela Elma dengan senyum mekar di bibirnya.“Iya, Kak. Kakak sarapan, ya! Aku juga udah buatkan jus jeruk hangat buat Kakak.” Riris memeluk pinggang Elma, lalu membawa wanita itu menuju ruang makan. Binsar melongo. Kalimat kasar yang ingin dia ucap tertahan di tenggorokan.“Oh, iya, Bang, Tante beserta anak-anak sudah dalam perjalanan ke sini,” imbuh gadis itu menoleh sekali lagi ke belakang. Binsar tersentak kaget.“Anak-anak?” seru Elma gembira.“Iya, Kak. Aku meminta Tante membawa anak-anak Kakak ke sini, pasti Kakak sudah kangen, kan?”“Riris, kamu pengertian banget, sih. Kalau aku yang minta pada mertuaku agar bawa anak-anak ke sini, enggak pernah dikabulkan. Katanya penyakitku bisa nular ke anak-anak. Terima
“Baik, Tante!”Riris tersenyum lega. Gadis itu lalu membuka pintu kamar, keluar dengan langkah ringan. Kabar duka akan dia sampaikan kepada Elma yang masih berada di meja makan.Namun, saat melewati kamar utama, langkahnya terhenti. Pintu kamar yang sedikit terbuka membuat mata gadis itu dengan leluasa menangkap pemandangan di dalamnya. Binsar yang baru saja selesai mandi tengah berdiri mamatut diri di depan cermin rias. Tubuh atletis yang hanya berbalut handuk sebatas pinggang memancing gadis itu untuk datang mendekat.Pelan Riris menguakkan daun pintu agar lebih lebar. Membawa tubuhnya masuk ke dalam, lalu menutup kembali daun pintu tanpa suara.Klek! Ceklek!Anak kunci dia putar dua kali.“Kamu?” teriak Binsar terkejut menoleh ke belakang. “Kamu, ngapain di sini? Keluar!” usirnya dengan mata membulat.“Ssst! Jangan kencang-kencang ngomongnya! Nanti istri Abang dengar gimana?” Riris menempelkan telunjukknya di bibir Binsar yang masih basah. “Mau apa kamu, Riris? Tolong keluar!”
Dengan tangan gemetar Elma mulai menscroll laporan penjualan. Baik laporan penjualan di toko induk ini maupun seluruh toko cabang yang tersebar di beberapa kota kabupaten, berbagai kota kecamatan bahkan desa. Semuanya mesti memberikan laporan penjualan secara on-line ke toko induk. Setiap hari pula kasir di setiap toko cabang harus mentransfer uang hasil penjualan ke rekening toko.Rekening toko memang atas nama Elma sebagai pemilik resmi. Namun, kartu ATM atas nomor rekening itu ada di tangan Binsar. Elma lalu mengetik pemberitahuan di layar laptop.[Kepada seluruh kasir toko cabang Usaha Panglong Elma Bersinar, mulai hari ini uang hasil penjualan harian harap di transfer ke rekening pribadi pemilik Usaha langsung atas nama Elma Rosaline dengan nomor Rekening 131-xxxx-xxx-xx karena rekening toko yang biasa sudah dibekukan. Demikian untuk dipatuhi. Tertanda pemilik Usaha Panglong Elma Bersinar, Elma Rosaline.]“Kak El, ini maksudnya apa?” Riris terbelalak kaget membaca kalimat it
“Bik Dar! Tolong bantu saya siap-siap, Bik! Saya gak usah mandi, elap dengan air hangat saja!” titah Elma pada Asistennya.“Baik, Buk!”“Tolong tunggu di luar, Bang! Siapkan mobil!” pinta Elma melirik Binsar.Binsar tak bisa menolak lagi. Dengan enggan dia keluar dari kamar itu. Namun langkahnya bukan menuju garasi, melainkan ke toko. Riris menyambutnya dengan senyum lebar.“Gimana istri Abang, drop lagi, kan? Gak jadi operasi, kan? Abang, sih! Bukannya dihalang-halangi istrinya minta operasi, malah didukung, sekarang liat, Abang gak bisa bebas lagi gunakan kartu ATM Abang, kan?” semprotnya begitu Binsar sudah dekat.“Kamu benar, Ris. Aku salah sangka. Kukira Elma itu perempuan bodoh. Kasihan dia penyakitan, begitu pikirku. Rupanya sakit saja dia berbahaya, bagaimana pula kalau sehat.”“Makanya aku dan Mama Abang ngarang cerita kalau Tampan demam. Biar dia gak jadi operasinya.”“Jadi, Tampan gak benar-benar sakit?”“Tidak. Mama Abang sengaja menunda tiba lebih cepat. Supaya Kak El
“Iya, kenapa? Kamu sepertinya panik sekali?” tanya sang supir kebingungan.“Tidak, bukan. Eh, maksud saya, hati-hati nanti nyetirnya! Sudah, ya! Terima kasih!” Elma mengakhiri panggilannya, lalu menatap Riris dengan tajam. Wanita itu menunduk, menyembunyikan wajahnya.“Apa maksud kamu sebenarnya?” Elma berjalan pelan mendekati wanita itu. Bik Darmi membantu memapahnya.Binsar yang melihat gelagat perang segera turun dari mobil dan memburu istrinya. “Sayang, kita berangkat sekarang, ya! Dokter David sudah terlalu lama menunggu. Ayo!” ucapnya langsung menggendong tubuh ringkih Elma.“Aku mau bicara dulu dengan Riris, tunggu sebentar!”“Jangan pedulikan Riris, Sayang! Biar nanti abang yang urus, ya!”“Aku mau pecat dia, Abang! Aku pecat dia sekarang!”“Iya, iya!” Binsar meletakkan tubuh Elma di jok depan, langsung menutup rapat pintu mobil. Elma berusaha meronta, namun tak dihiraukan. Mobil itu langsung melaju dengan kecepatan tinggi.Sebuah notifikasi pesan masuk terdengar dari ponsel
“Tolong selimuti saya!” lirihnya tetap dengan posisi menghadap ke dingding dan tubuh menggigil.“Sial benar perempuan itu! Cari masalah saja! Selimuti dia!” perintah Alva kepada anak buahnya. Salah seorang langsung menyelimuti tubuh Elma.“Sekarang dudukkan dia, bantu gerakkan tangannya untuk menanda tangani surat ini! Setelah itu masukkan dia ke mobil, tinggalkan di lampu merah, di mana tadi kalian menjemputnya!” perintahnya lagi.Dengan sigap kedua anak buahnya melakukan perintah. Bersusah payah mereka posisikan tubuh Elma agar bisa bersandar di dinding. Namun usaha mereka sia-sia. Elma tak lagi bergerak sedikitpun.“Dia pingsan, Bang! Tubuhnya juga panas sekali! Sepertinya demam tinggi!”“Sial! Bawa ke mobil! Lalu buang!”“Tapi, Bang!”“Kenapa? Kalain mau markas kita ini menjadi perhatian masyarakat umum dan juga polisi!”“Tidak, Bang! Tapi, jangan dibuang juga, Bang!”“Lalu kau mau apa? Mau bawa dia ke rumah sakit? Ada uang bapak kau bayar rumah sakitnya, ha! Belum lagi kalau di
“Vita, sambil tengokin adek, ya! Tante mau buatkan jus buah!” titah Nirmala seraya bangkit. Ini hari keempat dia menemani anak-anak Elma. “Ya, Tante. Buatin buat Vita sekalian, ya, Tan! Gerah banget, nih!” sahut Vita tetap fokus dengan buku pelajaran di tangannya. Gadis kecil berusia delapan tahun itu akan menghadapi ujian kenaikan kelas besok. Itu sebab dia harus belajar keras hari ini. “Tampan mau jus enggak, biar Tante bawa sekalian?” teriak Nirmala lagi. “Mau, Tan! Pakai es yang banyak, ya!” sahut bocah laki-laki berusia lima tahun dari halaman. Dia tengah asik bermain bola sendirian. Keringat mengucur deras di dahi dan punggungnya. Nirmala bergerak ke dalam rumah. Vita tenggelam dengan bukunya ketika Tampan bergerak mendekati pintu pagar. Bola yang sedang dia mainkan terlempar ke luar. Berusaha menjangkau bola melalui celah besi pagar, bocah itu mulai putus asa. “Kakak, bolanya keluar!” teriaknya sedih. “Biar aja, ambil bola yang lain aja! Jangan keluar!” sang kakak b
“Andre, kalian datang?” Serempak Sinulingga, Riani dan Anyelir menoleh. “Bagaimana keadaan Kak Elma, Kak Anyelir?” tanya Nara setelah menghirup napas beberapa kali. terlihat dia begitu kelelahan dengan perut yang kian membesar. Di usia kandungan yang ke tujuh bulan, wanita itu memang mulai mudah lelah. “Elma masih ditangani Dokter. Kamu baik baik saja? Ngapain ikut ke rumah sakit ini kalau kamu sendiri dalam keadaan hamil besar begini?” tanya Anyelir membantu Nara untuk duduk. “Aku khawatir, takut Kak Elma kenapa napa. Secara dia pernah hampir meninggal dulu karena serangan kanker rahim, kan?” dalih Nara sedih. “Kok bisa Elma drop, apa yang terjadi?” tanya Andre cemas. “Ini semua salah mama,” lirih Riani bersuara. Semua terpana. “Mama melakukan apa lagi” Andre menatapnya gusar. “Mama gak bisa terima kalau ternyata Alva enggak bakal pernah bisa punya anak. Mama sedih. Mama tak bisa menerima kenyataan. Nyatanya, Mama tk bisa berbuat apa-apa. Alva sudah menjatuhkan pilihan.
“Maksud kamu? Mama … harus pergi dari sini?” tanya Alva menyipitkan kedua netranya. terkejut mendengar permintaan Elma. “Ya, maaf! Aku tidak mau Mama ada di sini! Di rumah ini. Setidaknya sampai hatiku kembali tenang,” lirih Elma lalu berjalan pergi meninggalkan kegaduhan. “Elma kau mengusir mama? Berani kau mengusir ibu mertuamu, hah?” Riani hendak mengejar Elma, tetapi segera ditahan oleh Anyelir. “Kau tidak bisa mengusirku, Elma! Mana janjimu untuk minta talak pada anakku? Mana janjimu akan menikahkan Alva dengan Nirmala! Kau penipu, Elma!” teriaknya memaki-maki Elma. Sontak Elma menghentikan langkah. Berbalik, lalu menatap ibu mertuanya penuh kecewa. Jemarinya memijit kening, pandangannya tiba-tiba gelap. Elma ambruk ke lantai. “Sayang!” Alva menangkap tubuhnya. “Elma, Sayang …! Kamu kenapa? El?” panggilnya seraya menepuk lembut pipi Elma. Namun, tak ada respon. “Denyut nadinya lemah banget!” seru Anyelir panik saat meraba pergelangan tangan Elma. “Kenapa? Kak Elma ken
“Alva …?” Riani tersentak kaget. “Apa maksud kamu, Nak? Rencana apa? Mama enggak paham?” lanjutnya memasang wajah paling sedih. Dramanya masih berlanjut. “Enggak usah pura-pura lagi, deh, Ma! Dion, segera nyalakan proyektornya!” perintah Alva kepada anak buahnya. Dion dan Yopi segera melaksanakan perintah. Infokus mereka sorotkan ke dinding kamar. Menit berikutnya sebuah video rekaman sudah diputar. Rekaman dari CCTV di hotel tempat Alva dan Nirmala sempat berada di sebuah kamar tanpa busana. Terlihat jelas saat dua orang pria menurunkan tubuh Alva dan Nirmala dari dalam sebuah mobil. Keduanya lalu membawa Alva dan Nirmala masuk ke dalam kamar hotel. “Apa ini?” teriak Riani tiba tiba. “Hentikan itu! Mama enggak sanggup melihat hal yang menakutkan seperti itu!” pintanya pura-pura memelas. Alva melambaikan tangan, sebagai isyarat agar Dion menghentikan dulu memutar videonya. “Kenapa Mama enggak nanya, kenapa aku dan Nirmala bisa dalam keadaan tak sadarkan diri seperti itu? H
“Kau bilang apa barusan? Alva akan menikahi Nirmala, setelah menalak kamu?” Riany tersentak kaget. kedua bola matanya membulat sempurna. Sedikitpun dia tak menyangka, semua harapannya begitu mudahnya terlaksana. Awalnya, tak muluk cita-citanya. Cukuplah Elma setuju Alva menikahi Nirmala. Dia sudah sangat bahagia. Karena dengan begitu, dia akan mendpat cucu dari Nirmala. Anak kandung Alva, darah dagingnya, penerus marga dan keturunannya. Tak apa meski Nirmala hanya istri kedua. Sebab kalau mengharap cuuc dari Elma, itu sangat tidak mungkin. Elma pernah diponis menderita kangker rahim. Sudah dilakukan operasi besar juga. Besar kemungkinan rahim Elma sudah diangkat juga. Harapannya ternyata dikabulkan Tuhan berlipat ganda. Bukan hanya Alva yang akan menikahi Nirmala, tetapi juga Elma akan mengundurkan diri sebagai menantunya. Artinya, Nirmala akan menjadi satu satunya istri buat Alva. Ratu di keluarga Sinulingga, hanya Nirmala saja. Keturunan langsung keluarga besar itu. Bukan Elma,
“Kenapa kau bisa tidur dengan Alva! Dasar kau memang manusia tak tau terima kasih! Kurang baik apa Elma sama kamu selama ini! Kenapa kau malah mencuri suaminya! Dasar kau memang keturunan Bina tang! Kau mau menyakiti hati Elma, iya? Kurang baik apa dia sama kamu, Nirmala …! Kenapa begini balasanmu!” lanjut Riani lagi memaki dan mengumpat dengan kata kata kasar.“Ma! Ada apa ini?” Elma mendorong pintu kamar langsung menerobos masuk ke dalam. “Nirmala, kau sudah pulang?” tanyanya menoleh kepada Nirmala.“Lihat perempuan sundal ini, Elma! Dia sudah berjinah dengan suamimu! Dia tega berselingkuh di belakangmu, Elma," teriak Riani pura-pura histeris.“Aku tidak selingkuh, Tante! Bang Alva yang sudah menjebak aku, entah apa yang terjadi aku enggak sadar. Saat aku bangun, aku sudah berad di dalam sebuah kamar hotel bersama Bang Alva. Bang Alva yang sudah perkosa aku, Tante!” jerit Nirmala tak terima tuduhan sang Tante.“Jangan ngarang kamu! Jangan pura-pura jadi korban! Akui saja, kalau ka
“Elma …! Kau ngomong apa! Menikah apa?! Aku tidak mau …!” teriak Alva histeris. Elma tak menghiraukan. Langkahnya makin panjang keluar dari kamar.“Kak El, aku juga enggak mau nikah sama Bang Alva!” Nirmala ikut berteriak. Namun, dia tak bisa mengejar Elma. Dia maish sibuk mengenakan seragam sekolahnya kembali.“Elma … tunggu!” Alva menangkap lengan Elma dari belakang. Terpaksa Elma menghentikan langkah. Namun, detik berikutnya sebuah tamparan langsung dia layangkan tepat di pipi Alva.“Sudah kubilang, jangan pernah sentuh aku lagi! Aku jijik padamu, paham!” tegasnya lalu meneruskan langkah.Alva terperangah, meraba pipinya yang panas. Elma sedang benar-benar marah. Dia bisa berbuat apa sekarang? Tak ada, selain pasrah.“Aku akan buktikan kalau aku tidak bersalah,” ucapnya lirih. Sebuah tekat terpatri di dalam benak. Semua ini akan bisa diusut tuntas. Akan dia buktikan kalau dia bukan pria bejat seperti anggapan Elma saat ini.“Bang Al, saya harus meningglkan Abang! Saya akan setiri
Elma berdiri kaku di ambang pintu, menatap nanar pemandangan di atas ranjang. Suaminya berbaring dengan tanpa busana sehelai benang. Hanya ujung kain sepre yang menutup bagian selangkangan.Sementara Nirmala, gadis yang selama ini sudah menumpang hidup di rumahnya. Dia biayai pendidikanya, dia tanggung makan dan biaya hidupnya. Saat ini, dia dapati tengah berda di satu ranjang yang sama dengan suaminya. Dalam keadaan sama. Bahu, pundak dan dada atas gadis itu terlihat tanpa penutup apapun juga. Hanya sehelai selimut tipis yang menutupi batas kaki hingga wilayah dada.“Kalian?” lirihnya tercekat. Hilang suara di kerongkongan. Langit serasa runtuh, kini ambruk menimpa dirinya. Searas seluruh tubuhnya remuk. Redam, tak lagi berbentuk. Elma merasakan sakit, sangat sakit, tapi entah di bagian mana.Entah dengan kekuatan apa, dia akhirnya berhasil menggerakkan kakinya. Meski tungkainya terasa tak bertenaga. Elma merasa tubuhnya ringan, melayang, tubuhnya lalu menghampiri kedua sosok yang
“Nirmala bangun! Nirmala …! Banguuuun!” Alva mengguncang bahu polos Nirmala. Panik yang melanda pria itu membuat dia bingung harus berbuat apa sekarang. Pacu jantungnya semakin tidak karuan. Bingung, takut, khawatir, marah, kecewa, bercampur dan mengaduk perasaannya.“Eeeehm …, di mana ini? Palaku sakit banget, mataku sepat ….” racau Nirmala masih saja terpejam. Hanya bibirnya yang bergerak gerak saat berusaha berucap.“Buka mata kamu! Lihat apa yang terjadi ini, Nirmala! Bangun!” perintah Alva meski dia sendiri hanya mampu bersuara tanpa bisa bergerak. Otaknya serasa buntu untuk memerintahkan anggota badan untuk berbuat sesuatu meski hanya untuk mengenakan pakaiannya kembali.“Astaga! Apa yang telah terjadi ini sebenarnya? Apa yang telah aku lakukan? Kenapa aku ada di kamar ini?” Alva memukul mukul keningnya.“Oooough …! Ini di mana?” Nirmala menguap panjang, lalu mengulet lagi hendak melanjutkan tidur.“Bangun Nirmala! Kita dalam masalah besar!” sergah Alva sekali lagi menggunca