Bab 1
"Seperti ada suara motor Mas Yusuf, Bu," ucapku panik."Kamu ngga pamitan?" tanya Ibu kaget.Aku menggeleng lemah."Tumben?"Aku diam saja, tak berani menjawab.Mata Ibu menatapku dalam. Seperti ia sedang mencari sesuatu dalam kelopak mataku."Kalian ada masalah? Jangan menghindar, temui dia, bicarakan baik-baik," ujar Ibu menebak-nebak."Tidak, Bu. Biar Mas Yusuf menemuiku di kamar saja," elakku seraya berdiri dari tempatku duduk. Aku mengintip dari balik tirai jendela yang tertutup kelambu putih."Iya, benar, itu Mas Yusuf."Dengan cepat aku berjalan menuju kamar tidur agar ia tak melihat bahwa aku sengaja menghindarinya.Aku enggan menemuinya di hadapan ibuku, biarlah kami berbicara di dalam kamar saja agar masalah ini tidak melebar kemana-mana.Kupasang telingaku agar bisa mendengar dengan jelas apa yang akan diucapkan Mas Yusuf pada Ibu. Tak lagi dapat kubendung rasa kesalku padanya. Terlebih pada Ibunya yang selalu semaunya sendiri."Waalaikum salam, Suf," jawab ibuku pada Mas Yusuf yang baru datang setelah mengucapkan salam.Ucapan salam Mas Yusuf terdengar dingin. Tidak ada kelembutan yang kudengar dari ucapan salam itu."Alina mana, Bu?" tanya Mas Yusuf.Entah, ia menyalami ibu atau tidak. Aku khawatir Mas Yusuf abai pada ibuku. Tapi, semoga ibuku maklum atas sikap Mas Yusuf saat ini."Ada di kamarnya, masuklah, Nak," jawab ibu terdengar ramah. Tanpa Mas Yusuf menjelaskan, Ibu paham apa yang sedang terjadi antara kami berdua.Samar aku mendengar suara ibu dari dalam kamar, tetapi aku tak bergeming. Biarlah ia yang menghampiriku saja."Rumi mau es krim? Yuk beli," ujar Ibu setelah menjawab pertanyaan Mas Yusuf."Mau, Nek! Aku suka es krim," jawab Rumi senang.Sepertinya Ibu sengaja mengajak Rumi keluar untuk memberikan kami waktu berbicara berdua tanpa ada gangguan Rumi. Terlebih mungkin agar tidak mendengar suara bernada tinggi milik ayahnya yang mungkin akan terdengar menggema.Kemudian terdengar langkah kaki mendekat ke arah kamarku. Sejurus kemudian gagang pintu bergerak, setelah pintu terbuka tampak wajah Mas Yusuf muncul dari balik pintu."Ayo pulang! Minta maaf sama ibu! Jangan kebiasaan ada masalah lari ke rumah orang tua!" ucap mas Yusuf kepadaku yang sedang duduk di bibir ranjang tanpa permisi. Ia meraih tanganku yang tengah memilin ujung pakaian yang kukenakan."Tidak, Mas! Aku tidak salah! Aku ngga mau minta maaf!" elakku keras."Kalau ngga salah, bagaimana mungkin ibu sampai nangis nelangsa begitu!?" sela Mas Yusuf cepat. Tangis ibu mertua sepertinya sudah berhasil membuat api dalam dada Mas Yusuf berkobar hebat."Mas, tadi itu aku-""Sudahlah! Jangan membela diri! Minta maaf dulu sama ibu!" sela Mas Yusuf lagi.Mataku terperanjat mendengar teriakan Mas Yusuf yang begitu keras. Debaran dalam dadaku seketika membuat darahku mengalir cepat. Aku tak menyangka jika Mas Yusuf sedemikian membela ibunya."Ayo, pulang!" ajaknya lagi. Tanpa aba-aba ia kembali menarik tanganku agar mengikuti langkahnya yang lebar.Aku membuang napas kasar. Menjelaskan titik permasalahan sepertinya tidak akan bisa merubah keadaan jika kondisi emosinya sedang memuncak. Aku pun menurut saja."Langsung balik?" tanya Ibu yang baru saja kembali dari toko dekat rumah saat melihat Mas Yusuf menarik tanganku."Kita pulang, Ma?" tanya Rumi. Ia menatapku dan ayahnya bergantian."Iya, kita pulang dulu ya? Lusa main lagi ke sini." Aku menyela ketika Mas Yusuf hanya diam saja mendengar pertanyaan putrinya.Ibu menatapku dan Mas Yusuf bergantian. Lalu berjongkok di depan Rumi dan memegang kedua pangkal lengannya.Mendapati pandangan ibu yang hangat, mataku pun terasa panas. Lalu kabut tebal menyelimutinya hingga berubah menjadi bulir-bulir air yang siap meluncur bebas."Ngga apa-apa pulang dulu. Ini es krimnya dimakan di rumah ya?""Iya, Nek. Nanti kalau aku ke sini lagi, belikan es krim ini lagi ya?" balas Rumi sambil menunjukkan sekantong plastik yang berisi dua cup es krim vanila yang baru saja diberikan oleh neneknya."Yuk," ajak Mas Yusuf setelah ibu berdiri dan melepas pegangan tangannya pada bahu Rumi."Iya Mas," jawabku pasrah. Linangan air mata segera kuusap, lalu berjalan mengambil tas yang ada di atas kursi ruang tamu.Sadar jika suamiku sedang marah, tak bisa dibantah. Bahkan tak segan memukul jika aku, sebagai istri berani melawan. Makanya aku memilih berbicara di dalam kamar, takut jika ibuku melihat wajah Mas Yusuf kala emosi."Rumi balik dulu, ya, Nek?" pamit Rumi. Ia mengulurkan tangannya pada ibu lalu menciumnya dengan takdzim."Iya. Hati-hati ya, Nak?" jawab Ibu sambil memasang wajah sumringah.Aku pun mengikuti apa yang Rumi lakukan. Lalu, aku membalas tatapan ibu dengan senyum yang kupaksakan.Pandangan mata ibu tak lepas dari wajahku, yang sedang tertekan. Aku faham jika ibu mengerti kondisiku, tetapi tak berani berbuat apa-apa. Mungkin dalam hatinya sedang berdoa untukku.Sayang di sebelahku sudah ada mas Yusuf, membuat ibu tak berani berbicara banyak kepadaku. Hanya usapan tangannya pada bahuku, yang membuat dadaku makin terasa nyerinya.Aku membuang napas kasar agar nyeri dalam dada ini tak berubah menjadi isakan yang bisa memporak-porandakan suasana ini."Pulang dulu Bu," ucap mas Yusuf setelah mencium punggung tangan ibuku, mertuanya."Iya Nak, hati-hati di jalan." Lagi, ibu berucap.Kami bertiga lantas menaiki motor butut mas Yusuf. Tak lupa juga Rumi melambaikan tangan pada sang nenek sebelum motor ayahnya melaju membelah jalan.Pandangan mata ibu terus tertuju padaku sampai mataku tak bisa lagi melihat tubuhnya melalui kaca spion.Aku faham, ibu mengerti keadaanku yang sedang dalam masalah. Tetapi aku tak serta merta menceritakan semua yang telah terjadi agar tak semakin menjadikannya beban pikiran. Nasi sudah menjadi bubur, Mas Yusuf sudah menjadi suamiku, apapun keadaannya harus kuhadapi.Bismillah, ucapku dalam hati."Ayo cepat minta maaf sama ibu!" ucap mas Yusuf setelah kami turun dari motornya. Ia lalu membawaku ke hadapan orang yang tadi berbicara kasar denganku dan anakku, seperti kesetanan menyuruhku meminta maaf pada ibunya, mertuaku.Tak menjawab ucapan mas Yusuf, aku lantas menunduk, meraih tangan ibu mertua. "Alina minta maaf ya, Bu?""Iya, jangan diulangi lagi membantah sama orang tua. Ibu ini sudah tua, nggak bisa dengar kata-kata kasar, juga nggak bisa dibentak-bentak," ucap bu Rohaya, mertuaku. Wajahnya seolah sedang diliputi kesedihan, matanya bengkak karena terlalu banyak menangis.Mendengar ucapan ibu, aku lantas berpikir keras. Siapa yang membantah? Bukannya tadi saat pertengkaran itu terjadi aku hanya diam tak membantah sedikitpun?Pertengkaran batin terjadi dalam hatiku. Bagaimana mungkin Bu Rohaya bisa berucap demikian padahal aku faham kejadian dari awal sampai akhir.Ucapan mertuaku lantas menjadi suatu pertanyaan untukku. Pantas saja Mas Yusuf sampai sedemikian emosi, ibu sudah membalik fakta yang telah terjadi."Iya Bu, sekali lagi Alina minta maaf," ucapku mengalah. Aku lantas berdiri dari hadapan mertuaku, meraih tangan Rumi untuk kugandeng menuju kamarku.Kemudian mas Yusuf mengikutiku dari belakang. Kami sama-sama masuk ke dalam kamar.Aku lantas duduk di bibir ranjang bersama Rumi, sedang Mas Yusuf berdiri di hadapanku."Mas, aku tadi nggak ngelawan," ucapku berusaha menjelaskan."Kalau nggak ngelawan nggak mungkin ibu sampai nangis kayak gitu!" sahut mas Yusuf tak terima.Kutatap wajah mas Yusuf yang wajahnya sudah agak berbeda dari saat kami datang. Meskipun begitu, ucapannya masih sedikit ketus."Sudahlah apa sih salahnya minta maaf sama ibuku?!" cecarnya.Merasa sudah terpojokkan, sebaiknya aku diam. Menjelaskan juga tak mungkin diterima jika hal itu menyangkut soal ibunya. Salahku memang dulu sudah tahu ibunya tak suka denganku, aku tetap saja mau menerima pinangan mas Yusuf.Bersambung 🌸🌸🌸Aku Mengalah Mas, Demi Ibumu! 2Dalam sunyinya malam, aku duduk bertafakur di atas sajadah. Hanyut dalam bacaan zikir yang kulantunkan dengan khusyu'. Memohon kepada Tuhan agar mempermudah hatiku menerima jalan takdir yang sudah kupilih. Aku sebagai manusia, memiliki kesempatan untuk memilih pendamping hidup. Terlepas dari bagaimana perlakuan buruk sang mertua atau saudara.Tak dapat tidur hingga pagi menjelang, membuatku segera bangun untuk menyelesaikan pekerjaan rumah lebih cepat dari biasanya. Agar sebelum ibu mertua pulang dari pasar, rumah sudah terlihat rapi dan bersih.Pernah sekali, saat ibu pulang dari pasar mendapati rumah masih kotor, membuatnya seharian mendiamkanku. Aku yang perasa, segera meraba diri. Kesalahan apa yang aku lakukan sampai membuat ibu mertua marah padaku. Rupanya aku ingat, saat itu Rumi sedang rewel, minta ditemani tidur sehingga membuatku terlambat bangun untuk menyelesaikan pekerjaan rumah.Ibu m
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 3Lagi-lagi Mas Yusuf menyebut nama ibunya dalam pertengkaran kami. Jika sudah begitu, wajib bagiku untuk langsung menutup mulut. Daripada aku terus berkomentar malah akan menimbulkan pertengkaran antara kami berdua. Sebaiknya memang segala sesuatu tentang ibu mertua yang tidak sesuai dengan keinginanku harus kusimpan rapat.Setelah menyebut nama ibunya, Mas Yusuf berlalu dari hadapnku. Tanpa peduli dengan anaknya yang sedang merintih kesakitan.Terserahlah dengan sikap Mas Yusuf, mau bagaimanapun aku tetap kalah. Baginya, ucapan ibunya bak perintah yang wajib dipatuhi. Tak peduli bagaimana jelasnya kejadian sebenarnya."Sini, Nak, biar Mama urut yang sakit," ucapku pada Rumi yang meringkuk di sampingku.Rumi lantas merubah posisinya menjadi terlentang, sedang aku, meraih minyak kayu putih dalam kotak tempatku menaruh obat-obatan.Kubalur kakinya dengan minyak, lalu kuurut sedikit bagian yan
Aku Mengalah, Mas! Demi Ibumu! 4Terdengar suara Rumi sudah berceloteh di depan saat aku keluar dari kamar mandi. Rupanya, setelah bangun tadi, Rumi menghampiri neneknya karena tak melihat keberadaanku. Rumi memang pintar, jarang menangis jika bukan karena suatu hal yang menyakitinya. Pantas jika aku panik saat melihat Rumi menangis setelah terjatuh kemarin.Kupercepat langkahku menuju kamar. Menyelesaikan urusan pribadi sebelum ibu mertua berceloteh karena tingkah Rumi. Sebenarnya Rumi termasuk anak yang cerdas, bisa memahami apa yang disampaikan orang kepadanya. Hanya saja kadang ibu tidak bisa memahami fitrah cucunya yang masih kanak-kanak, masih butuh mengexplore imajinasinya.Segera aku menghampiri Rumi setelah selesai berganti pakaian. Ingin tahu apa yang sedang dikerjakan oleh anakku itu. Barangkali tangannya membuat kerusuhan di depan yang memicu amarah sang nenek.Betapa terkejutnya aku melihat ruang tamu sudah penuh dengan ma
Aku mengalah, Mas. Demi Ibumu! 5Mas Yusuf baru datang saat aku, Ratih, dan ibu sedang melihat televisi bersama. Sekalipun hati terasa sakit, tetap kupaksa untuk menjaga hubungan baik kami. Sekalipun aku tidak pernah menunjukkan muka masamku pada ibu. Rumi sudah tidur lebih dulu karena lelah bermain tadi sore."Bu, ini obat yang tadi Ibu minta," ucap Mas Yusuf seraya menyerahkan kantong plastik berisi obat pereda nyeri untuk ibu."Iya."Ibu hanya menerima obat itu dari tangan Mas Yusuf tanpa memindahkan pandanganya dari layar televisi.Tak heran jika sikap ibu seperti itu, sejak sore juga sudah diam dan manyun gara-gara kejadian tadi. Apalagi soal gelas-gelas kotor itu, ternyata dicuci sendiri oleh ibu. Sudah sakit karena kesandung mainan, ditambah cuci gelas sendiri. Oh ibu ... maafkan aku, salah sendiri ibu marah-marah dari tadi, membuatku enggan membantumu.Sedang Mas Yusuf, tampak aneh melihat ibu bersik
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 6Pertengkaran tadi pagi, sukses membuat moodku hancur. Hampir setengah hari aku hanya berdiam diri di kamar. Sedang Mas Yusuf, entah kemana perginya. Beruntung Rumi tipe anak yang tidak banyak tingkah. Melihat mamanya tiduran di kamar, ia sangka bahwa aku sedang sakit. Ia pun terus menemaniku di kamar sambil mengajak main boneka kesayangannya."Mama belum sembuh?" tanyanya saat aku mengamati ia yang sedang bermain boneka."Sudah sembuh, Sayang," jawabku seraya tersenyum lembut. Sekuat tenaga kututupi hati yang sedang sakit ini di depan anakku."Mama nggak mau bangun?""Kakak mau ke mana?""Kakak bosan di kamar, Ma.""Kakak mau main ke mana memangnya?""Mau main ke Rumah mbak Maya,"ucapnya penuh semangat."Mama mau ngantar aku main ke sana?" tanyanya lagi saat aku tak memberi respon atas permintaannya."Boleh."Tergerak hatiku untuk bangun, kasihan bila anak seke
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 7"Mas juga minta maaf, Dik. Terlalu keras selama ini," ucapnya sambil duduk di sebelahku. Diraihnya tanganku untuk ia genggam erat. Tampak sekali raut wajah menyesal dari wajahnya."Nggak apa-apa, Mas. Asal jangan diulangi lagi main tangan. Beruntung Mas Yusuf nggak jadi nampar, coba kalo tangan itu sudah nempel di sini," ucapku sambil menunjuk pipiku dengan tangan kananku."Maaf, ya, Dik. Sungguh, Mas nggak sadar kayak gitu tadi."Kepala Mas Yusuf menunduk, mungkin malu karena hampir melakukan kekerasan dalam rumah tangga.Diraihnya pucuk kepalaku, kemudian ia cium lembut. Lalu ia rangkul pundakku dengan penuh cinta. Ini yang membuat aku tak bisa lepas darinya. Sikapnya yang penuh cinta kepadaku, meskipun terkadang membuatku sakit karena ibunya."Nggak usah sedih, Mas. Aku sudah maafin," ucapku setelah pelukan itu terurai."Mas Yusuf, sudah makan? Biar aku siapkan.""Sudah, tadi. O
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 8"Sampai mati pun, ibu nggak akan kasih restu. Masih banyak laki-laki yang belum pernah menikah, kenapa kamu bisa dekat dengan duda? Sudah nggak laku, hah?!" teriak ibu pada Ratih saat teman lelaki Ratih baru saja pamit pulang. Matanya menatap Ratih nyalang, dadanya naik turun menujukkan bahwa jantungnya sedang berusaha keras mengatur udara yang keluar masuk dalam hidungnya. Wajahnya merah padam menujukkan bahwa emosi sedang berada ditingkat tertinggi. Tangan ibu berpegangan pada ujung sofa, untuk menahan bobot tubuhnya agar tidak sampai jatuh.Barusan memang Ratih kedatangan temannya, aku nggak tahu siapa. Karena memang baru pertama kali ia datang kemari. Kebetulan aku yang mempersilakannya masuk, karena saat itu aku sedang melayani pembeli."Kalau Ratih cinta, ibu mau apa? Toh dekat dengan yang belum pernah menikah, tidak menjamin akan memberi kebahagiaan. Biarpun duda, tapi dia mapan, Bu!
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 9Kulawan ego dalam hati agar tetap bisa berbakti pada mertua sebagai bentuk baktiku pada suami. Meskipun sering terluka karena ucapannya, aku masih punya hati untuk merawat ibu saat sedang seperti ini.Mas Yusuf adalah laki-laki yang peduli terhadap ibunya. Lebih tepatnya sangat menyayangi ibu, tak jarang hal itu membuat aku memiliki sedikit rasa cemburu pada ibu. Mungkin terkadang aku tak bisa mengontrol diri, sehingga rasa cemburu itu menjadi sesuatu hal yang pada akhirnya menyakitiku sendiri.Entah mengapa, justru sikap penyayangnya itulah yang membuatku bertahan. Rasa perhatiannya tidak diungkapkan dengan buaian kata-kata, namun diungkapkan dengan sebuah sikap tanggap terhadap sesuatu.Rumi, ya, Rumi jugalah yang terkadang menjadi penguat hati untuk terus bertahan dengan semua ini. Bagaimana mungkin aku tega membiarkan anakku kehilangan kasih sayang seorang ayah diusianya yang masih terlalu kec
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 83"Untuk apa Ayah kesini? Ayah kan sudah punya adik baru?" Rumi melanjutkan ucapannya. Matanya menatap sang ayah dengan tatapan tajam. "Nak, Ayah sayang sama Kakak. Ayah mau kita hidup bersama lagi seperti dulu. Kakak mau kan ya?" Mas Yusuf berdiri dengan semangatnya lalu berjalan mendekat ke arah Rumi. Ia mencoba memegang tangan gadis kecilku itu. Tapi Rumi segera menepisnya. "Pergi Ayah! Aku benci sama Ayah!" teriak Rumi keras. Ia lantas berlari ke dalam rumah menuju kamar tidurnya. Aku kaget melihat sikap Rumi yang sedemikian kerasnya. Sebenarnya ada apa yang membuat gadis polos itu tiba-tiba saja berani membentak Ayahnya dengan keras. Aku mengabaikan Mas Yusuf yang sedang terisak. Ini bukan masalah sepele. Aku harus mencari tahu penyebab Rumi sampai sedemikian keras menolak ayahnya. Saat kakiku hendak melangkah, Mas Azam memegang pergelangan tanganku. "Biar aku saja. Kamu urus masalahmu dengan ayahnya."Mas Yusuf melihat kedekatanku dengan Mas
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 82"Ketika kamu sakit, Bapak melihat kepedulian dari sikapnya padamu dan Rumi. Begitu perhatian, berbeda dengan Yusuf dulu." Telingaku kembali terngiang kata-kata Ibu saat bersama tadi. Benar saja, lelaki di depanku ini lebih peduli dan peka terhadap keadaan yang menimpaku. Tanpa kukabari dan kuminta kehadirannya ia sudah datang dan lebih dulu berjibaku dengan masalah yang sedang menempaku. Masihkah aku butuh bukti lagi untuk menerima cintanya padaku?Badan Mas Azam sudah basah oleh cipratan air. Kaos dalam berwarna putih yang dikenakannya sudah tak lagi berwarna putih. Baju itu sudah bercampur tanah dan kotor. Sesekali ia gunakan lengannya untuk mengusap peluh di keningnya dan membuat warna lengan kaos itu tak lagi putih. Wajahnya menyiratkan rasa cemas dan sikapnya sungguh cekatan menyelamatkan apapun yang bisa diselamatkan. Ia berlari kesana-kemari mengangkat barang-barang yang masih bisa ditolong. Hatiku berdenyut nyeri bak ditampar kenyataan yan
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 81"Aku mau pulang saja!""Rumi di sini dulu sama Tante," sergah Mas Yusuf. Ia berusaha menarik lengan Rumi tapi segera ditepis dengan kasar oleh Rumi. "Nggak mau! Rumi mau pulang saja!" Rumi memberengut. "Maaf ya, Nak. Ayah harus bantu Bundamu yang mau melahirkan," lirih Mas Yusuf. Wajahnya memelas di sisi kanan Rumi. Aku mendekat ke tubuh Rumi. Ia langsung saja memelukku saat aku berada di dekatnya. "Maafkan aku, Dek. Aini mau melahirkan, jadi aku ngga bisa fokus sama Rumi," jelasnya saat aku berusaha menenangkan Rumi yang bersedih. Aku hanya tersenyum. "Nggak apa-apa, Mas." "Anakmu aja yang manja! Orang bapaknya lagi sibuk urus istrinya mau lahiran, dianya nempel aja!" hardik Ibu Mas Yusuf tiba-tiba. Ia baru saja keluar dari ruang tamu dan turut berdiri di depan di dekat Mas Yusuf. "Bu! Jangan ikut campur!" hardik Mas Yusuf cepat. Ibu pun berjingkat kaget mendapati teriakan Mas Yusuf yang sedikit keras itu. "Kamu itu! Dibela malah Ibu dibentak
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 80"Aku harus cepat ke butik, Mas. Tapi," ucapku sambil melirik jam di pergelangan tangan. Sebentar lagi jam jemput Rumi juga. Aku bingung. "Kenapa?""Harus jemput Rumi kan sebentar lagi, semoga aja perempuan itu mau nunggu. Siapa ya kira-kira?" tanyaku bingung. "Biar kamu aku antar ke butik, terus aku yang jemput Rumi. Gimana?" tawarnya seraya menatapku dalam. "Apa ngga ngerepotin Mas Azam?" sungkanku. Sejak kemarin lagi-lagi aku merepotkannya. Ini semakin membuatku tak enak hati. "Enggak lah, aku ngga repot. Kamu tenang aja." Mas Azam memanggil satu pelayan hanya dengan satu ayunan tangan dan tak butuh waktu lama pelayan datang menghampiri kami. Kami segera pergi setelah Mas Azam membayar bill yang diberikan oleh pelayan tersebut. Kali ini aku berjalan mendahului Mas Azam karena tak mau kejadian seperti tadi terulang kembali. Selama dalam perjalanan Mas Azam hanya diam saja. Tak seperti ketika berangkat yang tak henti mengajakku bicara. "Mas ngg
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 79Suasana rumah sunyi senyap. Tak ada penghuni selain aku sendiri dalam rumah. Zahra sudah berangkat ke butik satu jam yang lalu. Hanya ada aku yang sedang sibuk melihat tingkah ikan dalam kolam yang tampak lucu. Mataku sibuk mengikuti gerak ikan mengitari tiap sudut kolam. Sesekali ikan yang lebih besar itu menerobos kolong jembatan yang sengaja dipasang di tengah kolam. Dan ikan yang kecil terus saja mengikutinya. Saling mengejar satu sama lain. Meskipun sedikit adu kekuatan tapi ikan yang lainnya masih terus saja saling mengikuti. Gelombang air tercipta saat aku melempar sejumput makanan ikan dalam kolam. Langsung saja ikan-ikan itu saling berebut mendahului ikan yang lainnya agar bisa mendapatkan jatah. Seketika bibirku tersungging melihat tingkah mereka yang aktiv. Mataku nanar menikmati pemandangan di hadapanku karena mengingat kembali cerita Zahra soal masa lalunya. Sungguh aku tak ingin menjadikan Rumi sebagai korban keegoisan kedua orangtuan
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 78Aku menatap nanar plafon kamar tidur yang bercat putih. Lampu yang sudah berganti temaram tak kunjung membuat mataku memejamkan mata. Pikiranku terus kembali mengingat apa yang Ibu sampaikan tadi sore selepas Bapak menggendongku ke kamar. "Perceraian seharusnya tak membuatmu menjadi trauma. Hidup terus berlanjut. Masa depanmu masih panjang. Rumi juga masih kecil. Jangan kerdilkan pikiranmu dengan rasa trauma." Ibu menatap mataku dalam. Aku merasakan ketulusan dalam ucapannya. "Alina belum sanggup, Bu." Kepalaku menunduk, mataku nanar menatap ujung kuku yang kumainkan. "Belum sanggup bukan berarti tidak mau. Hanya saja kamu butuh waktu untuk menyembuhkan luka itu. Lihatlah bagaimana Azam menantimu hingga ia rela melepas gadis yang baru saja dijodohkan dengannya."Pikiranku kembali mengingat apa yang pernah Adelia tanyakan dulu. Juga keputusan Mas Azam untuk membatalkan pertunangannya dengan Adel setelah rumah tanggaku diterpa badai. Jadi semuanya ka
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 77Tak mau merasa kepedean aku lantas kembali bertanya untuk memastikan. "Berubah status? Status apa?" tanyaku cepat. "Iya. Dia sendiri sekarang.""Memang dulunya gimana? Jadi pacar orang lain?""Enggak. Jadi istri orang lain.""Istri?""Iya.""Janda dong?""Iya, janda.""Aku juga janda sekarang?""Iya, kamu.""Aku? Maksudnya?" tanyaku tak mengerti. "Iya kamu.""Kenapa sama aku?"Mas Azam tak lagi membalas ucapanku. Ia malah tersenyum tipis sambil memandangku sendu. Duh kesambet apa ini orang. Aku tak lagi meneruskan pertanyaanku. Kuputuskan untuk sibuk menghabiskan kue dalam tanganku saja. Namun perasaanku mendadak tak enak. Tiba-tiba aku merasa ada yang sedang mengamatiku.Kepalaku mendongak melihat apa yang dilakukan oleh manusia di sebelahku ini. Seketika mata kami beradu. Bibirnya tersungging tipis menampakkan deretan giginya yang rapi. Duh. Aku geragapan. Mendadak salah tingkah mendapati dirinya tengah memindai wajahku sedemikian rupa. "Kam
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 76Mataku nanar memandang surat yang baru saja diantar oleh pengacaraku. Tak kusangka kini aku resmi menjadi janda. Tak pernah terbersit dalam benakku aku akan menyandang status ini. Sungguh sakit melihat surat itu tertera namaku di atasnya. Air mataku sudah lelah mengalir saat mataku mulai terasa berat. Sejenak kurebahkan badanku agar kembali segar saat menjemput Rumi nanti. Perlahan mataku mulai terpejam menelan luka yang kembali terasa perih karena status resmi yang baru saja kudapatkan. Beruntungnya aku tinggal di perumahan yang tak banyak orang ikut campur atas masalah pribadi yang sedang kunikmati. Jika mereka membicarakanku dibelakangku, itu terserah mereka. Dering ponsel membuatku tersentak kaget. Segera kuraih benda yang kuletakkan di atas nakas itu. Tertera nama wali kelas Rumi dalam layar ponsel yang bergetar. "Waalaikumsalam, Bu," jawabku cepat. "Arumi belum dijemput ya, Bund? Sudah lewat setengah jam tapi dia masih nunggu di sekolah."M
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 75"Mbaak," rengeknya setelah berhasil duduk di kursi kosong di depanku. Ia lantas menangis tersedu-sedu tanpa memperdulikanku yang kebingungan melihat tingkahnya. Kuletakkan ponselku lalu kutatap wajahnya penuh tanda tanya. "Kamu kenapa?" Aku yang sedang bingung makin mencondongkan tubuh agar bisa melihat dengan jelas ekspresi wajahnya saat ini. "Mas Azam, Mbak," lirihnya lagi sambil terisak. Kedua tangannya menangkup wajahnya menghalau air mata yang terus mengalir dari kelopak matanya. "Kenapa Mas Azam?" tanyaku ikut panik. Tangisnya membuatku ikut merasakan bagaimana perasaannya saat ini. "Mas Azam tiba-tiba saja memutuskan pertunangan kami, Mbak," jelasnya lirih. Suaranya hampir tak terdengar karena diiringi dengan tangisan. "Bagaimana bisa? Alasannya?" tanyaku penasaran. Sebab tak mungkin lelaki seperti Mas Azam tiba-tiba saja memutuskan hubungan tanpa sesuatu yang jelas dan besar. "Alasannya dia tak siap dengan perjodohan ini, Mbak. Menurutk