Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 6
Pertengkaran tadi pagi, sukses membuat moodku hancur. Hampir setengah hari aku hanya berdiam diri di kamar. Sedang Mas Yusuf, entah kemana perginya. Beruntung Rumi tipe anak yang tidak banyak tingkah. Melihat mamanya tiduran di kamar, ia sangka bahwa aku sedang sakit. Ia pun terus menemaniku di kamar sambil mengajak main boneka kesayangannya.
"Mama belum sembuh?" tanyanya saat aku mengamati ia yang sedang bermain boneka.
"Sudah sembuh, Sayang," jawabku seraya tersenyum lembut. Sekuat tenaga kututupi hati yang sedang sakit ini di depan anakku.
"Mama nggak mau bangun?"
"Kakak mau ke mana?"
"Kakak bosan di kamar, Ma."
"Kakak mau main ke mana memangnya?"
"Mau main ke Rumah mbak Maya,"ucapnya penuh semangat.
"Mama mau ngantar aku main ke sana?" tanyanya lagi saat aku tak memberi respon atas permintaannya.
"Boleh."
Tergerak hatiku untuk bangun, kasihan bila anak sekecil Rumi harus terkena imbas atas perasaan yang sedang menyelimuti hati.
Sejenak kemudian aku bangun, merapikan rambut yang terkoyak akibat gesekan kepala pada bantal. Lalu melihat diri ke dalam kaca, betapa wajahku sedang tidak sedap untuk dipandang.
Biarlah, toh hanya ke rumah Bulek Sri saja, karena Maya adalah anak bungsu bulek yang usianya tiga tahun di atas Rumi.
Kuabaikan pandangan ibu mertua yang tampak aneh saat melihatku. Memang saat kejadian tadi pagi, ibu belum pulang dari pasar. Hanya ada aku dan Mas Yusuf saja. Pantas ibu heran melihat aku yang tiba-tiba murung di dalam kamar. Meskipun begitu, beliau tak berani bertanya langsung kepadaku.
"Wajahmu kenapa, Nduk?" tanya Bulek saat aku menghampirinya di dapur. Beliau sedang memasak saat aku baru tiba. Rumi langsung mencari keberadaan Maya di kamarnya. Ia anteng kalau sudah bermain sama Maya.
"Habis berantem, Bulek."
"Tumben kamu berantem? Sama siapa?" tanyanya. Pantas saja bulek keheranan, karena sejak menikah dengan Mas Yusuf, rumah tangga kami baik-baik saja. Aku masih mampu meredam emosi saat terjadi perselisihan antara kami. Entahlah sejak kehadiran Rumi, sikap ibu makin menjadi.
"Sama Mas Yusuf. Selalu saja membela ibunya. Nggak pernah mau mendengar penjelasanku, juga ngga bisa ngertiin posisiku," ucapku menggebu-gebu. Berharap mendapat pembelaan atas diriku yang merasa teraniaya.
"Ya jelas dong dibela, kan ibunya?!" jawab bulek mantab.
"Tapi kan aku istrinya, Bulek!" balasku tak kalah mantab. Ah aku salah. Kukira bulek akan membelaku.
"Siapa yang nggak tahu? Tapi dia kan lebih dulu kenal ibunya dibandingkan dengan kamu? Pantas saja selalu dibela!" jawab bulek dengan santai. Sesekali ia memandangku yang sedang disapa emosi.
"Bulek kok gitu, sih!" sungutku. Tak terima bila bulek lebih membela Mas Yusuf. Berharap dengan bercerita, aku bisa sedikit merasa lebih tenang. Eh malah yang terjadi bulek lebih memebela suamiku, saudaranya.
"Bukan begitu, Al. Kamu harus paham dulu. Sebagai anak, apalagi anak laki-laki, jelas sekali terlihat bahwa ia sangat menghormati ibunya. Bahkan itu wajib hukumnya. Hanya saja, sebagai istri, kamu harus paham celah. Jangan asal menuduhnya yang ia sendiri tidak tahu dengan mata kepalanya bagaimana buruknya prilaku orang tua yang dihormatinya itu."
"Maksud Bulek dengan celah? Celah yang seperti apa?" tanyaku. Aku masih bingung dengan apa yang disampaikan bulek.
"Maksudnya dengan celah itu, apapun konflik yang kamu alami dengan ibunya, sebisa mungkin kamu simpan. Dan akan ada saatnya, pertikaian itu terjadi di hadapan Yusuf sendiri. Barulah saat ia melihat dengan mata kepalanya sendiri, kamu bisa keluarin semua uneg-uneg yang sudah kamu simpan itu. Memang terkesan kita yang banyak tersakiti, tapi tidak ada cara lain untuk membuka matanya selain dengan cara itu, juga dengan banyak berdoa," jelas bulek panjang lebar.
"Aku sudah berdoa, Bulek."
"Doa yang seperti apa?"
"Ya berdoa tiap habis sholat itu!" ucapku yakin.
"Lebih spesifik nggak?" tanya bulek memastikan.
"Maksudnya spesifik?"
"Ya, kamu minta supaya suamimu dibuka mata hatinya gitu, biar lebih membela kamu," jawabnya.
"Sudah, Bulek. Doaku ya begitu kurang lebih. Apa iya harus kuberi tahu?" tanyaku asal.
"Hehehe ... nggak juga sih!"
"Sudah kamu bacain surah Fatihah juga, nggak?"
"Surah Fatihah? Buat siapa?" tanyaku heran. Setahuku memang surah Fatihah cuma buat yang sudah meninggal saja. Aku memang dangkal dalam pemahaman ilmu agama.
"Ah kamu ini! Ya dibaca khusus buat suamimu. Emang anakmu nggak pernah kamu bacain Surah Fatihah?" tanyanya penuh selidik.
"Enggak, Bulek."
"Astagaa Alinaaaa! Sebagai ibu, kamu w*jib membacakan surah Fatihah buat anakmu. Agar ia menjadi anak yang berbakti juga patuh terhadap orang tua. Mulai nanti, setelah sholat fardlu, kamu bacain deh itu surah buat anak sama suami kamu. Khusus buat mereka berdua masing-masing satu kali. Trus pas di ayat 'iyyakana'budu w* iyya kanasta'in' kamu bacain sebelas kali. Lihat saja bagaimana perubahannya nanti," jelas bulek.
"Gitu ya, Bulek? Ya sudah nanti biar kucoba baca setelah shalat."
"Terus jangan lupa, kamu mengalah untuk minta maaf. Nggak ada salahnya kan meminta maaf lebih dulu pada suami? " perintahnya.
Mendengar perintah bulek itu, aku hanya terdiam memaku. Kuakui memang aku salah, apalagi sudah berani melawan suami sampai ia pergi meninggalkanku seperti tadi. Selama umur perkawinan, baru kali ini aku berani melawan seperti tadi. Saking tak kuatnya aku menahan emosiku yang dari kemarin sudah tersulut karena ucapan ibu.
"Nduk!"
"Iya, Bulek."
Panggilan bulek menyadarkanku dari lamunan.
"Nggak dengar ucapan Bulek?"
"Iya, Bulek. Dengar kok."
"Jangan sampai lupa! Harus istiqomah juga!" timpal bulek lagi.
"Iya, Bulek. Semoga bisa istiqomah, juga bisa membuat sikap Mas Yusuf jadi lebih baik kepadaku," jawabku penuh harap.
***
Rumi tampak lelap tidur di sebelahku. Namun tidak denganku. Wajah Mas Yusuf masih menari-nari dalam ingatan, membuatku diliputi rasa bersalah.
Dalam hati aku berdoa, agar ia segera kembali pulang dan aku bisa meminta maaf.
Kupaksa tubuh ini untuk bangun dari tempat tidur, melihat keadaan di luar barangkali bisa mengalihkan pikiran dari bayangan kejadian tadi pagi.
Beruntung saat terjadi pertengakaran tadi, ibu belum pulang dari pasar, sehingga tidak turut ikut campur. Tidak bisa kubayangkan, bagaimana jika ada ibu saat kami bertengkar tadi, entah bagaimana hebohnya. Mungkin akan terdengar sampai ke tetangga karena suara ibu tergolong keras jika berbicara.
Setelah adzan dhuhur berkumandang, aku bergegas masuk ke dalam kamar setelah berwudhu. Menunaikan kewajiban pada Sang Pemilik Kehidupan. Tak lupa juga aku berdoa, memohon keselamatan diri juga rumah tangga ini dari fitnah dunia. Sengaja memang aku salat di kamar, agar aku puas berdoa tanpa dilihat oleh orang lain. Juga tak lupa menjalankan apa yang bulek perintahkan tadi. Semoga saja aku bisa istikomah melakukannya.Kurebahkan tubuh setelah melipat mukena yang telah kugunakan. Berharap bisa barang sejenak telelap dalam buaian indah pulau kapuk.
Belum sempurna mataku terpejam saat derit pintu terdengar olehku. Rupanya Mas Yusuf yang datang. Bergegas aku bangun, duduk di atas petiduran sederhana ini. Menunggunya melepas jaket berlebel ojek online.
"Mas, Alina minta maaf," ucapku dengan kepala tertunduk. Malu sebenarnya. Hanya saja harus kulawan ego ini demi utuhnya rumah tangga. Agar anaku tetap mendapatkan kasih sayang yang utuh.
Bersambung🌸🌸🌸Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 7"Mas juga minta maaf, Dik. Terlalu keras selama ini," ucapnya sambil duduk di sebelahku. Diraihnya tanganku untuk ia genggam erat. Tampak sekali raut wajah menyesal dari wajahnya."Nggak apa-apa, Mas. Asal jangan diulangi lagi main tangan. Beruntung Mas Yusuf nggak jadi nampar, coba kalo tangan itu sudah nempel di sini," ucapku sambil menunjuk pipiku dengan tangan kananku."Maaf, ya, Dik. Sungguh, Mas nggak sadar kayak gitu tadi."Kepala Mas Yusuf menunduk, mungkin malu karena hampir melakukan kekerasan dalam rumah tangga.Diraihnya pucuk kepalaku, kemudian ia cium lembut. Lalu ia rangkul pundakku dengan penuh cinta. Ini yang membuat aku tak bisa lepas darinya. Sikapnya yang penuh cinta kepadaku, meskipun terkadang membuatku sakit karena ibunya."Nggak usah sedih, Mas. Aku sudah maafin," ucapku setelah pelukan itu terurai."Mas Yusuf, sudah makan? Biar aku siapkan.""Sudah, tadi. O
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 8"Sampai mati pun, ibu nggak akan kasih restu. Masih banyak laki-laki yang belum pernah menikah, kenapa kamu bisa dekat dengan duda? Sudah nggak laku, hah?!" teriak ibu pada Ratih saat teman lelaki Ratih baru saja pamit pulang. Matanya menatap Ratih nyalang, dadanya naik turun menujukkan bahwa jantungnya sedang berusaha keras mengatur udara yang keluar masuk dalam hidungnya. Wajahnya merah padam menujukkan bahwa emosi sedang berada ditingkat tertinggi. Tangan ibu berpegangan pada ujung sofa, untuk menahan bobot tubuhnya agar tidak sampai jatuh.Barusan memang Ratih kedatangan temannya, aku nggak tahu siapa. Karena memang baru pertama kali ia datang kemari. Kebetulan aku yang mempersilakannya masuk, karena saat itu aku sedang melayani pembeli."Kalau Ratih cinta, ibu mau apa? Toh dekat dengan yang belum pernah menikah, tidak menjamin akan memberi kebahagiaan. Biarpun duda, tapi dia mapan, Bu!
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 9Kulawan ego dalam hati agar tetap bisa berbakti pada mertua sebagai bentuk baktiku pada suami. Meskipun sering terluka karena ucapannya, aku masih punya hati untuk merawat ibu saat sedang seperti ini.Mas Yusuf adalah laki-laki yang peduli terhadap ibunya. Lebih tepatnya sangat menyayangi ibu, tak jarang hal itu membuat aku memiliki sedikit rasa cemburu pada ibu. Mungkin terkadang aku tak bisa mengontrol diri, sehingga rasa cemburu itu menjadi sesuatu hal yang pada akhirnya menyakitiku sendiri.Entah mengapa, justru sikap penyayangnya itulah yang membuatku bertahan. Rasa perhatiannya tidak diungkapkan dengan buaian kata-kata, namun diungkapkan dengan sebuah sikap tanggap terhadap sesuatu.Rumi, ya, Rumi jugalah yang terkadang menjadi penguat hati untuk terus bertahan dengan semua ini. Bagaimana mungkin aku tega membiarkan anakku kehilangan kasih sayang seorang ayah diusianya yang masih terlalu kec
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 10Mentari sudah menepi di ufuk barat. Berganti dengan rembulan yang kian memancarkan sinarnya. Bintang bertaburan memenuhi angkasa. Ibu berjalan mondar-mandir ke sana ke mari menunggu anak bungsunya kembali, namun, tak jua kembali. Mendung menyelimuti hatinya. Hati yang semula membeku itu, nampaknya mulai mencair."Ya Allah Ratih ... kemana kamu pergi, Nak?" ucapnya lirih. Lelah berjalan, sejenak ia meletakkan pantatnya di atas kursi ruang tamu. Pandangannya lurus ke arah pintu, dengan bibir komat kamit, entah apa yang ia baca.Aku hanya duduk terdiam menemani ibu. Sambil berdoa dalam hati agar dimanapun Ratih berada tetap dalam keadaan baik-baik saja. Terkadang, seseorang hanya butuh teman, bukan nasihat. Ah gini amat anak perawan jika tak mendapatkan restu. Semua merasakan dampak akibat ulahnya.Mas Yusuf pun tak bisa tenang, ia sedang menunggu di teras rumah setelah menghubungi teman Ratih yang
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 11"Saat menikah saya sedang fokus untuk kuliah. Pemasukan hanya dari pekerjaan sampingan saya sebagai penjaga kafe saat malam hari. Awalnya mantan istri saya bisa menerima keadaan saya, namun karena kebutuhan rumah tangga juga kebutuhan pribadinya yang semakin banyak, membuat ia pada akhirnya sering menuntut. Keadaan saya yang belum mampu itulah yang membuat saya akhirnya memilih untuk berpisah.""Punya anak dengannya?" tanya ibu tegas."Belum, Bu.""Surat cerai?" tanya ibu lagi. Pertanyaannya bak hakim yang sedang menghakimi tersangka."Ada, Bu. Semua jelas dan lengkap.""Lantas, pekerjaan kamu apa? Guru?""Iya, Bu. Alhamdulillah saya sudah pengangkatan. Saya resmi menjadi ASN tahun lalu.""Apa kamu bisa menjamin bahwa jika saya merestui kalian, tidak akan ada perpisahan seperti pada mantan istrimu?"Ah ibu ... bagaimana mungkin bisa memberi pertanyaan seperti itu pada seseo
Aku Mengolah, Mas. Demi Ibumu! 12"Ma, ayo ke rumah nenek Risma," pinta Rumi padaku saat tengah menemaninya tidur siang. Istirahat di siang hari sudah menjadi kebiasaannya sejak kecil. Selain menjaga pola makan, istirahat juga wajib dijaga agar tubuh Rumi tidak mudah sakit."Iya, boleh. Minta izin sama ayah dulu, ya? Nunggu ayah pulang kerja dulu.""Kalau nggak boleh, Rumi mau nangis aja," ucapnya pura-pura merajuk."Nangis? Kayak adik bayi itu ya?" godaku sambil menoel pipinya."Cantik-cantik masa nangis? Kalau nangis malah nggak dikasih izin sama ayah," imbuhku.Seketika ia menoleh menghadapku."Jadi, nggak boleh nangis ya? Iya deh, Rumi nggak nangis. Kan Rumi pinter ya?" jawabnya lugu."Iya dong. Anak mama kan pinter.""Sekarang bobok dulu, ya? Habis ini ayah datang, nanti Mama sampaikan kalau Rumi minta ke rumah nenek Risma."Kuusap rambutnya lembut. Kemudian ia berbalik memunggungi
Aku mengalah, Mas. Demi Ibumu! 13"Sabarlah, Nak. Tidak ada hidup tanpa ujian."Ibu mengusap lembut rambut panjangku di atas pangkuannya. Turut merasakan kesedihan yang kurasakan. Tidak ada solusi selain bersabar, sebab perpisahan bukan jalan terbaik."Aku lelah, Bu. Setiap hari seperti pembantu, tapi masih saja ibu mertua bicara seenaknya padaku.""Bahkan soal makanan Rumi pun, ibu masih menyalahkanku," ucapku dengan suara parau. Emosiku kembali naik saat mengingat kejadian lalu yang menyesakkan dada. Biarlah kuceritakan semua beban dihatiku, agar lega dada ini, daripada kuceritakan kepada orang lain."Jika segala ucapan orang tua kamu anggap menyalahkanmu, lantas bagaimana kamu akan belajar berbaik sangka?""Maksud Ibu?""Setiap manusia punya watak dan sifat yang berbeda. Juga punya cara sendiri-sendiri untuk menyampaikan pendapat mereka, tidak bisa disamaratakan. Kalau segala ucapannya kamu anggap menyakitimu, l
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 14Di ruangan serba putih suamiku terbaring lemah dengan beberapa luka memar di tubuhnya. Terdapat beberapa jahitan di keningnya karena benturan benda keras saat kecelakaan terjadi. Beruntung keadaannya tidak terlalu parah. Hanya saja butuh perawatan beberapa hari sampai kondisinya membaik.Ku pandangi tubuh lemah itu, tak tega hati ini melihatnya. Membayangkan pekerjaannya yang tiap hari berteman dengan jalan raya, malah mendapat kecelakaan saat akan menjemputku.Tak terasa air bening mengalir dari sudut netra ini. Apa yang sedang dipikirkannya hingga ia tak fokus saat mengendara dan membuat ia celaka seperti ini.Ratih sudah pulang satu jam yang lalu. Beruntung ada Ratih yang membantu mengurusi administrasinya. Karena polisi datang ke rumah ibu mertua untuk memberi kabar bahwa Mas Yusuf kecelakaan, sedangkan aku, masih berada di rumah orang tuaku. Hingga saat aku tiba, semua sudah bere
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 83"Untuk apa Ayah kesini? Ayah kan sudah punya adik baru?" Rumi melanjutkan ucapannya. Matanya menatap sang ayah dengan tatapan tajam. "Nak, Ayah sayang sama Kakak. Ayah mau kita hidup bersama lagi seperti dulu. Kakak mau kan ya?" Mas Yusuf berdiri dengan semangatnya lalu berjalan mendekat ke arah Rumi. Ia mencoba memegang tangan gadis kecilku itu. Tapi Rumi segera menepisnya. "Pergi Ayah! Aku benci sama Ayah!" teriak Rumi keras. Ia lantas berlari ke dalam rumah menuju kamar tidurnya. Aku kaget melihat sikap Rumi yang sedemikian kerasnya. Sebenarnya ada apa yang membuat gadis polos itu tiba-tiba saja berani membentak Ayahnya dengan keras. Aku mengabaikan Mas Yusuf yang sedang terisak. Ini bukan masalah sepele. Aku harus mencari tahu penyebab Rumi sampai sedemikian keras menolak ayahnya. Saat kakiku hendak melangkah, Mas Azam memegang pergelangan tanganku. "Biar aku saja. Kamu urus masalahmu dengan ayahnya."Mas Yusuf melihat kedekatanku dengan Mas
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 82"Ketika kamu sakit, Bapak melihat kepedulian dari sikapnya padamu dan Rumi. Begitu perhatian, berbeda dengan Yusuf dulu." Telingaku kembali terngiang kata-kata Ibu saat bersama tadi. Benar saja, lelaki di depanku ini lebih peduli dan peka terhadap keadaan yang menimpaku. Tanpa kukabari dan kuminta kehadirannya ia sudah datang dan lebih dulu berjibaku dengan masalah yang sedang menempaku. Masihkah aku butuh bukti lagi untuk menerima cintanya padaku?Badan Mas Azam sudah basah oleh cipratan air. Kaos dalam berwarna putih yang dikenakannya sudah tak lagi berwarna putih. Baju itu sudah bercampur tanah dan kotor. Sesekali ia gunakan lengannya untuk mengusap peluh di keningnya dan membuat warna lengan kaos itu tak lagi putih. Wajahnya menyiratkan rasa cemas dan sikapnya sungguh cekatan menyelamatkan apapun yang bisa diselamatkan. Ia berlari kesana-kemari mengangkat barang-barang yang masih bisa ditolong. Hatiku berdenyut nyeri bak ditampar kenyataan yan
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 81"Aku mau pulang saja!""Rumi di sini dulu sama Tante," sergah Mas Yusuf. Ia berusaha menarik lengan Rumi tapi segera ditepis dengan kasar oleh Rumi. "Nggak mau! Rumi mau pulang saja!" Rumi memberengut. "Maaf ya, Nak. Ayah harus bantu Bundamu yang mau melahirkan," lirih Mas Yusuf. Wajahnya memelas di sisi kanan Rumi. Aku mendekat ke tubuh Rumi. Ia langsung saja memelukku saat aku berada di dekatnya. "Maafkan aku, Dek. Aini mau melahirkan, jadi aku ngga bisa fokus sama Rumi," jelasnya saat aku berusaha menenangkan Rumi yang bersedih. Aku hanya tersenyum. "Nggak apa-apa, Mas." "Anakmu aja yang manja! Orang bapaknya lagi sibuk urus istrinya mau lahiran, dianya nempel aja!" hardik Ibu Mas Yusuf tiba-tiba. Ia baru saja keluar dari ruang tamu dan turut berdiri di depan di dekat Mas Yusuf. "Bu! Jangan ikut campur!" hardik Mas Yusuf cepat. Ibu pun berjingkat kaget mendapati teriakan Mas Yusuf yang sedikit keras itu. "Kamu itu! Dibela malah Ibu dibentak
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 80"Aku harus cepat ke butik, Mas. Tapi," ucapku sambil melirik jam di pergelangan tangan. Sebentar lagi jam jemput Rumi juga. Aku bingung. "Kenapa?""Harus jemput Rumi kan sebentar lagi, semoga aja perempuan itu mau nunggu. Siapa ya kira-kira?" tanyaku bingung. "Biar kamu aku antar ke butik, terus aku yang jemput Rumi. Gimana?" tawarnya seraya menatapku dalam. "Apa ngga ngerepotin Mas Azam?" sungkanku. Sejak kemarin lagi-lagi aku merepotkannya. Ini semakin membuatku tak enak hati. "Enggak lah, aku ngga repot. Kamu tenang aja." Mas Azam memanggil satu pelayan hanya dengan satu ayunan tangan dan tak butuh waktu lama pelayan datang menghampiri kami. Kami segera pergi setelah Mas Azam membayar bill yang diberikan oleh pelayan tersebut. Kali ini aku berjalan mendahului Mas Azam karena tak mau kejadian seperti tadi terulang kembali. Selama dalam perjalanan Mas Azam hanya diam saja. Tak seperti ketika berangkat yang tak henti mengajakku bicara. "Mas ngg
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 79Suasana rumah sunyi senyap. Tak ada penghuni selain aku sendiri dalam rumah. Zahra sudah berangkat ke butik satu jam yang lalu. Hanya ada aku yang sedang sibuk melihat tingkah ikan dalam kolam yang tampak lucu. Mataku sibuk mengikuti gerak ikan mengitari tiap sudut kolam. Sesekali ikan yang lebih besar itu menerobos kolong jembatan yang sengaja dipasang di tengah kolam. Dan ikan yang kecil terus saja mengikutinya. Saling mengejar satu sama lain. Meskipun sedikit adu kekuatan tapi ikan yang lainnya masih terus saja saling mengikuti. Gelombang air tercipta saat aku melempar sejumput makanan ikan dalam kolam. Langsung saja ikan-ikan itu saling berebut mendahului ikan yang lainnya agar bisa mendapatkan jatah. Seketika bibirku tersungging melihat tingkah mereka yang aktiv. Mataku nanar menikmati pemandangan di hadapanku karena mengingat kembali cerita Zahra soal masa lalunya. Sungguh aku tak ingin menjadikan Rumi sebagai korban keegoisan kedua orangtuan
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 78Aku menatap nanar plafon kamar tidur yang bercat putih. Lampu yang sudah berganti temaram tak kunjung membuat mataku memejamkan mata. Pikiranku terus kembali mengingat apa yang Ibu sampaikan tadi sore selepas Bapak menggendongku ke kamar. "Perceraian seharusnya tak membuatmu menjadi trauma. Hidup terus berlanjut. Masa depanmu masih panjang. Rumi juga masih kecil. Jangan kerdilkan pikiranmu dengan rasa trauma." Ibu menatap mataku dalam. Aku merasakan ketulusan dalam ucapannya. "Alina belum sanggup, Bu." Kepalaku menunduk, mataku nanar menatap ujung kuku yang kumainkan. "Belum sanggup bukan berarti tidak mau. Hanya saja kamu butuh waktu untuk menyembuhkan luka itu. Lihatlah bagaimana Azam menantimu hingga ia rela melepas gadis yang baru saja dijodohkan dengannya."Pikiranku kembali mengingat apa yang pernah Adelia tanyakan dulu. Juga keputusan Mas Azam untuk membatalkan pertunangannya dengan Adel setelah rumah tanggaku diterpa badai. Jadi semuanya ka
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 77Tak mau merasa kepedean aku lantas kembali bertanya untuk memastikan. "Berubah status? Status apa?" tanyaku cepat. "Iya. Dia sendiri sekarang.""Memang dulunya gimana? Jadi pacar orang lain?""Enggak. Jadi istri orang lain.""Istri?""Iya.""Janda dong?""Iya, janda.""Aku juga janda sekarang?""Iya, kamu.""Aku? Maksudnya?" tanyaku tak mengerti. "Iya kamu.""Kenapa sama aku?"Mas Azam tak lagi membalas ucapanku. Ia malah tersenyum tipis sambil memandangku sendu. Duh kesambet apa ini orang. Aku tak lagi meneruskan pertanyaanku. Kuputuskan untuk sibuk menghabiskan kue dalam tanganku saja. Namun perasaanku mendadak tak enak. Tiba-tiba aku merasa ada yang sedang mengamatiku.Kepalaku mendongak melihat apa yang dilakukan oleh manusia di sebelahku ini. Seketika mata kami beradu. Bibirnya tersungging tipis menampakkan deretan giginya yang rapi. Duh. Aku geragapan. Mendadak salah tingkah mendapati dirinya tengah memindai wajahku sedemikian rupa. "Kam
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 76Mataku nanar memandang surat yang baru saja diantar oleh pengacaraku. Tak kusangka kini aku resmi menjadi janda. Tak pernah terbersit dalam benakku aku akan menyandang status ini. Sungguh sakit melihat surat itu tertera namaku di atasnya. Air mataku sudah lelah mengalir saat mataku mulai terasa berat. Sejenak kurebahkan badanku agar kembali segar saat menjemput Rumi nanti. Perlahan mataku mulai terpejam menelan luka yang kembali terasa perih karena status resmi yang baru saja kudapatkan. Beruntungnya aku tinggal di perumahan yang tak banyak orang ikut campur atas masalah pribadi yang sedang kunikmati. Jika mereka membicarakanku dibelakangku, itu terserah mereka. Dering ponsel membuatku tersentak kaget. Segera kuraih benda yang kuletakkan di atas nakas itu. Tertera nama wali kelas Rumi dalam layar ponsel yang bergetar. "Waalaikumsalam, Bu," jawabku cepat. "Arumi belum dijemput ya, Bund? Sudah lewat setengah jam tapi dia masih nunggu di sekolah."M
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 75"Mbaak," rengeknya setelah berhasil duduk di kursi kosong di depanku. Ia lantas menangis tersedu-sedu tanpa memperdulikanku yang kebingungan melihat tingkahnya. Kuletakkan ponselku lalu kutatap wajahnya penuh tanda tanya. "Kamu kenapa?" Aku yang sedang bingung makin mencondongkan tubuh agar bisa melihat dengan jelas ekspresi wajahnya saat ini. "Mas Azam, Mbak," lirihnya lagi sambil terisak. Kedua tangannya menangkup wajahnya menghalau air mata yang terus mengalir dari kelopak matanya. "Kenapa Mas Azam?" tanyaku ikut panik. Tangisnya membuatku ikut merasakan bagaimana perasaannya saat ini. "Mas Azam tiba-tiba saja memutuskan pertunangan kami, Mbak," jelasnya lirih. Suaranya hampir tak terdengar karena diiringi dengan tangisan. "Bagaimana bisa? Alasannya?" tanyaku penasaran. Sebab tak mungkin lelaki seperti Mas Azam tiba-tiba saja memutuskan hubungan tanpa sesuatu yang jelas dan besar. "Alasannya dia tak siap dengan perjodohan ini, Mbak. Menurutk