Share

Bab 3

Penulis: Safiiaa
last update Terakhir Diperbarui: 2021-12-18 07:34:43

Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 3

Lagi-lagi Mas Yusuf menyebut nama ibunya dalam pertengkaran kami. Jika sudah begitu, wajib bagiku untuk langsung menutup mulut. Daripada aku terus berkomentar malah akan menimbulkan pertengkaran antara kami berdua. Sebaiknya memang segala sesuatu tentang ibu mertua yang tidak sesuai dengan keinginanku harus kusimpan rapat.

Setelah menyebut nama ibunya, Mas Yusuf berlalu dari hadapnku. Tanpa peduli dengan anaknya yang sedang merintih kesakitan.

Terserahlah dengan sikap Mas Yusuf, mau bagaimanapun aku tetap kalah. Baginya, ucapan ibunya bak perintah yang wajib dipatuhi. Tak peduli bagaimana jelasnya kejadian sebenarnya.

"Sini, Nak, biar Mama urut yang sakit," ucapku pada Rumi yang meringkuk di sampingku.

Rumi lantas merubah posisinya menjadi terlentang, sedang aku, meraih minyak kayu putih dalam kotak tempatku menaruh obat-obatan.

Kubalur kakinya dengan minyak, lalu kuurut sedikit bagian yang agak memar seperti terkena benturan.

"Bagaimana bisa kamu terjatuh, Nak?" tanyaku lagi saat melihat memar di kakinya.

"Nenek sedang mencuci gelas, Ma. Aku sudah bilang permisi mau lewat, tapi nenek malah menyiram lantai dengan air sabun cuciannya. Akhirnya aku terjatuhh, kakiku terkena bak plastik tempat nenek membilas gelas. Ini sakit, Ma," jelasnya panjang lebar dan menangis setelah menujuk area yang memar itu.

Dapur kami memang tidak memiliki tempat khusus untuk mencuci perabotan. Hanya ada lantai dengan kran menempel di dinding atas, beserta ember plastik di bawah kran air, tempat mencuci piring dan gelas, juga tempat untuk mencuci pakaian. Di depan ember itu, terdapat kamar mandi dan wc. Terdapat sekat pendek berupa dinding semata kaki untuk membatasi air agar tidak meluber kemana-mana.

"Ya sudah, tidak apa-apa. Besok kalau masih sakit, Mama bawa ke tukang urut ya?"

"Iya, Ma."

Kupijat kaki anakku yang sakit dengan sekuat mungkin menahan air mata. Bagaimana mungkin ibu mertua melakukan hal itu kepada cucunya sendiri. Ah sebaiknya aku berbaik sangka. Mungkin saja ibu tidak mendengar ucapan Rumi sehingga tidak sengaja Rumi terjatuh.

Setelah kupijat, Rumi tertidur. Mungkin karena merasa nyaman dengan pijatanku. Pelan aku bangun dari sisinya untuk melihat pekerjaanku tadi. Brangkali masih terbengkalai karena Ratih tidak pernah mau mengerjakan pekerjaan rumah.

Benar saja, kotoran yang tadi sudah separuh kusapu, kembali berserakan. Lagi, aku harus mengulang pekerjaan mulai awal. Tak habis pikir aku dengan adik Mas Yusuf itu, perempuan tapi tidak pernah mau bebersih rumah. Semoga saja kelak setelah menikah ia faham sendiri bagimana ruwetnya menjadi ibu rumah tangga. 

"Mana Rumi?" tanya Mas Yusuf yang tiba-tiba sudah ada di dekatku.

"Tidur, Mas."

Tanpa menoleh kulanjutkan kembali pekerjaanku.

Mas Yusuf lantas duduk di kursi dekat meja yang ada di depanku, tempat biasanya para pelanggan menikmati kopinya.

"Bagaimana kakinya?"

"Masih sakit, kalau besok tidak sembuh juga mau kubawa ke tukang urut."

"Iya, semoga nanti dapat rejeki buat pijitin si Rumi," ucapnya. Mungkin merasa bersalah karena sudah mengabaikan anaknya saat terjatuh tadi.

Hanya kupandangi sekilas wajahnya tanpa berucap sepatah kata pun. Tampaknya ia faham akan ekspresi wajahku yang sedang tidak baik-baik saja. Bagus lah Mas, kalau merasa bersalah. Setidaknya perasaan bersalahnya membuat hatiku lega, juga membuatku merasa bahwa masih ada perhatian untukku juga untuk putrinya.

Setelah aku selesai menyapu, Ratih keluar dari kamarnya. Tampaknya ia baru bangun tidur. Tanpa sepatah kata pun aku berlalu dari hadapannya menuju kamarku, untuk mengambil baju sebelum masuk ke kamar mandi. Heran dengan anak perawan jaman sekarang, nggak suka pegang kerjaan rumah. Lebih baik aku menyegarkan diri agar kepala terasa dingin. Penat rasanya menghadapi sikap mertua yang demikian.

"Suf, nggak narik?" tanya pak Soleh di depan yang masih terdengar oleh telingaku di dalam kamar.

"Belum, Pak. Habis ini. Kenapa, Pak?" jawab Mas Yusuf.

"Aku bisa minta tolong antar keponakanku ke tempat temannya? Di rumah nggak ada motor, lagi dipakai semua."

"Bisa, Pak. Kapan?"

"Sekarang, kamu siap-siap dulu biar aku panggil keponakanku dulu," ucap Pak Soleh sambil berlalu pergi.

Kemudian Mas Yusuf masuk ke dalam kamar, bersiap-siap dan berpamitan denganku.

"Aku berangkat narik, doakan dapat rejeki biar bisa buat mijitin kaki Rumi," ucapnya setelah jaket warna hijau itu terpasang sempurna di badannya.

"Iya, Mas."

Mas Yusuf lalu mengulurkan tangannya dan segera kuraih untuk kucium. Tak lupa juga ia megelus ujung kepala Rumi, dan diciumnya putri tunggal kami itu dengan penuh sayang. Ah Mas Yusuf, sikapnya yang seperti ini membuat hatiku terenyuh.

Kuantar Mas Yusuf sampai di depan pintu, dan ternyata sudah ada ibu mertua disana.

"Tumben, Suf, sudah berangkat?" tanya ibu pada Mas Yusuf.

"Iya, Bu. Diminta Pak Soleh ngantar keponakannya," jawab Mas Yusuf.

Motor Mas Yusuf sudah siap untuk dipakai, tinggal menunggu keponakan Pak Soleh datang ke sini.

"Biasanya kalau meminta tolong secara langsung, ongkosnya beda ya?"

Seketika aku dan Mas Yusuf saling pandang. 

"Sedikasihnya, Bu," jawabku memecah keheningan antara kami bertiga.

Lalu Pak Soleh dan keponakannya datang menghampiri kami.

"Sudah siap, Mas?" tanya Mas Yusuf pada keponakannya Pak Soleh yang tampak membawa banyak barang dalam tasnya.

"Sudah, Pak. Tolong ini ditaruh depan saja, biar satunya aku yang bawa," pinta keponakan Pak Saleh.

"Baik, Mas. Biar saya tata dulu di depan."

Dengan cekatan dan rapi Mas Yusuf menata barang bawaan pelanggannya. Kemudian keduanya segera menaiki motor agar tidak telat sampai di stasiun.

"Hati-hati, Mas," ucapku saat keduanya telah duduk sempurna di atas jok motor.

"Iya."

"Hati-hati, Suf. Nanti kalau sudah dapat uang, ibu belikan obat seperti biasanya, ya? Biar nggak capai kakinya ini dibuat kerja seharian," pinta ibu mertua.

Tanpa memperdulikan ucapan ibunya, Mas Yusuf memacu kuda besinya. Membelah jalanan mengantar pelanggan menuju tempat tujuan.

Mendengar ucapan ibu, aku hanya tersenyum kecil. Mengapa juga harus berucap demikian, padahal setiap ada rejeki, kalau ibu butuh sesuatu selalu Mas Yusuf yang belikan. Apalagi di depan masih ada Pak Soleh, pakai acara bilang capai kerja seharian, seperti aku menantu yang nggak pernah bantu saja. Padahal aku juga nggak pernah berhenti bantuin jualan juga bersih-bersih.

Bersambung 🌸🌸🌸

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
g pernah respek sama istri tolol modelan begini. nyampah aja
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu!    Bab 4

    Aku Mengalah, Mas! Demi Ibumu! 4Terdengar suara Rumi sudah berceloteh di depan saat aku keluar dari kamar mandi. Rupanya, setelah bangun tadi, Rumi menghampiri neneknya karena tak melihat keberadaanku. Rumi memang pintar, jarang menangis jika bukan karena suatu hal yang menyakitinya. Pantas jika aku panik saat melihat Rumi menangis setelah terjatuh kemarin.Kupercepat langkahku menuju kamar. Menyelesaikan urusan pribadi sebelum ibu mertua berceloteh karena tingkah Rumi. Sebenarnya Rumi termasuk anak yang cerdas, bisa memahami apa yang disampaikan orang kepadanya. Hanya saja kadang ibu tidak bisa memahami fitrah cucunya yang masih kanak-kanak, masih butuh mengexplore imajinasinya.Segera aku menghampiri Rumi setelah selesai berganti pakaian. Ingin tahu apa yang sedang dikerjakan oleh anakku itu. Barangkali tangannya membuat kerusuhan di depan yang memicu amarah sang nenek.Betapa terkejutnya aku melihat ruang tamu sudah penuh dengan ma

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-18
  • Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu!    Bab 5

    Aku mengalah, Mas. Demi Ibumu! 5Mas Yusuf baru datang saat aku, Ratih, dan ibu sedang melihat televisi bersama. Sekalipun hati terasa sakit, tetap kupaksa untuk menjaga hubungan baik kami. Sekalipun aku tidak pernah menunjukkan muka masamku pada ibu. Rumi sudah tidur lebih dulu karena lelah bermain tadi sore."Bu, ini obat yang tadi Ibu minta," ucap Mas Yusuf seraya menyerahkan kantong plastik berisi obat pereda nyeri untuk ibu."Iya."Ibu hanya menerima obat itu dari tangan Mas Yusuf tanpa memindahkan pandanganya dari layar televisi.Tak heran jika sikap ibu seperti itu, sejak sore juga sudah diam dan manyun gara-gara kejadian tadi. Apalagi soal gelas-gelas kotor itu, ternyata dicuci sendiri oleh ibu. Sudah sakit karena kesandung mainan, ditambah cuci gelas sendiri. Oh ibu ... maafkan aku, salah sendiri ibu marah-marah dari tadi, membuatku enggan membantumu.Sedang Mas Yusuf, tampak aneh melihat ibu bersik

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-18
  • Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu!    Bab 6

    Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 6Pertengkaran tadi pagi, sukses membuat moodku hancur. Hampir setengah hari aku hanya berdiam diri di kamar. Sedang Mas Yusuf, entah kemana perginya. Beruntung Rumi tipe anak yang tidak banyak tingkah. Melihat mamanya tiduran di kamar, ia sangka bahwa aku sedang sakit. Ia pun terus menemaniku di kamar sambil mengajak main boneka kesayangannya."Mama belum sembuh?" tanyanya saat aku mengamati ia yang sedang bermain boneka."Sudah sembuh, Sayang," jawabku seraya tersenyum lembut. Sekuat tenaga kututupi hati yang sedang sakit ini di depan anakku."Mama nggak mau bangun?""Kakak mau ke mana?""Kakak bosan di kamar, Ma.""Kakak mau main ke mana memangnya?""Mau main ke Rumah mbak Maya,"ucapnya penuh semangat."Mama mau ngantar aku main ke sana?" tanyanya lagi saat aku tak memberi respon atas permintaannya."Boleh."Tergerak hatiku untuk bangun, kasihan bila anak seke

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-18
  • Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu!    Bab 7

    Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 7"Mas juga minta maaf, Dik. Terlalu keras selama ini," ucapnya sambil duduk di sebelahku. Diraihnya tanganku untuk ia genggam erat. Tampak sekali raut wajah menyesal dari wajahnya."Nggak apa-apa, Mas. Asal jangan diulangi lagi main tangan. Beruntung Mas Yusuf nggak jadi nampar, coba kalo tangan itu sudah nempel di sini," ucapku sambil menunjuk pipiku dengan tangan kananku."Maaf, ya, Dik. Sungguh, Mas nggak sadar kayak gitu tadi."Kepala Mas Yusuf menunduk, mungkin malu karena hampir melakukan kekerasan dalam rumah tangga.Diraihnya pucuk kepalaku, kemudian ia cium lembut. Lalu ia rangkul pundakku dengan penuh cinta. Ini yang membuat aku tak bisa lepas darinya. Sikapnya yang penuh cinta kepadaku, meskipun terkadang membuatku sakit karena ibunya."Nggak usah sedih, Mas. Aku sudah maafin," ucapku setelah pelukan itu terurai."Mas Yusuf, sudah makan? Biar aku siapkan.""Sudah, tadi. O

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-19
  • Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu!    Bab 8

    Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 8"Sampai mati pun, ibu nggak akan kasih restu. Masih banyak laki-laki yang belum pernah menikah, kenapa kamu bisa dekat dengan duda? Sudah nggak laku, hah?!" teriak ibu pada Ratih saat teman lelaki Ratih baru saja pamit pulang. Matanya menatap Ratih nyalang, dadanya naik turun menujukkan bahwa jantungnya sedang berusaha keras mengatur udara yang keluar masuk dalam hidungnya. Wajahnya merah padam menujukkan bahwa emosi sedang berada ditingkat tertinggi. Tangan ibu berpegangan pada ujung sofa, untuk menahan bobot tubuhnya agar tidak sampai jatuh.Barusan memang Ratih kedatangan temannya, aku nggak tahu siapa. Karena memang baru pertama kali ia datang kemari. Kebetulan aku yang mempersilakannya masuk, karena saat itu aku sedang melayani pembeli."Kalau Ratih cinta, ibu mau apa? Toh dekat dengan yang belum pernah menikah, tidak menjamin akan memberi kebahagiaan. Biarpun duda, tapi dia mapan, Bu!

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-21
  • Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu!    Bab 9

    Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 9Kulawan ego dalam hati agar tetap bisa berbakti pada mertua sebagai bentuk baktiku pada suami. Meskipun sering terluka karena ucapannya, aku masih punya hati untuk merawat ibu saat sedang seperti ini.Mas Yusuf adalah laki-laki yang peduli terhadap ibunya. Lebih tepatnya sangat menyayangi ibu, tak jarang hal itu membuat aku memiliki sedikit rasa cemburu pada ibu. Mungkin terkadang aku tak bisa mengontrol diri, sehingga rasa cemburu itu menjadi sesuatu hal yang pada akhirnya menyakitiku sendiri.Entah mengapa, justru sikap penyayangnya itulah yang membuatku bertahan. Rasa perhatiannya tidak diungkapkan dengan buaian kata-kata, namun diungkapkan dengan sebuah sikap tanggap terhadap sesuatu.Rumi, ya, Rumi jugalah yang terkadang menjadi penguat hati untuk terus bertahan dengan semua ini. Bagaimana mungkin aku tega membiarkan anakku kehilangan kasih sayang seorang ayah diusianya yang masih terlalu kec

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-25
  • Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu!    Bab 10

    Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 10Mentari sudah menepi di ufuk barat. Berganti dengan rembulan yang kian memancarkan sinarnya. Bintang bertaburan memenuhi angkasa. Ibu berjalan mondar-mandir ke sana ke mari menunggu anak bungsunya kembali, namun, tak jua kembali. Mendung menyelimuti hatinya. Hati yang semula membeku itu, nampaknya mulai mencair."Ya Allah Ratih ... kemana kamu pergi, Nak?" ucapnya lirih. Lelah berjalan, sejenak ia meletakkan pantatnya di atas kursi ruang tamu. Pandangannya lurus ke arah pintu, dengan bibir komat kamit, entah apa yang ia baca.Aku hanya duduk terdiam menemani ibu. Sambil berdoa dalam hati agar dimanapun Ratih berada tetap dalam keadaan baik-baik saja. Terkadang, seseorang hanya butuh teman, bukan nasihat. Ah gini amat anak perawan jika tak mendapatkan restu. Semua merasakan dampak akibat ulahnya.Mas Yusuf pun tak bisa tenang, ia sedang menunggu di teras rumah setelah menghubungi teman Ratih yang

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-25
  • Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu!    Bab 11

    Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 11"Saat menikah saya sedang fokus untuk kuliah. Pemasukan hanya dari pekerjaan sampingan saya sebagai penjaga kafe saat malam hari. Awalnya mantan istri saya bisa menerima keadaan saya, namun karena kebutuhan rumah tangga juga kebutuhan pribadinya yang semakin banyak, membuat ia pada akhirnya sering menuntut. Keadaan saya yang belum mampu itulah yang membuat saya akhirnya memilih untuk berpisah.""Punya anak dengannya?" tanya ibu tegas."Belum, Bu.""Surat cerai?" tanya ibu lagi. Pertanyaannya bak hakim yang sedang menghakimi tersangka."Ada, Bu. Semua jelas dan lengkap.""Lantas, pekerjaan kamu apa? Guru?""Iya, Bu. Alhamdulillah saya sudah pengangkatan. Saya resmi menjadi ASN tahun lalu.""Apa kamu bisa menjamin bahwa jika saya merestui kalian, tidak akan ada perpisahan seperti pada mantan istrimu?"Ah ibu ... bagaimana mungkin bisa memberi pertanyaan seperti itu pada seseo

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-26

Bab terbaru

  • Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu!    End

    Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 83"Untuk apa Ayah kesini? Ayah kan sudah punya adik baru?" Rumi melanjutkan ucapannya. Matanya menatap sang ayah dengan tatapan tajam. "Nak, Ayah sayang sama Kakak. Ayah mau kita hidup bersama lagi seperti dulu. Kakak mau kan ya?" Mas Yusuf berdiri dengan semangatnya lalu berjalan mendekat ke arah Rumi. Ia mencoba memegang tangan gadis kecilku itu. Tapi Rumi segera menepisnya. "Pergi Ayah! Aku benci sama Ayah!" teriak Rumi keras. Ia lantas berlari ke dalam rumah menuju kamar tidurnya. Aku kaget melihat sikap Rumi yang sedemikian kerasnya. Sebenarnya ada apa yang membuat gadis polos itu tiba-tiba saja berani membentak Ayahnya dengan keras. Aku mengabaikan Mas Yusuf yang sedang terisak. Ini bukan masalah sepele. Aku harus mencari tahu penyebab Rumi sampai sedemikian keras menolak ayahnya. Saat kakiku hendak melangkah, Mas Azam memegang pergelangan tanganku. "Biar aku saja. Kamu urus masalahmu dengan ayahnya."Mas Yusuf melihat kedekatanku dengan Mas

  • Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu!    Bab 82

    Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 82"Ketika kamu sakit, Bapak melihat kepedulian dari sikapnya padamu dan Rumi. Begitu perhatian, berbeda dengan Yusuf dulu." Telingaku kembali terngiang kata-kata Ibu saat bersama tadi. Benar saja, lelaki di depanku ini lebih peduli dan peka terhadap keadaan yang menimpaku. Tanpa kukabari dan kuminta kehadirannya ia sudah datang dan lebih dulu berjibaku dengan masalah yang sedang menempaku. Masihkah aku butuh bukti lagi untuk menerima cintanya padaku?Badan Mas Azam sudah basah oleh cipratan air. Kaos dalam berwarna putih yang dikenakannya sudah tak lagi berwarna putih. Baju itu sudah bercampur tanah dan kotor. Sesekali ia gunakan lengannya untuk mengusap peluh di keningnya dan membuat warna lengan kaos itu tak lagi putih. Wajahnya menyiratkan rasa cemas dan sikapnya sungguh cekatan menyelamatkan apapun yang bisa diselamatkan. Ia berlari kesana-kemari mengangkat barang-barang yang masih bisa ditolong. Hatiku berdenyut nyeri bak ditampar kenyataan yan

  • Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu!    Bab 81

    Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 81"Aku mau pulang saja!""Rumi di sini dulu sama Tante," sergah Mas Yusuf. Ia berusaha menarik lengan Rumi tapi segera ditepis dengan kasar oleh Rumi. "Nggak mau! Rumi mau pulang saja!" Rumi memberengut. "Maaf ya, Nak. Ayah harus bantu Bundamu yang mau melahirkan," lirih Mas Yusuf. Wajahnya memelas di sisi kanan Rumi. Aku mendekat ke tubuh Rumi. Ia langsung saja memelukku saat aku berada di dekatnya. "Maafkan aku, Dek. Aini mau melahirkan, jadi aku ngga bisa fokus sama Rumi," jelasnya saat aku berusaha menenangkan Rumi yang bersedih. Aku hanya tersenyum. "Nggak apa-apa, Mas." "Anakmu aja yang manja! Orang bapaknya lagi sibuk urus istrinya mau lahiran, dianya nempel aja!" hardik Ibu Mas Yusuf tiba-tiba. Ia baru saja keluar dari ruang tamu dan turut berdiri di depan di dekat Mas Yusuf. "Bu! Jangan ikut campur!" hardik Mas Yusuf cepat. Ibu pun berjingkat kaget mendapati teriakan Mas Yusuf yang sedikit keras itu. "Kamu itu! Dibela malah Ibu dibentak

  • Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu!    Bab 80

    Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 80"Aku harus cepat ke butik, Mas. Tapi," ucapku sambil melirik jam di pergelangan tangan. Sebentar lagi jam jemput Rumi juga. Aku bingung. "Kenapa?""Harus jemput Rumi kan sebentar lagi, semoga aja perempuan itu mau nunggu. Siapa ya kira-kira?" tanyaku bingung. "Biar kamu aku antar ke butik, terus aku yang jemput Rumi. Gimana?" tawarnya seraya menatapku dalam. "Apa ngga ngerepotin Mas Azam?" sungkanku. Sejak kemarin lagi-lagi aku merepotkannya. Ini semakin membuatku tak enak hati. "Enggak lah, aku ngga repot. Kamu tenang aja." Mas Azam memanggil satu pelayan hanya dengan satu ayunan tangan dan tak butuh waktu lama pelayan datang menghampiri kami. Kami segera pergi setelah Mas Azam membayar bill yang diberikan oleh pelayan tersebut. Kali ini aku berjalan mendahului Mas Azam karena tak mau kejadian seperti tadi terulang kembali. Selama dalam perjalanan Mas Azam hanya diam saja. Tak seperti ketika berangkat yang tak henti mengajakku bicara. "Mas ngg

  • Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu!    Bab 79

    Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 79Suasana rumah sunyi senyap. Tak ada penghuni selain aku sendiri dalam rumah. Zahra sudah berangkat ke butik satu jam yang lalu. Hanya ada aku yang sedang sibuk melihat tingkah ikan dalam kolam yang tampak lucu. Mataku sibuk mengikuti gerak ikan mengitari tiap sudut kolam. Sesekali ikan yang lebih besar itu menerobos kolong jembatan yang sengaja dipasang di tengah kolam. Dan ikan yang kecil terus saja mengikutinya. Saling mengejar satu sama lain. Meskipun sedikit adu kekuatan tapi ikan yang lainnya masih terus saja saling mengikuti. Gelombang air tercipta saat aku melempar sejumput makanan ikan dalam kolam. Langsung saja ikan-ikan itu saling berebut mendahului ikan yang lainnya agar bisa mendapatkan jatah. Seketika bibirku tersungging melihat tingkah mereka yang aktiv. Mataku nanar menikmati pemandangan di hadapanku karena mengingat kembali cerita Zahra soal masa lalunya. Sungguh aku tak ingin menjadikan Rumi sebagai korban keegoisan kedua orangtuan

  • Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu!    Bab 78

    Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 78Aku menatap nanar plafon kamar tidur yang bercat putih. Lampu yang sudah berganti temaram tak kunjung membuat mataku memejamkan mata. Pikiranku terus kembali mengingat apa yang Ibu sampaikan tadi sore selepas Bapak menggendongku ke kamar. "Perceraian seharusnya tak membuatmu menjadi trauma. Hidup terus berlanjut. Masa depanmu masih panjang. Rumi juga masih kecil. Jangan kerdilkan pikiranmu dengan rasa trauma." Ibu menatap mataku dalam. Aku merasakan ketulusan dalam ucapannya. "Alina belum sanggup, Bu." Kepalaku menunduk, mataku nanar menatap ujung kuku yang kumainkan. "Belum sanggup bukan berarti tidak mau. Hanya saja kamu butuh waktu untuk menyembuhkan luka itu. Lihatlah bagaimana Azam menantimu hingga ia rela melepas gadis yang baru saja dijodohkan dengannya."Pikiranku kembali mengingat apa yang pernah Adelia tanyakan dulu. Juga keputusan Mas Azam untuk membatalkan pertunangannya dengan Adel setelah rumah tanggaku diterpa badai. Jadi semuanya ka

  • Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu!    Bab 77

    Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 77Tak mau merasa kepedean aku lantas kembali bertanya untuk memastikan. "Berubah status? Status apa?" tanyaku cepat. "Iya. Dia sendiri sekarang.""Memang dulunya gimana? Jadi pacar orang lain?""Enggak. Jadi istri orang lain.""Istri?""Iya.""Janda dong?""Iya, janda.""Aku juga janda sekarang?""Iya, kamu.""Aku? Maksudnya?" tanyaku tak mengerti. "Iya kamu.""Kenapa sama aku?"Mas Azam tak lagi membalas ucapanku. Ia malah tersenyum tipis sambil memandangku sendu. Duh kesambet apa ini orang. Aku tak lagi meneruskan pertanyaanku. Kuputuskan untuk sibuk menghabiskan kue dalam tanganku saja. Namun perasaanku mendadak tak enak. Tiba-tiba aku merasa ada yang sedang mengamatiku.Kepalaku mendongak melihat apa yang dilakukan oleh manusia di sebelahku ini. Seketika mata kami beradu. Bibirnya tersungging tipis menampakkan deretan giginya yang rapi. Duh. Aku geragapan. Mendadak salah tingkah mendapati dirinya tengah memindai wajahku sedemikian rupa. "Kam

  • Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu!    Bab 76

    Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 76Mataku nanar memandang surat yang baru saja diantar oleh pengacaraku. Tak kusangka kini aku resmi menjadi janda. Tak pernah terbersit dalam benakku aku akan menyandang status ini. Sungguh sakit melihat surat itu tertera namaku di atasnya. Air mataku sudah lelah mengalir saat mataku mulai terasa berat. Sejenak kurebahkan badanku agar kembali segar saat menjemput Rumi nanti. Perlahan mataku mulai terpejam menelan luka yang kembali terasa perih karena status resmi yang baru saja kudapatkan. Beruntungnya aku tinggal di perumahan yang tak banyak orang ikut campur atas masalah pribadi yang sedang kunikmati. Jika mereka membicarakanku dibelakangku, itu terserah mereka. Dering ponsel membuatku tersentak kaget. Segera kuraih benda yang kuletakkan di atas nakas itu. Tertera nama wali kelas Rumi dalam layar ponsel yang bergetar. "Waalaikumsalam, Bu," jawabku cepat. "Arumi belum dijemput ya, Bund? Sudah lewat setengah jam tapi dia masih nunggu di sekolah."M

  • Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu!    Bab 75

    Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 75"Mbaak," rengeknya setelah berhasil duduk di kursi kosong di depanku. Ia lantas menangis tersedu-sedu tanpa memperdulikanku yang kebingungan melihat tingkahnya. Kuletakkan ponselku lalu kutatap wajahnya penuh tanda tanya. "Kamu kenapa?" Aku yang sedang bingung makin mencondongkan tubuh agar bisa melihat dengan jelas ekspresi wajahnya saat ini. "Mas Azam, Mbak," lirihnya lagi sambil terisak. Kedua tangannya menangkup wajahnya menghalau air mata yang terus mengalir dari kelopak matanya. "Kenapa Mas Azam?" tanyaku ikut panik. Tangisnya membuatku ikut merasakan bagaimana perasaannya saat ini. "Mas Azam tiba-tiba saja memutuskan pertunangan kami, Mbak," jelasnya lirih. Suaranya hampir tak terdengar karena diiringi dengan tangisan. "Bagaimana bisa? Alasannya?" tanyaku penasaran. Sebab tak mungkin lelaki seperti Mas Azam tiba-tiba saja memutuskan hubungan tanpa sesuatu yang jelas dan besar. "Alasannya dia tak siap dengan perjodohan ini, Mbak. Menurutk

DMCA.com Protection Status