POV OCHA. ***“Iya, iya. Maaf, deh. Aa ini ada WhatsApp dari si Lisa. Ya, sudah Aa berangkat dulu, ya. Ingat kamu harus tegas sama Rara! Dia nggak boleh aneh-aneh di luaran sana. Kalau sampai terjadi sesuatu sama dia, kita yang bakalan dimintai tanggung jawab sama orang tuanya. Nampaknya juga orang tua Rara itu, sepertinya mata duitan. Bisa-bisa dia minta denda yang besar sama kita, kan? Dari pada uangnya untuk denda, lebih baik untuk kita beli tanah atau tabungan anak kita. Iya, nggak, sih?” kata A' Eko lagi dan aku setuju banget. Suamiku ini memang perencanaannya sangat matang. Maklumlah. Dia, kan, sarjana. Sedangkan aku hanya lulusan SMP. Jadi dia lebih tahu segalanya dariku, Aku sangat beruntung punya suami sarjana yang kaya raya seperti A' Eko. Meskipun aku hanya istri simpanan dan hanya lulusan SMP.“Jadi ke sininya kapan?” tanyaku. Pasti tidak bisa memastikan kapan ke sini lagi. Aku jadi sedih.“Kenapa kamu tanyanya begitu, Sayang? Padahal, kan, baru saja mau pulang. Ya, secep
POV OCHA. ****“Tidak usah mengatur hidupku, Teh. Aku hanya sepupu. Jadi tidak usah ikut campur terlalu dalam!” protes Rara.“Tapi, kamu tinggal di rumahku! Kamu harus patuhi aturan di sini!” sanggahku tak terima.“Aturan apa, sih, Teh? Lagi pula, aku tidak melanggar apa pun di sini. Sudahlah, aku mau tidur. Malas ngeladenin Teteh.”“Tunggu dulu! Teteh belum selesai bicara, Ra!” Rara tetap masuk ke kamarnya dan dia lebih memilih mengabaikanku. Kurang ajar sekali! Harusnya dia patuh padaku. Bukan malah begini! Awas aja kamu, Rara! Besok aku akan pulangkan kamu! Tidak sudi aku menampung perempuan murahan seperti itu. Aku akan adukan semuanya pada A' Eko. Aku yakin A' Eko pun akan mendukungku.***“Pemalas sekali kamu! Jam segini baru bangun. Aku yang majikan saja sudah bangun dari subuh,” tegurku pada Rara. Bayangkan saja. Dia jam 08.00 pagi baru bangun. Apa dia tidak salat? Aneh sekali.“Iya, Teh. Aku capek sekali. Tadi habis salat subuh, aku tidur lagi,” jawab Rara tanpa merasa bers
POV OCHA. ***“Siapa yang jahat sama kamu, Rara? Teteh itu cuma nanya aja. Kalau kamu nggak merasa, ya sudah. Nggak usah drama begini. Pakai nangis-nangis segala. Ini juga kenapa kamu belain si Rara? Kamu, kan, lihat sendiri tadi. Dia baik-baik saja dan dia asyik nonton, tapi setelah aku datang, aku menanyakan pada dia, kenapa memfitnahku dengan cara aku melempar piring padanya dan mengadu padamu, ini malah dia nangis terus gak karuan. Kok, Aa malah bela Rara? Udahlah, Aa. Aku nggak sanggup lagi kalau menampung Rara di sini. Lebih baik dia pulang saja. Tolong besok Aa antarkan dia pulang! Aku enggak mau Rara ada di sini lagi. Bisa-bisa aku stress mau nunggu lahiran bukannya bahagia, malah stres begini,” jawabku kesal.“Tuh, kan. Aa dengar sendiri, kan, kalau Teteh itu memang galak, Aa. Dia semaunya sendiri. Ini malah mengusirku pulang. Bagaimana dong, Aa? Kalau aku nggak bekerja lagi, orang tuaku gimana, Aa?” Rara makin menangis histeris. Dia kini justru memeluk A' Eko. Meski A' Eko
POV OCHA. ****“Iya, Aa. Aku paham dan aku sudah pesan teralis untuk kamar kita besok. Kemungkinan tukangnya akan datang ke sini untuk mengukur jadi jendela kamar itu akan aku teralris. Biar Rara tidak ada alasan lagi membuka jendela karena panas.”“Apa?! Jangan gitu, dong, Sayang. Ini, kan, perumahan belum lunas. Kalau kita tambah-tambah yang terlaris segala macam begitu, terus nanti pengembang yang mengecek ini, ke sini segala ... kan, payah,” tolak A' Eko.“Tapi, kalau nggak begitu, nanti Rara akan selalu beralasan bahwa membuka jendela dengan dalih dia kepanasan, tapi sebenarnya dia memasukkan orang lain ke dalam kamarnya, Aa. Kenapa Aa tidak setuju? Aa tinggal bilang aja sama pengembangnya kalau itu berbahaya. Beres, kan? Atau, jangan-jangan ... Aa menutupi sebuah kesalahan, ya?” Bisa-bisanya A' Eko bilang seperti itu.“Ya, udah, iya, ya. Nanti Aa bilang sama pengembangnya yang penting istri Aa ini bahagia. Sudah, kamu jangan banyak pikiran lagi, karena sebentar lagi, kan, kam
POV OCHA. ****“Makanya, kita harus hati-hati dan kamu juga harus nurut apa kata Aa! nggak usah macam-macam, nggak usah aneh-aneh. Cukup kita berdua saja yang tahu, Ra. Nggak perlu nuntut banyak sama Aa. Nanti kalau kamu nurut sama Aa, sudah pasti semuanya akan baik-baik saja. Enggak kayak gini, kan? Jadi semuanya berantakan. Kalau orang tuanya Ocha tahu mereka enggak bolehin kamu lagi kerja di sini lagi. Orang tuamu pun jadi berantem sama orang tua Ocha. Makanya, kalau kamu mau keluar-keluar, tuh, pakai baju yang bener jangan kamu pakai baju terbuka!”Sayup-sayup kudengar suara seseorang sedang mengobrol. Aku sepertinya lagi-lagi kenal dengan suara itu. Ya, kali ini aku tidak salah lagi. Itu adalah suaranya A Eko, tapi dia sedang ngomong dengan siapa malam-malam begini? Kapan dia datangnya? Biasanya kalau A Eko datang, langsung mengetuk pintu dan masuk kamarku, tapi sepertinya ini lain sekali.Aku segera balik lagi ke kamarku. Mengambil handphone. Aku tidak akan menyiakan momen in
POV OCHA. ***“Ya sudah. Kan, Teteh udah paham, kan? Udah tahu, kan? Udah dewasa, kan? Apa yang aku lakukan dengan A Eko. Yah, ikhlasin saja sebagaimana istrinya A Eko mengikhlasin Teteh nikah sama A Eko. Gitu, loh. Nggak repot, nggak ribet. Semuanya aman, damai sejahtera,” jawab Rara.“Diam! Diam, kamu, Rara! Biarkan aku yang ngomong dengan istriku. Kamu nggak usah ikut campur!” bentak A Eko pada Rara.“Kenapa Aa? Kenapa aku tidak boleh ikutan ngomong? Bukankah kita melakukan ini atas dasar suka sama suka? Jadi tidak perlu ada yang ditutup-tupi lagi.”“Sekali lagi kamu ikutan ngomong, aku tampar mulutmu itu, Rara!” Bukannya takut dengan ancaman A Eko, Rara justru tertawa terbahak-bahak.“Tampar saja, Aa. Gampang, kok. Ada Kantor Polisi dekat sini. Tinggal aku adukan ke sana saja. Beres, kan?” jawab Rara santai. Kini, dia turun dari ranjang tanpa rasa malu. Memunguti pakaiannya di lantai lalu memakainya di hadapanku. Perempuan macam apa dia? Bahkan aku tidak sehina dia. Aku tidak p
POV OCHA. ***‘‘Oh, Tuhan. Sakit sekali rasanya. Baru beberapa waktu yang lalu aku merasakan sakit dikhianati. Sekarang aku harus merasakan sakitnya diabaikan. Tolong kuatkan aku, Tuhan! Aku bermonolog sendiri dalam hati. Air mata sudah tak terbendung lagi. Aku sudah mencobanya untuk tegar dan kuat, tapi nyatanya tidak bisa. Ini terlalu berat bagiku. Aku merasa ini terlalu tidak adil, tapi sekali lagi aku sadar bahwa ini merupakan karma bagiku. Aku harus bagaimana?Lalu apa yang akan aku lakukan? A Eko tega meninggalkan aku sendiri. Teh Lisa sudah sama keluarganya, tapi aku sendirian nelangsa sekali hidupku. “Ocha. Maafkan aku, tapi aku harus menemani Lisa. Aku tidak mau sesuatu terjadi padanya. Maafkan aku! Aku akan bilang sama Ibu untuk menemanimu, ya! Tolong ngertilah!” ucap A Eko. Lagi-lagi aku hanya bisa menangis saja. Dia begitu peduli pada Teh Lisa. Dia takut Teh Lisa kenapa-knapa. Lalu bagaimana denganku? Apakah dia tidak peduli denganku? Apakah dia tidak takut aku pun kena
POV OCHA. ***“Aa hati-hati di jalan! Oh, ya, Aa. Aku nggak mau sama Rara. Tolong nanti Aa teleponin orang tuaku, ya, biar orang tuaku datang ke sini." A Eko mengangguk lalu dia gegas pergi meninggalkanku. Entah selanjutnya apa yang terjadi. Aku pun tidak tahu, karena aku langsung dipindahkan ke ruang perawatan. Sedangkan A Eko langsung merujuk Teh Lisa ke rumah sakit. Biarlah besok kalau sudah pulang, akan aku tanyakan bagaimana keadaan Teh Lisa.Entah kenapa tiba-tiba pikiran jahat itu menyerangku. Aku berharap Teh Lisa dan anaknya tidak bisa bertahan, agar aku menjadi satu-satunya istri dari seorang Eko. Mungkin wajar jika aku berpikiran seperti itu karena aku pun seorang perempuan yang ingin diistimewakan. Seorang perempuan yang ingin menjadi satu-satunya. Biarlah kata dunia aku ini tidak tahu diri, tapi jujur untuk kali ini aku menginginkan Teh Lisa dan anaknya tidak selamat.“Nah. Ibu, selamat beristirahat di sini, ya. Nanti kalau ada apa-apa, Ibu pencet aja tombol merah itu.
POV Lisa. ***“Ibu, aku ada di mana? Di mana Via da Bapak?” tanyaku pada ibu yang sedang mengaji di sampingkuAku pindai ruangan ini dan sekarang aku paham aku ada di mana seingatku memang aku pingsan rupanya aku dirawat di sini.“Alhamdulillah ... Nak, kamu sudah sadar. Bapak ada di luar. Via juga ada di luar sama Mbok. Alhamdulillah sadar, Ibu senang sekali. Kamu pingsan terlalu lama Lisa, sampai membuat Ibu khawatir. Jangan tinggalkan Ibu, ya, Nak, kita hadapi ini sama-sama kalau kamu sakit begini Ibu juga ikut sakit. Kalau kamu lemah, Ibu lemah tidak bisa berbuat apa-apa, tapi kalau kamu kuat menghadapi, Ibu akan jauh lebih kuat lagi. Lisa, maafkan Ibu. Sungguh maafkan Ibu selama ini tidak jadi orang tua yang perhatian padamu sampai-sampai masalah seperti ini harus kamu telan sendiri. Ayo, Sayang, bangkit anak Ibu yang cantik anak ibu yang kuat. Tetaplah bersama Ibu, tetaplah menjadi kebanggaan Ibu yang tidak pernah takut apa pun di luar sana. Ibu akan selalu ada di sampingmu sam
POV Lisa. ***“Ibu, nggak usah kebiasaan memotong pembicaraan orang lain. Kalaupun orang tuanya teh Ocha mau mengatakan sesuatu ya, biarkan saja dulu berbicara setelah selesai berbicara baru Ibu menyangkalnya tidak begini. Namanya nggak sopan,” kataku.“Mungkin ini akan terdengar aneh, tapi kami harus mengungkapkan kebenarannya. Neng Lisa maafkan Ibu selama ini menyembunyikan padahal sebenarnya awal dari kedatangan kami ke sini ingin memberitahukan kebenaran ini pada Neng Lisa, tapi yang ada banyak sekali kendala-kendalanya dan mungkin hari ini adalah kesempatan yang Tuhan berikan kepada kami untuk mengatakan sejujurnya. Perlu Neng Lisa dan keluarga tahu bahwa Ocha benar-benar istrinya ke dua Eko. Sedangkan Rara istri ketiganya Eko jelas,” bapaknya Teh Ocha.Ibuku jangan ditanya beliau langsung ambruk jatuh ke lantai,meski tidak pingsan, tapi aku yakin hatinya hancur mendengar kejujuran ini semua.“Kenapa begini? Kenapa rumah tangga anakku jadi begini sakit sekali aku mendengarnya. A
POV Lisa. *** “Lapor sana, lapor cepetan aku tidak akan pernah takut! Asal kamu tahu saja ya, perempuan murahan, pezina macam kamu bisa dipenjara. Perselingkuhan yang kamu lakukan dengan Eko bisa kena pasal dan kamu akan membusuk di penjara bersama Eko! Paham kamu?!” teriak ibuku tepat di depan wajahnya Rara sampai dia mundur matanya dan wajahnya merah aku tahu Rara ketakutan. “Jangan sok tahu Ibu tua. Aku dan A Eko itu melakukannya atas dasar suka dan sama suka, jadi tidak ada yang bisa memisahkan kami dan begitu dengan kamu tidak akan pernah bisa memenjarakan kami,” jawab Rara. “Dasar perempuan bodoh! Selain bodoh kamu juga norak. Perselingkuhan zaman sekarang bisa dipenjarakan. Oh, ya, aku baru tahu kalau ternyata seleranya Eko rendahan begini. Lihat besan selingkuhannya Eko bahkan tidak lebih baik daripada Lisa. Udik sudah seperti jemuran jalan nggak jelas begitu. Pokoknya aku mau Eko dan Lisa pisah,” ucap ibuku. “Terserah kamu saja Besan yang penting aku juga tetap pada pendi
POV Lisa. **** “Bahkan perempuan yang duduk di seberang Ibu yang diperkenalkan sebagai saudara itu adalah maduku,” kataku lagi. Perih sekali aku harus mengatakan jujur kepada kedua orang tuaku, tapi di sisi lain aku plong karena merasa berhasil mengeluarkan racun yang ada di dalam dadaku. “Apa!” teriak ibuku. “Be—san ... ini masuknya gimana, ya, tolong jelaskan pada kami!” bentak bapak. “Tidak ... ini pasti Lisa dan Besan sedang ngeprank kan, bentar lagi kan Ibu mau ulang tahun jadi pasti kalian bikin surprise kan?” kata ibuku sepertinya beliau memang belum bisa menerima kenyataan ini, tapi air mata sudah membasahi pipinya. “Tenang dulu Bu, kita minta penjelasan mengenai ini dari Besan dan juga Lisa,” sahut Bapak seraya mengusap bahu ibu. “Bapak, tahu ‘kan kalau mereka biasanya memang suka bikin kejutan begini. Bikin hati orang tua cemas ujung-ujungnya nge-prank seperti yang sering kita lihat di YouTube itu loh, Pak dan ujung-ujungnya kita dapat hadiah. Iya, kan, Lisa?” kata i
POV Lisa.****“Iya, Besan memang aku yang melarang Lisa untuk memberitahukannya pada kalian karena kami pikir bisa menyelesaikannya. Kasihan kalian juga kan, kalau terbebani dengan masalah anakku. Sudah kukatakan tadi bahwa anakku di sini posisinya bersalah Aku malu jika harus memberitahukan padamu. Aku juga yang mewanti-wanti Lisa agar tidak memberitahukan bukan kami tidak menghargai Besan, tapi sebenarnya malu," jawab ibu mertua aku beliau pasang muka sesedih mungkin.Bapak menatapku meminta penjelasan. Aku mengangguk saja karena memang aku tidak perlu menjelaskan apa-apa. Biarkan saja Ibu mendramatisir apa yang terjadi itu tidak akan pernah merubah keputusanku nantinya jadi aku bebaskan saja Ibu mengarang cerita.“Tapi, ya, enggak boleh gitu juga lah besan. Kita ini kan, keluarga jadi mau sekecil apa pun permasalahan kita harus berdiskusi apalagi ini sampai di penjara loh, si Eko dan sampai dihajar bahkan kritis begitu. Kita bisa menuntut yang menghajar Eko jangan mau kita diinjak
POV Lisa. ***“Ibu sama Bapak cuma berdua aja si Via nggak nangis kan, Bu," tanyaku mengalihkan pembicaraan. Aku muak mendengar ucapan manis mertuaku yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi.“Eggak ... tadi sih, sama Mbok lagi mainan boneka. Happy kok, Ibu sama Bapak ke sini juga nggak sendiri sama saudara besan loh, tadi ketemu di depan rumah si Lisa. karena mereka kaget Eko ada di rumah sakit ya, sudah akhirnya kami ajak ke sini," jawab ibuku. Sementara Salsa dan mertuaku terlihat kaget aku pun sebenarnya iya, tapi mencoba bersikap biasa saja. Saudara yang dimaksud orang tuaku pasti itu Teh Ocha dan kedua orang tuanya kalau begitu moment ini sungguh sangat istimewa. Aku tidak akan menyia-nyiakannya. Saatnya aku membongkar kebusukan mertua dan suamiku di depan orang tuaku.“Saudara yang mana besan? “tanya mertuaku sok tidak tahu. Padahal dari matanya jelas terbaca beliau sangat panik.“Si Ocha sama orang tuanya tapi tadi lagi izin ke toilet katanya kebelet. Oh, ya, Eko sakit apa
POV Lisa. ***Aku benar-benar tidak menduga bahwa dia otaknya konslet bahkan lebih konslet dari Teh ocha. Ya, Tuhan beginikah selera suamiku? Selera seorang berpendidikan tinggi sungguh turun derajat sekali karena sewaktu dulu kuliah Mas Eko itu termasuk lelaki yang benar-benar pemilih kualitas perempuan giliran selingkuh kok, sama remahan rengginang begini. Astagfirullah dan itu menjadi sainganku kalau diladenin mungkin sampai lebaran monyet tidak akan berhenti. Ya, lebih baik aku diam saja malas ngeladenin orang-orang yang otaknya lebih konslet daripada Teh Ocha.“Diamkan kamu nggak usah balas ucapanku. Makanya kalau mau ngomong itu ngaca dulu kamu itu siapa? Ih ... malas banget meskipun kata Eko kamu adalah wanita yang paling berjasa dalam hidupnya, tapi kalau soal yang lain contohnya soal ranjang A Eko selalu memujiku bawa aku adalah yang terbaik,” kata Rara seraya mengibaskan rambut pirangnya.Astaghfirullahaladzim aku mimpi apa ya, bisa berhadapan dengan pelakor model begini. S
POV Lisa. ***“Puas kamu, Lisa, udah buat anak Ibu begini. Pokoknya kamu harus mempertanggungjawabkan semuanya. Lihatlah sekarang Eko kritis. Ibu benar-benar kecewa sama kamu," ucap mertuaku begitu melihat kedatanganku. Untung saja Via tidak aku ajak karena situasi di sini sangat tidak kondusif. Mertuaku bahkan berusaha menyerangku.“Puas banget tuh, aku kira datang ke sini Mas Eko tinggal nama ternyata masih ada orangnya, ya, meskipun dalam keadaan kritis," jawabku pasti mereka semua tidak akan pernah menyangka bahwa aku akan menjawab seperti itu bahkan orang-orang sampai melongo.“Apa kamu bilang, dasar ya, kamu itu istri nggak tahu diri suami sekarat malah Alhamdulillah, benar-benar ya kamu kurang seons otaknya pantas aja dia pergi ninggalin kamu lihatlah, Bu, menantu yang Ibu bangga-banggakan ternyata begitu kan? Licik dan jahat. Bahkan dia mendoakan suaminya meninggal," sahut Rara. Aku hanya tertawa saja mendengarkan ocehannya. Terserah mau ngomong apa aku tak peduli.“Teteh kay
POV Lisa. *** “Ya, mau bagaimana lagi Ibu juga khawatir, tapi kalau kita pergi malam ini lebih mengkhawatirkan keselamatan kita. Duh, tiba-tiba kepala Inu jadi pusing begini memikirkan sesuatu yang terjadi semuanya secara tiba-tiba,” keluh mertuaku. “Ayo, Mbok kita pergi dari sini aku nggak mau lagi mendengarkan perdebatan mereka!" ajakku pada Mbok, lalu kumatikan lampu agar mereka benar-benar pulang. “Tuh, kan, lampunya mati lagi, Bu. Sudahlah Ayo, kita pulang!" teriak Salsa. Sampai kamar aku menimbang-nimbang apa yang harus aku lakukan. Sejujurnya aku sedikit khawatir pada Mas Eko. Pasti sakit maag-nya kambuh lagi sampai dia dibawa ke rumah sakit begitu. Mas Eko itu orangnya milih-milih soal makanan sedangkan di penjara pasti makan seadanya dan Mas Eko nggak mau makan itu sebabnya dia sakit. “Apakah besok Ibu akan jenguk pak Eko?" tanya Mbok Wati. Aku menggeleng saja belum tahu apa yang akan aku lakukan besok. “Mbok, jadi curiga jangan-jangan Bapak dipenjara digebukin sama na