Hanya pria ini yang merangkul semua rasa sakitnya, memberinya harapan dan perlindungan. Selama ada Jexeon, Yua pikir dia akan baik-baik saja walaupun tinggal serumah dengan Roan. "Terus Arjun gimana?" Mereka sudah ada di dalam taxi, menuju rumah keluarga Nathanael. "Suruh dia kemasi barang-barang kita," jawab Jexeon. "Maksudku gimana Arjun? Aku nggak mau biarin dia tinggal di rumah sendiri." Jexeon diam, mengirim pesan ke Arjun. Lalu menunjukkan hasil percakapannya dengan Arjun. Tidak mungkin dia membiarkan anak yang akan menjadi masa depan Candra Grup dianiaya. Tujuan dari pernikahan adalah melindungi Arjun apapun yang terjadi. "Elgar itu rumahnya di mana?" tanya Yua. "Kalau Arjun tinggal bareng kita di Rumah keluargamu, kayaknya canggung banget. Lebih baik dia nginep di rumah Elgar aja.""Tidak boleh," jawab Jexeon buru-buru. Dilihat dari sikapnya, Jexeon tidak mengizinkan Arjun tinggal bersama Elgar. "Ah, pasti orang tua Elgar nggak ngebolehin." Yua menebak sendiri, dia m
Yua memang lapar, hal yang dia takutkan di rumah mertua adalah penolakan. Ada banyak adegan sinetron seorang mertua menyiksa menantunya cacat. Dia takut seperti itu. Namun, sepertinya dia tidak perlu khawatir karena satu anggota rumah ini sudah menerimanya, yakni adik iparnya. Roan. Hanya saja dia mantan tunangan, Yua harus bisa jaga jarak dan tahu posisi. "Iya, ayo makan. Aku panggil Arjun dulu."Tidak apa, Yua akan membawa Arjun setiap kali ada Roan. Adiknya selalu menjadi tameng dan prioritas. Sementara itu, Jexeon mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi menuju penthouse. Pandangannya lurus ke depan. Menyalip kendaraan lain dan melesat sangat cepat. Ingin segera sampai. Sesampainya di penthouse, terlihat Elgar memakai kolor seperti biasa. Di tangannya ada pizza, terkejut melihat kedatangannya. "Bang, kok tumben lama banget keluar dari penjara?" tanyanya dengan mulut penuh pizza. Bukannya menjawab, Jexeon malah balik bertanya. "Di mana Lazio?" Elgar berdecak kesal, baru dat
Mentari sore menyinari langit Jakarta, masuk ke celah-celah jendela hingga sampai di ruang dekat balkon lantai dua. Arjun sedang sibuk dengan laptopnya, mengerjakan tugas sekolah meskipun salah satu tangannya terluka. Aku duduk tak jauh darinya, membaca buku dengan santai. Ah, kenapa aku bisa sesantai ini di saat dosen pembimbing marah besar. Tadi malam aku diomelin habis-habisan karena kemarin lari ke kantor polisi dan mengabaikan dosen yang menunggu. Tindakan gila bagi mahasiswi semester akhir. Untuk pertemuan selanjutnya pasti akan sulit, bisa jadi dosenku akan mempersulit. Ruangan lantai dua tidak dilewati banyak orang, sepi, semua perabot rumah ini mewah dengan dominasi warna emas. Dulu, aku pernah ke sini. Juga pernah membayangkan duduk di sini sebagai menantu. Memang benar sekarang aku menjadi menantu rumah ini, tetapi sungguh tidak terduga suamiku bukan Roan malah kakaknya. "Lagi baca apa?" Pertanyaan itu membuatku menoleh, mendongak ke atas. Ada Roan dengan senyum merek
Roan menggelengkan kepalanya, ntah kenapa aku kesal Jexeon dikatakan seperti itu. Padahal Jexeon kaya raya, hanya saja tidak menunjukkannya. Aku jengkel karena tidak bisa pamer suami sultan. "Ah, tapi Jexeon sering ngeselin. Dia suka ayam, dulu waktu kecil, dia selalu mengambil paha ayam jatahku." "Aku baru tahu kalau dia suka paha ayam," ucapku. Arjun kembali mengerjakan tugasnya, pembahasan kami tidak membuatnya tertarik lagi. Dia memilih sibuk dengan dirinya sendiri dari pada ikut obrolan kami. "Semua orang suka paha ayam, kecuali kamu yang lebih suka bagian sayapnya."Eh, dia masih ingat kalau aku suka sayap ayam."Ih, sayap ayam itu lebih enak. Kulitnya banyak," jawabku. Kami membicarakan banyak hal, dari hal receh tentang ayam sampai kebiasaan masing-masing. Ah, sudah lama sekali tidak mengobrol seperti ini dengan Roan. Tiba-tiba hatiku berdesir, Roan masih sama seperti dulu ketika Kak Farel masih hidup. Asik diajak bercerita. Pembawaannya yang lucu dan menyenangkan membua
Aku mendorong dada Roan supaya melepaskan tubuhku. Suasana menjadi sangat canggung ketika aku menoleh dan mendapati Jexeon. Mata kami bertatapan, sorotnya sangat dingin. Apakah dia salah paham kejadian barusan? "Mas, udah pulang." Aku segera menghampirinya, semoga dia tidak marah. Duh, aku takut dicekik. Seharusnya aku nyungsep aja di lantai dari pada Jexeon melihatku ditolong Roan. Jexeon diam saja dengan wajah esnya. Jantungku berdebar kencang, sungguh takut dicekik di hadapan Roan. Aku bisa malu."Mas, kakiku sakit. Gendong." Aku bersikap manja, berharap dia menggendongku seperti biasa. Namun, dia malah melewatiku menuju kamar. Akan lebih baik kalau dia marah lalu bertanya, dengan begitu aku bisa menjelaskan semuanya. Apa dia tidak cemburu? Kenapa mengabaikan kami? Sabar, dia seperti itu karena memang sulit mengekspresikan perasaan. Aku menoleh ke Roan. "Makasih udah nolong, tapi lain kali biarin aku nyungsep." Aku menggerakkan tongkat menuju kamar. Menyusul Jexeon. Harus se
Hatiku jatuh terlalu jauh, menyukai setiap sentuhannya, menginginkan tidak hanya tubuh yang bersentuhan, tetapi juga hati. Jexeon berada di atasku menampilkan dada bidang dengan tato singa. Aku meraihnya, mengusap tato itu, pasti sakit ketika membuat tato ini. Aku dengar dia pergi dari rumah ketika berusia 15 tahun, pasti sulit untuk anak yang masih membutuhkan bimbingan hidup di jalanan. Terlihat dari tubuhnya yang penuh luka, aku ingin merangkul semua rasa sakit yang dia miliki. "Aku harap kita lebih banyak ngobrol, aku ingin tahu bagaimana luka ini ada di tubuhmu?" tanyaku, merasakan sakit melihat bekas luka suamiku. "Kau tidak perlu melakukan hal itu," jawabnya. Jexeon mulai menciumiku, membuat tangan ini melingkar di lehernya. Menikmati setiap detik yang terjadi. Hanyut ke dalam permainannya. Tangan mulai menjelajah melepaskan bajuku, tak apa kalau cuma sebentar. Semoga kegiatan ini selesai sebelum makan malam. Dulu, aku sangat suka berpakaian sexy. Terhitung sejak SMP, aku
Baru ini aku melihat Roan menangis, seakan hatinya sungguh sakit melihat Jexeon memperlakukanku dengan buruk. Tujuan Jexeon tercapai, yakni menyakiti Roan. Menembus bagian terdalam hatinya melalui diriku. Tapi itu berarti Jexeon tidak peduli padaku sama sekali. Dia tidak tahu betapa takutnya aku ketika membayangkan tubuhku menjadi tontonan orang lain. Bahkan Roan yang sudah tiga tahun menjadi tunangan, tidak pernah menyentuhku sama sekali. Selama ini Roan menjaga kehormatanku selayaknya aku adalah gelas kaca yang mudah pecah. Malah sekarang Jexeon sengaja mempertontonkan tubuhku pada Roan? Hatiku merasa sangat nyeri."Kenapa baru sekarang? Harusnya kau cerita dari awal, supaya aku tahu keadaanmu. Supaya aku bisa menunggu."Kalau Roan bicara terus terang dari awal, maka aku akan mengerti segala sikapnya selama ini. Bukan malah mencari jalan pintas dengan menikahi orang lain. "Maaf Yua, aku sungguh minta maaf."Semua sudah terlambat, tak hanya Roan yang bodoh, tapi aku juga karena su
Orang tuaku marah besar, mengerahkan seluruh kekuatan untuk menangkap pelaku. Hanya butuh sehari, dua pemuda itu ditangkap. Tidak dibawa ke polisi tetapi diadili sendiri oleh Ayah. Kasus itu tidak boleh sampai bocor keluar karena nama baikku dan keluarga akan tercemar. Meskipun semuanya sudah selesai, tetapi diriku terlanjur trauma. "Non Yua, jangan lakukan itu." Evrina mengambil gunting yang sudah sebagian menyayat tanganku. Dia menangis tersedu-sedu, berteriak memanggil orang tuaku. Makanan yang dia bawakan tercecer di lantai, melihatnya sangat panik membuatku berpikir bahwa Evrina tulus menyayangiku, dia selalu mengingatkan supaya aku tidak salah pergaulan. Nahasnya aku mengabaikan dia, sahabat yang ayah bawa untukku. Malah hanya menganggap babu. Dia memang orang miskin yang bekerja ke kota sebagai pembantu, karena kebetulan kita seumuran, Evrina disekolahkan ayah. Katanya Evrina anak baik dan bisa menjadi teman, bukan seperti anak-anak yang selalu mengajak ke pesta. Sayangny