Hatiku jatuh terlalu jauh, menyukai setiap sentuhannya, menginginkan tidak hanya tubuh yang bersentuhan, tetapi juga hati. Jexeon berada di atasku menampilkan dada bidang dengan tato singa. Aku meraihnya, mengusap tato itu, pasti sakit ketika membuat tato ini. Aku dengar dia pergi dari rumah ketika berusia 15 tahun, pasti sulit untuk anak yang masih membutuhkan bimbingan hidup di jalanan. Terlihat dari tubuhnya yang penuh luka, aku ingin merangkul semua rasa sakit yang dia miliki. "Aku harap kita lebih banyak ngobrol, aku ingin tahu bagaimana luka ini ada di tubuhmu?" tanyaku, merasakan sakit melihat bekas luka suamiku. "Kau tidak perlu melakukan hal itu," jawabnya. Jexeon mulai menciumiku, membuat tangan ini melingkar di lehernya. Menikmati setiap detik yang terjadi. Hanyut ke dalam permainannya. Tangan mulai menjelajah melepaskan bajuku, tak apa kalau cuma sebentar. Semoga kegiatan ini selesai sebelum makan malam. Dulu, aku sangat suka berpakaian sexy. Terhitung sejak SMP, aku
Baru ini aku melihat Roan menangis, seakan hatinya sungguh sakit melihat Jexeon memperlakukanku dengan buruk. Tujuan Jexeon tercapai, yakni menyakiti Roan. Menembus bagian terdalam hatinya melalui diriku. Tapi itu berarti Jexeon tidak peduli padaku sama sekali. Dia tidak tahu betapa takutnya aku ketika membayangkan tubuhku menjadi tontonan orang lain. Bahkan Roan yang sudah tiga tahun menjadi tunangan, tidak pernah menyentuhku sama sekali. Selama ini Roan menjaga kehormatanku selayaknya aku adalah gelas kaca yang mudah pecah. Malah sekarang Jexeon sengaja mempertontonkan tubuhku pada Roan? Hatiku merasa sangat nyeri."Kenapa baru sekarang? Harusnya kau cerita dari awal, supaya aku tahu keadaanmu. Supaya aku bisa menunggu."Kalau Roan bicara terus terang dari awal, maka aku akan mengerti segala sikapnya selama ini. Bukan malah mencari jalan pintas dengan menikahi orang lain. "Maaf Yua, aku sungguh minta maaf."Semua sudah terlambat, tak hanya Roan yang bodoh, tapi aku juga karena su
Orang tuaku marah besar, mengerahkan seluruh kekuatan untuk menangkap pelaku. Hanya butuh sehari, dua pemuda itu ditangkap. Tidak dibawa ke polisi tetapi diadili sendiri oleh Ayah. Kasus itu tidak boleh sampai bocor keluar karena nama baikku dan keluarga akan tercemar. Meskipun semuanya sudah selesai, tetapi diriku terlanjur trauma. "Non Yua, jangan lakukan itu." Evrina mengambil gunting yang sudah sebagian menyayat tanganku. Dia menangis tersedu-sedu, berteriak memanggil orang tuaku. Makanan yang dia bawakan tercecer di lantai, melihatnya sangat panik membuatku berpikir bahwa Evrina tulus menyayangiku, dia selalu mengingatkan supaya aku tidak salah pergaulan. Nahasnya aku mengabaikan dia, sahabat yang ayah bawa untukku. Malah hanya menganggap babu. Dia memang orang miskin yang bekerja ke kota sebagai pembantu, karena kebetulan kita seumuran, Evrina disekolahkan ayah. Katanya Evrina anak baik dan bisa menjadi teman, bukan seperti anak-anak yang selalu mengajak ke pesta. Sayangny
Embusan angin menerbangkan asap rokok, ujung putung yang tinggal debu terjatuh ke udara- terbang ke halaman rumah. Tidak ada yang tahu apakah debu itu jatuh di dedaunan atau hilang bagai buih. Jexeon menghisap rokok ke tiga. Sekarang sudah pukul dua malam, para pekerja yang menghias taman sudah beristirahat. Rumah sepi dengan lampu mati. Dari balkon lantai dua, Jexeon menatap langit gelap. Bulan sabit berada di ujung sana, ditemani bintang kejora. "Apa yang salah?" gumamnya sembari meniup asap rokok ke udara. Dia tidak tahu kenapa Yua marah sampai tidak mau tidur sekamar dengannya. Gadis itu memilih tidur bersama Arjun di kamar lain. Jexeon masih menatap langit berjam-jam tanpa menemukan jawaban. Menyelami pikirannya sendiri untuk mencari tahu alasan Yua marah. Memang kenapa kalau mereka bercumbu dilihat orang lain? Di Siluet bahkan orang-orang melakukannya beramai-ramai. Hanya karena dia tidak mau memasuki lubang yang sama. Dia memilih menonton saja. Lagi pula, Yua tidak digili
Dari pada ejekan Rosa, hati Jexeon malah nyeri mendengar ucapan Yua. Seolah Yua tidak suka berlama-lama bersama dengannya. Dia membalik sendok, berdiri dengan cepat dan meninggalkan meja makan.Tanpa aba-aba, Jexeon segera menggendong Yua seperti biasanya, membuat tongkat gadis itu terjatuh. Menggelinding hingga sampai pot bunga di samping tangga. "Ehhh." Yua sangat terkejut dan berusaha dorong Jexeon menjauh, Arjun mundur selangkah, melihat tingkah pasangan suami istri yang aneh dan tidak tahu tempat. Jexeon membawa Yua pergi, sementara Arjun menggelengkan kepala sebelum mengambil tongkat Yua dan mengikuti mereka dengan pelan."Turunkan aku," kata Yua. Dia berteriak dan terus meronta. "Diamlah."Berbeda dari biasanya, Yua tidak melingkarkan tangan di leher Jexeon dengan manja. Tatapannya nyalang tidak suka digendong. Meronta sampai lantai dua. Terus memukul dada pria itu supaya dia diturunkan."Aku bilang turunin aku! Mas nggak bisa seenaknya kayak gini!" Teriak Yua, penuh amarah
Peluh keringat membasahi kemeja, tuxedo berwarna hitam yang tadi dikenakan Jexeon sudah terlempar jauh. Robek di segala bagian sejak digunakan sebagai senjata. Namun, musuh terus berdatangan layaknya laron. Mengincarnya sembari menghancurkan segala yang ditemui. Matanya melirik Yua, gadis itu ketakutan di antara dua pria yang melindunginya. Dia mengerang karena polisi tak kunjung datang, seharusnya sudah sampai sekitar sepuluh menit lalu. Tidak mungkin ayahnya atau tamu lain tidak lapor polisi.Sepuluh meter dari Jexeon, terlihat Roan kewalahan melindungi Yua. Dia terluka di segala bagian, tidak terbiasa dengan pertarungan. Sementara Lazio terus bertahan dengan menyerang tiga orang sekaligus. "Sial!" Rencananya kacau, tidak tahu apa yang dilakukan polisi. Mereka sangat lambat. Setelah menghabisi beberapa orang, dia mundur dan menarik Yua ke belakangnya, Roan sudah tidak sanggup melindungi Yua lagi. Tinggal menunggu waktu saudaranya itu tumbang.Roan ikut mundur, membelakangi Yua. "
Mereka satu SMP, satu kelas, satu keluarga. Roan berpikir tak apa Jexeon selalu ranking satu, sebagai saudara dia ikut bangga seperti Papa. Meskipun itu membuatnya kesulitan karena Mama yang selalu menyuruh berusaha lebih keras. Namun, kali ini Papanya keterlaluan. Menganggapnya tidak layak memimpin perusahaan. Padahal masa depan masih panjang untuk mengejar Jexeon dan bersaing secara adil."Apa Papa pikir aku nggak layak?" tanya Roan, tangannya mengepal. "Kau juga cuma adik, kakakmu lebih berhak.""Umur kita setara! Kenapa Papa nggak ngasih kesempatan ke aku?" tanya Roan dengan mata berkaca-kaca. Jexeon tahu Roan juga sudah berusaha semaksimal mungkin, begadang sampai mimisan supaya bisa membanggakan orang tuanya. Ingin diakui Papa seperti dia. "Jangan terlalu berambisi dan sadar posisimu sebagai adik," jawab Papa. Sangat menyakitkan dan terpatri di hati Roan.Perlakuan tidak adil Papa membuat Roan perlahan membenci Jexeon, tidak menolong lagi dan menjauh. Membuat Jexeon serba sa
Jexeon yang masih remaja pertama kali melihat adegan tidak senonoh, pipinya panas dan mengalihkan pandangan. Saat orang-orang memintanya mencoba, Jexeon menolak. "Dia masih takut, biarkan saja. Padahal sekali mencoba dia pasti akan ketagihan." Ketua geng mengatakan hal itu sembari menikmati pelayanan dari para wanita, Jexeon tidak tahan dengan pemandangan ini dan pergi keluar. Jantungnya berdebar kencang. Orang-orang menertawakannya. Inilah kehidupan yang dia pilih, mungkin karena belum terbiasa maka ia merasa risih. Lambat laun, Jexeon yakin juga bisa seperti mereka yang bebas. Suatu hari ia tidak sengaja bertemu dengan ayah, Jexeon hendak pergi dan mengabaikan, tetapi ayah menahannya. "Ibu tirimu berbohong, Ayah sudah membuktikan lewat tes DNA. Kamu anak ayah. Ayo pulang ke rumah."Tanpa penyesalan ayah mengatakan hal itu, padahal semua sudah terlambat. Jexeon tidak akan mau kembali ke neraka itu lagi.Jexeon menepis tangan ayah, tidak ingin kembali ke rumah yang ada Rosa dan R