Cahaya mentari dari luar sukses mengganggu tidur nyenyak Berliana di pagi hari. Kepalanya terasa pening dan tubuhnya mendadak lemas.
Dia masih mengingat kejadian di malam hari, dimana dia dan Abiyan sempat berdebat kecil membahas masalah kehamilan.
Berliana dengan pikirannya yang sudah overthingking dan Abiyan yang bingung harus memberikan keyakinan seperti apa lagi, agar istrinya berhenti menyudutkannya.
Sama halnya seperti Berliana, Abiyan juga bingung jika dihadapkan pada kenyataan bahwa istrinya sulit untuk hamil. Tapi kembali lagi, baik Abiyan maupun Berliana hanya bisa berusaha dan menunggu, untuk hasil seharusnya mereka menyerahkannya kepada Tuhan.
Beruntunglah hari ini adalah hari minggu, jadi Berliana tak bersusah payah untuk membangunkan suaminya.
Lagipula ini sudah sangat terlambat untuk memulai aktivitas pagi, apalagi jam sudah menunjukkan pukul 10 lewat 15 menit. Ah ini semua salah Abiyan, pria itu yang semalam menyerang Berliana dengan sentuhan-sentuhan memabukkan, bahkan di tengah-tengah perdebatan mereka yang belum usai.
Dengan segara Berliana bangkit, menguncir rambut sebelum turun dari atas kasur. Mungkin dia akan cuci muka sebelum turun ke bawah untuk mengisi perut.
Cling
'Hallo Mas Abiyan. Kamu enggak lupa kan sama aku?'
***
Berliana menghembuskan napas panjang, entahlah tiba-tiba mood nya berubah menjadi berantakan tat kala ibu dan adik iparnya berkunjung ke rumah. Minus Vicky dan Icha, entahlah pria menyebalkan itu dimana keberadaannya. Setidaknya dua pengganggu tidak ada, biarkan Berliana mengurus pengganggu lainnya.
Jangan salahkan Berliana jika menganggap keluarga suaminya adalah pengganggu, kenyataannya memang seperti itu bukan.
Tidak ada angin tidak ada hujan, mereka bertamu dengan tanpa rasa bersalah. Seolah melupakan kejadian kemarin.
"Kamu baru bangun? Siang banget bangunnya, apa jangan-jangan emang kamu sering bangun siang kayak gini?"
"Hari ini aja bu, aku kesiangan bangunnya." jawab Berliana, mencoba tenang.
"Emang abis ngapain Mbak kok bisa bangun kesiangan? Lain kali biasain bangun pagi, biar produktif, biar tubuhnya subur."
Ucapan Vina menyentak hati Berliana. Diakhir kalimat, Berliana merasa tersinggung, dan menatap sang adik ipar dengan tatapan intens. "Biasanya kenapa kalau seorang istri bangun kesiangan? Apalagi di rumah cuma ada aku sama Mas Abiyan. Lagipula produktif bukan masalah bangun pagi atau enggaknya kok."
Rasanya Berliana ingin mengumpat saja, emang dasar ya, adik iparnya yang satu ini bisa saja membuat darah tingginya naik dengan tiba-tiba.
Hmm, lain kali mungkin akan Berliana ceritakan tentang mertua beserta adik-adik iparnya. Bagaimana sifat mereka yang menyebalkan, serta hati busuk yang mereka miliki.
"Mas Abiyan lama banget sih bu, ngapain aja sih dia. Kita udah nunggu dari tadi loh." gerutu Vina, merenggut kesal kepada Tari—ibunya.
"Mungkin dia masih di kamar mandi, tunggu aja sebentar lagi."
"Lagian ada apa sih bu, kok kayaknya penting banget. Mau bicarakan apa sama Mas Abiyan?" lanjut Berliana, dia bertanya dan tidak berharap mendapatkan jawaban.
Karena ya, Berliana tahu apa yang akan dia dapatkan dari pertanyaannya barusan.
"Tumben tanya, biasanya juga bodoh amat. Biasanya juga gak peduli, gak mau tahu." ucap Vina sarkas.
Berliana hanya bisa diam, meladeni lagi juga nanti akan terjadi pertengkaran.
"Sebentar ya bu, aku ke atas dulu mau panggil Mas Abiyan. Biar cepat-cepat menemui ibu dan Vina. Gak enak juga aku, liat ibu sama Vina menunggu lama di sini."
Tanpa basa basi lagi, Berliana segera bangkit dari tempat duduknya. Dia kembali naik ke atas untuk memanggil sang suami, entahlah kenapa Abiyan lama sekali turun ke bawah. Padahal Berliana sudah tidak betah berlama-lama bersama ibu dan adik iparnya.
"Astaga Mas! Ngagetin aja sih kamu!"
Wanita itu tersentak kaget saat akan membuka pintu kamar, tetapi Abiyan lebih dulu membukanya, "Nyebelin banget, sana buruan turun ke bawah. Ditunggu ibu sama adik kamu tuh."
"Tumben ke rumah, ada apa emangnya sayang?"
"Mana aku tahu, tanya aja sendiri sana."
Melihat raut wajah istrinya yang sudah berbeda, Abiyan tidak lagi bertanya. Pasti tadi ibu dan adiknya sudah membuat jengkel hati Berliana, "Ya udah aku mau temuin ibu dulu. Kamu ikut gak?"
"Gak, aku di kamar aja. Takut kebablasan kalau ikut kamu ke bawah, soalnya mulut ibu sama adik kamu gak bisa ke kontrol. Emang mau ada pertengkaran lagi?"
Dengan cepat Abiyan menggeleng, "Udah-udah kamu masuk aja. Oh iya, udah makan kamu?"
"Hmm, udah. Makanan udah disiapin sama bi Mirna, nanti jangan lupa makan."
"Iya."
Berliana masuk ke dalam kamar, segera menutup pintu dan merebahkan tubuhnya di atas kasur.
"Sial, mereka mengacaukan mood ku hari ini."
"Muak sekali melihat wajahnya, tapi lebih memuakkan lagi kalau aku harus pura-pura ramah di depan mereka."
"Hah, ini gila. Dari sekian banyak musuh ku di luaran sana, haruskah ibu dan adik iparku salah satunya? Tapi mereka yang mulai, ah sudahlah." monolog Berliana pada dirinya sendiri. Dia merasa sebal, karena harus memiliki mertua dan ipar yang menyebalkan.
Karena tidak pernah terbayang di benaknya, akan memiliki mertua yang jahat. Jahat? Sepertinya, sebab Tari tidak menyukainya tanpa alasan yang jelas.
***
"Kamu ingat Dina? Mantan kamu dulu, anaknya Pak Bram dan Bu Ratna."
Abiyan terdiam persekian detik, dia mendadak mengingat nama itu. Padahal dia sudah melupakan wanita masa lalunya tersebut.
"Kenapa? Kok tiba-tiba ibu bahas dia."
"Kamu tahu enggak Mas? Kemarin aku ketemu sama Mbak Dina di mall, terus kita saling sapa dan berakhir makan berdua di restoran. Kita juga ngobrol cukup lama, dan kamu tahu gak Mas?"
Vina begitu antusias bercerita, sedangkan Abiyan menatapnya tanpa minat.
"Ternyata Mbak Dina baru aja batalin pernikahan sama calonnya. Aku sih gak tahu kenapa, tapi aku tiba-tiba aja keinget sama kamu Mas." lanjutnya.
"Terus apa hubungannya sama aku? Kalian jauh-jauh datang kemari cuma mau membicarakan hal yang enggak penting ini?" Abiyan heran, kenapa juga ibu dan adiknya kembali membicarakan wanita itu.
Tari berdecak sebal, dan Vina menatap sang kakak tidak percaya.
"Kamu ini kenapa sih, kok ibu perhatiin dari tadi sewot terus."
"Tahu nih, gak ada ramah-ramahnya sama kita. Padahal aku sama ibu jauh-jauh ke sini itu buat kasih kabar bahagia ke Mas Abiyan. Tapi malah responnya gak baik."
"Dina itu udah gak ada urusannya sama aku. Jadi kalian jangan ungkit-ungkit dia lagi."
"Tapi Dina baru aja batal nikah Abiyan! Emangnya kamu gak mau apa balik lagi ke dia? Ibu yakin kok orang tuanya gak akan nolak kamu lagi, kamu bisa kasih mahar yang besar untuk Dina. Bukankah itu kesempatan?"
Gila! Apa yang ada dipikiran Tari, kenapa ibunya bisa berpikir sampai kesana.
"Maksud ibu apa?"
"Ibu yakin kalau kamu masih ada rasa ke Dina. Jujur aja nak, lagian ini itu kesempatan buat kamu. Dina, dia wanita yang dulu sangat kamu cintai, dan sekarang ada kesempatan buat kamu dapatkan dia, mau kamu sia-siakan begitu aja?"
"Gila, ibu udah gila."
"Dina bisa memberikan keturunan buat kamu, Dina bisa menjadikan kamu seorang ayah."
'Dina bisa memberikan keturunan buatmu. Dina juga bisa menjadikan kamu seorang ayah' Kalimat itu terus terngiang, berulang kali terputar diotak seperti kaset rusak. Semakin dipikirkan semakin membuat Abiyan sakit kepala. Pria itu tidak pernah menyangka jika kedatangan ibu dan adik perempuannya kali ini untuk membahas sesuatu yang sensitif. Sensitif bila didengar oleh Berliana. Mungkin akan terjadi perang besar, dan Abiyan takut jika Berliana akan bertindak. Ia sadar istrinya terlalu lelah dengan kelakuan ibu dan adik-adik suaminya. "Kenapa mas? Kok aku perhatiin kamu ngelamun dari tadi, mikirin kerjaan? Atau yang lain?" tanya Berliana saat wanita itu baru saja keluar dari kamar mandi. Abiyan mendongak, tersenyum kepada wanitanya, "Sedikit mikirin masalah kerjaan, kenapa hem? Mau keluar gak nanti malam?" tawarnya tiba-tiba. Tidak langsung menjawab, Berliana berjalan ke arah lemari seraya memilih beberapa baju yang akan ia kenakan, "Ibu sama Vina tadi n
Menjalani rumah tangga ternyata tidak semudah yang aku kira. Awalnya aku masih memegang prinsip, yaitu menikah haruslah di umur 30 tahun keatas, karena di usia itu aku merasa lebih matang dan siap dalam segala aspek. Namun siapa sangka jika aku malah jatuh cinta dengan salah satu pegawai bagaian administrasi di kantor. Itu hal yang gila, tapi aku lebih gila lagi karena sudah memperjuangkan cinta, yang bahkan saat itu aku tidak tahu arti cinta yang sebenarnya itu seperti apa. Aku hanya tahu, aku menyukai dan tertarik kepada Abiyan. Ada rasa ingin memiliki, mengagumi dan lama-kelamaan dia begitu spesial di mataku. Kesan pertama bertemu, aku begitu terkesima dengan cara bicara Abiyan yang terkesan tegas dan berwibawa meskipun hanya seorang staf administrasi. Semua yang ada pada diri Abiyan membuat aku tertarik, sampai rela membayar orang untuk memata-matai pria itu. Bagaimana dia, keseharian serta latar belakang keluarganya. Cukup terdengar seperti wanita bodoh, itu memang bena
Seusai balik ke rumah usai pertemuannya dengan sang sepupu, membuat Berliana kepikiran sesuatu. Ada yang mengganjal di hatinya, dan itu membuatnya gelisah sepanjang perjalanan. Niatnya Berliana akan mampir sebentar ke perusahaan, mengingat sudah lama Berliana tidak melihat langsung kondisi di sana. Apalagi sejak dia memutuskan berhenti menjabat, dan memercayakan perusahaan sepenuhnya kepada Abiyan, Berliana mulai jarang mengurusi masalah pekerjaan. Tapi mood Berliana sudah kacau saat Sania berkata seperti itu. Iya Sania, dia merupakan sepupu dekat dengan Berliana. Dan di antara semua keluarga, bisa dibilang Sania yang paling dekat dengan dirinya. Perkataan Sania di akhir membuatnya kepikiran sampai sekarang. Apa yang dikatakan Sania tidak ada yang salah, justru Berliana membenarkan semuanya. Namun, ada satu yang sulit Berliana terima. Yaitu, kenyataan jika saja suaminya punya wanita lain di belakangnya. Ini tidak menutup kemungkinan. Mengingat Abiyan adalah anak yang—ya begi
Gagal sudah rencana berlibur ku dengan Berliana ke Makassar. Aku relakan tiket pesawat kami karena adanya permasalahan antara kita berdua. Oh tidak, lebih tepatnya masalah yang ibuku timbulkan. Lagi dan lagi ibu membuat ulah dan mengganggu rumah tangga kami. Kali ini aku tidak akan tinggal diam, ibu sudah kelewat batas dengan memperkenalkan Dina kepada Berliana. Ibu sukses membuat Berliana naik pitam, dan sekarang wanita itu tengah menuntut penjelasan mengenai siapa Dina dan hubungan seperti apa dulu wanita itu dengan ku. Brakkk "Abiyan! Apa-apaan sih kamu. Datang-datang banting pintu rumah. Kenapa?!" "Seharusnya aku yang tanya, kenapa bu? Kenapa ibu lancang sekali?" "Lancang apa sih? Gak jelas banget kamu ini!" Aku mengacak rambut frustasi, kepalaku terasa berat memikirkan ini semua. Di satu sisi rumah tanggaku sedang runyam, Berliana menuntut penjelasan dan ibuku biang permasalahannya. Harus apa aku? Harus bagaimana agar bisa memberi pengertian kepada ibuku tanpa mengh
"Lin, Lin. Bangun dong, gila aja lo ambruk di sini. Di rumah kek, gue bingung bawa pulangnya." Sania terus saja menggoyang tubuh Berliana yang tertunduk lemas. Sepertinya wanita itu terlalu banyak minum dan mengakibatkan hilangnya kesadaran diri. Sedangkan Sania, dia tidak mau ikut-ikutan mabuk, sebab tahu jika dia kemari tidak sendiri. Apa jadinya jika mereka berdua sama-sama hilang kesadaran. Bisa-bisa dibungkus buaya disana. "Sumpah, ingetin gue buat maki-maki mertua lo nanti. Tahu gini mending gue cegah lo ke bar." Sania menggelengkan kepala, dia takjub melihat banyaknya botol kosong berjajar di atas meja mereka. Dari tujuh botol, tersisa setengah botol saja, lainnya Berliana yang menghabiskan sendiri. Ah tidak, Sania juga ikut minum tapi tidak sebanyak itu. Tapi jika harus membawa Berliana sendiri dan mengemudikan mobil, Sania rasa tidak bisa. Dia tidak sekuat itu. Apalagi dia mulai merasakan pening yang menyerang. "Gue pesenin taxi online ya, tapi gue takut nanti ki
Sejak kejadian dimana Abiyan meminta maaf kepada Berliana, sifat pria itu mulai dirasa berubah. Mulai dari tingkah laku sampai rutinitasnya, tidak pernah luput dari perhatian Berliana. Berliana kebingungan, apalagi hampir seminggu ini hubungan keduanya tidak kunjung membaik. Seolah ada dinding di tengah-tengah mereka. Oh ya Tuhan, jangan lupakan kalau sudah seminggu ini Abiyan dan Berliana pisah kamar. Entahlah apa yang sebenarnya terjadi. Berliana dengan keras kepalanya yang tetap ingin Tari meminta maaf secara langsung dan Abiyan yang mungkin sudah lelah menghadapi istri dan ibunya. Berliana tidak salah, Abiyan juga tidak salah. Takdir sendiri yang membuat mereka berdua ada di situasi yang tidak mengenakkan. "Bu, sarapannya udah siap. Menunya sesuai request an ibu Berlin semalam." ucap salah satu asisten rumah tangga. Membuat pandangan Berliana teralihkan. "Iya, saya bentar lagi turun. Oh iya, suami saya udah berangkat?" "Udah Bu, pagi-pagi sekali." "Ya udah kamu bole
Baru saja sejam yang lalu Abiyan mengirim pesan agar Berliana segera menuju ke restoran. Tapi baru saja masuk dan memesan makanan, Abiyan malah menelepon dan berkata tengah ada urusan mendadak yang tak bisa ditinggalkan.Padahal pria itu sendiri yang bilang ingin menyelesaikan masalah mereka. Akan tetapi, sepertinya Abiyan tak serius dengan ucapannya. Buktinya pria itu tanpa rasa bersalah langsung membatalkan janji temu mereka.Geram sekali Berliana terhadap tingkah laku suaminya. Urusan mendadak seperti apa sampai-sampai tidak bisa ditinggalkan. Di perusahaan jabatannya sebagai direktur, tidak bisakah melemparkan urusan ke sekertaris pribadi? Apa gunanya jabatan tinggi kalau tidak bisa diandalkan disaat-saat penting. Lagipula tidak setiap hari Abiyan keluar dengan Berliana. Sebegitu pentingnya pekerjaan bagi Abiyan.Heran sekali, semakin lama Abiyan semakin gila dengan pekerjaannya. Apapun selalu pekerjaan yang dia nomor satukan.Pembicaraan mereka ini juga penting.Ah, sejak menikah
Pria berperawakan tinggi dengan pakaian kantor yang melekat di tubuhnya, terlihat jelas raut wajah letih darinya. Dia Abiyan.Hari ini, dia menghabiskan waktu seharian dengan wanita yang baru saja menjadi istri keduanya. Bukan tanpa sebab Abiyan melakukan hal ini. Selain desakan dari sang ibu yang terus-menerus menginginkan cucu, Abiyan terjebak pada wanita masa lalu yang kembali hadir di dalam hidupnya. Dan merusak semua mimpinya dengan Berliana.Entah setan dari mana yang membuat Abiyan nekat melakukan hal ini. Dia tahu bagaimana akhir dari semua ini bila Berliana mengetahuinya.Abiyan sangat kenal betul bagaimana Berliana. Selama empat tahun hidup bersama, Abiyan akui jika Berliana adalah wanita yang sangat baik serta menghormatinya sebagai seorang suami. Tapi apa yang dikatakan ibu serta adik-adiknya ada benarnya juga, pernikahan akan hambar seiring berjalannya waktu jika tidak ada anak ditengah-tengah mereka. Sekuat apapun Abiyan mencoba, dia juga seorang pria yang menginginkan a
Berliana duduk di ruang tamu, merenungkan perjalanan panjang yang telah dia dan Abiyan lalui beberapa waktu dalam memperbaiki rumah tangga mereka. Beberapa bulan terakhir ini, mereka berhasil menyelesaikan masalah-masalah mereka dan merasa hubungan mereka semakin membaik setiap harinya. Berliana merasa tenang dan bahagia jika terus seperti ini. Ya, Berliana harap ini akan bertahan dengan waktu yang lama.Berliana tersenyum puas, ketika melihat suaminya datang menghampirinya, “Mas, akhir-akhir ini rasanya rumah tangga kita semakin harmonis. Aku merasa tenang dan bahagia.”Abiyan duduk di sebelah Berliana, merangkul pinggang wanita itu, “Iya, aku juga merasakannya. Ini adalah hasil dari kerja keras kita bersama dan tekad kita untuk memperbaiki hubungan kita. Aku sangat senang melihatmu bahagia, sayang.”“Terima kasih, mas. Aku benar-benar merasakan perubahan dalam hubungan kita. Dan yang terpenting, tidak ada lagi gangguan dari ibu dan adik-adikmu. Rasanya lebih intim dan kita bisa foku
Abiyan dan Berliana duduk di balkon kamar mereka, sinar matahari senja menerangi wajah mereka yang penuh harapan. Setelah melewati beberapa masalah rumah tangga, mereka memutuskan untuk mulai menyelesaikan konflik mereka dan berniat untuk menjadi lebih saling terbuka lagi.Ya, setelah pergulatan sebagaimana suami istri lakukan, Abiyan membuka topik pembicaraan yang mengarah pada masalah yang menimpa mereka beberapa waktu lalu.Awalnya Berliana tidak ingin membahas hal itu dan memutuskan akan mencari tahu sendiri. Lagipula dia tidak puas dengan jawaban yang suaminya berikan.Tapi, pagi itu Abiyan memberikan janji bahwa sepulang dia dari kantor, dia akan menyelesaikan semua masalahnya dengan Berliana. Mau bagaimana lagi, Berliana membuka pintu, mengizinkan bila pria itu ingin menyelesaikan kesalahpahaman diantara mereka berdua.Abiyan menggenggam tangan Berliana dengan erat, “Sayang, aku ingin kita mulai mengatasi masalah kita dengan lebih jujur. Aku merasa kita perlu menjadi lebih terb
“Tumben lo ngajak gue keluar? Lagi ada masalah ya?”“Gak juga sih. Ya gue cuma pingin aja keluar. Kenapa? Lo keberatan ya Lin?”“Hooh sepertinya. Hahaha.”Mereka berdua terlibat obrolan singkat, sampai pada Sania yang menyinggung persoalan rumah tangga sahabatnya. Berliana.“Gimana masalah lo sama Abiyan? Aman kan?”“Iya. Kemarin kita baikan, dan dia juga udah minta maaf buat kesalapahaman antara kita.”“Ya okelah kalau gitu.”Berliana memperhatikan raut wajah Sania, yang seolah ragu dengan ucapannya sendiri.“Kenapa San?”“Gapapa, emangnya kenapa?”“Lo kayak gimana gitu pas dengar gue udah baikan sama Abiyan. Kenapa?”Yap, tepat sekali. Berliana sangat pintar membaca ekspresi wajah, apalagi Sania yang tidak pandai menyembunyikan mimik wajahnya.“Hmm gimana ya Lin. Gue bingung mau ngomongnya.”“Bingung kenapa?” tanya Berliana. Wanita itu dibuat penasaran dengan perkataan Sania.“Hmm, sorry nih ya. Tapi, suami kamu punya selingkuhan?”***Atas dasar apa Sania bertanya seperti itu.Sani
Berliana duduk di balkon kamar, menatap ke luar dengan wajah penuh kecemasan. Dia merasa sangat sedih dan takut kehilangan Abiyan. Mereka baru saja berbicara dan mencoba menyelesaikan masalah rumah tangga mereka yang sempat terguncang masalah.Abiyan masuk ke kamar dengan wajah yang agak tegang. Dia merasa sangat lega bisa membicarakan masalahnya dengan Berliana, tapi masih ada kekhawatiran di hatinya.Dia berjalan mendekati Berliana dan memegang merangkulnya dari arah belakang."Sayang, aku minta maaf atas semua masalah yang terjadi di antara kita. Aku mencintaimu dan tidak ingin kehilanganmu." ungkap Abiyan. Pria itu menarik tubuh sang istri, di peluknya dengan erat.Berliana menatap Abiyan dengan wajah bingung, namun juga merasa lega dan bahagia mendengar perkataan Abiyan.“Aku juga mencintaimu, mas. Dan aku merasa sangat bersyukur bahwa kita bisa bicara dan menyelesaikan masalah kita.”Ya, tadi pagi sekitar pukul 7. Abiyan sudah balik dari luar kota dan langsung menemui Berliana u
Suasana pagi di rumah Ibu Abiyan, begitu terasa tenang. Abiyan duduk di ruang tamu sambil sesekali membaca email yang masuk dan mengerjakan proposal perusahaan. Rencananya ia akan balik ke Jakarta hari ini dan meluruskan semua masalahnya dengan Berliana yang semakin merambat kemana-mana.Abiyan juga sudah berbicara dengan ibu dan ketiga adiknya. Menegaskan kepada mereka, bahwa tak seharusnya mereka memperlakukan Berliana seperti itu.Abiyan juga mengungkit-ungkit kehidupan mereka dulu, yang serba kekurangan. Tapi setelah dirinya menikah dengan Berliana, wanita itu mengangkat derajat keluarga Abiyan. Abiyan mengingatkan hal itu, agar keluarganya juga menyadari seberapa berjasanya Berliana bagi kehidupan mereka.Saat sibuk membaca email yang masuk, tiba-tiba bel pintu berbunyi. Sedangkan tak ada orang di rumah, Ibunya pergi entah kemana dan adik-adiknya sejak tadi tidak keluar dari dalam kamar. Mau tak mau Abiyan lah yang membukakan pintu untuk tamu. Tapi saat membuka pintu, Abiyan ter
Berliana duduk di ruangan HRD. Ia memperhatikan sekitar dan tatapannya kembali terpusat pada satu map yang berisi laporan keuangan perusahaan selama setahun terakhir. Empat orang duduk dihadapan Berliana, meliputi HRD, kepala staf keuangan, karyawan dan Anastasia yang merupakan sekertaris pribadi suaminya."Sesuai yang ibu minta, ini laporan keuangan perusahaan selama setahun terakhir.""Boleh di jelaskan?""Baik Bu."Rasanya oksigen di ruangan ini semakin menipis, Berliana ketakutan sendiri dengan apa yang akan dia dengar setelah ini. Kebohongan apa lagi yang akan Berliana ketahui.Andai semalam tidak ada notifikasi dari bank, mungkin hari ini Berliana tidak akan ke perusahaan. Dan Berliana tidak akan se khawatir ini pada Abiyan."Tidak ada yang aneh selama setahun ini. Tapi dua tahun terkahir Pak Abiyan melakukan transaksi sebesar 3M untuk membeli rumah di daerah Jakarta Selatan. Lalu di bulan Januari ada pengeluaran sebesar 567 juta untuk pembelian tanah di daerah Bandung. Dan bebe
Pria berperawakan tinggi dengan pakaian kantor yang melekat di tubuhnya, terlihat jelas raut wajah letih darinya. Dia Abiyan.Hari ini, dia menghabiskan waktu seharian dengan wanita yang baru saja menjadi istri keduanya. Bukan tanpa sebab Abiyan melakukan hal ini. Selain desakan dari sang ibu yang terus-menerus menginginkan cucu, Abiyan terjebak pada wanita masa lalu yang kembali hadir di dalam hidupnya. Dan merusak semua mimpinya dengan Berliana.Entah setan dari mana yang membuat Abiyan nekat melakukan hal ini. Dia tahu bagaimana akhir dari semua ini bila Berliana mengetahuinya.Abiyan sangat kenal betul bagaimana Berliana. Selama empat tahun hidup bersama, Abiyan akui jika Berliana adalah wanita yang sangat baik serta menghormatinya sebagai seorang suami. Tapi apa yang dikatakan ibu serta adik-adiknya ada benarnya juga, pernikahan akan hambar seiring berjalannya waktu jika tidak ada anak ditengah-tengah mereka. Sekuat apapun Abiyan mencoba, dia juga seorang pria yang menginginkan a
Baru saja sejam yang lalu Abiyan mengirim pesan agar Berliana segera menuju ke restoran. Tapi baru saja masuk dan memesan makanan, Abiyan malah menelepon dan berkata tengah ada urusan mendadak yang tak bisa ditinggalkan.Padahal pria itu sendiri yang bilang ingin menyelesaikan masalah mereka. Akan tetapi, sepertinya Abiyan tak serius dengan ucapannya. Buktinya pria itu tanpa rasa bersalah langsung membatalkan janji temu mereka.Geram sekali Berliana terhadap tingkah laku suaminya. Urusan mendadak seperti apa sampai-sampai tidak bisa ditinggalkan. Di perusahaan jabatannya sebagai direktur, tidak bisakah melemparkan urusan ke sekertaris pribadi? Apa gunanya jabatan tinggi kalau tidak bisa diandalkan disaat-saat penting. Lagipula tidak setiap hari Abiyan keluar dengan Berliana. Sebegitu pentingnya pekerjaan bagi Abiyan.Heran sekali, semakin lama Abiyan semakin gila dengan pekerjaannya. Apapun selalu pekerjaan yang dia nomor satukan.Pembicaraan mereka ini juga penting.Ah, sejak menikah
Sejak kejadian dimana Abiyan meminta maaf kepada Berliana, sifat pria itu mulai dirasa berubah. Mulai dari tingkah laku sampai rutinitasnya, tidak pernah luput dari perhatian Berliana. Berliana kebingungan, apalagi hampir seminggu ini hubungan keduanya tidak kunjung membaik. Seolah ada dinding di tengah-tengah mereka. Oh ya Tuhan, jangan lupakan kalau sudah seminggu ini Abiyan dan Berliana pisah kamar. Entahlah apa yang sebenarnya terjadi. Berliana dengan keras kepalanya yang tetap ingin Tari meminta maaf secara langsung dan Abiyan yang mungkin sudah lelah menghadapi istri dan ibunya. Berliana tidak salah, Abiyan juga tidak salah. Takdir sendiri yang membuat mereka berdua ada di situasi yang tidak mengenakkan. "Bu, sarapannya udah siap. Menunya sesuai request an ibu Berlin semalam." ucap salah satu asisten rumah tangga. Membuat pandangan Berliana teralihkan. "Iya, saya bentar lagi turun. Oh iya, suami saya udah berangkat?" "Udah Bu, pagi-pagi sekali." "Ya udah kamu bole