"Udah empat tahun nikah, tapi sampai sekarang enggak hamil-hamil. Kasian Mas Abiyan, padahal dia udah kepingin banget gendong anak."
Perkataan itu mengusik bagi Berliana. Dia hanya terdiam mendapati adik iparnya berkata demikian, bukan takut untuk membalas, tapi Berliana enggan memulai keributan.
Berliana lantas menoleh, mencoba menyembunyikan kekesalannya pada adik pertama suaminya. "Aku sama Mas Abiyan lagi program kehamilan kok. Mungkin belum waktunya aja. Kan semua butuh proses, Vina," jawab Berliana, diikuti senyuman yang terkesan dipaksakan. Wanita itu sudah risih sejak topik kehamilan sudah dibawa-bawa. Sebab pada akhirnya akan membuat Berliana kepikiran dan berakhir dia overthinking berhari-hari. "Dari dulu bilangnya lagi program hamil, tapi mana kok sampai sekarang enggak ada hasilnya?" sahut Icha, adik iparnya yang lain. Sebenarnya Berliana geram sekali, tapi dia sedang malas berdebat. Dia jadi menyesal ikut suaminya pulang ke mari. "Sumpah tahu gini mending di rumah aja. Mulut mereka lama-lama makin enggak tahu adab." batin Berliana. Namun dia tetap tenang, jika tidak para iparnya akan semakin memojokkannya. "Periksa aja ke dokter, siapa tahu emang diantara kalian ada yang mandul. Tapi kalau mas Abiyan sih kayaknya enggak, gak tahu lagi kalau Mbak Berlin." ucap Vicky, adik Abiyan yang paling bungsu. Suasana semakin tegang, perkataan demi perkataan yang dilontarkan adik-adik suaminya, benar-benar membuat hati Berliana memanas. Tidak bisakah berbicara dengan kalimat yang lebih baik dan tidak terkesan membully "Berapa sih biaya periksa ke dokter, Mbak Berlin kan kaya. Dari dulu disuruh periksa kok gak ada yang mau. Heran deh." "Apa emang benar ya kalau Mbak Berlin itu mandul? Soalnya gak mungkin aja kalau Mas Abiyan yang mandul, secara kan di keluarga kita gak ada keturunan mandul." "Nah iya, mandul itu keturunan ya, di keluarga kami semua subur-subur. Buktinya istriku sekarang hamil anak kedua." Deg!Hati Berliana menjerit.
"Keturunan?" lirihnya pelan.
Ketiga adik iparnya memberikan serangan secara bersamaan. Berliana merasa yang paling tidak bisa apa-apa di posisi sekarang, padahal dialah yang bisanya mendominasi lawannya.
Mungkin, tadi Berliana masih bisa menahan diri untuk tidak membalas semua perkataan adik-adik iparnya. Tapi, ucapan Vicky barusan membuatnya naik darah, seolah di sini Berliana adalah wanita mandul! Berliana menatap satu persatu dari mereka. Ia begitu membenci mereka, juga heran kenapa mereka bisa sejahat itu padanya. Bukankah seharusnya mereka segan dan menghormati Berliana sebagai iparnya? "Ya gimana ya Vic, kamu nikahin istri kamu aja pas dia hamil anak kedua kalian. Itupun kalau aku gak kasih jaminan di kantor polisi, sampai sekarang juga kamu masih ada di penjara," ucap Berliana sarkas, tanpa peduli lagi jika nanti mereka akan berdebat besar. Ah ini sudah sering terjadi, perdebatan Berliana dengan adik-adik iparnya. "Itu aja aku yang ngomong langsung ke mertua kamu, biar kamu bisa bebas bersyarat," lanjut Berliana dengan senyum penuh kemenangan, kala melihat ekspresi wajah terkejut dari mereka. Mungkin mereka tidak pernah mengira jika Berliana akan membalas? Lagipula, posisi sekarang Berliana sedang berada di rumah keluarga Abiyan. Yang artinya, Berliana akan kalah telak jika berdebat dengan mereka. Tapi nyatanya, Berliana malah menanggapinya. "Oh, Mbak Berlin gak ikhlas kasih uang buat jaminanku waktu itu? Muka dua ya, di depan Mas Abiyan aja gayanya sok-sokan ikhlas, ternyata di ungkit-ungkit juga." "Emang dasarnya sombong, berapa sih uang yang Mbak Berlin keluarin buat jaminan Vicky, kok sampai segitunya diungkit-ungkit," timpal Icha yang sudah mendekat ke arah Berliana. Berliana hanya bisa tersenyum miring. Jika mereka tidak terus-terusan menyudutkan dirinya, mungkin ia juga tidak akan mengungkit-ungkit hal ini. "Gak salah? Tanya nominal uang yang aku keluarin? Aku jabarin juga kalian gak bakal bisa ganti—" "Hei!" Teriakan dari arah dapur, membuat fokus keempat orang di ruang tamu termasuk Berliana terpusat. Wanita baya yang merupakan ibu Abiyan tersebut berjalan dengan angkuh mendekati anak dan menantunya. Matanya menatap nyalang ke arah Berliana, "Mentang-mentang kamu anak orang kaya, bisa bicara begitu sama adik ipar kamu. Merasa keren kamu bicara kayak gitu heh?!" "Ibu tahu kamu kaya, punya kekuasaan. Tapi jangan jadi sok jagoan disini. Kata-kata kamu itu harus dijaga, lagian apa yang dibilang mereka semua itu benar kan. Dan sekarang kamu ungkit-ungkit apa yang udah kamu kasih, muka dua?" "Asal kamu tahu, Abiyan gak mungkin bermasalah, buktinya keluarga kita punya anak semua. Justru kamu yang harusnya sadar diri, siapa tahu kamu mandul!" Semua perkataan dari ibu mertuanya begitu menyakitkan, tidak sepantasnya seorang ibu berkata sedemikian. Apalagi mereka sama-sama wanita, seharusnya tahu dan saling memahami. "Bu..." lirih Berliana. "Aku tidak mandul!" lanjutnya. "Terus kalau gak mandul, kenapa gak hamil-hamil sampai sekarang? Pernikahan kalian itu udah 4 tahun lebih, bukan pengantin baru. Dan itu namanya kamu mandul, gak subur." "Ada apa ini?" Abiyan yang baru saja datang, langsung kebingungan mendengar perdebatan dari luar rumah. Dia menatap sang istri untuk meminta jawaban, namun Berliana hanya diam dengan sorot mata yang tidak bisa Abiyan mengerti. "Itu tanya saja istri kamu. Sombongnya minta ampun, kalau gak ikhlas ngasih itu bilang. Jangan jadi sok baik kalau ujungnya juga diungkit-ungkit," jawab Tari, Ibu dari Abiyan. "Aku ikhlas ya Bu. Cuma ibu dan lainnya yang gak tahu malu dan kurang berterima kasih!" Berliana mengambil tasnya dan kunci mobil, berniat pergi dari sana. Tidak memperdulikan ibu mertuanya yang masih koar-koar. "Beraninya kamu ngatain ibu enggak tahu malu? Dasar wanita mandul!" teriak Tari. Menatap jengkel Berliana yang sudah hilang dibalik pintu. "Apa apa sih Bu?" tanya Abiyan lagi. Dia ingin mengejar istrinya, tapi dia ingin tahu dulu penyebab perdebatan ini terjadi. "Itu istri kamu. Makin hari makin kurang ajar, dasar wanita mandul." "Bu, apa-apaan sih kok bicara kayak gitu. Berliana itu istri Abiyan loh, menantu ibu. Gak seharusnya ibu ngatain dia mandul!" "Wajar ibu bilang gitu, orang kenyataannya dia mandul kan?" "Tapi—" "Yang dibilang ibu itu benar. Istrimu juga udah keterlaluan sih Mas! Heran banget aku sama dia, dikasih pengertian kok gak bisa nerima. Malah ngajak berantem kayak gini, memuakkan!" Icha langsung pergi begitu saja, meninggalkan ruang tamu. Abiyan tidak bisa berpikir jernih, memang seharusnya dia tidak mengajak Berliana kemari jika ujungnya juga akan menjadi masalah. Dan mungkin memang benar, antara istri, ibu dan adik-adiknya tidak bisa ia rukunkan. "Lain kali bilangin istrimu Mas, kalau dia sok jagoan lagi disini, gak segan-segan aku ajar dia. Gak peduli dia mau cewe, mau istrimu, gak peduli aku!" ucap sang adik ketus.Abiyan mengepalkan tangannya. Dia masihlah seorang kakak yang harus dihormati adiknya. Bisa-bisanya justru dinasehati seperti ini!
Dengan lantang, ia pun berkata, "Jaga bicara kamu Vicky! Dia istriku!"
"Ini udah yang kesekian kalinya adik-adik kamu kurang ajar sama aku! Aku ini kakak iparnya, apa enggak ada rasa hormat sedikitpun sama aku? Seenggaknya dia menghormati aku sebagai istri kamu, istri dari kakaknya!""Sayang, udah ya. Kita bicara baik-baik, kamu jangan teriak-teriak," ucapku selembut mungkin. Aku tahu hatinya sedang dirobek-robek karena perkataan ibu dan adik-adikku. Jadi jangan sampai aku salah kata yang bisa membuat hatinya bertambah sakit. "Apa? Kamu mau suruh aku mengalah lagi dan sabar lagi? Iya Mas? Hah, bosan aku dengarnya, muak Mas!" lanjut Berliana kesal. "Setiap pertengkaran antara aku, ibu dan adik-adik kamu, kamu selalu suruh aku yang mengalah. Suruh sabar, suruh memaklumi mereka. Tapi apa pernah kamu suruh mereka untuk berhenti memojokkan aku dan menghargaiku?" "Aku udah cukup bersabar selama ini Mas, emang dari dulu keluarga kamu gak suka kan sama aku? Makanya mereka sering cari gara-gara sama aku, terus aja cari-cari kesalahanku. And
Cahaya mentari dari luar sukses mengganggu tidur nyenyak Berliana di pagi hari. Kepalanya terasa pening dan tubuhnya mendadak lemas. Dia masih mengingat kejadian di malam hari, dimana dia dan Abiyan sempat berdebat kecil membahas masalah kehamilan. Berliana dengan pikirannya yang sudah overthingking dan Abiyan yang bingung harus memberikan keyakinan seperti apa lagi, agar istrinya berhenti menyudutkannya. Sama halnya seperti Berliana, Abiyan juga bingung jika dihadapkan pada kenyataan bahwa istrinya sulit untuk hamil. Tapi kembali lagi, baik Abiyan maupun Berliana hanya bisa berusaha dan menunggu, untuk hasil seharusnya mereka menyerahkannya kepada Tuhan. Beruntunglah hari ini adalah hari minggu, jadi Berliana tak bersusah payah untuk membangunkan suaminya. Lagipula ini sudah sangat terlambat untuk memulai aktivitas pagi, apalagi jam sudah menunjukkan pukul 10 lewat 15 menit. Ah ini semua salah Abiyan, pria itu yang semalam menyerang Berliana deng
'Dina bisa memberikan keturunan buatmu. Dina juga bisa menjadikan kamu seorang ayah' Kalimat itu terus terngiang, berulang kali terputar diotak seperti kaset rusak. Semakin dipikirkan semakin membuat Abiyan sakit kepala. Pria itu tidak pernah menyangka jika kedatangan ibu dan adik perempuannya kali ini untuk membahas sesuatu yang sensitif. Sensitif bila didengar oleh Berliana. Mungkin akan terjadi perang besar, dan Abiyan takut jika Berliana akan bertindak. Ia sadar istrinya terlalu lelah dengan kelakuan ibu dan adik-adik suaminya. "Kenapa mas? Kok aku perhatiin kamu ngelamun dari tadi, mikirin kerjaan? Atau yang lain?" tanya Berliana saat wanita itu baru saja keluar dari kamar mandi. Abiyan mendongak, tersenyum kepada wanitanya, "Sedikit mikirin masalah kerjaan, kenapa hem? Mau keluar gak nanti malam?" tawarnya tiba-tiba. Tidak langsung menjawab, Berliana berjalan ke arah lemari seraya memilih beberapa baju yang akan ia kenakan, "Ibu sama Vina tadi n
Menjalani rumah tangga ternyata tidak semudah yang aku kira. Awalnya aku masih memegang prinsip, yaitu menikah haruslah di umur 30 tahun keatas, karena di usia itu aku merasa lebih matang dan siap dalam segala aspek. Namun siapa sangka jika aku malah jatuh cinta dengan salah satu pegawai bagaian administrasi di kantor. Itu hal yang gila, tapi aku lebih gila lagi karena sudah memperjuangkan cinta, yang bahkan saat itu aku tidak tahu arti cinta yang sebenarnya itu seperti apa. Aku hanya tahu, aku menyukai dan tertarik kepada Abiyan. Ada rasa ingin memiliki, mengagumi dan lama-kelamaan dia begitu spesial di mataku. Kesan pertama bertemu, aku begitu terkesima dengan cara bicara Abiyan yang terkesan tegas dan berwibawa meskipun hanya seorang staf administrasi. Semua yang ada pada diri Abiyan membuat aku tertarik, sampai rela membayar orang untuk memata-matai pria itu. Bagaimana dia, keseharian serta latar belakang keluarganya. Cukup terdengar seperti wanita bodoh, itu memang bena
Seusai balik ke rumah usai pertemuannya dengan sang sepupu, membuat Berliana kepikiran sesuatu. Ada yang mengganjal di hatinya, dan itu membuatnya gelisah sepanjang perjalanan. Niatnya Berliana akan mampir sebentar ke perusahaan, mengingat sudah lama Berliana tidak melihat langsung kondisi di sana. Apalagi sejak dia memutuskan berhenti menjabat, dan memercayakan perusahaan sepenuhnya kepada Abiyan, Berliana mulai jarang mengurusi masalah pekerjaan. Tapi mood Berliana sudah kacau saat Sania berkata seperti itu. Iya Sania, dia merupakan sepupu dekat dengan Berliana. Dan di antara semua keluarga, bisa dibilang Sania yang paling dekat dengan dirinya. Perkataan Sania di akhir membuatnya kepikiran sampai sekarang. Apa yang dikatakan Sania tidak ada yang salah, justru Berliana membenarkan semuanya. Namun, ada satu yang sulit Berliana terima. Yaitu, kenyataan jika saja suaminya punya wanita lain di belakangnya. Ini tidak menutup kemungkinan. Mengingat Abiyan adalah anak yang—ya begi
Gagal sudah rencana berlibur ku dengan Berliana ke Makassar. Aku relakan tiket pesawat kami karena adanya permasalahan antara kita berdua. Oh tidak, lebih tepatnya masalah yang ibuku timbulkan. Lagi dan lagi ibu membuat ulah dan mengganggu rumah tangga kami. Kali ini aku tidak akan tinggal diam, ibu sudah kelewat batas dengan memperkenalkan Dina kepada Berliana. Ibu sukses membuat Berliana naik pitam, dan sekarang wanita itu tengah menuntut penjelasan mengenai siapa Dina dan hubungan seperti apa dulu wanita itu dengan ku. Brakkk "Abiyan! Apa-apaan sih kamu. Datang-datang banting pintu rumah. Kenapa?!" "Seharusnya aku yang tanya, kenapa bu? Kenapa ibu lancang sekali?" "Lancang apa sih? Gak jelas banget kamu ini!" Aku mengacak rambut frustasi, kepalaku terasa berat memikirkan ini semua. Di satu sisi rumah tanggaku sedang runyam, Berliana menuntut penjelasan dan ibuku biang permasalahannya. Harus apa aku? Harus bagaimana agar bisa memberi pengertian kepada ibuku tanpa mengh
"Lin, Lin. Bangun dong, gila aja lo ambruk di sini. Di rumah kek, gue bingung bawa pulangnya." Sania terus saja menggoyang tubuh Berliana yang tertunduk lemas. Sepertinya wanita itu terlalu banyak minum dan mengakibatkan hilangnya kesadaran diri. Sedangkan Sania, dia tidak mau ikut-ikutan mabuk, sebab tahu jika dia kemari tidak sendiri. Apa jadinya jika mereka berdua sama-sama hilang kesadaran. Bisa-bisa dibungkus buaya disana. "Sumpah, ingetin gue buat maki-maki mertua lo nanti. Tahu gini mending gue cegah lo ke bar." Sania menggelengkan kepala, dia takjub melihat banyaknya botol kosong berjajar di atas meja mereka. Dari tujuh botol, tersisa setengah botol saja, lainnya Berliana yang menghabiskan sendiri. Ah tidak, Sania juga ikut minum tapi tidak sebanyak itu. Tapi jika harus membawa Berliana sendiri dan mengemudikan mobil, Sania rasa tidak bisa. Dia tidak sekuat itu. Apalagi dia mulai merasakan pening yang menyerang. "Gue pesenin taxi online ya, tapi gue takut nanti ki
Sejak kejadian dimana Abiyan meminta maaf kepada Berliana, sifat pria itu mulai dirasa berubah. Mulai dari tingkah laku sampai rutinitasnya, tidak pernah luput dari perhatian Berliana. Berliana kebingungan, apalagi hampir seminggu ini hubungan keduanya tidak kunjung membaik. Seolah ada dinding di tengah-tengah mereka. Oh ya Tuhan, jangan lupakan kalau sudah seminggu ini Abiyan dan Berliana pisah kamar. Entahlah apa yang sebenarnya terjadi. Berliana dengan keras kepalanya yang tetap ingin Tari meminta maaf secara langsung dan Abiyan yang mungkin sudah lelah menghadapi istri dan ibunya. Berliana tidak salah, Abiyan juga tidak salah. Takdir sendiri yang membuat mereka berdua ada di situasi yang tidak mengenakkan. "Bu, sarapannya udah siap. Menunya sesuai request an ibu Berlin semalam." ucap salah satu asisten rumah tangga. Membuat pandangan Berliana teralihkan. "Iya, saya bentar lagi turun. Oh iya, suami saya udah berangkat?" "Udah Bu, pagi-pagi sekali." "Ya udah kamu bole
Berliana duduk di ruang tamu, merenungkan perjalanan panjang yang telah dia dan Abiyan lalui beberapa waktu dalam memperbaiki rumah tangga mereka. Beberapa bulan terakhir ini, mereka berhasil menyelesaikan masalah-masalah mereka dan merasa hubungan mereka semakin membaik setiap harinya. Berliana merasa tenang dan bahagia jika terus seperti ini. Ya, Berliana harap ini akan bertahan dengan waktu yang lama.Berliana tersenyum puas, ketika melihat suaminya datang menghampirinya, “Mas, akhir-akhir ini rasanya rumah tangga kita semakin harmonis. Aku merasa tenang dan bahagia.”Abiyan duduk di sebelah Berliana, merangkul pinggang wanita itu, “Iya, aku juga merasakannya. Ini adalah hasil dari kerja keras kita bersama dan tekad kita untuk memperbaiki hubungan kita. Aku sangat senang melihatmu bahagia, sayang.”“Terima kasih, mas. Aku benar-benar merasakan perubahan dalam hubungan kita. Dan yang terpenting, tidak ada lagi gangguan dari ibu dan adik-adikmu. Rasanya lebih intim dan kita bisa foku
Abiyan dan Berliana duduk di balkon kamar mereka, sinar matahari senja menerangi wajah mereka yang penuh harapan. Setelah melewati beberapa masalah rumah tangga, mereka memutuskan untuk mulai menyelesaikan konflik mereka dan berniat untuk menjadi lebih saling terbuka lagi.Ya, setelah pergulatan sebagaimana suami istri lakukan, Abiyan membuka topik pembicaraan yang mengarah pada masalah yang menimpa mereka beberapa waktu lalu.Awalnya Berliana tidak ingin membahas hal itu dan memutuskan akan mencari tahu sendiri. Lagipula dia tidak puas dengan jawaban yang suaminya berikan.Tapi, pagi itu Abiyan memberikan janji bahwa sepulang dia dari kantor, dia akan menyelesaikan semua masalahnya dengan Berliana. Mau bagaimana lagi, Berliana membuka pintu, mengizinkan bila pria itu ingin menyelesaikan kesalahpahaman diantara mereka berdua.Abiyan menggenggam tangan Berliana dengan erat, “Sayang, aku ingin kita mulai mengatasi masalah kita dengan lebih jujur. Aku merasa kita perlu menjadi lebih terb
“Tumben lo ngajak gue keluar? Lagi ada masalah ya?”“Gak juga sih. Ya gue cuma pingin aja keluar. Kenapa? Lo keberatan ya Lin?”“Hooh sepertinya. Hahaha.”Mereka berdua terlibat obrolan singkat, sampai pada Sania yang menyinggung persoalan rumah tangga sahabatnya. Berliana.“Gimana masalah lo sama Abiyan? Aman kan?”“Iya. Kemarin kita baikan, dan dia juga udah minta maaf buat kesalapahaman antara kita.”“Ya okelah kalau gitu.”Berliana memperhatikan raut wajah Sania, yang seolah ragu dengan ucapannya sendiri.“Kenapa San?”“Gapapa, emangnya kenapa?”“Lo kayak gimana gitu pas dengar gue udah baikan sama Abiyan. Kenapa?”Yap, tepat sekali. Berliana sangat pintar membaca ekspresi wajah, apalagi Sania yang tidak pandai menyembunyikan mimik wajahnya.“Hmm gimana ya Lin. Gue bingung mau ngomongnya.”“Bingung kenapa?” tanya Berliana. Wanita itu dibuat penasaran dengan perkataan Sania.“Hmm, sorry nih ya. Tapi, suami kamu punya selingkuhan?”***Atas dasar apa Sania bertanya seperti itu.Sani
Berliana duduk di balkon kamar, menatap ke luar dengan wajah penuh kecemasan. Dia merasa sangat sedih dan takut kehilangan Abiyan. Mereka baru saja berbicara dan mencoba menyelesaikan masalah rumah tangga mereka yang sempat terguncang masalah.Abiyan masuk ke kamar dengan wajah yang agak tegang. Dia merasa sangat lega bisa membicarakan masalahnya dengan Berliana, tapi masih ada kekhawatiran di hatinya.Dia berjalan mendekati Berliana dan memegang merangkulnya dari arah belakang."Sayang, aku minta maaf atas semua masalah yang terjadi di antara kita. Aku mencintaimu dan tidak ingin kehilanganmu." ungkap Abiyan. Pria itu menarik tubuh sang istri, di peluknya dengan erat.Berliana menatap Abiyan dengan wajah bingung, namun juga merasa lega dan bahagia mendengar perkataan Abiyan.“Aku juga mencintaimu, mas. Dan aku merasa sangat bersyukur bahwa kita bisa bicara dan menyelesaikan masalah kita.”Ya, tadi pagi sekitar pukul 7. Abiyan sudah balik dari luar kota dan langsung menemui Berliana u
Suasana pagi di rumah Ibu Abiyan, begitu terasa tenang. Abiyan duduk di ruang tamu sambil sesekali membaca email yang masuk dan mengerjakan proposal perusahaan. Rencananya ia akan balik ke Jakarta hari ini dan meluruskan semua masalahnya dengan Berliana yang semakin merambat kemana-mana.Abiyan juga sudah berbicara dengan ibu dan ketiga adiknya. Menegaskan kepada mereka, bahwa tak seharusnya mereka memperlakukan Berliana seperti itu.Abiyan juga mengungkit-ungkit kehidupan mereka dulu, yang serba kekurangan. Tapi setelah dirinya menikah dengan Berliana, wanita itu mengangkat derajat keluarga Abiyan. Abiyan mengingatkan hal itu, agar keluarganya juga menyadari seberapa berjasanya Berliana bagi kehidupan mereka.Saat sibuk membaca email yang masuk, tiba-tiba bel pintu berbunyi. Sedangkan tak ada orang di rumah, Ibunya pergi entah kemana dan adik-adiknya sejak tadi tidak keluar dari dalam kamar. Mau tak mau Abiyan lah yang membukakan pintu untuk tamu. Tapi saat membuka pintu, Abiyan ter
Berliana duduk di ruangan HRD. Ia memperhatikan sekitar dan tatapannya kembali terpusat pada satu map yang berisi laporan keuangan perusahaan selama setahun terakhir. Empat orang duduk dihadapan Berliana, meliputi HRD, kepala staf keuangan, karyawan dan Anastasia yang merupakan sekertaris pribadi suaminya."Sesuai yang ibu minta, ini laporan keuangan perusahaan selama setahun terakhir.""Boleh di jelaskan?""Baik Bu."Rasanya oksigen di ruangan ini semakin menipis, Berliana ketakutan sendiri dengan apa yang akan dia dengar setelah ini. Kebohongan apa lagi yang akan Berliana ketahui.Andai semalam tidak ada notifikasi dari bank, mungkin hari ini Berliana tidak akan ke perusahaan. Dan Berliana tidak akan se khawatir ini pada Abiyan."Tidak ada yang aneh selama setahun ini. Tapi dua tahun terkahir Pak Abiyan melakukan transaksi sebesar 3M untuk membeli rumah di daerah Jakarta Selatan. Lalu di bulan Januari ada pengeluaran sebesar 567 juta untuk pembelian tanah di daerah Bandung. Dan bebe
Pria berperawakan tinggi dengan pakaian kantor yang melekat di tubuhnya, terlihat jelas raut wajah letih darinya. Dia Abiyan.Hari ini, dia menghabiskan waktu seharian dengan wanita yang baru saja menjadi istri keduanya. Bukan tanpa sebab Abiyan melakukan hal ini. Selain desakan dari sang ibu yang terus-menerus menginginkan cucu, Abiyan terjebak pada wanita masa lalu yang kembali hadir di dalam hidupnya. Dan merusak semua mimpinya dengan Berliana.Entah setan dari mana yang membuat Abiyan nekat melakukan hal ini. Dia tahu bagaimana akhir dari semua ini bila Berliana mengetahuinya.Abiyan sangat kenal betul bagaimana Berliana. Selama empat tahun hidup bersama, Abiyan akui jika Berliana adalah wanita yang sangat baik serta menghormatinya sebagai seorang suami. Tapi apa yang dikatakan ibu serta adik-adiknya ada benarnya juga, pernikahan akan hambar seiring berjalannya waktu jika tidak ada anak ditengah-tengah mereka. Sekuat apapun Abiyan mencoba, dia juga seorang pria yang menginginkan a
Baru saja sejam yang lalu Abiyan mengirim pesan agar Berliana segera menuju ke restoran. Tapi baru saja masuk dan memesan makanan, Abiyan malah menelepon dan berkata tengah ada urusan mendadak yang tak bisa ditinggalkan.Padahal pria itu sendiri yang bilang ingin menyelesaikan masalah mereka. Akan tetapi, sepertinya Abiyan tak serius dengan ucapannya. Buktinya pria itu tanpa rasa bersalah langsung membatalkan janji temu mereka.Geram sekali Berliana terhadap tingkah laku suaminya. Urusan mendadak seperti apa sampai-sampai tidak bisa ditinggalkan. Di perusahaan jabatannya sebagai direktur, tidak bisakah melemparkan urusan ke sekertaris pribadi? Apa gunanya jabatan tinggi kalau tidak bisa diandalkan disaat-saat penting. Lagipula tidak setiap hari Abiyan keluar dengan Berliana. Sebegitu pentingnya pekerjaan bagi Abiyan.Heran sekali, semakin lama Abiyan semakin gila dengan pekerjaannya. Apapun selalu pekerjaan yang dia nomor satukan.Pembicaraan mereka ini juga penting.Ah, sejak menikah
Sejak kejadian dimana Abiyan meminta maaf kepada Berliana, sifat pria itu mulai dirasa berubah. Mulai dari tingkah laku sampai rutinitasnya, tidak pernah luput dari perhatian Berliana. Berliana kebingungan, apalagi hampir seminggu ini hubungan keduanya tidak kunjung membaik. Seolah ada dinding di tengah-tengah mereka. Oh ya Tuhan, jangan lupakan kalau sudah seminggu ini Abiyan dan Berliana pisah kamar. Entahlah apa yang sebenarnya terjadi. Berliana dengan keras kepalanya yang tetap ingin Tari meminta maaf secara langsung dan Abiyan yang mungkin sudah lelah menghadapi istri dan ibunya. Berliana tidak salah, Abiyan juga tidak salah. Takdir sendiri yang membuat mereka berdua ada di situasi yang tidak mengenakkan. "Bu, sarapannya udah siap. Menunya sesuai request an ibu Berlin semalam." ucap salah satu asisten rumah tangga. Membuat pandangan Berliana teralihkan. "Iya, saya bentar lagi turun. Oh iya, suami saya udah berangkat?" "Udah Bu, pagi-pagi sekali." "Ya udah kamu bole