"Nyo --- Nyo ---Nyonya?" Seketika tubuh Puspita gemetaran, melihat Lidya sudah berdiri di depan pintu dengan wajah garang. Terakhir kali datang, Lidya marah-marah karena Dana mengajaknya shoping. Kali ini pasti Lidya akan semakin marah, kalau tahu berapa uang yang sudah dihabiskan Puspita untuk belanja dan perawatan. Lidya memindai tubuh Puspita dari atas ke bawah, matanya membulat sempurna setelah melihat penampilan Puspita. Bukan karena Lidya kagum melihat perubahan Puspita yang mirip girl band Korea itu, bukan. Mata Lidya melotot dengan mulut menganga, karena melihat beberapa tanda merah di leher Puspita. Siapa lagi pelakunya, kalau bukan Dana suami Lidya. Apalagi pakaian Puspita terlihat kusut, dan berantakan. Membuat Lidya berasumsi kalau Puspita dan Dana baru saja melakukan hubungan badan. "Mana, Mas Dana!" sentak Lidya. Dia menerobos masuk, dan mendorong kasar tubuh mungil Puspita, hingga gadis itu hampir terjatuh kalau saja Dana tidak sigap menahannya. "Ada apa mencariku?"
"Kamu nggak seharusnya memperlakukan aku seperti itu, Mas!" raung Lidya disela isak tangisnya. "Harusnya kamu pulang bersamaku, bukannya malah meniduri perempuan itu. Aku sakit hati, Mas! Kamu pilih kasih!"Dana menjengah, tak sedikitpun ada keinginan mendebat Lidya. Dia membiarkan istri tuanya terus meracau, mengeluarkan semua unek-uneknya. Biar dia puas. Kalau dipikir-pikir, Lidya ini lucu juga. Dia sendiri yang menawarkan pernikahan, dia sendiri yang punya ide gila ini, dia yang maksa-maksa agar Dana menuruti. Kenapa sekarang wanita ini merasa tersakiti? Jangan-jangan Lidya ini menderita Multiple personality disorder, Suatu gangguan yang ditandai dengan adanya dua atau lebih status kepribadian yang berbeda. Dan itu ada pada Lidya. Disisi lain Lidya begitu menggebu-gebu ingin punya keturunan dari wanita lain, tapi disisi lain dia merasa tersakiti karena kehadiran perempuan lain itu. "Apa sih, kelebihan Puspita, Mas? Nggak ada, dia itu nggak ada apa-apanya dibanding aku! Aku lebih
"Lho, Pak Dana kok balik lagi kesini?" Puspita terkejut melihat Dana datang menjelang tengah malam. Dan lebih terkejut lagi, laki-laki datang membawa koper besar. Bukannya dia tidak suka atau keberatan, tapi peristiwa beberapa jam yang lalu masih menyisakan trauma di hati Puspita. Takut Lidya ngamuk lagi, takut warga berdatangan lagi. Sungguh Puspita malu luar biasa. Apalagi cercaan Ibu-ibu komplek, yang menuntut penjelasan atas peristiwa yang terjadi. Dengan alasan biar tidak terjadi huru-hara lagi. "Kenapa? Nggak boleh?" ketus Dana. Hatinya sedikit kecewa mendapat reaksi tak terduga dari Puspita, padahal dia berharap Puspita langsung memeluk menyambut kedatangannya. Saat ini Dana butuh pelukan, butuh tempat berbagi segala keresahan yang membelenggu hatinya saat ini. "Nggak boleh, gimana? Ini kan, rumah Bapak dan Nyonya Lidya. Saya hanya pinjam, terserah Pak Dana mau datang kapan saja," balas Puspita dengan wajah cemberut. Dana tak mempedulikan istrinya yang tengah merajuk itu,
"Pak! Pak Dana!" Puspita mengguncang pelan kaki suaminya. Sudah beberapa hari ini, pekerjaan Dana hanya makan tidur dan sibuk dengan ponsel dan laptopnya, tidak pernah ngantor. Membuat Puspita jadi bingung. "Pak .... Bangun, dong ....!" Ingin sekali Puspita menyeret Dana turun dari tempat tidur, kemudian melemparnya ke jalan. Tapi sayangnya dia sama sekali tak punya keberanian, salah-salah dia yang dilempar Dana ke jalan. "Oah ...." Dana menguap lebar, bukannya bangun dia malah menarik tubuh Puspita, hingga menimpa tubuhnya. "Paaak .... ! Apaan, sih?" pekik Puspita manja. "Ck! Diam kamu, Puspita!" Dana memeluk tubuh itu seolah guling. "Ih, Pak! Bangun! Ini sudah siang, Pak Dana nggak kerja!" Puspita masih berusaha melepaskan pelukan suaminya. "Kamu mau aku kerja?" Dana bertanya sambil menyembunyikan wajahnya di lekuk leher Puspita, membuat wanita itu kegelian. "Iya, Pak! Cepat mandi sana!" "Oke, aku kerja sekarang." Diluar dugaan, Dana justru menyerang Puspita. "Paak!" Dana
Sementara itu, di kantor Dana terjadi kepanikan. Banyak pekerjaan jadi terbengkalai, karena menunggu keputusan sang Bos, yang beberapa hari tidak menampakkan batang hidungnya tanpa kabar berita. Entah di mana keberadaan laki-laki itu, staf kantor tak ada yang tahu. Termasuk Dian asisten pribadi Dana, yang dikenal paling dekat dengan sang Bos. "Masih belum bisa dihubungi?" tanya Priambodo, direktur pemasaran di perusahaan itu, kepada Dian. Gadis itu menggeleng pelan, mendung nampak menggantung di wajah gadis itu. "Sudah telfon Bu Lidya?" tanya Priambodo lagi. "Saya nggak berani, Pak. Nanti malah Bu Lidya marah-marah ke saya," balas Dian dengan wajah ditekuk. Sebagai asisten pribadi Dana, Dian sudah hatam watak Nyonya besar itu. Temperamen suka melampiaskan kemarahan pada bawahan, bahkan untuk masalah pribadi sekalipun. "Terus gimana? Hari ini ada meeting dengan klien penting, sudah dua kali ditunda. Kalau kali ini meetingnya ditunda lagi, bisa dipastikan kita bakal kehilangan klie
Amarah Lidya sedang berada di puncaknya, karena Dana dan Puspita kabur. Hingga siapa saja menjadi pelampiasan amarahnya. Bahkan barang pajangan di rumah itu, tak luput menjadi sasaran kemarahan Lidya. "Ronii .... !" Suara Lidya menggema di seluruh ruangan. Pemilik nama yang disebut, lari tergopoh-gopoh menghampiri sangat Nyonya, sebelum amarah wanita semakin memuncak. "Siap, Nyonya! Ada yang bisa saya bantu?" ucap Roni sambil menunduk sopan. "Dimana Mas Dana berada?" tanya Lidya dengan tatapan mengintimidasi. "Mohon maaf, Nyonya. Saya tidak tahu keberadaan Pak Dana," jawab Roni takut-takut. Sopir pribadi Dana itu masih belum berani mengangkat kepala. "Kamu jangan coba-coba menyembunyikan Mas Dana dari saya, ya! Kamu itu sopirnya, kamu selalu mengantar dia kemana-mana, masak nggak tahu di mana Mas Dana!" Roni selalu bersama Dana, kemanapun laki-laki itu pergi. Rasanya tidak masuk akal kalau sampai dia tidak tahu dimana bosnya berada? Begitu pikir Lidya. Padahal malam itu Dana me
Dana bernafas lega, ketika mendapati Raska yang datang malam ini. Dana sudah deg-degan tadi. Takut yang datang orang suruhan Lidya."Masuk!" ucap Dana dengan wajah ditekuk. Dia merasa kesal, baru saja sampai Raska sudah datang mengganggunya. Ada apa lagi ini, bukankah tadi siang mereka sudah bertemu? Yang menjemput Dana dengan mobil duoble cabin seperti yang diceritakan Bu Ria pada Lidya, adalah Raska. Apa Raska tidak tahu, kalau kakaknya ini pengantin baru. Yang lagi seneng-senengnya berduaan! "Maaf, Mas. Aku nggak bermaksud mengganggu, tapi ada hal penting yang harus Mas Dana tahu," ucap adik kandung Dana itu. Dia jadi merasa tidak enak, melihat wajah kakaknya yang ditekuk itu. Dana melirik sekilas Raska, sebelum kemudian menjatuhkan tubuhnya di sofa. "Duduk!" Raska mengambil duduk tepat di seberang Raska. "Hendro baru saja memberi kabar, kalau Mario sudah mulai bergerak," lapor Raska to the poin. Untuk menyampaikan kabar sepenting ini, tak perlu basa-basi. Sebelum meninggalkan
"Pak Dana mau makan, apa? Biar saya belikan bahannya, mumpung dagangannya masih terlihat banyak itu! Kita nggak bisa ngandelin Raska, Pak. Baru dua minggu di sini, dia sudah mleho begitu. Dia capek pasti, makanya nggak datang lagi," cerocos Puspita panjang lebar. "Terserah, kamu masak apa pasti saya makan, Ta," jawab Dana malas-malasan. Percuma mencegah Puspita keluar, wanita itu keras kepala. Dana hanya bisa berdoa, semoga tidak terjadi apa-apa. "Beneran! Awas kalau protes!" Ancam Puspita sebelum meninggalkan rumah. Dua minggu tidak keluar rumah, membuat Puspita begitu senang, meski hanya belanja sayur di depan rumah. "Mbak Puspita, mau belanja apa?" Tanya salah seorang wanita yang ikut belanja di sana. Puspita sedikit kaget, kok wanita itu tahu namanya? Selama tinggal di sini, ini pertama kali Puspita keluar, dan seingatnya. Baik Dana atau Raska belum laporan ke aparat setempat. "Iya, Bu," jawab Puspita sopan. "Belanja yang banyak, Mbak Puspita. Mumpung sayurnya masih banyak
"Sebenarnya kita mau kemana sih, Mas?" Tanya Puspita penasaran, karena dari tadi Dana tidak mau terus terang, akan dibawa kemana anak istrinya itu. Puspita sudah tidak lagi memanggil Dana dengan sebutan 'Pak', melainkan 'Mas'. Dana yang minta, masa iya suami istri manggilnya kayak atasan bawahan. Akhirnya mereka sudah menikah resmi, secara agama dan negara. Meski hanya berlangsung di KUA, tanpa pesta."Beli mainan ya, Yah?" Sahut Arbi yang duduk di kursi belakang. "Bukan Sayang, kita akan ke suatu tempat yang spesial. Arbi pasti suka. Di sana ada banyak mainan," jawab Dana sambil terus fokus dengan setirnya. Meski sudah menjadi pemilik perusahaan yang go internasional, dengan kekayaan yang melimpah ruah. Dana tetap memilih hidup sederhana, tak menggunakan sopir dan body guard lagi. Bahkan di rumah hanya ada satu ART. "Ada es krim, nggak?" Tanya Arbi polos. Dana terkekeh, ditatapnya sang buah hati yang malam ini terlihat begitu tampan dan gagah memakai stelan tuxedo yang senada de
"Pak Dana mau kemana?" Puspita melontarkan pertanyaan pada laki-laki, yang tengah mematut diri di depan cermin itu. Wajar Puspita bertanya, sejak memutuskan meninggalkan kediaman Lidya, Dana juga absen masuk kantor. Laki-laki itu memutuskan untuk fokus pada restorannya. Tapi pagi ini, Dana terlihat rapi dengan jas dan dasi. Seperti saat dia masih jadi CEO dulu. "Ngantor, Ta. Banyak hal yang harus aku urus, perusahaan itu morat-marit sejak kutinggal," jawab Dana tanpa berpaling dari cermin. Sejak kematian Lidya, perusahaan dan semua aset secara otomatis jadi milik Dana, pewaris tunggalnya. Termasuk segala tanggung jawabnya. Dari pengurusan pemakaman Lidya, hingga pengajian selama tujuh hari berturut-turut menjadi urusan Dana. Kini saatnya dia kembali masuk kantor, mengembalikan kejayaan Sampoerno Tbk, seperti sebelum dia memutuskan untuk pergi "Jadi Bapak akan kembali bekerja di perusahaan itu? Kembali ke rumah Bu Lidya lagi?" Sebuah pertanyaan bernada keberatan. Sepertinya Puspi
Dana sedang membereskan mainan Arbi yang tercecer, dan memasukkannya ke dalam box besar. Sementara Puspita mengemas semua pakain dan barang pribadi miliknya, juga Arbi. Termasuk milik Dana juga, tentunya. Laki-laki itu biasa dilayani, mana bisa berkemas sendiri tanpa bantuan orang lain? Atau mungkin dia memang sedang manja, ingin diperhatikan Puspita, yang sejak mendengar kabar Lidya koma, jadi lebih pendiam. Mereka berencana pindah dari apartemen yang disewa Dana itu hari ini, selain karena merasa terlalu sempit untuk mereka bertiga dan tak cukup untuk menampung mainan Arbi. Dana merasa keadaan sudah cukup aman, si biang kerok sudah seminggu terkapar di rumah sakit tak sadarkan diri, dan Mario meringkuk di penjara. Jadi, apalagi yang ditakutkan? Lalu bagaimana dengan anak buah Mario? Mereka bekerja demi uang, jadi siapapun yang membayar, perintah siap dilaksanakan. "Wah, mainannya banyak banget, Yah? Gimana bawanya? Emang mobil Ayah muat?" Tanya bocah itu dengan polosnya. Dana te
Dana menatap iba wajah pucat penuh lebam, yang tergolek di atas ranjang. Kepalanya dibalut perban, ada jejak merah di sana. Tidak hanya ditangan, hidung dan saluran pembuangan Lidya pun, di pasangi selang. Kesombongan Lidya hilang sudah, bahkan bernafas pun dia butuh bantuan. Lidya pingsan, setelah terlibat perkelahian antar tahanan. Menurut penuturan petugas, Lidya tidak terima ketika salah seorang tahanan menjadikan dia bahan candaan. Dia yang dasarnya emosian, pun naik pitam. Tahanan itu di tonjok mukanya, lalu terjadilah perkelahian. Lidya yang baru masuk sel belum punya teman, jadi saat kejadian dia sendirian melawan beberapa tahanan di sel itu. Perkelahian tak imbang itu baru berhenti saat petugas melerai. Sayangnya kondisi Lidya sudah terlanjur babak belur dan pingsan, hingga terpaksa dilarikan ke rumah sakit. Lidya kena getahnya sekarang, kalau biasanya karyawan-karyawannya bersikap patuh dan selalu menuruti perintahnya, kini tak berkutik melawan penghuni sel yang bar-bar.
Puspita sudah terlihat rapi dengan baju rumahan, wajahnya sudah terlihat lebih segar, tak lagi pucat seperti pagi tadi. "Umi kangen banget ...." Puspita menyongsong sang anak yang baru saja pulang, lalu memeluknya erat. Diciuminya seluruh wajah Arbi tanpa sisa. Bukannya lebai atau berlebihan, kemarin dia pergi menemani Dana menghadiri sidang perceraian, lanjut ke rumah sakit berakhir di kantor polisi. Malam sekali dia baru sampai rumah, itu pun dalam keadaan payah. Belum sempat menyapa si anak, Arbi sudah pergi bersama ayahnya, dan baru pulang sore ini. Wajar, kan? Kalau Puspita merasa rindu, karena sebelumnya mereka terbiasa bersama. "Dari mana, sih? Kok, Umi ditinggal sendiri?" Puspita pura-pura merajuk. "Ikut Ayah, ketemu orang gila!" Ketus Arbi dengan wajah cemberut. Puspita mendongak, menatap suaminya yang berdiri di belakang Arbi, yydengan wajah penuh tanya. Dana melengos, pura-pura tak tahu kalau Puspita tengah menatapnya, meminta penjelasan maksud dari ucapan Arbi. "Ora
Lidya duduk di lantai memeluk lutut, tatap matanya kosong. Seperti ada hal berat yang sedang dia pikirkan. Meskipun Lidya bukan tipe orang suka menyesali perbuatannya, tapi kali ini berbeda. Dia benar-benar menyesal telah menghajar Puspita, hingga menyebabkan dia harus di tahan di ruang yang sama sekali tidak nyaman untuk tempat tinggal ini. Meski pengacara berjanji akan datang siang ini untuk membebaskan dia, tetap saja Lidya merasa nelangsa. Ditahan bersama orang-orang dengan strata sosial lebih rendah, membuat Lidya merasa jijik dan muak. Mereka jorok dan bau, entah berapa hari nggak mandi. Lidya sampai nggak betah kalau harus dekat mereka. Harusnya Lidya mendengar nasehat Mario kala itu. "Bu Lidya harus bisa menahan diri, jangan terbawa emosi. Ini tempat umum, kalau sampai ibu melakukan sesuatu, menganiaya atau sekedar memaki saja, bisa jadi alasan mereka untuk menjebloskan Ibu ke penjara." Begitu kata Mario, saat melihat Dana datang dengan menggandeng Puspita. Mario tahu betul
Puspita tak lagi mau bersandar di bahu Dana, meski kepalanya masih berdenyut nyeri, akibat pukulan dan jambakan yang Lidya layangkan kepadanya. Dia lebih memilih menyandarkan kepala di kaca sampingnya. Dia benar-benar marah pada Dana, ternyata semua ini sudah direncanakan suaminya itu. Rupanya Dana sengaja mengajak Puspita menghadiri sidang perceraiannya, untuk memancing emosi Lidya. Wanita itu pencemburu, dengan keberadaan Puspita di ruangan itu, membuat Lidya terpancing emosi dan menghajar Puspita. Meski rencana awalnya Dana akan pasang badan, untuk melindungi Puspita, agar dia saja yang jadi korban keganasan wanita itu. Tapi kenyataan tak seperti ekspektasinya, Puspita justru mengalami luka paling parah. Belum lagi cemoohan dari para wanita yang hadir di sana, menambah rasa malu. Apalagi tadi terlihat ada yang merekam kejadian itu, kalau terus diupload dan viral bagaimana? Bagi Puspita itu tak jadi masalah, toh dia jarang keluar. Tak punya teman atau circle di kota ini. Tapi Arbi
"Kok kesini, Pak?" Protes Puspita, setelah mobil yang dikendarai Dana berbelok, ke gedung pengadilan agama. Puspita pikir, Dana menyuruhnya berpakaian dan berdandan tak seperti biasanya, karena mau diajak jalan-jalan ke Mall. Mungkin Dana butuh merefresh hati dan pikiran. Di apartemen terus, tak kemana-mana kan, bosen juga. "Kamu harus temani aku sidang, Ta," jawab Dana, tanpa merasa bersalah karena tak jujur dari awal. "Ya, tapi buat apa? Nanti Bu Lidya marah-marah. Aku lagi yang kena," gerutu Puspita. Bibirnya sudah maju lima senti, tapi Dana tak ambil peduli. Dia tetap anteng di belakang setir, sambil matanya sibuk mencari tempat yang kosong untuk memarkirkan mobilnya. "Dah sampai. Yuk, turun!" Puspita bergeming, wajahnya ditekuk. Kalau dia ikut turun, pasti bertemu Lidya. Hal yang dia hindari dan takuti selama ini. "Kenapa? Takut? Kan, ada aku. Jadi, kamu nggak perlu khawatir atau menakutkan apapun. Kamu mau masalah kita segera selesai, kan?" Puspita mengangguk pelan. "Kalau
Dana menatap nanar gambar yang baru saja anak buahnya kirim. Dalam gambar tersebut, sosok laki-laki nampak baru keluar dari kediaman Lidya. Meski tidak terlalu jelas, tapi Dana tahu betul siapa laki-laki itu. Mario, si pembunuh berdarah dingin, yang tak punya belas kasih sama sekali. Dia akan menjalankan tugasnya dengan baik, setelah kesepakatan terjadi. Kepala Dana berdenyut nyeri, memikirkan masalah baru yang membelit. Dia tahu betul bagaimana kinerja Mario, sangat rapi dan sulit terdeteksi. Dana harus apa? Tak mungkin terus menerus bersembunyi, mau sampai kapan? Puspita dan anaknya juga butuh hidup normal. Terang-terangan menghadapi Mario, adu strategi sekaligus adu otot. Itu artinya butuh uang yang tak sedikit, sedangkan dia sudah tidak lagi menjadi CEO perusahaan milik Lidya. Ah, tak apa. Dia masih punya penghasilan dari restorannya. Meski tak sebesar perusahaan Lidya, tapi lebih dari cukup untuk memenuhi segala kebutuhan Dana. Diliriknya Arbi yang sudah terlelap, dirinya vers