"Pak Dana mau makan, apa? Biar saya belikan bahannya, mumpung dagangannya masih terlihat banyak itu! Kita nggak bisa ngandelin Raska, Pak. Baru dua minggu di sini, dia sudah mleho begitu. Dia capek pasti, makanya nggak datang lagi," cerocos Puspita panjang lebar. "Terserah, kamu masak apa pasti saya makan, Ta," jawab Dana malas-malasan. Percuma mencegah Puspita keluar, wanita itu keras kepala. Dana hanya bisa berdoa, semoga tidak terjadi apa-apa. "Beneran! Awas kalau protes!" Ancam Puspita sebelum meninggalkan rumah. Dua minggu tidak keluar rumah, membuat Puspita begitu senang, meski hanya belanja sayur di depan rumah. "Mbak Puspita, mau belanja apa?" Tanya salah seorang wanita yang ikut belanja di sana. Puspita sedikit kaget, kok wanita itu tahu namanya? Selama tinggal di sini, ini pertama kali Puspita keluar, dan seingatnya. Baik Dana atau Raska belum laporan ke aparat setempat. "Iya, Bu," jawab Puspita sopan. "Belanja yang banyak, Mbak Puspita. Mumpung sayurnya masih banyak
"Gimana keadaan suami saya, Dok?" Lidya langsung menemui dokter yang menangani Dana, begitu sampai rumah sakit. Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit tadi, hatinya tidak tenang begitu mendengar kabar Dana sudah sadar dari koma. Bukannya tidak bahagia mendengar kabar bahagia itu, bukan. Ada hal yang paling Lidya takutkan kalau suaminya sadar, dia ngamuk padanya. Atau Dana sadar tapi gegar otak, dan tak bisa melakukannya aktivitas seperti biasa. "Pak Dana sepertinya mengalami amnesia, Bu. Untuk mengetahui parah atau enggaknya, atau apa jenis amnesia yang diderita pasien, butuh pemeriksaan lebih lanjut.""Jadi, saya harus bagaimana, Dok?" Tentu Lidya tak mau salah langkah, bisa-bisa semua rencananya berantakan. "Kita tunggu Pak Dana bisa diajak komunikasi dengan lancar, untuk sementara jangan dipaksa mengingat sesuatu dulu. Biarkan saja seperti ini, seingat dia saja." Lidya mengangguk paham, setengah mati dia berusaha agar terlihat biasa saja di depan sang dokter. Dadanya hampir mel
"Udah, Mas. Itu hanya halusinasimu saja. Nggak usah mikir yang aneh-aneh, nanti kepalamu sakit lagi." Dana terdiam, begitu pun Lidya. Hingga tiba-tiba Dana kembali bersuara. "Puspita itu siapa?""Puspita? Puspita siapa? Perasaan kamu nggak punya teman yang namanya Puspita, deh, Mas." Jelas Lidya menutupi fakta tentang Puspita, Dana sudah lupa, jadi tak perlu diingat lagi. "Aku sendiri juga nggak tahu, namanya muncul begitu saja. Makanya aku tanya sama kamu, barangkali kamu kenal." Lidya terdengar mengehela nafar panjang. "Nanti aku tanya Dian, deh. Ada nggak karyawan yang namanya Puspita? Kalau pegawai di rumah sih, nggak ada yang namanya Puspita, Mas.""Bener, ya? Soalnya nama itu mengganggu banget, muncul terus dari tadi. Apa aku punya urusan yang belum selesai dengan orang yang bernama Puspita ini, ya? Tapi anehnya aku tidak ingat sama sekali tentang Puspita ini, setiap aku coba untuk mengingat-ingat, kepalaku rasanya sakit luar biasa. ""Nggak usah diingat-ingat kalau begitu, b
Lima tahun berlalu, segala sesuatu yang berhubungan dengan Puspita telah terlupakan oleh Dana. Laki-laki itu kembali menjalani hidupnya sebagai suami Lidya, semua aktivitasnya kembali seperti sedia kala, sebelum kehadiran Puspita. Lidya sengaja menyuap dokter untuk tidak memberi tahu Dana, tentang amnesia yang dialaminya. Dana juga tidak pernah menjalani terapi untuk memulihkan ingatan, karena Lidya tak menginginkannya. Baginya lebih baik Dana amnesia selamanya, melupakan Puspita. Toh Amnesia yang dialami Dana tak merugikan dia. Dana tetap mampu memimpin perusahaan dengan baik, bahkan perusahaan milik Lidya makin berkembang. Hingga suatu hari, Dana datang mengunjungi restorannya yang dikelola Raska. Pria parlente itu melihat seorang anak laki-laki usia TK, yang sedang asik bermain lego di salah satu meja yang ada. Entah mengapa Dana tertarik dengan anak itu. Seperti ada kekuatan yang menariknya, Dana berjalan mendekati anak kecil tersebut. "Hai, boleh Om ikut duduk di sini?" Tanya
"Jadi, Lidya dalang semua ini," gumam Dana setelah mendengar cerita Raska. "Kenapa kamu tidak cerita sejak awal?" Dana menuntut jawaban. "kamu amnesia, Mas. Tidak ingat Puspita sama sekali, aku tidak bisa sembarangan memberimu informasi. Salah-salah amnesiamu makin parah. Sedangkan posisiku menjadi target pembunuhan, maka kuputuskan untuk merahasiakan semuanya. Karena bukan hanya kesalamatanku yang terancam, tapi Mbak Puspita dan anaknya juga dalam bahaya."Dana kembali teringat, saat Raska susah dihubungi dan susah ditemui. Rumahnya kosong, di restoran pun karyawannya tak ada yang tahu kemana Raska. Bahkan seluruh karyawan restoran, memanggil Raska dengan sebutan Pak Ahmad. Sampai akhirnya Dana bertemu Raska, dan mendapat penjelasan kalau sedang jadi target pembunuhan dan sengaja mengubah penampilan serta nama panggilan, agar sang pembunuh terkecoh. Awalnya Dana sempat meradang dan berniat menghabisi si pembunuh ini. Tapi Raska menolak, dia tak mau menyebutkan siapa orang yang ber
"Om, lihat ini! Bagus, kan?" Arbi antusias menunjukkan mainannya, pada Dana. Anak itu sibuk membongkar mainannya dari keranjang. Arbi senang bukan kepalang, dia yang selama ini hanya bisa main dengan uminya dan teman di sekolah, kini dapat teman bermain baru. Gimana nggak senang? Apalagi anak itu sudah lama merindukan sosok Ayah. "Iya, siapa yang beliin?" tanya Dana tak kalah antusias. "Umi, dong .... Ini bisa jalan sendiri lho, Om. Bisa nanjak, bisa belok, seru pokoknya! Tapi baterainya habis, jadi mogok, deh! Padahal larinya cepet lho, Om," adunya dengan bibir mengurucut. "Besok Om belikan beterai baru, mau" "Oh, ya?" Tanya Arbi antusias, yang ditanggapi Dana dengan anggukan. "Iya, bukan hanya baterai, tapi juga mobil-mobilan baru dan baa...nyak mainan. Arbi mau?" Anak itu mengangguk antusias. "Mau! Mau, Om!" Anak sekecil Arbi tentu tidak menolak diberi mainan baru, apalagi uminya yang biasanya membatasi interaksinya dengan orang lain itu, terlihat tak bereaksi apa-apa. "Kala
Puspita menghela nafas panjang, menghirup udara sebanyak-banyaknya, agar dadanya terasa lega, ketika mendapati Dana sudah berdiri di depan pintu. Suaminya nampak dari kantor langsung ke rumahnya, bisa dilihat dari pakaian yang dikenakan. Tapi bukan itu yang membuat Puspita harus me-recharge stock kesabarannya, tapi apa yang Dana bawa. Kardus besar yang entah apa isinya, masih ditambah lagi beberapa kardus yang diangkat oleh dua orang petugas. "Hai, Ta. Arbi mana? Aku bawa mainan, seperti janjiku semalam." Tanpa permisi, Dana langsung masuk saja ke rumah. Di ikuti dia laki-laki, yang Puspita yakin adalah karyawan Dana. Puspita hanya bisa geleng-geleng menyaksikan tingkah suaminya. Nampaknya ini hari yang penuh kejutan untuk Puspita, setelah kedatangan dua laki-laki berpakaian ala security, yang mengaku sebagai utusan Dana dan bertugas menjaga keamanan Puspita dan Arbi. Kini Dana datang membawa kejutan lagi. "Kayak mau buka toko mainan saja!" gerutu Puspita dalam hati. "Taruh saja
"Beb, gue lihat laki lo di McD." Tulis Ariana, salah satu teman sosialita Lidya. Lidya hanya terseyum kecil membaca pesan teman satu genknya ini. Dana ke McD? Di mana letak salahnya? "Tapi, Beb. Dia sama anak laki-laki, Beb." Kening Lidya mengerut membaca pesan kedua Ariana. Dana pergi ke McD dengan anak kecil? Anak siapa? Nggak mungkin anak Raska. Iparnya itu sudah lama menghilang, menurut cerita Mario, mayatnya dibuang bersama Puspita. Lagi pula sudah lama keluarga Raska meninggalkan kota ini. Dan seingat Lidya, anak Raska perempuan, bukan laki-laki. "Yang gue heran, Beb. Itu anak mukanya plek ketiplek muka laki, lo." "Jangan-jangan itu anak laki lo dengan selingkuhannya, Beb."Ariana benar-benar membuat suasana panas, dengan teganya mengompori Lidya agar mencurigai suaminya sendiri. Sudah menjadi rahasia umum, di kalangan sosialita itu meski terlihat akur di depan. Di belakang saling menjatuhkan, saling menjelek-jelekkan. -Kalau ada yang kena masalah, bakal jadi bahan ghibahan.
"Sebenarnya kita mau kemana sih, Mas?" Tanya Puspita penasaran, karena dari tadi Dana tidak mau terus terang, akan dibawa kemana anak istrinya itu. Puspita sudah tidak lagi memanggil Dana dengan sebutan 'Pak', melainkan 'Mas'. Dana yang minta, masa iya suami istri manggilnya kayak atasan bawahan. Akhirnya mereka sudah menikah resmi, secara agama dan negara. Meski hanya berlangsung di KUA, tanpa pesta."Beli mainan ya, Yah?" Sahut Arbi yang duduk di kursi belakang. "Bukan Sayang, kita akan ke suatu tempat yang spesial. Arbi pasti suka. Di sana ada banyak mainan," jawab Dana sambil terus fokus dengan setirnya. Meski sudah menjadi pemilik perusahaan yang go internasional, dengan kekayaan yang melimpah ruah. Dana tetap memilih hidup sederhana, tak menggunakan sopir dan body guard lagi. Bahkan di rumah hanya ada satu ART. "Ada es krim, nggak?" Tanya Arbi polos. Dana terkekeh, ditatapnya sang buah hati yang malam ini terlihat begitu tampan dan gagah memakai stelan tuxedo yang senada de
"Pak Dana mau kemana?" Puspita melontarkan pertanyaan pada laki-laki, yang tengah mematut diri di depan cermin itu. Wajar Puspita bertanya, sejak memutuskan meninggalkan kediaman Lidya, Dana juga absen masuk kantor. Laki-laki itu memutuskan untuk fokus pada restorannya. Tapi pagi ini, Dana terlihat rapi dengan jas dan dasi. Seperti saat dia masih jadi CEO dulu. "Ngantor, Ta. Banyak hal yang harus aku urus, perusahaan itu morat-marit sejak kutinggal," jawab Dana tanpa berpaling dari cermin. Sejak kematian Lidya, perusahaan dan semua aset secara otomatis jadi milik Dana, pewaris tunggalnya. Termasuk segala tanggung jawabnya. Dari pengurusan pemakaman Lidya, hingga pengajian selama tujuh hari berturut-turut menjadi urusan Dana. Kini saatnya dia kembali masuk kantor, mengembalikan kejayaan Sampoerno Tbk, seperti sebelum dia memutuskan untuk pergi "Jadi Bapak akan kembali bekerja di perusahaan itu? Kembali ke rumah Bu Lidya lagi?" Sebuah pertanyaan bernada keberatan. Sepertinya Puspi
Dana sedang membereskan mainan Arbi yang tercecer, dan memasukkannya ke dalam box besar. Sementara Puspita mengemas semua pakain dan barang pribadi miliknya, juga Arbi. Termasuk milik Dana juga, tentunya. Laki-laki itu biasa dilayani, mana bisa berkemas sendiri tanpa bantuan orang lain? Atau mungkin dia memang sedang manja, ingin diperhatikan Puspita, yang sejak mendengar kabar Lidya koma, jadi lebih pendiam. Mereka berencana pindah dari apartemen yang disewa Dana itu hari ini, selain karena merasa terlalu sempit untuk mereka bertiga dan tak cukup untuk menampung mainan Arbi. Dana merasa keadaan sudah cukup aman, si biang kerok sudah seminggu terkapar di rumah sakit tak sadarkan diri, dan Mario meringkuk di penjara. Jadi, apalagi yang ditakutkan? Lalu bagaimana dengan anak buah Mario? Mereka bekerja demi uang, jadi siapapun yang membayar, perintah siap dilaksanakan. "Wah, mainannya banyak banget, Yah? Gimana bawanya? Emang mobil Ayah muat?" Tanya bocah itu dengan polosnya. Dana te
Dana menatap iba wajah pucat penuh lebam, yang tergolek di atas ranjang. Kepalanya dibalut perban, ada jejak merah di sana. Tidak hanya ditangan, hidung dan saluran pembuangan Lidya pun, di pasangi selang. Kesombongan Lidya hilang sudah, bahkan bernafas pun dia butuh bantuan. Lidya pingsan, setelah terlibat perkelahian antar tahanan. Menurut penuturan petugas, Lidya tidak terima ketika salah seorang tahanan menjadikan dia bahan candaan. Dia yang dasarnya emosian, pun naik pitam. Tahanan itu di tonjok mukanya, lalu terjadilah perkelahian. Lidya yang baru masuk sel belum punya teman, jadi saat kejadian dia sendirian melawan beberapa tahanan di sel itu. Perkelahian tak imbang itu baru berhenti saat petugas melerai. Sayangnya kondisi Lidya sudah terlanjur babak belur dan pingsan, hingga terpaksa dilarikan ke rumah sakit. Lidya kena getahnya sekarang, kalau biasanya karyawan-karyawannya bersikap patuh dan selalu menuruti perintahnya, kini tak berkutik melawan penghuni sel yang bar-bar.
Puspita sudah terlihat rapi dengan baju rumahan, wajahnya sudah terlihat lebih segar, tak lagi pucat seperti pagi tadi. "Umi kangen banget ...." Puspita menyongsong sang anak yang baru saja pulang, lalu memeluknya erat. Diciuminya seluruh wajah Arbi tanpa sisa. Bukannya lebai atau berlebihan, kemarin dia pergi menemani Dana menghadiri sidang perceraian, lanjut ke rumah sakit berakhir di kantor polisi. Malam sekali dia baru sampai rumah, itu pun dalam keadaan payah. Belum sempat menyapa si anak, Arbi sudah pergi bersama ayahnya, dan baru pulang sore ini. Wajar, kan? Kalau Puspita merasa rindu, karena sebelumnya mereka terbiasa bersama. "Dari mana, sih? Kok, Umi ditinggal sendiri?" Puspita pura-pura merajuk. "Ikut Ayah, ketemu orang gila!" Ketus Arbi dengan wajah cemberut. Puspita mendongak, menatap suaminya yang berdiri di belakang Arbi, yydengan wajah penuh tanya. Dana melengos, pura-pura tak tahu kalau Puspita tengah menatapnya, meminta penjelasan maksud dari ucapan Arbi. "Ora
Lidya duduk di lantai memeluk lutut, tatap matanya kosong. Seperti ada hal berat yang sedang dia pikirkan. Meskipun Lidya bukan tipe orang suka menyesali perbuatannya, tapi kali ini berbeda. Dia benar-benar menyesal telah menghajar Puspita, hingga menyebabkan dia harus di tahan di ruang yang sama sekali tidak nyaman untuk tempat tinggal ini. Meski pengacara berjanji akan datang siang ini untuk membebaskan dia, tetap saja Lidya merasa nelangsa. Ditahan bersama orang-orang dengan strata sosial lebih rendah, membuat Lidya merasa jijik dan muak. Mereka jorok dan bau, entah berapa hari nggak mandi. Lidya sampai nggak betah kalau harus dekat mereka. Harusnya Lidya mendengar nasehat Mario kala itu. "Bu Lidya harus bisa menahan diri, jangan terbawa emosi. Ini tempat umum, kalau sampai ibu melakukan sesuatu, menganiaya atau sekedar memaki saja, bisa jadi alasan mereka untuk menjebloskan Ibu ke penjara." Begitu kata Mario, saat melihat Dana datang dengan menggandeng Puspita. Mario tahu betul
Puspita tak lagi mau bersandar di bahu Dana, meski kepalanya masih berdenyut nyeri, akibat pukulan dan jambakan yang Lidya layangkan kepadanya. Dia lebih memilih menyandarkan kepala di kaca sampingnya. Dia benar-benar marah pada Dana, ternyata semua ini sudah direncanakan suaminya itu. Rupanya Dana sengaja mengajak Puspita menghadiri sidang perceraiannya, untuk memancing emosi Lidya. Wanita itu pencemburu, dengan keberadaan Puspita di ruangan itu, membuat Lidya terpancing emosi dan menghajar Puspita. Meski rencana awalnya Dana akan pasang badan, untuk melindungi Puspita, agar dia saja yang jadi korban keganasan wanita itu. Tapi kenyataan tak seperti ekspektasinya, Puspita justru mengalami luka paling parah. Belum lagi cemoohan dari para wanita yang hadir di sana, menambah rasa malu. Apalagi tadi terlihat ada yang merekam kejadian itu, kalau terus diupload dan viral bagaimana? Bagi Puspita itu tak jadi masalah, toh dia jarang keluar. Tak punya teman atau circle di kota ini. Tapi Arbi
"Kok kesini, Pak?" Protes Puspita, setelah mobil yang dikendarai Dana berbelok, ke gedung pengadilan agama. Puspita pikir, Dana menyuruhnya berpakaian dan berdandan tak seperti biasanya, karena mau diajak jalan-jalan ke Mall. Mungkin Dana butuh merefresh hati dan pikiran. Di apartemen terus, tak kemana-mana kan, bosen juga. "Kamu harus temani aku sidang, Ta," jawab Dana, tanpa merasa bersalah karena tak jujur dari awal. "Ya, tapi buat apa? Nanti Bu Lidya marah-marah. Aku lagi yang kena," gerutu Puspita. Bibirnya sudah maju lima senti, tapi Dana tak ambil peduli. Dia tetap anteng di belakang setir, sambil matanya sibuk mencari tempat yang kosong untuk memarkirkan mobilnya. "Dah sampai. Yuk, turun!" Puspita bergeming, wajahnya ditekuk. Kalau dia ikut turun, pasti bertemu Lidya. Hal yang dia hindari dan takuti selama ini. "Kenapa? Takut? Kan, ada aku. Jadi, kamu nggak perlu khawatir atau menakutkan apapun. Kamu mau masalah kita segera selesai, kan?" Puspita mengangguk pelan. "Kalau
Dana menatap nanar gambar yang baru saja anak buahnya kirim. Dalam gambar tersebut, sosok laki-laki nampak baru keluar dari kediaman Lidya. Meski tidak terlalu jelas, tapi Dana tahu betul siapa laki-laki itu. Mario, si pembunuh berdarah dingin, yang tak punya belas kasih sama sekali. Dia akan menjalankan tugasnya dengan baik, setelah kesepakatan terjadi. Kepala Dana berdenyut nyeri, memikirkan masalah baru yang membelit. Dia tahu betul bagaimana kinerja Mario, sangat rapi dan sulit terdeteksi. Dana harus apa? Tak mungkin terus menerus bersembunyi, mau sampai kapan? Puspita dan anaknya juga butuh hidup normal. Terang-terangan menghadapi Mario, adu strategi sekaligus adu otot. Itu artinya butuh uang yang tak sedikit, sedangkan dia sudah tidak lagi menjadi CEO perusahaan milik Lidya. Ah, tak apa. Dia masih punya penghasilan dari restorannya. Meski tak sebesar perusahaan Lidya, tapi lebih dari cukup untuk memenuhi segala kebutuhan Dana. Diliriknya Arbi yang sudah terlelap, dirinya vers