"Om, lihat ini! Bagus, kan?" Arbi antusias menunjukkan mainannya, pada Dana. Anak itu sibuk membongkar mainannya dari keranjang. Arbi senang bukan kepalang, dia yang selama ini hanya bisa main dengan uminya dan teman di sekolah, kini dapat teman bermain baru. Gimana nggak senang? Apalagi anak itu sudah lama merindukan sosok Ayah. "Iya, siapa yang beliin?" tanya Dana tak kalah antusias. "Umi, dong .... Ini bisa jalan sendiri lho, Om. Bisa nanjak, bisa belok, seru pokoknya! Tapi baterainya habis, jadi mogok, deh! Padahal larinya cepet lho, Om," adunya dengan bibir mengurucut. "Besok Om belikan beterai baru, mau" "Oh, ya?" Tanya Arbi antusias, yang ditanggapi Dana dengan anggukan. "Iya, bukan hanya baterai, tapi juga mobil-mobilan baru dan baa...nyak mainan. Arbi mau?" Anak itu mengangguk antusias. "Mau! Mau, Om!" Anak sekecil Arbi tentu tidak menolak diberi mainan baru, apalagi uminya yang biasanya membatasi interaksinya dengan orang lain itu, terlihat tak bereaksi apa-apa. "Kala
Puspita menghela nafas panjang, menghirup udara sebanyak-banyaknya, agar dadanya terasa lega, ketika mendapati Dana sudah berdiri di depan pintu. Suaminya nampak dari kantor langsung ke rumahnya, bisa dilihat dari pakaian yang dikenakan. Tapi bukan itu yang membuat Puspita harus me-recharge stock kesabarannya, tapi apa yang Dana bawa. Kardus besar yang entah apa isinya, masih ditambah lagi beberapa kardus yang diangkat oleh dua orang petugas. "Hai, Ta. Arbi mana? Aku bawa mainan, seperti janjiku semalam." Tanpa permisi, Dana langsung masuk saja ke rumah. Di ikuti dia laki-laki, yang Puspita yakin adalah karyawan Dana. Puspita hanya bisa geleng-geleng menyaksikan tingkah suaminya. Nampaknya ini hari yang penuh kejutan untuk Puspita, setelah kedatangan dua laki-laki berpakaian ala security, yang mengaku sebagai utusan Dana dan bertugas menjaga keamanan Puspita dan Arbi. Kini Dana datang membawa kejutan lagi. "Kayak mau buka toko mainan saja!" gerutu Puspita dalam hati. "Taruh saja
"Beb, gue lihat laki lo di McD." Tulis Ariana, salah satu teman sosialita Lidya. Lidya hanya terseyum kecil membaca pesan teman satu genknya ini. Dana ke McD? Di mana letak salahnya? "Tapi, Beb. Dia sama anak laki-laki, Beb." Kening Lidya mengerut membaca pesan kedua Ariana. Dana pergi ke McD dengan anak kecil? Anak siapa? Nggak mungkin anak Raska. Iparnya itu sudah lama menghilang, menurut cerita Mario, mayatnya dibuang bersama Puspita. Lagi pula sudah lama keluarga Raska meninggalkan kota ini. Dan seingat Lidya, anak Raska perempuan, bukan laki-laki. "Yang gue heran, Beb. Itu anak mukanya plek ketiplek muka laki, lo." "Jangan-jangan itu anak laki lo dengan selingkuhannya, Beb."Ariana benar-benar membuat suasana panas, dengan teganya mengompori Lidya agar mencurigai suaminya sendiri. Sudah menjadi rahasia umum, di kalangan sosialita itu meski terlihat akur di depan. Di belakang saling menjatuhkan, saling menjelek-jelekkan. -Kalau ada yang kena masalah, bakal jadi bahan ghibahan.
Roni memacu motor sport milik bosnya itu, dengan kecepatan tinggi. Meski sebenarnya enggan, tetap saja dia melaksanakan perintah Lidya. Wanita itu benar-benar tidak mau dibantah.Membuntuti Dana? Yang benar saja, selain menyetir Roni tak punya ketrampilan lain. Apalagi jadi spionase macam ini. Lihat saja! penampilannya Hoodie hitam, kacamata hitam, dan masker demi menjalankan aksinya. Roni sudah merasa seperti Sinichi Kudo saja. Roni baru saja hendak berbelok, menuju mall yang dimaksud Lidya. Saat tiba-tiba dia melihat mobil Dana keluar dari area parkir mall tersebut. Tak ingin kehilangan jejak, Roni segera berputar, dan mengikuti kemana mobil bosnya itu pergi. Nampak dari belakang di samping Dana ada anak kecil. Tentu ini menjadi pertanyaan Roni. Bosnya itu meski kadang rada songong, tapi nggak pernah main perempuan. Satu-satunya perempuan lain Dana, ya Puspita. Tapi perempuan itu sudah lama menghilang, jadi siapa ibu anak itu? Selama ini Dana tak pernah akrab dengan anak siapapun
Roni menatap Dana, meminta ijin mengangkat panggilan, yang dia yakini dari istri bosnya. "Angkat, Ron! Jangan katakan kalau aku sudah tahu rencana busuknya!" Ucap Dana, seolah tahu isi hati Roni. Roni mengangguk, mengambil ponsel dari sakunya, lalu mengangkat panggilan."Load speaker, Ron!" Ucap Dana, sebelum Roni menempelkan benda pintar itu di telinganya. "Halo! Gimana, Ron? Sudah ada perkembangan, belum? Kamu sudah tahu siapa perempuan itu?" Lidya langsung mencerca Roni dengan banyak pertanyaan, begitu panggilan diangkat. "Belum, Nyonya. Rumah itu masih tertutup dan Pak Dana ataupun wanita itu tidak keluar dari tadi." Terdengar Lidya menghela nafas. "Kalau begitu kamu awasi terus, sampai Mas Dana pulang!" "Siap, Nyonya. Siap! Ada lagi?""Kamu share lock, kalau begitu! Saya mau kesana sekarang! Nggak sabar aku pengen menghajar pelakor itu!" Roni menatap Dana yang dari terus mengawasi percakapannya. "Jangan sekarang, Nyonya. Besok saja ibu datang ke sini, itu Pak Dana terlihat
Lidya baru saja turun dari tangga lantai dua rumahnya, ketika satpam datang menghadap, dengan membawa amplop warna putih. "Selamat pagi, Nyonya. Maaf, saya mau menyampaikan ini." Usai berkata, satpam itu mengosongkan amplop pada sang Nyonya. Lidya melirik sekilas amplop di tangan si satpam. "Apa itu?" Tanya Lidya tanpa menjawab sapaan satpam rumahnya. "Surat dari pengadilan agama, Nyonya," jawab satpam apa adanya. Dia tahu, kalau yang dia bawa itu adalah awal petaka baru, bagi rumah tangga bosnya. Mendengar kata pengadilan agama, secepat kilat Lidya menyambar amplop, lalu menyobeknya kasar. Dada Lidya turun naik, begitu membacanya. Itu adalah surat panggilan sidang pertama, yang ber-agendakan pembacaan tuntutan. "Sialan!" Dilemparnya amplop itu ke muka si satpam. Tak pernah Lidya sangka, rumah tangganya yang terlihat adem-adem saja selama lima tahun terakhir ini, berada di ujung tanduk. Dana yang kehilangan sebagian ingatannya, selama ini bersikap baik. Tak lagi menuntut Lidya u
Lidya kaget, mendapati Dana sudah berada di kamar, dan sedang mengemas pakaian dan beberapa barang pribadinya ke dalam koper. Jauh-jauh dia mendatangi rumah selingkuhan Dana, bermaksud melabrak dan mempermalukan keduanya, kalau perlu memviralkan perselingkuhan mereka. Netizen Indonesia paling benci pada pelakor dan pro pada istri sah. Lidya ingin memberi sanksi sosial pada wanita simpanan Dana itu. Tapi usahanya gagal, rumah itu dalam keadaan kosong. Tak putus asa, Lidya menyambangi Dana di kantornya. Nihil, Dana tak berada di tempat. Staf, bahkan asisten pribadinya tak tahu di mana Dana berada. Pria itu mangkir dari tugasnya sebagai CEO, tanpa kabar berita. Tiba-tiba Dana sudah berada di kamarnya, dan terlihat sudah siap pergi. Ini kejutan untuk Lidya. Dia pikir Dana kabur lagi seperti dulu. Lidya bahkan sudah ancang-ancang membayar orang, untuk mencari Dana dan wanita simpanannya. Eh, tiba-tiba orangnya datang sendiri. "Sudah ketemu yang kamu cari, Lidya?" sindir Dana, sambil men
"Wah ..., ini bagus banget, Yah," ucap arbi dengan binar kagum, menatap mainan baru yang dibawa sang Ayah. Setelah banyak menghabiskan waktu bersama, bermain, ngobrol bahkan jalan berdua. Arbi sudah terbiasa menyebut Dana dengan panggilan Ayah. Dana yang minta, lama-lama jengah juga dipanggil "Om" anak sendiri. "Kok Ayah?" tanya Arbi bingung. Dia yang selama ini terbiasa hidup berdua dengan uminya tanpa sosok ayah, tentu saja kaget saat Dana memintanya memanggil "Ayah"."Karena Om ini, memang ayahnya Arbi?" jelas Dana sekenanya. "Umi bilang ayahku nggak mau punya anak reseh dan cerewet kayak aku. Terus, kalau memang Om Dana ayahku, kenapa baru sekarang datang? Teman-temanku lho, ayahnya tinggal di rumah, antar jemput sekolah. Tapi Om Dana kok, enggak?" Dana garuk-garuk kepala sambil nyengir lebar. Benar kata Puspita, Arbi memang cerewet. Persis Puspita. "Itu karena Ayah harus kerja, cari duit yang banyak buat beli mainan untuk Arbi." Bocah itu memegang dagu, kepalanya terangguk-
"Sebenarnya kita mau kemana sih, Mas?" Tanya Puspita penasaran, karena dari tadi Dana tidak mau terus terang, akan dibawa kemana anak istrinya itu. Puspita sudah tidak lagi memanggil Dana dengan sebutan 'Pak', melainkan 'Mas'. Dana yang minta, masa iya suami istri manggilnya kayak atasan bawahan. Akhirnya mereka sudah menikah resmi, secara agama dan negara. Meski hanya berlangsung di KUA, tanpa pesta."Beli mainan ya, Yah?" Sahut Arbi yang duduk di kursi belakang. "Bukan Sayang, kita akan ke suatu tempat yang spesial. Arbi pasti suka. Di sana ada banyak mainan," jawab Dana sambil terus fokus dengan setirnya. Meski sudah menjadi pemilik perusahaan yang go internasional, dengan kekayaan yang melimpah ruah. Dana tetap memilih hidup sederhana, tak menggunakan sopir dan body guard lagi. Bahkan di rumah hanya ada satu ART. "Ada es krim, nggak?" Tanya Arbi polos. Dana terkekeh, ditatapnya sang buah hati yang malam ini terlihat begitu tampan dan gagah memakai stelan tuxedo yang senada de
"Pak Dana mau kemana?" Puspita melontarkan pertanyaan pada laki-laki, yang tengah mematut diri di depan cermin itu. Wajar Puspita bertanya, sejak memutuskan meninggalkan kediaman Lidya, Dana juga absen masuk kantor. Laki-laki itu memutuskan untuk fokus pada restorannya. Tapi pagi ini, Dana terlihat rapi dengan jas dan dasi. Seperti saat dia masih jadi CEO dulu. "Ngantor, Ta. Banyak hal yang harus aku urus, perusahaan itu morat-marit sejak kutinggal," jawab Dana tanpa berpaling dari cermin. Sejak kematian Lidya, perusahaan dan semua aset secara otomatis jadi milik Dana, pewaris tunggalnya. Termasuk segala tanggung jawabnya. Dari pengurusan pemakaman Lidya, hingga pengajian selama tujuh hari berturut-turut menjadi urusan Dana. Kini saatnya dia kembali masuk kantor, mengembalikan kejayaan Sampoerno Tbk, seperti sebelum dia memutuskan untuk pergi "Jadi Bapak akan kembali bekerja di perusahaan itu? Kembali ke rumah Bu Lidya lagi?" Sebuah pertanyaan bernada keberatan. Sepertinya Puspi
Dana sedang membereskan mainan Arbi yang tercecer, dan memasukkannya ke dalam box besar. Sementara Puspita mengemas semua pakain dan barang pribadi miliknya, juga Arbi. Termasuk milik Dana juga, tentunya. Laki-laki itu biasa dilayani, mana bisa berkemas sendiri tanpa bantuan orang lain? Atau mungkin dia memang sedang manja, ingin diperhatikan Puspita, yang sejak mendengar kabar Lidya koma, jadi lebih pendiam. Mereka berencana pindah dari apartemen yang disewa Dana itu hari ini, selain karena merasa terlalu sempit untuk mereka bertiga dan tak cukup untuk menampung mainan Arbi. Dana merasa keadaan sudah cukup aman, si biang kerok sudah seminggu terkapar di rumah sakit tak sadarkan diri, dan Mario meringkuk di penjara. Jadi, apalagi yang ditakutkan? Lalu bagaimana dengan anak buah Mario? Mereka bekerja demi uang, jadi siapapun yang membayar, perintah siap dilaksanakan. "Wah, mainannya banyak banget, Yah? Gimana bawanya? Emang mobil Ayah muat?" Tanya bocah itu dengan polosnya. Dana te
Dana menatap iba wajah pucat penuh lebam, yang tergolek di atas ranjang. Kepalanya dibalut perban, ada jejak merah di sana. Tidak hanya ditangan, hidung dan saluran pembuangan Lidya pun, di pasangi selang. Kesombongan Lidya hilang sudah, bahkan bernafas pun dia butuh bantuan. Lidya pingsan, setelah terlibat perkelahian antar tahanan. Menurut penuturan petugas, Lidya tidak terima ketika salah seorang tahanan menjadikan dia bahan candaan. Dia yang dasarnya emosian, pun naik pitam. Tahanan itu di tonjok mukanya, lalu terjadilah perkelahian. Lidya yang baru masuk sel belum punya teman, jadi saat kejadian dia sendirian melawan beberapa tahanan di sel itu. Perkelahian tak imbang itu baru berhenti saat petugas melerai. Sayangnya kondisi Lidya sudah terlanjur babak belur dan pingsan, hingga terpaksa dilarikan ke rumah sakit. Lidya kena getahnya sekarang, kalau biasanya karyawan-karyawannya bersikap patuh dan selalu menuruti perintahnya, kini tak berkutik melawan penghuni sel yang bar-bar.
Puspita sudah terlihat rapi dengan baju rumahan, wajahnya sudah terlihat lebih segar, tak lagi pucat seperti pagi tadi. "Umi kangen banget ...." Puspita menyongsong sang anak yang baru saja pulang, lalu memeluknya erat. Diciuminya seluruh wajah Arbi tanpa sisa. Bukannya lebai atau berlebihan, kemarin dia pergi menemani Dana menghadiri sidang perceraian, lanjut ke rumah sakit berakhir di kantor polisi. Malam sekali dia baru sampai rumah, itu pun dalam keadaan payah. Belum sempat menyapa si anak, Arbi sudah pergi bersama ayahnya, dan baru pulang sore ini. Wajar, kan? Kalau Puspita merasa rindu, karena sebelumnya mereka terbiasa bersama. "Dari mana, sih? Kok, Umi ditinggal sendiri?" Puspita pura-pura merajuk. "Ikut Ayah, ketemu orang gila!" Ketus Arbi dengan wajah cemberut. Puspita mendongak, menatap suaminya yang berdiri di belakang Arbi, yydengan wajah penuh tanya. Dana melengos, pura-pura tak tahu kalau Puspita tengah menatapnya, meminta penjelasan maksud dari ucapan Arbi. "Ora
Lidya duduk di lantai memeluk lutut, tatap matanya kosong. Seperti ada hal berat yang sedang dia pikirkan. Meskipun Lidya bukan tipe orang suka menyesali perbuatannya, tapi kali ini berbeda. Dia benar-benar menyesal telah menghajar Puspita, hingga menyebabkan dia harus di tahan di ruang yang sama sekali tidak nyaman untuk tempat tinggal ini. Meski pengacara berjanji akan datang siang ini untuk membebaskan dia, tetap saja Lidya merasa nelangsa. Ditahan bersama orang-orang dengan strata sosial lebih rendah, membuat Lidya merasa jijik dan muak. Mereka jorok dan bau, entah berapa hari nggak mandi. Lidya sampai nggak betah kalau harus dekat mereka. Harusnya Lidya mendengar nasehat Mario kala itu. "Bu Lidya harus bisa menahan diri, jangan terbawa emosi. Ini tempat umum, kalau sampai ibu melakukan sesuatu, menganiaya atau sekedar memaki saja, bisa jadi alasan mereka untuk menjebloskan Ibu ke penjara." Begitu kata Mario, saat melihat Dana datang dengan menggandeng Puspita. Mario tahu betul
Puspita tak lagi mau bersandar di bahu Dana, meski kepalanya masih berdenyut nyeri, akibat pukulan dan jambakan yang Lidya layangkan kepadanya. Dia lebih memilih menyandarkan kepala di kaca sampingnya. Dia benar-benar marah pada Dana, ternyata semua ini sudah direncanakan suaminya itu. Rupanya Dana sengaja mengajak Puspita menghadiri sidang perceraiannya, untuk memancing emosi Lidya. Wanita itu pencemburu, dengan keberadaan Puspita di ruangan itu, membuat Lidya terpancing emosi dan menghajar Puspita. Meski rencana awalnya Dana akan pasang badan, untuk melindungi Puspita, agar dia saja yang jadi korban keganasan wanita itu. Tapi kenyataan tak seperti ekspektasinya, Puspita justru mengalami luka paling parah. Belum lagi cemoohan dari para wanita yang hadir di sana, menambah rasa malu. Apalagi tadi terlihat ada yang merekam kejadian itu, kalau terus diupload dan viral bagaimana? Bagi Puspita itu tak jadi masalah, toh dia jarang keluar. Tak punya teman atau circle di kota ini. Tapi Arbi
"Kok kesini, Pak?" Protes Puspita, setelah mobil yang dikendarai Dana berbelok, ke gedung pengadilan agama. Puspita pikir, Dana menyuruhnya berpakaian dan berdandan tak seperti biasanya, karena mau diajak jalan-jalan ke Mall. Mungkin Dana butuh merefresh hati dan pikiran. Di apartemen terus, tak kemana-mana kan, bosen juga. "Kamu harus temani aku sidang, Ta," jawab Dana, tanpa merasa bersalah karena tak jujur dari awal. "Ya, tapi buat apa? Nanti Bu Lidya marah-marah. Aku lagi yang kena," gerutu Puspita. Bibirnya sudah maju lima senti, tapi Dana tak ambil peduli. Dia tetap anteng di belakang setir, sambil matanya sibuk mencari tempat yang kosong untuk memarkirkan mobilnya. "Dah sampai. Yuk, turun!" Puspita bergeming, wajahnya ditekuk. Kalau dia ikut turun, pasti bertemu Lidya. Hal yang dia hindari dan takuti selama ini. "Kenapa? Takut? Kan, ada aku. Jadi, kamu nggak perlu khawatir atau menakutkan apapun. Kamu mau masalah kita segera selesai, kan?" Puspita mengangguk pelan. "Kalau
Dana menatap nanar gambar yang baru saja anak buahnya kirim. Dalam gambar tersebut, sosok laki-laki nampak baru keluar dari kediaman Lidya. Meski tidak terlalu jelas, tapi Dana tahu betul siapa laki-laki itu. Mario, si pembunuh berdarah dingin, yang tak punya belas kasih sama sekali. Dia akan menjalankan tugasnya dengan baik, setelah kesepakatan terjadi. Kepala Dana berdenyut nyeri, memikirkan masalah baru yang membelit. Dia tahu betul bagaimana kinerja Mario, sangat rapi dan sulit terdeteksi. Dana harus apa? Tak mungkin terus menerus bersembunyi, mau sampai kapan? Puspita dan anaknya juga butuh hidup normal. Terang-terangan menghadapi Mario, adu strategi sekaligus adu otot. Itu artinya butuh uang yang tak sedikit, sedangkan dia sudah tidak lagi menjadi CEO perusahaan milik Lidya. Ah, tak apa. Dia masih punya penghasilan dari restorannya. Meski tak sebesar perusahaan Lidya, tapi lebih dari cukup untuk memenuhi segala kebutuhan Dana. Diliriknya Arbi yang sudah terlelap, dirinya vers