Sudah satu minggu Darren tinggal di Jakarta. Rossi sama sekali tidak bertanya kabar dan sebagainya. Pun sebaliknya. Wanita paruh baya itu justru tampil beda dari biasanya. Ia mengenakan pakaian lebih rapi dan merias diri. Lebih tepatnya, ia berpenampilan seperti dahulu, berkelas. "Pagi, Bu," sapa seseorang kepada Rossi. "Iya, pagi," balas Rossi tanpa menoleh. Ia fokus dengan buku yang sedang ia periksa."Ibu tampak cantik sekali."Rossi terdiam. Suara itu sangat tidak asing baginya. Ia pun mendongak. "Astaga, Arini! Apa kabar, Nak?" Rossi berdiri dan mendekati Arini. "Baik, Bu. Sangat baik."Keduanya berpelukan sambil bertanya kabar. Dua wanita berbeda generasi itu memilih berbincang di sofa yang ada pojok ruangan. "Rini masih jadi karyawan toko ini, kan?"Rossi tersenyum. "Tentu, tapi ... apa orang tuamu mengizinkan?"Orang Tua Arini justru meminta sang putri untuk bertanggungjawab terhadap pekerjaannya karena memang tidak ada ucapan dari Arini untuk mengundurkan diri kepada Ros
Tiba di rumah, Darren merebahkan diri sejenak. Ia akan kembali ke Jakarta untuk menemui Abimanyu perihal pertemuannya dengan keluarga Bagas. Ponsel Darren berbunyi pertanda satu panggilan masuk. Darren mengernyit karena nomor yang tidak ia kenali menghubungi. Maklum, ia hanya menyimpan nomor Rossi dan Thalita saja. Tidak ada yang tahu dengan nomor ponselnya selain mereka. Jarinya hendak menggeser gambar ponsel berwarna merah. Namun, ia urungkan. Digesernya gambar warnah hijau dan menjawab panggilan. "Halo," sapanya. "Akhirnya diangkat juga," kata seorang perempuan. "Maaf, ini siapa?"Rupanya Angelina. Ia tahu nomor Darren dari ponsel Thalita. Wanita paruh baya itu menghubunginya karena Thalita terus memanggil nama Darren. "Maaf, merepotkan. Bisakah bicara kepada Thalita? Apa saja. Yang penting Thalita bisa tenang.""Bisa, Tante. Dekatkan saja ponselnya."Darren meminta Thalita untuk beristirahat. Meskipun dirinya jauh, tetapi dekat di hati. Jika merasa sepi, lihatlah foto dirin
Mendengar cerita ibunya, membuat Darren merasa senang sekaligus kecewa. Senang karena sebenarnya masih memiliki ayah. Kecewa karena ternyata sang ayah lebih memilih wanita lain. Darren memaklumi saat dahulu ibunya mengatakan jika ia tidak memiliki ayah kalaulah itu alasannya. "Jadi, nama Ibu adalah Nindy?" tanya Darren. "Iya, nama Ibu Nindy. Tapi, Ibu lebih senang dengan nama Ibu yang sekarang. Karena selama menjadi Rossi hidup Ibu sangat bahagia. Hanya hidup berdua denganmu tanpa ada yang mengganggu. Ibu selalu bersama berharap kamu tidak dipertemukan dengan keluarga ini. Tapi, Tuhan berkata lain."Darren menatap Sadewo. "Jadi, Tuan ini adalah ayahku?""Tidak! Nindy sudah berbohong!" seru Olivia. "Benar!" timpal Abimanyu. Olivia menatap tajam Abimanyu, tetapi Abimanyu tidak peduli. Tidak ingin dipersalahkan, akhirnya Abimanyu membongkar kebusukan Olivia. "Foto dan video itu adalah editan. Olivia meminta seseorang untuk melakukan itu demi memilikimu, Dewo. Semula aku tidak tau. T
Tiba di rumah, Rossi segera beristirahat. Badan tidaklah lelah, tetapi luka di hati yang berhasil ia tutup rapat selama puluhan tahun kembali menganga. Kejadian masa itu kembali berputar di otaknya kala Abimanyu membeberkan semua. Rossi duduk di ranjang sambil bersandar. Matanya terpejam seraya menarik napas panjang. Ada rasa lega karena rahasia selama puluhan tahun yang ia tutupi akhirnya terungkap semua. Tok tok tok! Ketukan pintu mencuri perhatian Rossi. "Masuklah, tidak dikunci!"Darren membuka daun pintu, tetapi hanya mematung sambil menatap Rossi seolah-olah ragu untuk masuk. "Ke marilah, Nak!" pinta Rossi. "Belum tidur?" lanjutnya bertanya. Darren menggeleng. Rossi menepuk ruang kosong di sampingnya. Darren yang mengerti maksud sang ibu bergegas naik. "Tidurlah!" titah Rossi sambil menepuk pahanya. Darren merebahkan diri beralaskan paha sang ibu. Rossi mengelus kepala Darren dengan sayang, kemudian berkata, "Maafkan Ibu, Nak. Bertahun-tahun Ibu menyembunyikan siapa a
Seminggu telah berlalu. Ucapan Rossi ternyata tidak main-main. Kasus tabrak lari yang menimpa Darren ia laporkan kepada pihak berwenang dan menyerahkan semua kepada kuasa hukumnya. "Ge, kita sarapan, Nak," ajak Rossi sambil mengetuk pintu kamar Darren.Hening. Tidak ada jawaban dari Darren. Lagi, Rossi memanggil dan mengetuk pintu. Hasilnya nihil. Tidak ada jawaban dari dalam. Rossi memegang tuas pintu dan mendorongnya. Beruntung, Darren tidak menguncinya dan dengan leluasa Rossi bisa masuk. "Loh, belum bangun ternyata," gumamnya sambil menghampiri. "Ge, bang-" Rossi tidak melanjutkan ucapannya karena tangannya merasakan panas saat memegang tangan Darren. "Astaga! Kamu demam, Nak?"Tampak keringat di kening Darren. Samar terdengar Darren menyebut nama Thalita. Rossi menepuk pelan pipi sang putra. "Ge, bangun, Nak."Tanpa sadar, Darren menggenggam tangan Rossi. "Thalita, jangan tinggalin Kakak."Rossi menghela napas dan terus mencoba membangunkan Darren. Tidak berselang lama, a
Setelah mengetahui maksud kedatangan Sadewo, Rossi memilih kembali ke kamar. Ia tidak menyangka jika Sadewo benar-benar menepati janji, bahwasanya jika ia memiliki seorang putra maka akan dijadikan sebagai penerus keluarga Kuncoro. "Tidak terbayangkan kalau Bagas anak kandung Sadewo. Sebelum putraku mati pasti akan terus ia kejar," gumam Rossi. Terdengar suara ketukan pintu diiringi lengkingan memanggil namanya, membuat Rossi beranjak untuk membuka pintu. "Ada apa, Ge?""Tuan Sadewo mengajak Ge untuk ke luar. Katanya biar lebih akrab. Boleh?""Kamu lagi sakit. Masa dia tidak mengerti."Darren mengerti dengan ucapan Rossi yang berarti ia tidak mengizinkan. Pria itu hendak berbalik badan, tetapi ia urungkan. "Emm ... Bu, apa boleh Ge memanggilnya ayah? Yah ... memang, sih, rasa kecewa, sakit hati, masih ada untuknya, Bu. Hanya saja jika suatu saat nanti rasa itu hilang, mungkin Ge akan memanggilnya ayah."Sejenak Rossi terdiam. Ingin rasanya Darren hanya sebatas tahu saja jika Sadew
Darren kembali ke rumah kala hari sudah petang. Keputusan dan kesepakatannya dengan Sadewo ia ceritakan kepada Rossi. "Jika itu sudah keputusanmu, Ibu bisa apa. Ibu hanya mendukungmu. Ingat! Jadi pemimpin itu harus adil dan amanah. Jangan mentang-mentang kamu pemilik perusahaan lantas memperlakukan bawahan seenaknya saja."Berbagai wejangan Darren Terima dari Rossi. "Oh, iya, toko kue cabang, bagaimana? Ibu dapat kabar katanya di sana maju pesat.""Biarkan ayah Arini saja yang mengelola, Bu. Bagaimana menurut Ibu?"Rossi menyetujui pendapat Darren. Tidak membuang waktu lama, ia menghubungi ayah Arini. Kesepakatan antara kedua belah pihak terjadi. Sambungan telepon pun terputus. Ibu dan anak itu memutuskan untuk beristirahat sejenak sebelum makan malam. Makan malam tiba. Suasana kala itu terasa sangat berbeda. Rossi harus siap menerima kesendirian di mana dirinya harus berjauhan dengan sang putra. "Ibu kenapa?" tanya Darren. "Ah, tidak kenapa-napa, Nak. Kapan kamu ke ibu kota?"
Rapat telah usai. Darren dan Sadewo segera ke ruangan. Sadewo menunjukkan semua dokumen-dokumen penting perusahaan yang ia simpan di dalam brankas. Satu demi satu dokumen itu ia pelajari sambil menunggu dokumen bagian marketing. "Kamu akan mengadakan meeting dengan tim marketing?" tanya Sadewo. "Tentu saja Ayah." Tanpa sadar Darren memanggil Sadewo dengan sebutan itu membuat Darren membeku. Mendengar hal itu tentu saja membuat Sadewo senang. "Ucapkan sekali lagi, Nak!"Darren tergagap. "Emm ... ma-maksudnya, Tuan."Sadewo mencoba tersenyum. Dokumen dari bagian marketing sudah tersedia, tetapi waktu sudah menunjukan jam pulang. "Saatnya pulang," kata Sadewo. "Tapi, belum selesai. Mungkin, akan lembur.""Tidak perlu, Papa ... Eh, Ayah akan mengajakmu ke rumah utama."Darren terdiam. "Emm ... maaf, mungkin nanti akan menyusul."Sadewo mengernyit. Darren tidak akan lembur, tetapi ia bersiap untuk pulang. "Mau ke mana?"Darren menjawab jika dirinya akan menemui seseorang. "Baikl
Pagi itu matahari bersinar terik. Saatnya si bayi berjemur setelah mandi. Rossi dengan penuh kehati-hatian menggendong sang cucu sambil menimang agar bayi itu tenang. "Jangan biarkan matanya langsung terkena sinar matahari, ya, Nak," kata Rossi. "Iya, Bu. Nanti Lita beli kain penutup matanya, kok."Dirasa cukup, mereka membawa sang bayi ke kamar. Setelah selesai memakai baju dan disusui, bayi itu pun tertidur. Thalita yang tidak tega meninggalkan bayinya sendiri di kamar selama ia sarapan, akhirnya membawa ayunan rotan. "Pulas sekali tidurnya," ucap Darren sembari melihat bayinya. "Iya, kita berisik juga dia tidak merasa terganggu," kata Sadewo. "Enak mungkin. Udah anget, udah mimik pula," kata Thalita. Darren menarik kursi di samping Thalita. "Papanya juga kalo di kasih mimik tidurnya pulasss."Thalita menyikut lengan Darren. "Apa, sih, Yang?" Darren berlaga polos. Thalita tersenyum diiringi mata yang melotot. Rossi dan Sadewo hanya terkekeh-kekeh. "Bisa habis jatah susu Th
Setiap harinya, dengan sabar dan telaten Thalita memompa ASI-nya. Setiap hari pula sang suami akan mengantarkan ASI itu ke rumah sakit. Hampir satu bulan mereka melakukan itu. Seperti pagi itu, Darren siap mengantarkan ASI untuk sang bayi. "Kakak, aku ikut!" teriak Thalita saat Darren baru saja membuka pintu mobil. "Sayang, tunggu saja di rumah," ucap Darren. Darren mengernyit melihat tas bayi yang dibawa oleh Thalita. "Apa itu?""Baju bayi'lah. Kan, hari ini putriku pulang."Darren tersenyum. "Kata siapa, hem?"Thalita menunjuk dadanya dan berkata, "Hati seorang Ibu mengatakan bahwa hari ini juga dia pulang."Tidak ingin merusak suasana hati sang istri, akhirnya Darren memperbolehkan Thalita ikut. Darren tidak memungkiri bahwasanya naluri seorang ibu itu selalu benar. Oleh karena itu Darren memutuskan untuk menggunakan jasa sopir dan mengganti mobil sport miliknya dengan mobil keluarga. Di perjalanan, tak hentinya Thalita mengukir senyum sambil memeluk Darren. "Seneng banget, si
Suka dan duka Thalita lewati selama menjalani kehamilan. Pun dengan Darren. Pria itu dibuat pusing bukan kepalang saat memenuhi keinginan istrinya itu. Bagaimana tidak? Terkadang, pada malam hari Thalita meminta Darren untuk memanjat pohon mangga dan memetiknya tanpa sepengatahuan pemiliknya. Menurut Thalita itulah seninya dan menjadi kebanggaan ketika memakannya. Namun, tanpa sepengetahuan Thalita pula, pada siang harinya Darren bicara kepada sang pemilik bahkan membayarnya. Entah mau jadi apa anaknya nanti. Pencuri? Darren selalu membuang jauh-jauh pikiran itu. Belum lagi cerita di siang hari. Tepat matahari sedang terik-teriknya, Thalita meminta Darren ke luar kantor mengenakan mantel tebal. Ditambah harus membeli atau membuat makanan yang menurut Darren tidak masuk akal. Meskipun demikian, Darren tetap merasa bahagia dan tetap mengabulkan permintaan sang istri. Itu cerita Darren lima bulan lalu. Kini, usia kehamilan Thalita menginjak delapan bulan. Hanya saja, Thalita bersikeras
Darren duduk tepat di samping Thalita. Ia terlihat cemas. "Bagaimana, Dok?"Dokter itu tersenyum. "Selamat, istri Tuan sedang mengandung."Darren tersenyum. Matanya berkaca, kemudian kembali bertanya, "Benarkah?""Iya. Untuk memastikan berapa usia kandungannya, lebih baik segera lakukan USG."Darren menatap orang tuanya bergantian. "Sebentar lagi Ge jadi seorang ayah."Keduanya mengangguk sambil tersenyum. "Selamat, Nak," ucap Sadewo. Rossi mendekati sang putra. "Selamat, Sayang."Dokter itu pamit. Sadewo pun mengantar. Rossi duduk di tepi ranjang. Matanya tak lepas dari wajah sang menantu. Dulu, wajah itu yang ia benci. Dulu, wajah itu yang ingin Rossi singkirkan dari hadapan Darren. Ternyata Rossi salah, wajah cantik itu yang memberi kebahagiaan kepada putranya. Bukan tak beralasan. Dahulu, Rossi tidak ingin Darren bermasalah dengan keluarga kaya yang tak lain adalah Sadewo dan Abimanyu dan berujung mengenaskan seperti dirinya. Ternyata takdir berkata lain, wanita muda yang lema
Hari-hari Darren dan Thalita lalui selalu bersama. Keduanya kompak dalam melakukan segala hal. Di kantor mereka akan bersikap profesional sebagaimana atasan dan bawahan. Tidak terasa satu tahun sudah usia pernikahan Darren dan Thalita.Malam itu, mereka menikmati makan malam nan romantis di sebuah restoran untuk merayakan anniversary. Tukar kado pun terjadi antara mereka. Namun, ada sesuatu yang membuat Thalita murung. "Sayang, ada apa?""Ah, tidak ada apa-apa, Kak."Melihat bulir bening yang menetes membuat Darren dengan sigap berpindah duduk dan memeluk. "Sayang, ada apa? Jangan buat Kakak khawatir."Thalita menarik napasnya dalam. Ia mengatakan jika dirinya ingin segera hamil. Akan tetapi, setelah satu tahun pernikahan dirinya tak kunjung hamil. Padahal, segala obat medis dan tradisional sudah dicobanya. Hasil cek dokter pun menyatakan jika kandungan Thalita baik-baik saja. "Apa dokter itu berbohong?""Hey, Sayang, lihat Kakak." Darren membingkai wajah Thalita. "Sayang, kita h
Berkumpul bersama keluarga setelah beraktivitas mampu mengurangi rasa lelah. Berbagi cerita diselingi dengan canda dan tawa rupanya keluarga Sadewo dan keluarga lakukan malam itu. "Bagaimana hasil cek ke dokter?" tanya Rossi. Darren melihat ke arah Thalita. Diraihnya tangan sang istri, menciumnya, lalu menceritakan apa yang dokter anjurkan. "Ikuti saja saran dokter. Buat rileks. Ingat, jangan banyak pikiran karena itu akan mengganggu kesehatan. Kalian nikmati saja waktu berdua," ujar Rossi. "Iya, nikmati saja dulu," timpal Sadewo. "Iya, Yah, Bu. Lita akan turuti semua saran dokter," kata Thalita. Pun Thalita mengutarakan tentang keinginannya untuk menjadi sekretaris Darren. "Ya, bagus itu," kata Sadewo. Rossi mengangguk-anggukkan kepalanya. "Kalau itu mau Nak Lita, Ibu, sih, tidak keberatan. Bagus malah. Ibu justru akan khawatir kalau sekretaris Ge itu wanita lain."Mendapat dukungan dari mertua membuat Thalita merasa menang. Wanita itu menatap suaminya sambil menaikturunkan al
Pesta mewah itu telah usai. Pesta yang tak hanya memberi kebahagiaan untuk Darren dan Thalita saja, melainkan semua tamu undangan. Rasa kantuk dan lelah sudah pasti menyergap pasangan itu. Bagaimana tidak? Pesta itu berlangsung hingga malam hari. "Tidur, Sayang," kata Darren. Thalita tersenyum. "Aku memang lelah dan ngantuk. Tapi, semua rasa itu kalah dengan rasa bahagia yang aku rasakan saat ini, Kak. Mata ini seolah-olah menolak untuk terpejam. Aku tidak sedang bermimpi, kan?"Darren tersenyum penuh arti. "Coba pejamkan matamu."Thalita menuruti perintah Darren tanpa menaruh curiga. Bibir Darren membekap bibir Thalita, bahkan gigitan kecil pria itu berikan membuat Thalita membuka mulutnya. Tidak membuang kesempatan, dengan leluasa lidah Darren menyusuri setiap rongga mulut Thalita. Ciuman itu kian rakus saat tangan Darren memegang bagian dada Thalita. Darren melepaskan ciuman yang menyisakan napas Thalita yang memburu dan bibir yang basah. "Tidak mimpi, kan?" tanya Darren. Th
Muach ... muach ... muach!"Kecupan bertubi-tubi Darren sematkan di bibir Thalita. "Sayang, bangun!""Heemm ...." Thalita merubah posisi tidurnya tanpa membuka mata. Darren tersenyum sambil membetulkan selimut yang membungkus tubuh istrinya itu. Belaian penuh kasih sayang pun Darren usapkan pada pucuk kepala."Maaf, kamu pasti lelah," gumam Darren. Bagaimana tidak? Permainan yang katanya malam pertama itu berakhir pada dini hari. Darren memutuskan untuk membersihkan diri. Setelah ritual mandi selesai, rupanya Thalita belum juga bangun. Pria itu tidak mempermasalahkan.Setelah berpakaian rapi, Darren pergi ke dapur."Bi, tolong siapkan saja sarapan untuk istriku. Dia tidak masak pagi ini.""Baiklah, Tuan. Saya lebih senang seperti ini. Menyiapkan sarapan untuk majikan, daripada hanya melihat. Malu, Tuan."Darren tersenyum. "Anggap itu bonus untuk Bibi. Pekerjaan Bibi berkurang, walaupun sedikit. Oh, ya, untuk saya tolong siapin sandwich saja."Darren kembali ke kamar dan sang ART pu
Kamar bernuansa putih, selang infus dan oksigen menjadi pemandangan Rossi malam itu. Terlebih lagi suara dari mesin pendeteksi jantung membuat suasana bertambah tegang. Ya, tepat di hadapannya Sadewo terbaring tak sadarkan diri. Ia mengalami kecelakaan tunggal. Wanita paruh baya itu hanya mampu menatap wajah Sadewo yang pucat, tetapi masih tampak tampan, menurutnya. Tidak terasa air mata pun menetes. "Sadarlah, Mas. Aku Mohon ...." Rossi berucap tanpa ia sadari. Semula, Rossi akan menghubungi Darren. Akan tetapi, ia urungkan karena tidak mau mengganggu kebahagiaan sang putra. Sudah tiga jam, Sadewo tak kunjung sadar. Ada rasa sakit dalam hati Rossi melihat kemalangan yang menimpa mantan suaminya itu. Malam kian larut. Rasa kantuk menyergap. Rossi memutuskan untuk tidur sembari duduk di kursi dekat dengan Sadewo.Usapan di kepala membuat Rossi perlahan membuka mata. "Mas, Mas sudah sadar?!" serunya sambil menggenggam tangan Sadewo. Sadewo tersenyum. "Terima kasih telah sudi berad