"Bagaimana keadaanmu sekarang?"Monica tersenyum menatap layar ponsel. Ia sedang berada di rumah saat ini selama masa pemulihan, lagi pula ia rasa kemarin hanya sakit biasa, tak ada yang perlu dikhawatirkan.William terlihat cemas."Aku baik. Memangnya kapan aku sakit?" "Abraham temanku, jadi kau tak perlu berbohong. Maaf kemarin mengabaikan teleponmu, aku sedang bersama Adam saat itu," balasnya panjang lebar. Kening Monica bertaut, seingatnya ia tak menelepon siapa-siapa termasuk William.Ia langsung mengecek panggilan masuk dan keluar, yang ternyata dua panggilan di dua nomor yang berbeda. Abraham dan William."Aku tak menghubungimu," lirihnya sedikit berbisik."Iya, keponakanku yang menghubungi, tapi aku tak sempat mengobrol karena sedang bersama Adam, ponselku di kamar.""Jadi, ...?"Monica terlihat panik saat ini. Bahkan ia baru sadar jika William sedang berada di rumah, bukan di kota atau di dalam mobil seperti biasanya. Jika bukan William, apa Arini yang menjawab teleponnya.
“Sayang, hari ini tak ada kesibukan di kantor?”William menggeleng dan memeluk Arini dari belakang, tangan kekarnya melingkar di perut ramping wanita yang sudah membuatnya jatuh cinta berulang kali. Seperti biasa ia akan mengusik Arini ketika sibuk, bukan apa-apa, ia hanya suka melihat rona merah muda di wajah mulus Arini. Terlihat sangat menggemaskan dan sekarang ia benar-benar melihatnya lagi.“Pipimu memerah. Kau sakit?” bisik William. Dengan nakal ia malah mengecup tengkuk Arini, membuat sekujur tubuhnya meremang geli. Arini yang tak tahan hanya mencubit pelan tangan suaminya, berharap usaha itu bisa membuat William enyah. “Ini masih terlalu pagi, Sayang. Bagaimana jika, ...”“Bigimini jiki iyih milihitnyi?” cibir William terdengar geli. Ia seperti hafal dengan penolakan halus dengan seribu satu macam alasan dari Arini. Wanita itu tersenyum sembari menahan tawa. Beruntung sudah hampir selesai, tinggal menunggu sup ayam matang, sementara lauk lainnya tentu saja sudah beres sebel
"Sayang, apa tak sebaiknya kau mengunjungi Ambar di sana?"William terdiam.Ia masih sibuk mengajak Allea bermain, membuat bayi itu menunjukkan giginya yang masih tumbuh dua. Ketika tertawa, matanya ikut menyipit, padahal mata bayi cantik itu bundar."Papap, papap."Allea berceloteh sembari memegang mulut William. "A -yah."William berulang kali menyebut ayah, tapi Allea tetap menyebut papa, membuat pria itu tertawa dan mencium pipi gembulnya dengan gemas. "Sayang, kau harus kembali dan menjenguk Ambar. Mau sampai kapan berjaga jarak begini? Aku tahu mereka melakukan kesalahan besar, tapi jika sikapmu begini, kau juga tak ada bedanya dengan mereka."Arini tampak mendesak, seperti tak peduli dengan kesibukan William yang terlihat menghibur sang putri. William menatap Arloji di tangan, kemudian menyerahkan Allea pada Arini."Sebentar lagi Adam pulang, aku akan menjemputnya tepat waktu."William langsung berlalu dengan menggunakan sepeda, lagi pula sekolah anaknya tak terlalu jauh. Ia
“Kamu siapa?” cicit suaranya lirih. Ia terus menatap pria tegap yang kini berlutut di depannya, sembari menyodorkan cokelat, dan juga boneka beruang merah muda. Itu kesukaannya sejak kecil. Meski tadi sempat semringah dan hendak menerima barang yang ia sukai, tangannya ditarik kembali lalu menatap heran ke arah pria yang juga menatapnya penuh harap. William mengambil tempat duduk di sisi Ambar, meski bingung ia tetap memperbolehkan William duduk, dengan pikiran kalau ini adalah tempat umum, siapa saja boleh duduk. Ambar memang pasien di rumah sakit jiwa, tapi ia tak separah yang lain sekarang, sudah bisa mengontrol emosi, mengontrol diri, bahkan tak lagi tertawa atau menjerit, hanya melamun dan kemudian berbicara sendiri. “Ambar suka banget sama beruang ini waktu kecil,” ucap William mengenang masa kecil sang adik. “Ambar siapa? Oh namamu Ambar, ya? Lucu banget.” Ambar bertepuk tangan kegirangan, ia terlihat menertawakan William. Tidak tersinggung, ia justru merasa sedih. “Ambar
"Terus berdiri dengan satu kaki. Jangan ada yang istirahat sampai Mommy bilang berhenti!" Dua kembar itu terpaksa menjalani hukuman dari Monica. Ponsel sudah ada di genggaman Monica, dan telepon dari William ia matikan secara sepihak. Ia hanya tidak ingin siapa pun membela kesalahan anak-anaknya, tidak ada salahnya mendidik anak lelaki dengan tegas, agar tak semena-mena dan tahu aturan, tidak seperti Nathan. Monica terus mengawasi. Bukan tak sayang, ia hanya tidak ingin membiasakan anak-anaknya berbuat kesalahan. Beruntung mereka bukan tipikal anak yang mudah menangis dan meronta, jika tahu salah, mereka hanya diam dan bersiap menerima hukuman. Lima belas menit berlalu, Monica menatap ponselnya kemudian beralih pada dua putranya. "Waktunya tidur! Minum dulu susunya baru tidur." "Iya, Mommy." Monica berlalu keluar kamar, dua anaknya langsung menenggak habis susu yang dibuat Monica, sebelum akhirnya berlalu mendekati ranjang masing-masing. Lampu kamar dimatikan, disusul denga
"Tadinya aku ingin membawa mereka ke Indonesia, tapi sepertinya aku berubah pikiran." William terdiam sebentar. Belum sempat William bertanya alasannya, Monica kembali bersuara. "Nathan masih bersamamu. Aku hanya tidak ingin mereka tahu siapa ayahnya." "Apa kau sudah memikirkannya dengan matang?" tanya William. "Tentu. Aku tidak mau putraku disentuh pria brengsek itu. Setidaknya mereka akan tetap aman dan tidak mewarisi sifat buruk Nathan sedikit pun." William ingin protes. Tapi percuma saja karena yang ia hadapi adalah Monica, wanita si keras kepala. "Sebentar lagi ulang tahun mereka yang ke-enam, dan hadiah yang aku persiapkan adalah tiket kepulangan mereka ke Indonesia, hanya saja kau terlalu membebaskan Nathan berkeliaran dan itu mengancam keamanan dua anakku." "Monica, aku tahu kau pasti lebih tahu hal terburuk yang akan terjadi ke depannya. Tapi tolong jangan egois, Nathan tetap ayahnya. Atau begini saja, menikahlah dengan pria mana pun agar mereka bisa merasakan
Mommy mau tahu alasan kalian berdua mau ke Indonesia,” tanya Monica menatap kedua anaknya bergantian.Edgard terdiam, jika ia berkata jujur ingin bertemu ayah, pasti ibunya akan marah besar dan berubah pikiran. Edward juga sama diamnya, mereka memiliki jawaban yang serupa. Tiba-tiba pintu kamar diketuk beberapa kali. Ketiganya memalingkan wajah ke arah pintu, mendapati Abraham yang berdiri sembari menggenggam tangan satu anak perempuan cantik berusia empat tahun.Netranya biru, dengan rambut panjang sedikit kuning keemasan, juga kulit putih bersih. Mata cantiknya berkedip sesekali, tangannya langsung terlepas dari genggaman Abraham, tanpa persetujuan siapa pun ia masuk dan memeluk Monica dengan erat, kemudian menatap bersahabat ke arah dua anak kembar yang terlihat tak terlalu antusias.“Hai. Aku Sandrina,” ucapnya dengan suara yang lucu. Wajahnya menggemaskan, tapi tak membuat dua anak Monica tertarik.“Abraham, kau tak memberitahuku jika Sandrina sudah sebesar ini sekarang. Terakhi
"Sialan! Kenapa wanita itu kembali lagi?Sepertinya ada sesuatu yang direncanakan."Nathan terus berpikir keras, dia yakin kemunculan Maira pasti memiliki alasan tersendiri."Apa jangan-jangan dia tahu aku sudah sukses, itu sebabnya ia kembali. Tidak mungkin! Dia punya alasan yang lebih dari itu."Nathan bangkit dan menatap ke luar jendela. Ternyata Maira sudah pergi, setelah cukup lama menunggu, ia memutuskan untuk pulang ke rumah, pikirannya sedang berantakan sekarang memikirkan Monica.Ada rahasia apa antara Monica, William dan Arini. Langkah lebarnya berjalan keluar dari ruangan, ia langsung menuju garasi perusahaan kemudian mengeluarkan mobilnya, memang hanya mobilnya yang ditempatkan di tempat yang berbeda. Kendaraan roda empat itu berlalu meninggalkan pelataran kantor.Baru setengah jalan, ia malah melihat sosok yang tidak asing di depan mata, wanita itu Maira. Dia sedang berdiri sembari merentangkan tangannya di tengah jalan, menghadang laju mobilnya. Mau tak mau Nathan terpa
Pagi menjelang. Yura sudah diantar ke rumah Evelyn pagi itu, disusul satu mobil milik Dean yang kini parkir di luar gerbang rumah mewah milik Edward. Sejenak mereka tertegun, ternyata Evelyn memang orang kaya. "Pastikan adikku aman!" Edward menatap dingin ke arah dua remaja pria itu. Dean mengangguk paham. Sosok pria sedingin Edward rupanya bisa membuat mereka mati kutu. Evelyn memeluk Edward dan Edgard kemudian masuk ke dalam mobil milik Dean. Mereka berempat semakin menjauh dari pandangan, setelah memastikan adiknya sudah jauh, Edgard langsung menyenggol dikit Edward, ia butuh penjelasan, mengapa Edward langsung mengizinkan Evelyn pergi tanpa bertanya apa pun lagi. "Kau tahu, kan gunung dan hutan itu berbahaya?" "Lalu kenapa? Kau tidak percaya jika adik kita sudah dewasa?" "Bukan begitu, Kak. Masalahnya ini pertama kali ia pergi tanpa pengawasan." Edward tersenyum tipis. "Kata siapa?" "Maksudnya?" Edward tentu tidak bodoh. Ia akan terus mengirim beberapa orang untuk men
"Jadi, kau sudah memiliki teman di sana? Tidak. adil! Di kampus kita aku benar-benar sendirian." Yura memasang wajah cemberut, ketika mendengar jika Evelyn mengajaknya ke gunung esok pagi bersama dua teman lelakinya. "Jangan khawatir! Kau tetap sahabat terbaikku, Yura. Oh iya, persiapkan apa saja malam ini, besok pagi-pagi sekali kita akan berangkat ke gunung bersama Dean dan Yudi, mereka juga yang menyuruhku untuk mengajakmu," timpal Evelyn. "Ini terlalu buru-buru, aku tidak akan sempat mempersiapkan apa pun, Evelyn." Evelyn meletakkan telunjuknya di bibir, meraih benda pipih dan menghubungi asisten rumah tangga Yura. Ia berbicara panjang lebar yang berisi perintah. Setelahnya Evelyn tersenyum lega. "Wah! Evelyn. Aku bahkan tidak berpikir ke situ," ucap Yura kagum. "Bukankah sejak dulu dirimu memang lelet dalam berpikir?" "Ih, tapi, kan, ..." "Sudahlah jangan protes! Sebenarnya banyak yang ingin ku ceritakan, tapi perutku lapar. Makan dulu, yuk!" Evelyn langsung menarik p
[Evelyn, mungkin setelah membaca surat ini, aku sudah tidak ada di rumah. Maaf, aku banyak merahasiakan semuanya padamu, aku juga tidak bermaksud untuk menjadi orang yang tertutup. Aku tahu kau sahabat terbaikku sejak kecil, tapi aku yang terlalu kesulitan untuk membuka diri lebih dalam denganmu.Sejak kau pindah kampus, aku kesepian, lalu memutuskan untuk pindah ke luar negeri dan tinggal bersama keluarga papa di sana. Semoga kamu mendapatkan teman yang lebih baik dari aku! Salam dari sahabatmu, Yura.]Netra Evelyn basah.Ia tidak menyangka jika Yura setega ini. Pergi tanpa mengabari, padahal sebelumnya mereka baik-baik saja. Jika hanya perihal kepindahan, bukankah Yura juga tahu alasan Evelyn pindah kampus, kalau mau ikut pindah juga, kan tidak ada salahnya pindah dan bergabung bersama Evelyn di kampus yang sama lagi, bukan seperti ini caranya."Yura kok jahat banget, Te. Bahkan nomornya juga ngga aktif, dia ngga sayang lagi sama aku."Evelyn sesenggukan. Edgard berusaha menghibur
"Sudah siap?" Evelyn mengangguk singkat. Harusnya ia senang karena tinggal bersama kakaknya, tapi karena tak ada kabar apa pun dari dua orang yang sedang kasmaran di luar negeri, membuat semangatnya sedikit memudar, padahal ia sangat merindukan Monica. Evelyn meraih tasnya, kemudian mengekori langkah lebar Edward. Memang, di kampusnya yang sekarang tidak ada masalah apa pun, hampir semua mahasiswa hanya fokus pada tujuan kuliah, tak ada yang mengusik dirinya, dan bahkan lebih banyak yang memasang wajah ramah. Tak ada kesombongan, culas, merasa diri lebih dari yang lain, semuanya rata. Tak ada penindasan, penghinaan, pemanfaatan kuasa, semuanya berjalan netral sesuai keinginan. Para dosen juga bersikap normal, tak condong pada beberapa mahasiswa atau merasa takut pada anak didik mereka, semua diperlakukan seadil-adilnya. Dan memang, itu yang diinginkan Evelyn. Hanya saja, ia masih merasa kesepian. Andai saja, ... "Kita sudah sampai. 5 menit lagi gerbangnya tutup, kau mas
"Benar dugaanku. Ternyata kita memang ditakdirkan untuk bertemu kembali, Nathan."Maira tersenyum sinis, ia akhirnya mendapatkan satu kesempatan lagi untuk menghancurkan mereka. Entah, sepertinya ia tak pernah memiliki cinta dengan Nathan, wanita gila ini hanya terobsesi untuk mendapatkan pria tampan yang kaya raya sejak dulu, bahkan menghalalkan segala cara.Tidak sia-sia punya anak seperti Maria. Gadis bodoh itu selalu siap menjadi kacungnya kapan pun ia mau. Maira mengantongi semua informasi tentang Evelyn, yang ternyata adalah putri dari Nathan dan Monica."Sialan! Wanita itu benar-benar tamak. Ia menggeser posisi Arini demi mendapatkan Nathan. Tapi, kita lihat saja nanti, tidak akan ada yang berani berpaling dari pesona Maira, termasuk Nathan. Pria itu bagaimana pun juga pernah memuja muja diriku, bertekuk lutut di bawah pesonaku."Maira sudah merasa berbangga diri. Padahal dulu saja ia hampir mati di tangan Monica, tapi yang namanya obsesi pasti tak akan pernah pantang mundur.
"Aku tahu harus apa sekarang," ujarnya dengan seringai licik. Jonathan sudah berangkat ke kantor sejak pagi, sekali pun ia menuntut istri dan anaknya berhemat, ia tetap memiliki pekerjaan tetap, usahanya bukan hanya di kampus tempat anaknya berkuliah. Ia juga seorang pemilik perusahaan kecil, yang bergerak di bidang makanan ringan. Maria buru-buru ke bawah, tanpa sarapan atau sapaan selamat pagi sudah biasa, hubungannya dengan Maira memang sedingin itu sejak dulu, padahal mereka adalah ibu dan anak. Maria meraih kunci mobil hadiah ulang tahun dari Jonathan tahun lalu, ia harus buru-buru ke kampus sekarang. "Jajanmu berapa?" tanya Maira menghentikan langkah Maria. "Setengah dari biasanya," jawab Maria lanjut menuju garasi. Ternyata Jonathan tidak main-main, ia benar-benar memaksa mereka berdua untuk berhemat, bahkan Maria yang selama ini ia manja pun terkena dampaknya. Tapi baru saja Maria akan masuk ke mobil, ia kembali mencegat anak perempuannya dan berdiri di balik pintu
"Aku ngga terima kalau Jonathan bangkrut. Sialan! Jika suamiku bangkrut, lalu bagaimana nasib kami berdua?"Maira mondar-mandir di kamar, berpikir keras mencari solusi tapi seperti menemukan jalan buntu. Maira memijat pelipisnya.Jonathan memang memiliki usaha lain, tapi penghasilannya tak sebanyak yang ia dapatkan dari universitas tersebut. Jika penanam saham terbanyak mencabut kerja samanya, bagaimana kampus itu akan bertahan lama. Mengandalkan biaya kampus tiap semester per orang pun tidak cukup."Ah, sialan! Lagi pula siapa bocah ingusan itu? Sok berkuasa. Lihat saja, akan aku balas mereka."Maira turun ke lantai bawah, langkahnya seketika terhenti di tengah tangga, ia melihat Jonathan sedikit kusut, pria itu bersandar pada kursi, dengan tatapan kosong ke langit-langit rumah. Seperti ada beban besar yang dipikul saat ini. Jonathan masih bungkam, tak mengeluarkan maki dan sumpah serapah. Maira memang bernasib baik, dalam hidupnya selalu menikahi lelaki yang penyayang, ia juga tak
"Sayang, terima kasih karena telah sabar mendampingiku." Nathan membelai lembut pipi Monica.Semilir angin di pesisir pantai membuat keduanya tenang, suasana romantis terasa, seolah mereka berdua adalah pasangan pengantin baru yang tengah di mabuk asmara.Setelah berhasil menitipkan Evelyn pada kedua anak lelakinya, Nathan yang memang sudah mempersiapkan tiket keberangkatan mereka jauh-jauh hari juga tak ingin membuang waktu.Sebenarnya sebelum Monica meminta, ia sudah ingin menyampaikan niatnya tersebut. Tapi, rupanya suami istri itu memiliki ikatan batin yang teramat sangat. Monica tersipu malu, tempat romantis yang dirancang oleh Nathan, tentu saja adalah yang terbaik. Tak terasa sudut matanya malah menitikkan air mata."Sayang, ada apa?" tangan kekar itu mengusap air mata Monica dengan lembut. Sebelah tangan Monica langsung menyambut punggung tangan Nathan yang masih ada di wajahnya. Netra beningnya menatap lelaki yang telah memberinya tiga buah hati. Andai saat itu ia tak menye
"Sayang, sepagi ini kau sudah rapi. Mau ke mana?" tanya Nathan saat putrinya duduk di meja makan. "Kuliah, Dad. Ini juga sepuluh menit lagi gerbangnya tutup," balas Evelyn mengunyah roti isinya. "Kakakmu belum memberitahumu, ya. Kau baru saja dipindahkan ke kampus lain. Fasilitasnya juga tak kalah lengkap, dan pastinya tak ada orang toxic di sana." Evelyn merengut. Mengapa mendadak sekali? Ia bahkan tidak tahu apa pun tentang ini. Apa pendapatnya tidak lagi dibutuhkan, pikir Evelyn galau. "Jadi, hari ini kau hanya perlu beristirahat di rumah. Setelah perpindahanmu selesai nanti, besok kau sudah mulai berkuliah di kampus baru." "Dad, tapi aku berhak memilih kampus mana yang ku suka, 'kan?" Nathan diam saja dan memilih untuk membiarkan Monica yang berbicara. "Sayang, Momy tahu keputusan ada di tanganmu, tapi untuk saat ini, kedua kakakmu lah yang lebih berhak menentukan mana yang terbaik untuk adiknya. Buktinya kampus yang kau pilih kemarin, justru tidak menyenangkan dan sangat