"Sayang, apa tak sebaiknya kau mengunjungi Ambar di sana?"William terdiam.Ia masih sibuk mengajak Allea bermain, membuat bayi itu menunjukkan giginya yang masih tumbuh dua. Ketika tertawa, matanya ikut menyipit, padahal mata bayi cantik itu bundar."Papap, papap."Allea berceloteh sembari memegang mulut William. "A -yah."William berulang kali menyebut ayah, tapi Allea tetap menyebut papa, membuat pria itu tertawa dan mencium pipi gembulnya dengan gemas. "Sayang, kau harus kembali dan menjenguk Ambar. Mau sampai kapan berjaga jarak begini? Aku tahu mereka melakukan kesalahan besar, tapi jika sikapmu begini, kau juga tak ada bedanya dengan mereka."Arini tampak mendesak, seperti tak peduli dengan kesibukan William yang terlihat menghibur sang putri. William menatap Arloji di tangan, kemudian menyerahkan Allea pada Arini."Sebentar lagi Adam pulang, aku akan menjemputnya tepat waktu."William langsung berlalu dengan menggunakan sepeda, lagi pula sekolah anaknya tak terlalu jauh. Ia
“Kamu siapa?” cicit suaranya lirih. Ia terus menatap pria tegap yang kini berlutut di depannya, sembari menyodorkan cokelat, dan juga boneka beruang merah muda. Itu kesukaannya sejak kecil. Meski tadi sempat semringah dan hendak menerima barang yang ia sukai, tangannya ditarik kembali lalu menatap heran ke arah pria yang juga menatapnya penuh harap. William mengambil tempat duduk di sisi Ambar, meski bingung ia tetap memperbolehkan William duduk, dengan pikiran kalau ini adalah tempat umum, siapa saja boleh duduk. Ambar memang pasien di rumah sakit jiwa, tapi ia tak separah yang lain sekarang, sudah bisa mengontrol emosi, mengontrol diri, bahkan tak lagi tertawa atau menjerit, hanya melamun dan kemudian berbicara sendiri. “Ambar suka banget sama beruang ini waktu kecil,” ucap William mengenang masa kecil sang adik. “Ambar siapa? Oh namamu Ambar, ya? Lucu banget.” Ambar bertepuk tangan kegirangan, ia terlihat menertawakan William. Tidak tersinggung, ia justru merasa sedih. “Ambar
"Terus berdiri dengan satu kaki. Jangan ada yang istirahat sampai Mommy bilang berhenti!" Dua kembar itu terpaksa menjalani hukuman dari Monica. Ponsel sudah ada di genggaman Monica, dan telepon dari William ia matikan secara sepihak. Ia hanya tidak ingin siapa pun membela kesalahan anak-anaknya, tidak ada salahnya mendidik anak lelaki dengan tegas, agar tak semena-mena dan tahu aturan, tidak seperti Nathan. Monica terus mengawasi. Bukan tak sayang, ia hanya tidak ingin membiasakan anak-anaknya berbuat kesalahan. Beruntung mereka bukan tipikal anak yang mudah menangis dan meronta, jika tahu salah, mereka hanya diam dan bersiap menerima hukuman. Lima belas menit berlalu, Monica menatap ponselnya kemudian beralih pada dua putranya. "Waktunya tidur! Minum dulu susunya baru tidur." "Iya, Mommy." Monica berlalu keluar kamar, dua anaknya langsung menenggak habis susu yang dibuat Monica, sebelum akhirnya berlalu mendekati ranjang masing-masing. Lampu kamar dimatikan, disusul denga
"Tadinya aku ingin membawa mereka ke Indonesia, tapi sepertinya aku berubah pikiran." William terdiam sebentar. Belum sempat William bertanya alasannya, Monica kembali bersuara. "Nathan masih bersamamu. Aku hanya tidak ingin mereka tahu siapa ayahnya." "Apa kau sudah memikirkannya dengan matang?" tanya William. "Tentu. Aku tidak mau putraku disentuh pria brengsek itu. Setidaknya mereka akan tetap aman dan tidak mewarisi sifat buruk Nathan sedikit pun." William ingin protes. Tapi percuma saja karena yang ia hadapi adalah Monica, wanita si keras kepala. "Sebentar lagi ulang tahun mereka yang ke-enam, dan hadiah yang aku persiapkan adalah tiket kepulangan mereka ke Indonesia, hanya saja kau terlalu membebaskan Nathan berkeliaran dan itu mengancam keamanan dua anakku." "Monica, aku tahu kau pasti lebih tahu hal terburuk yang akan terjadi ke depannya. Tapi tolong jangan egois, Nathan tetap ayahnya. Atau begini saja, menikahlah dengan pria mana pun agar mereka bisa merasakan
Mommy mau tahu alasan kalian berdua mau ke Indonesia,” tanya Monica menatap kedua anaknya bergantian.Edgard terdiam, jika ia berkata jujur ingin bertemu ayah, pasti ibunya akan marah besar dan berubah pikiran. Edward juga sama diamnya, mereka memiliki jawaban yang serupa. Tiba-tiba pintu kamar diketuk beberapa kali. Ketiganya memalingkan wajah ke arah pintu, mendapati Abraham yang berdiri sembari menggenggam tangan satu anak perempuan cantik berusia empat tahun.Netranya biru, dengan rambut panjang sedikit kuning keemasan, juga kulit putih bersih. Mata cantiknya berkedip sesekali, tangannya langsung terlepas dari genggaman Abraham, tanpa persetujuan siapa pun ia masuk dan memeluk Monica dengan erat, kemudian menatap bersahabat ke arah dua anak kembar yang terlihat tak terlalu antusias.“Hai. Aku Sandrina,” ucapnya dengan suara yang lucu. Wajahnya menggemaskan, tapi tak membuat dua anak Monica tertarik.“Abraham, kau tak memberitahuku jika Sandrina sudah sebesar ini sekarang. Terakhi
"Sialan! Kenapa wanita itu kembali lagi?Sepertinya ada sesuatu yang direncanakan."Nathan terus berpikir keras, dia yakin kemunculan Maira pasti memiliki alasan tersendiri."Apa jangan-jangan dia tahu aku sudah sukses, itu sebabnya ia kembali. Tidak mungkin! Dia punya alasan yang lebih dari itu."Nathan bangkit dan menatap ke luar jendela. Ternyata Maira sudah pergi, setelah cukup lama menunggu, ia memutuskan untuk pulang ke rumah, pikirannya sedang berantakan sekarang memikirkan Monica.Ada rahasia apa antara Monica, William dan Arini. Langkah lebarnya berjalan keluar dari ruangan, ia langsung menuju garasi perusahaan kemudian mengeluarkan mobilnya, memang hanya mobilnya yang ditempatkan di tempat yang berbeda. Kendaraan roda empat itu berlalu meninggalkan pelataran kantor.Baru setengah jalan, ia malah melihat sosok yang tidak asing di depan mata, wanita itu Maira. Dia sedang berdiri sembari merentangkan tangannya di tengah jalan, menghadang laju mobilnya. Mau tak mau Nathan terpa
Ternyata Maira masih memakai cara licik. Ia tak benar-benar pergi. Setelah memastikan keadaan aman, ia segera berjalan mengendap dan mengintip dari celah jendela kaca. Nathan masih menikmati makanan pemberiannya, ia yakin sebentar lagi obat yang ia taburkan akan bekerja. Dan benar saja, Nathan memegang kepalanya, rasa pusing mendera begitu saja, pandangannya kabur, dan akhirnya ia tertidur dengan posisi duduk. Makanan tadi terjatuh dari meja, ia benar-benar gila, menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. "Dasar bodoh! Ia bahkan tak curiga jika aku sudah membubuhi racun di makanannya." Ia langsung bergegas masuk. Kemudian mengangkat wajah Nathan yang sudah tidak sadarkan diri. Maira seperti terbosesi pada Nathan, ia langsung memapah Nathan ke kursi, membuka kancing atas baju pria itu yang memamerkan dada bidangnya. "Kau terlihat semakin tampan, Sayang." Maira lalu mendekat dan mengecup lembut bibirnya, jemarinya mulai mengusap area badan dan turun ke bawah
"Nak, kau ke mana saja? Mengapa memutuskan kontak selama lima tahun belakangan. Kau baik-baik saja, 'kan di sana?"Suara Budi terdengar sedikit gemetar, ia mengusap layar pipih yang menunjukkan wajah Monica. Anak perempuannya yang menghilang lima tahun belakangan tanpa sebab.[Ayah!]Suara Monica juga lirih seperti menahan tangis, wajahnya memerah menahan haru. Monica sesekali melempar pandang ke arah samping. [Maaf, Ayah.]"Tolong jangan menghilang seperti ini lagi, putriku! Kau tidak tahu Arini sering menangis diam-diam ketika malam hari karena mengingatmu. Apa pun masalahmu, jangan menghilang begitu saja!"Monica mengangguk sesekali."Bagaimana kabar ayah, Arini, Allea, dan Adam?""Semuanya sehat, Nak. Hanya saja Adam sedang tidak enak badan sekarang. Kau tahu, hari ini Arini mengantar Allea ke sekolah, mungkin sebentar lagi akan pulang."Suasana hening sebentar. Monica menatap kedua putranya yang masih bersembunyi di balik layar. Edward dan Edgard sudah tumbuh menjadi remaja yang
"Periksa rambut ini!" Nathan menyerahkan dua helai rambut yang berbeda di kantong plastik kecil, sekretarisnya yang baru saja masuk pun mengambil sampel rambut tersebut. "Tunggu dan laporkan hasil labnya padaku segera!""Baik, Pak."Sang sekretaris langsung berlalu keluar dari ruangan Nathan. Ia sebenarnya memang sengaja membiarkan Monica pergi bersama dua putra kembar, yang dicurigai adalah anak-anaknya, tapi nanti setelah hasil yes itu keluar, dan ia tahu jika itu adalah anaknya, maka mau tidak mau ia harus menjemput Monica dan meminta penjelasan dari wanita itu, mengapa Monica memilih menghindar dan merahasiakan ini semua darinya.Ia kembali mengingat kejadian kemarin, dari reaksi William dan Arini, sudah pasti mereka mengetahui segalanya. "William, mengapa ia menyimpan rahasia sebesar ini dariku? Jika memang itu putraku apakah salah jika aku tahu." Nathan langsung saja memainkan jemarinya pada keyboard, mencari-cari informasi tertentu terkait Monica dan kedua putranya, tap
"Kak, apa yang kau lakukan?" protes Nathan ketika dipukul beberapa kali oleh William. Ia tak peduli dan mendorong Nathan hingga menabrak mobilnya sendiri. "Cepat pergi dari sini!" titahnya tegas. Nathan mengusap darah yang menodai sudut bibirnya, kemudian menatap kesal ke arah William. Ia meludah, membuang darah yang tadi terasa asin di mulutnya. "Apa salahku? Aku hanya ingin tahu anak siapa mereka? Mengapa begitu mirip denganku?""Seseorang bisa mirip dengan siapa saja. Pergi, ini bukan urusanmu, Nathan! Kau hanya membuat Monica ketakutan."Nathan terdiam sesaat, ia memberi tatapan layaknya musuh ke arah William, berpikir jika William selalu bersikap seolah paling benar. William yang merasa tertantang bersiap untuk memukul lagi."Aku tahu, itu pasti anakku.""Tutup mulutmu, bangsat!"BUGH!Pukulan tersebut langsung dicegah Arini, ia menjerit agar Nathan dan William berhenti bertengkar. Terlebih saat ini mereka tengah menjadi pusat perhatian, warga desa pasti lebih mudah penasaran
"Kak, kau mau ke mana?"Sudah tujuh hari sejak pemakaman Budi, Monica dan anaknya memang menginap di desa Bunga, William sendiri yang mengambil semua barang bawaan Monica di hotel dekat rumah sakit kala itu, atas permintaan Monica sendiri.Wanita itu sedang sibuk berkemas, ia menatap Arini sekilas, kemudian lanjut mengemasi beberapa barang yang menurutnya penting."Aku akan kembali ke Amerika hari ini, pekerjaanku tak bisa ditinggal begitu saja," sahut Monica dengan tangannya yang masih sangat sibuk.Ia memasukkan beberapa produk kecantikan, tapi urung. Ia memilih untuk meninggalkan beberapa produk miliknya di meja rias Arini. Menginap beberapa hari, Monica memang menempati kamar Arini, sementara adiknya dan William menempati kamar tamu."Memangnya tak bisa bertahan sampai empat puluh hari?" tanya Arini terdengar menawarkan.Monica tersenyum tipis dan menggeleng pelan. Ia mendekati Arini yang kini berpindah ke kasur."Tidak bisa, Arini. Toko kosmetik yang aku kelola cukup ramai, dan s
"Aku pikir kau tidak akan datang, tapi akhirnya kakak sudah berada di sini. Meskipun aku sedikit kesal, kenapa tidak memberitahu kami? William pasti akan menjemput kalian di bandara," cerocos Arini, ketika keduanya duduk di kursi tunggu.Monica tersenyum tipis."Tidak perlu. Memangnya aku kedutaan Indonesia yang harus dijemput?" sahut Monica berkelakar. Arini memajukan bibir bawahnya kesal."Oh iya, Kak. Apa mereka tahu?" Monica menatap penasaran."Tahu apa?" "Tentang siapa ayahnya."Monica terdiam sebentar, kemudian menggeleng cepat."Untuk apa memberitahu mereka? Lagi pula setelah mereka tahu, apa yang akan mereka dapatkan? Kau tahu kan seperti apa Nathan? Sudah, jangan bahas namanya di sini! Anak-anak akan mendengarnya nanti. Mereka kembali juga untuk bertemu ayah, bukan pria brengsek itu!" William dari tadi sibuk dengan ponselnya, di sisi kiri kanan ada Edward dan Edgard yang sedari tadi tak melunturkan senyum mereka, di layar pipih mereka berbicara bebas dengan Adam dan Allea
"Mommy, are you okay?" Kedua putranya menatap panik ke arah Monica, wanita itu memijat pelipis, rasa pusing masih terasa di kepala, tapi Monica masih berusaha tersenyum agar tak membuat anak-anaknya semakin khawatir. "Mommy tidak apa-apa, Sayang. Oh iya mengapa sepagi ini sudah pulang?" tanya Monica. "Kami tidak bisa fokus jika Mommy kenapa-kenapa." Putranya begitu peduli dengannya, padahal ia ingat sejak kecil mereka berdua tidak terlalu dimanjakan dengan kasih sayang dari Monica. "Mommy, apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?" selidik Edgard. "Tidak ada, Mommy hanya kelelahan," dustanya untuk ke sekian kali. "Berhentilah berbohong, Mommy! Kakek sedang sakit di Indonesia. Keputusan juga ada di tangan Mommy, akan kembali ke sana seorang diri, atau tetap berada di sini bersama kami," ujar Edward mantap. Mendengar itu Monica mengernyit heran. "Apa yang kau katakan? Bagaimana bisa Mommy meninggalkan kalian sendirian?" Edward tahu tahu Monica tidak akan pernah memb
"Mommy, apa yang terjadi denganmu?"Edward dan Edgard bergegas masuk menghampiri Monica, mereka begitu terkejut ketika mendapati sang ibu tengah menangis. Wanita yang berusaha terlihat tegar menampilkan senyum palsunya."Mommy hanya terharu, akhirnya Mommy sudah bisa memperkenalkan kalian kepada kakek di Indonesia," dustanya yang jelas bisa terbaca.Kedua putranya terdiam sebentar, mereka tentu saja tidak percaya begitu saja."Ada sesuatu yang Mommy sembunyikan dari kami?" selidik Edward. Putranya itu memang paling peka dan perasa, ia yakin ada kalimat yang menyakiti hati ibunya."Sudahlah, Nak. Jangan dipikirkan! Mungkin ini salah Mommy karena telah menyembunyikan kalian terlalu lama. Tapi percayalah, Sayang! Mereka sudah menerima kalian, jika memang kalian berdua ingin ke sana, Mommy tidak akan keberatan. Kita akan ke Indonesia."Monica mengusap pipinya yang semula berembun, ia tersenyum tipis sebelum akhirnya keluar dari kamar putranya. Setelah Monica pergi, Edward menatap Edgard.
"Nak, kau ke mana saja? Mengapa memutuskan kontak selama lima tahun belakangan. Kau baik-baik saja, 'kan di sana?"Suara Budi terdengar sedikit gemetar, ia mengusap layar pipih yang menunjukkan wajah Monica. Anak perempuannya yang menghilang lima tahun belakangan tanpa sebab.[Ayah!]Suara Monica juga lirih seperti menahan tangis, wajahnya memerah menahan haru. Monica sesekali melempar pandang ke arah samping. [Maaf, Ayah.]"Tolong jangan menghilang seperti ini lagi, putriku! Kau tidak tahu Arini sering menangis diam-diam ketika malam hari karena mengingatmu. Apa pun masalahmu, jangan menghilang begitu saja!"Monica mengangguk sesekali."Bagaimana kabar ayah, Arini, Allea, dan Adam?""Semuanya sehat, Nak. Hanya saja Adam sedang tidak enak badan sekarang. Kau tahu, hari ini Arini mengantar Allea ke sekolah, mungkin sebentar lagi akan pulang."Suasana hening sebentar. Monica menatap kedua putranya yang masih bersembunyi di balik layar. Edward dan Edgard sudah tumbuh menjadi remaja yang
Ternyata Maira masih memakai cara licik. Ia tak benar-benar pergi. Setelah memastikan keadaan aman, ia segera berjalan mengendap dan mengintip dari celah jendela kaca. Nathan masih menikmati makanan pemberiannya, ia yakin sebentar lagi obat yang ia taburkan akan bekerja. Dan benar saja, Nathan memegang kepalanya, rasa pusing mendera begitu saja, pandangannya kabur, dan akhirnya ia tertidur dengan posisi duduk. Makanan tadi terjatuh dari meja, ia benar-benar gila, menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. "Dasar bodoh! Ia bahkan tak curiga jika aku sudah membubuhi racun di makanannya." Ia langsung bergegas masuk. Kemudian mengangkat wajah Nathan yang sudah tidak sadarkan diri. Maira seperti terbosesi pada Nathan, ia langsung memapah Nathan ke kursi, membuka kancing atas baju pria itu yang memamerkan dada bidangnya. "Kau terlihat semakin tampan, Sayang." Maira lalu mendekat dan mengecup lembut bibirnya, jemarinya mulai mengusap area badan dan turun ke bawah
"Sialan! Kenapa wanita itu kembali lagi?Sepertinya ada sesuatu yang direncanakan."Nathan terus berpikir keras, dia yakin kemunculan Maira pasti memiliki alasan tersendiri."Apa jangan-jangan dia tahu aku sudah sukses, itu sebabnya ia kembali. Tidak mungkin! Dia punya alasan yang lebih dari itu."Nathan bangkit dan menatap ke luar jendela. Ternyata Maira sudah pergi, setelah cukup lama menunggu, ia memutuskan untuk pulang ke rumah, pikirannya sedang berantakan sekarang memikirkan Monica.Ada rahasia apa antara Monica, William dan Arini. Langkah lebarnya berjalan keluar dari ruangan, ia langsung menuju garasi perusahaan kemudian mengeluarkan mobilnya, memang hanya mobilnya yang ditempatkan di tempat yang berbeda. Kendaraan roda empat itu berlalu meninggalkan pelataran kantor.Baru setengah jalan, ia malah melihat sosok yang tidak asing di depan mata, wanita itu Maira. Dia sedang berdiri sembari merentangkan tangannya di tengah jalan, menghadang laju mobilnya. Mau tak mau Nathan terpa