"Handphone ibu dari tadi berdering. Kenapa tidak diangkat?" tanya Aura dengan suara lembut. "Nanti saja ibu angkat. Ibu masih ingin bercerita dengan kamu, Nak." Setelah lama menemani, Aura kini sudah tertidur setelah lama bercerita denganku. Jika tidak mengantuk, mungkin masih banyak yang ingin dia ceritakan. Aku berdiri dan melangkah menuju sofa yang ada di ruangan ini. Ada Pak Firman yang sedang duduk sambil membaca buku. Sepertinya Pak Firman masih tak menyadari jika aku mendekat. "Maaf, Pak! Aku izin untuk pulang. Ini sudah malam." Aku berkata sambil menunduk. Kini aku sudah duduk di sofa. "Tidak bisakah malam ini kamu menginap di sini?" ujar Pak Firman setelah menutup bukunya. Aku terdiam cukup lama. Pak Firman juga tidak bersuara. Dia hanya menatapku. Entah apa yang ada dalam pikirannya, hingga betah menatapku begitu lama. Aku sungguh malu jika dilihat seperti ini. Aku tidak ingin bermalam di sini. Tetapi, aku juga tidak tahu cara untuk menolak. Aku yakin, akan selalu ada
Tidak ingin terlarut dalam rasa haru. Aku harus berusaha untuk menolak. Walau bagaimanapun aku tidak boleh berdua-duaan dengan Pak Firman di sini. "Besok aku masih ada jadwal ujian, Pak. Aku tidak membawa buku untuk belajar. Maaf, aku tidak bisa menginap di sini. Nanti kalau besok selesai ujian, aku langsung datang ke sini," ujarku dengan menunduk setelah Pak Firman berhenti berkata. Aku sengaja mengalihkan pembicaraan. Rasanya tidak tega mendengar ketulusan Pak Firman. Dia terlihat sangat menyayangiku. Tidak ada kebohongan dalam ucapannya. Mungkin jika aku di cintai oleh lelaki seperti Pak Firman, aku akan menjadi ratu yang sangat dimuliakan. Kenapa Allah tidak takdirkan aku berjodoh dengan orang sebaik Pak Firman? Kenapa bukan lelaki sepertinya yang aku cintai? Aku bisa menerimanya meskipun dia sudah memiliki anak. Tetapi perasaanku tidak bisa dipaksakan. Aku sudah terlalu mencintai Aksa. Lelaki yang sudah aku tahu tabiatnya. Mungkin benar jika aku perempuan bodoh. Tetapi aku ju
*** Aku sedang mengendarai mobil menuju kos Delisia – Dia sahabatku sejak masuk kuliah. Perempuan berjilbab yang lembut. Sosok sahabat yang selalu menegur ketika aku salah. Dia sedang ada di sampingku. Dari tadi dia hanya diam saja. Ya, Delisia memang bukan tipe perempuan yang banyak bicara. Selama bersahabat, sangat jarang dia memulai percakapan. Tetapi aku suka bersahabat dengan tipe perempuan seperti Delisia. Aku bisa bercerita sepuasnya tanpa disuruh berhenti, karena dia pendengar terbaik. Seperti saat ini, Delisia hanya berbicara kalau aku tanya. Sesekali dia merespon ucapanku dengan kalimat. Namun, terkadang yang tersenyum. "Mobil Aksa ternyata ada di belakang kita, Del," ujarku, sambil menoleh pada Delisia. "Oh, Iya." Hanya itu kata yang terucap dari bibirnya. Kini mata Delisia kembali melihat jalan. Gadis berjilbab di sampingku ini memang bukan perempuan ceria sepertiku. Dia tidak heboh, meskipun aku sudah memancing agar dia ikutan heboh. Aku sangat menyayanginya. Aku ta
"Dari pada pacaran mendingan langsung menikah saja. Belum tentu saat pacaran, kalian bisa saling mengenal dengan jelas. Banyak loo, Tam, orang yang lama pacaran tetapi sebulan dua bulan nikah langsung cerai." Aku masih mengingat ucapan Delisia yang membuat aku memutuskan untuk meminta Aksa melamarku. Setelah tidak pernah lagi mendapat nasehat dari Delisia, aku pun berpikir untuk menyuruh Aksa melamarku. Mungkin Delisia merasa jenuh sehingga tidak lagi menasehatiku. Tak ingin membuat Delisia kecewa, aku akhirnya membuat keputusan itu. Kini hubunganku dengan Aksa sudah naik ketahap serius. Ya, Aksa sudah serius akan menjadikan aku sebagai istrinya. Perempuan mana yang tidak senang ketika akan menikah dengan lelaki yang dia cintai. Kalau bisa mempercepat waktu, aku justru ingin pernikahan dilangsungkan besok saja. Toh kami sudah punya segalanya. Orang Tuaku dan orangtua Aksa bukan orang melarat. Jadi kami juga tidak akan hidup sengasara. Tetapi Aksa tidak mau, dia ingin kami mendapa
"Iya, Tam. Kamu bisa datang sesuka hatimu ke sini," ujar Delisia sambil tersenyum. "Aku sudah memesan makanan. Kita tunggu saja." Aku melihat kembali menu makanan yang baru saja aku pesan. Sudah benar, tinggal di tunggu. Mungkin kurang lebih tiga puluh menit, makaan yang dipesan ini datang. Aku sering memesan makanan di restoran ini, karena selain enak, penyajiannya juga cepat. "Lama nggak? Aku sudah lapar. Kamu pesan apa, Tam?" ujar Rian. Untung dia ini sahabat kekasihku. Kalau tidak, mana mau aku berteman dengannya. Rian ini orang yang tidak sabaran. Dia juga suka ceplas ceplos kalau sedang berbicara. Heran deh, kenapa Aksa memiliki teman sepertinya. "Sabar dikit lah! Jadi manusia itu kalau tidak sabaran, bagusnya dibuang ke planet lain. Bikin kotor bumi saja!" Aku berkata dengan wajah kesal melihat Rian. Mataku berotasi dua kali. Harusnya tadi Rian tidak usah ikut. Aku juga heran dengan kakasihku yang super pendiam kalau melihatku berdebat dengan sahabatnya. Dia tidak pernah men
Melihat tindakan Delisia yang menurutku sedikit aneh, aku kembali mengingat perkataan Tari dan kawan-kawannya. Tidak mungkin! Delisia sahabatku. Dia tahu jika aku sangat mencintai Aksa. Tak mungkin dia berselingkuh dengan Aksa di belakangku. "Del, diluar ada driver," ujarku saat sudah berada di samping Delisia. Bahkan sahabatku ini sepertinya tidak menyadari jika aku sudah berada di sampingnya. "Oh iya." Delisia langsung berdiri. Dia melangkah lalu membuka pintu utama, lalu membuka gerbang. Hanya itu kah respon Delisia? Sekedar mengatakan ‘oh iya’. Ada apa dengannya? Terlihat dari raut wajah, Delisia seperti orang yang sedang punya masalah. Aku tidak ingin berpikir buruk. Tetapi, keadaan memaksa diri untuk memikirkan. Apa benar selama ini Delisia menjadi simpanan Aksa? Bisa jadi Delisia membayar kos ini dari hasil pekerjaan haram itu. Kalau tidak, dari mana dia mendapatkan banyak uang. Delisia bukan anak orang kaya. Maafkan aku, Del! Mulai sekarang aku harus mencari tahu tentang k
Aku, Aksa, Rian dan Juna akhirnya pulang dari kos Delisia setelah beberapa jam berada di sana. Sahabatku itu mengantar hingga gerbang. Namun, aku tak langsung pulang ke rumah. Ada hal penting yang ingin aku lakukan sekarang.Ya, aku melajukan mobil menuju rumah Raisa - Sepupuku. Tadi aku sudah minta izin pada Aksa kalau ingin main ke sana. Aku sebenarnya tidak terlalu sering ke sana. Tetapi jika ada sesuatu yang penting, biasanya aku akan minta tolong pada Raisa.Setelah tiba, aku langsung menuju kamar Raisa. Beberapa asisten rumah menyapaku. Setelah masuk ke kamar, aku pun melangkah ke kasur."Rai, kamu punya kenalan untuk bisa memata-matai seseorang, nggak?" tanyaku sambil berbaring di kasur. Raisa masih mengerjakan laporan. Aku tak peduli dengan kesibukannya. Tak mengapa jika aku mengganggunya setengah jam."Kalau datang itu bilang-bilang dulu. Sekarang aku masih sibuk. Nanti saja kalau mau cerita," ujar Raisa sambil mengetik.Memang Raisa sangat sibuk. Dia kuliah di jurusan biolog
"Kenapa kamu meragukan ucapan Delisia? Bisa jadi benar, orang itu bukan dia. Lagi pula, masa sih Aksa selingkuh dengan Delisia. Sangat tidak mungkin lah, Tam." Raisa berkata dengan meninggikan suaranya. "Gini lo maksudnya, Tam. Aksa ‘kan memiliki kekasih yang sangat cantik. Masa iya, dia selingkuhnya dengan perempuan seperti Delisia? Aku tidak akan percaya … Tidak usah habiskan uangmu untuk mencari tahu sesuatu yang sia-sia. Mendingan kamu ajak aku jalan-jalan ke luar negeri. Kebetulan aku juga sudah mau liburan semester."Aku terdiam mendengar ucapan Raisa. Hatiku menolak. Tidak bisa! Dari pada terus penasaran, aku harus tetap mencari tahu. Jika Ranisa tidak bisa membantu, aku akan mencari sendiri orang yang bisa membantuku."Aku akan tetap memata-matai mereka, Ray. Kalau memang yang dikatakan oleh Tari - Teman kelasku, bohong, atau dia sengaja ingin merusak hubungan persahabatan ku dengan Delisa, ya, It's okey. Tetapi, bagaimana kalau yang Tari katakan benar? Aku bukannya meragukan
*** "Ternyata hidup selucu ini. Aku tidak pernah menyangka jika Juna akan menikah dengan Utami. Sungguh kejutan, bukan."A ku tersenyum dan berkata lirih dalam mobil. Saat ini aku sedang mengendara menuju restoran milikku. Aku baru saja pulang dari acara pernikahan Juna dan Utami. Tadi mereka terlihat sangat bahagia. Syukurlah Utami sudah melupakanku. Aku senang Juna menikah dengan Utami. Walau bagaimanapun Utami perempuan baik. Dia layak mendapatkan lelaki yang juga baik. Aku rasa Utami pantas mendapatkan lelaki seperti Juna. Aku dan Juna sudah malam bersahabat. Aku tahu bagaimana dia. Yang tidak pantas itu, kalau Utami menikah dengan Rian. Bisa hancur dunia ini. Rian memang baik. Namun, terkadang tingkah konyol dan mulut beracunnya, membuat orang yang berhadapan dengannya kecewa. "Kamu sekarang dimana, Delisia? Sudah satu tahun aku mencarimu. Sudah setahun pula aku tidak mendengar kabarmu. Kamu baik-baik saja kan di sana?" Ketika mengingat Delisia, wajah pasti akan berubah send
Kamu dimana, Delisia. Harusnya kamu ada disampingku hari ini. Aku rindu kamu. Batinku berbicara. Pikiranku masih saja terfokus pada Delisia. Aku kini dihantui perasaan bersalah kepadanya. Aku tidak sepenuhnya merasa bahagia hari ini. Meskipun kini di depanku, seorang lelaki baik sudah memasang cincin di jari manisku. Tetapi ternyata tidak adanya Delisia membuat pernikahanku terasa sepi. Jika saja Delisia ada di sini, aku pasti sangat bahagia. Aku tidak mengundang Tari dan kawan-kawannya. Sedang malas saja menjawab ribuan pertanyaan yang sebenarnya tidak enak didengar telinga. Selama menjauhi Delisia dan berteman dengan Tari, aku tidak benar-benar senang. Bagaimana tidak, setiap saat aku harus mendengar Tari dan gengnya menjelek-jelekan orang. Benar kata Juna, perempuan baik yang layak dijadikan sahabat hanyalah tipe perempuan seperti Delisia. Dia, si perempuan yang tulus berteman denganku dan selalu menegur ketika aku melakukan sesuatu yang salah. "Selamat, Bro. Aku sebenarnya kec
***Hari ini, aku akan menjalani pernikahan. Bukan dengan Aksa, tetapi bersama Juna. Ahh, aku akhirnya menerima Juna setelah melihat perjuangannya selama setahun ini. Sebenarnya aku belum terlalu mencintainya, tetapi aku ingin membuka hati untuknya. Juna tidak ingin jika kami pacaran. Akhirnya keputusan ini lah yang aku ambil. Menikah dengannya! "Tam, kamu belum selesai di make-up?" Aku kembali mendengar suara mama. Sudah terhitung tiga kali mama masuk ke kamar ini hanya untuk menanyakan tentang kesiapan.Aku tak perlu menjawab. Mama pasti bisa melihat sendiri, apa aku sudah selesai dimake-up atau belum."Mba, tolong cepat-cepat ya. Acaranya tidak lama lagi akan di mulai," ujar mama pada MUA yang sedang memberi hiasan di atas kepalaku."Mama, jangan disuruh cepat-cepat. Nanti jadinya jelek." Aku berkata dengan suara manja. Mama pun keluar tanpa menggubris ucapanku. Iya sih, acaranya tidak lama lagi akan di mulai, tetapi aku tidak suka di suruh cepat-cepat. Takut hasilnya tidak memua
Keesokan harinya, ternyata Juna menepati perkataannya, dia datang lagi di rumahku. Namun sekarang, aku tidak lagi marah-marah seperti kemarin. Saat asisten rumah mengetuk pintu kamar dan memberitahu Juna ada di bawah, aku langsung keluar, turun dari lantai dua kamarku. Juna tersenyum. Tetapi aku tak membalas senyum itu. Aku rasa tidak perlu ramah padanya. "Bagaimana keadaanmu hari ini?" tanya Juna dengan wajah yang ceria. "Apa saja yang kamu tahu tentang Delisia?" Aku pikir tidak penting menjawab pertanyaan Juna. Sekarang yang paling penting, aku harus tahu tentang Delisia. Juna pasti sudah mendengar semua ceritanya dari Aksa. "Dia perempuan baik. Banyak hal yang sudah dilakukan Delisia untuk menjaga perasaan kamu, Tam. Termasuk menghilang dari kehidupan kita semua. Sampai sekarang Aksa tidak tahu Delisia berada dimana. Kemarin Aksa juga tidak ikut wisuda karena pergi ke Rumah Delisia yang ada di kampung … Orang tua Delisia tidak mau memberitahu tempat tinggal Delisia sekarang.
Setelah Juna hilang dari pandangan, mataku terfokus pada dua buku diary yang ada di atas meja. Tanganku pun mengambil. Ahh, aku tidak perlu membaca buku ini. Pasti isinya akan sangat menyakitkan untuk aku. Tetapi aku juga penasaran. Memangnya apa sih isinya, hingga Juna memaksaku untuk membacanya? Kalau tidak penting, Juna pasti tak akan membawanya ke sini. Aku pun mengambil. Lalu membawanya ke kamar. Setelah tiba di kamar, aku mengambil diary yang semua halaman dipenuhi tulisan. Aku membuka lembaran pertama. Hari ini seperti mimpi bagiku. Ya Allah, jika ini sebuah mimpi, segera bangunkan aku. Mimpi ini terlalu buruk. Aku tidak tahu jika lelaki yang dijodohkan denganku adalah Aksa, kekasih sahabatku. Bagaimana perasaan Utami jika tahu aku menikah dengan Aksa? Dia pasti akan sangat terluka. Aku tak tahu harus berkata apa padanya. Aku takut Utami membenciku. Di sahabatku satu-satunya. Aku tak ingin kehilangan Utami. Kalau Utami tahu tentang pernikahan ini, dia pasti akan sangat ma
"Pulang! Kalau kamu datang ke sini yang untuk menceritakan mereka, membela mereka. Pulanglah! Aku tidak ingin mendengar cerita apapun tentang mereka. Sakit, Juna! ... Apa yang mereka perbuat sangat menyakitiku ... Kenapa selama ini Delisia tidak jujur padaku? Kenapa dia tidak cerita semua ke aku? Dan Aksa, dia selalu bersikap seolah tidak akrab dengan Delisia. Padahal kenyataannya, mereka sudah menikah ... Mereka menikah dan aku tidak tahu!" Aku histeris. Mungkin suaraku dapat di dengar oleh semua asisten di rumah ini. Aku tidak peduli. Mereka pasti sudah tahu jika aku sedang ada masalah. Setelah tadi Juna melepas pelukan, kini dia kembali membawaku dalam pelukannya. Aku terseduh seduh. Sebenarnya ada sedikit rasa tenang saat berada dalam pelukan Juna. Tetapi tidak mungkin aku katakan. Juna pasti akan besar kepala. Lumayan lama berada dalam pelukan Juna. Dia tidak lagi banyak bicara seperti tadi. Mungkin karena tidak ingin melihatku mengamuk lagi. Juna kini melepas pelukan dengan
*** "Ngapain kamu datang ke sini? Ada keperluan apa?" Saat ini di hadapanku ada Juna. Sudah berulang kali aku melarangnya untuk datang ke sini. Aku tidak ingin bertemu dengannya. Tetapi Juna terlalu keras kepala. Dia tidak mengindahkan perintahku. "Aku mau ngasih ini?" jawab Juna dengan gaya santai. Tampangnya sangat membuat jengkel. "Apa itu? Diary siapa? Sana, bawa pulang! Aku tidak mau ada satupun barang dari Aksa di Rumahku. Dan kamu, silahkan pulang dan jangan datang ke sini lagi." Aku berkata dengan raut wajah marah. Baru sekarang aku mau menemuinya. Karena capek mendengar pintu kamarku selalu diketuk oleh asisten rumah. Yang katanya, Juna mencari ku. Siapa yang tidak jenuh kalau setiap hari di datangi hanya karena Juna ingin bertemu denganku. Kali ini aku mau menemuinya supaya dia tidak datang lagi datang ke sini. "Ini buku diary Delisia. Bacalah. Agar otakmu bisa waras. Sebelum nanti kamu menyesal selamanya." "Maksud kamu apa? Kamu mau bilang kalau aku tidak waras? J
Aku lanjut ke halaman berikutnya. Ternyata ini sudah halaman terakhir. Berbeda dengan diary yang berada di tasku, yang sudah berisi tulisan sampai halaman terakhir. Diary ini hanya empat halaman. Aksa… Mulai hari ini aku akan belajar melupakanmu. Aku akan pergi ke suatu tempat yang jauh, agar tak bisa bertemu lagi dengan kamu. Kalau kamu ingin menikah dengan Utami. Menikahlah! Aku ridho. Hehe, mungkin kamu tak butuh ucapan ridho dariku. Tak mengapa, aku akan tetap mengatakan. Ahh, bukan mengatakan sih lebih tepatnya. Tetapi menulis dalam diary ini. Karena aku tak mungkin bisa mengatakan pada kamu. Aku tak berani. Dan aku tahu kamu juga tidak butuh ungkapan dari aku. Aku akan menunggu berkas perceraian yang harus aku tanda tangani. Selamat berbahagia dengan kehidupan barumu. Aku menulis ini setelah sholat subuh. Hari ini aku akan pergi. Kamu baik-baik yaa. Jaga kesehatan. Jangan jadi lelaki pemarah lagi. Aku pamit!" "Jangan pergi! Aku sungguh menyesal, Delisia. Aku sangat m
Aku kini telah berada di kamar Delisia. Setelah mengantarku masuk ke kamar, ibu mertuaku lantas keluar. Kamar Delisia sangat minimalis, namun membuat siapapun yang masuk akan terasa nyaman. Bahkan toiletku lebih besar dari kamar Delisia. Tetapi penataan barang yang ada di kamar ini cukup bagus untuk ruangan yang berukuran minimalis. Aku menyentuh kasur Delisia yang kini sedang aku duduki. Kasur nya bukan spring bed. Semoga saja badanku tidak sakit saat tidur. Aku tidak terbiasa tidur di kasur seperti ini. Terbuat dari apa ya ini? Aku baru pertama kali melihat kasur begini. Sepertinya dari kamar. Masa sih ada kasur yang terbuat dari kapas? Aku terus bertanya-tanya dengan tangan masih memegang kasur Aku berdiri, melihat lihat buku yang ada di rak. Mataku fokus pada sebuah buku yang sama dengan buku yang ada dalam tas ku. Ya, buku diary Delisia. Tanpa menunggu lama, aku langsung mengambil. "Sebenarnya Delisia punya berapa buku diary? Terus kenapa dia tidak membawa buku ini? Kalau